DIKLAT JURNALISTIK
Alamat Redaksi : Kompleks Kantor LP. Ma’arif NU Tuban Jl. Manunggal 10-12 email : tabloidnusa@yahoo.co.id atau tabloidnusa9@gmail.com
Rabu, 30 April 2014
Selasa, 29 April 2014
Perjalanan Panjang MI Salafiyah Mahbubiyah, Bandungrejo, Plumpang
Terpencil tak Halangi Kemajuan
Dulu bermula dari IPNU-IPPNU,
kemudian menjadi madrasah formal tradisional. Kini MI Salafiyah Mahbubiyah pelan-pelan
berubah menjadi “modern”. Penerimaan Siswa baru kini bisa online.
Sebelum
1962, belum ada madrasah di Desa Bandungrejo, Plumpang. Kehidupan masyarakat
desa masih belum tersentuh dengan pengajaran formal melalui madrasah. Saat itu,
pembelajaran yang terjadi baru sebatas anak-anak usia IPNU-IPPNU yang mengaji
kitab kepada Kiai setempat, KH. Rohmat. Dari ngaji kitab itu, akhirnya
dibentuklah pengurus IPNU-IPPNU.
“Ngaji itu seolah seperti madrasah, tapi
berbentuk diniyah,” ungkap Moh. Djaeri, komite madrasah yang sekaligus pelaku
sejarah beridirnya MI Slafiyah Mahbubiyah itu. Pelajaran yang diajarkan adalah
dari kitab Sulam Safinah, Bidayah dan Taqrib.
Kegiatan
mengaji itu sempat terhenti setahun, yakni pada 1965. Kemudian pada 1966, atas
tekat bersama para kiai, tokoh masyarakat dan desa didirikanlah madrasah dengan
gedung pertama berupa rumah bambu “bongkotan”. Dijelaskan Mbah Djaeri, letak
madrasah itu dulu di sebelah Masjid Al-Khosmani (kini nama Masjid itu adalah
Al-Muttaqin, Bandungrejo). Murid MI Salafiyah Mahbubiyah saat itu mencapai 90
anak dan gurunya berjumlah 5 orang: M. Djaeri, M. Sunoko, Rohman, Kaspu Kasan
dan Kiai Miftah Asrori (pengajar ngaji pengganti KH. Rohmat).
Namun,
madrasah yang masih seumur jagung itu harus berafiliasi dengan sekolah dasar
pada 1970-1971. Hal itu disebabkan faktor politis. Pemerintah, dengan
kekuasaannya, memaksa MI Salafiyah Mahbubiyah berubah nama menjadi Madrasah
GUPPI (Gabungan Usaha Pendidikan Islam). Namun, madrasah hasil intervensi
pemerintah saat itu hanya berjalan 3 bulan. “Saat itu, saya saja yang mengajar.
Guru yang lain berhenti dan akhirnya siswa-siswinya habis. Tidak bersisa,”
cerita Djaeri. Alhasil, MI Salafiyah Mahbubiyah dikembalikan lagi ke sebelah
masjid, dengan pertimbangan kemaslahatan.
Pada
1984 madrasah mendapat hibah tanah desa (yang kini ditempati MI S. Mahbubiyah).
Dengan tersedianya tanah itu, MI S. Mahbubiyah mendapat bantuan 3 gedung dari
pemerintah pada 1985. Selesai dibangun, siswa-siswi madrasah akhirnya diboyong
dari gedung bambu sebelah masjid menuju gedung baru hasil bantuan pemerintah.
Saat itu, mata pelajaran yang diajarkan MI S. Mahbubiyah di antaranya: Tauhid,
Al-Qur’an, Hadits, Fiqih, Ke-NU-an, Ilmu Shot, Nahwu-Shorof dan beberapa ilmu
umum. “2/3 ilmu agama dan 1/3 ilmu umum,” ungkap pendiri yang kini menjadi
Komite madrasah itu.
Setelah
ada kurikulum dari Departemen Agama (Depag) Kabupaten Tuban, akhirnya mata
pelajaran yang diajarkan di MI S. Mahbubiyah disesuaikan. Pada 2009 lalu, MI S.
Mahbubiyah kembali mendapat bantuan rehab gedung (Block Grant) dari Kemenag
Tuban.(wakhid)
Daftar
dan Lulus Via Online
Kini
MI Salafiyah Mahbubiyah telah hidup di zaman modernisasi-globalisasi, di mana
dunia IT telah merebak ke seluruh penjuru dunia. Internet telah mampu
menyambungkan hubungan-komunikasi masyarakat yang hidup di daerah manapun di
dunia ini. Nah, meski letaknya terpencil, jauh ada di pedalaman, MI S.
Mahbubiyah tidak mau ketinggalan dari madrasah-sekolah, yang berada di kota
sekalipun, dalam menerapkan aplikasi yang muncul dari dunia IT.
![]() |
Achmad Suyuthi, S.Pd Kepala MI Salafiyah Mahbubiyah Bandugerejo Plumpang Tuban |
Meski
telah mengikuti kemajuan, MI S. Mahbubiyah tetap tidak meninggalkan
pembelajaran-pendidikan karakter keagamaan. Mata pelajaran agama tetap diberi
porsi lebih. Ditambah, pembiasaan siswa akan akhlak islamiyah setiap hari.
“Datang awal, salam dan cium tangan guru. Ketika bel pertama (06.30) anak-anak
membaca surat-surat pendek. Sebelum belajar, mereka menghafal Asmaul Husna. Dan
praktek ibadah juga kami biasakan, seperti: Sholat Dhuha dan Dhuhur dan pada
saat-saat tertentu kita tahlil, istighotsah, ziarah,” jelas kepala yang kini
hampir menyelesaikan S2-nya di Unisla itu.
Untuk
menunjang aspek religius itu, kegiatan ekstrapun digalakkan. Drum band, qosidah
al-banjari, qiro’ah, teater, pramuka dan istighotsah telah menjadi kegiatan
mingguan mereka.
Berbagai
prestasi di tingkat kecamatan telah mampu diraih oleh siswa-siswi MI S.
Mahbubiyah. Bahkan dalam ajang di tingkat propinsi pun siswa MI S. Mahbubiyah
pernah menempati posisi yang cukup membanggakan. Siswanya pernah mencapai
posisi 11 dalam Olimpiade MIPA-IPA tingkat propinsi pada 2011. Sedangkan pada
2012, siswanya mampu menempati posisi 9 dalam Olimpiade MIPA-MTK.
Kini
MI S. Mahbubiyah Bandungrejo, Plumpang memiliki siswa-siswi sejumlah 145 anak
dan guru yang mengajar, serta karyawan, sejumlah 11 orang. Bahkan di kompleks
MI S. Mahbubiyah telah berdiri RA dan PG. “Siswa RA mencapai 60 anak, terbagi 2
kelas. Dan siswa PG 23 anak,” tandas Suyuthi. (wakhid)
Siswa MI Manbail Huda Kaliuntu, Jenu Tuban Impikan Juara Nasional
Impikan
Juara Nasional
M. Fiki Farizzuda membawa piala yang pernah diraih saat lomba tilawah. Mustofa, S.Pd.I guru pembimbing Fiki yang selalu membina Fiki. |
Nama
lengkapnya adalah M. Fiki Farizzuda. Dia anak kelas 5 MI Manbail Huda Kaliuntu,
Jenu. Dia terlahir pada 15 Maret 2003 di Meduran Lor, Beji, Jenu. Di usianya
yang kini menginjak 11 tahun, Fiki, yang
terkenal pendiam itu, telah berhasil meraih juara di berbagai lomba tartil dan
tilawah Al-Qur’an, serta adzan di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Banyak
orang di lingkungannya yang kaget dengan hasil capaian Fiki itu.
Salah
satu orang yang paling kaget dengan hal itu adalah Mustofa, S.Pd.I, guru MI
Manbail Huda yang sekaligus ditugasi membimbing dan membina Fiki. Dia adalah
satu-satunya orang yang mengerti betul proses muncul dan berkembangnya bakat
Fiki sampai kini meraih berbagai prestasi juara. Karena di samping sebagai guru
madrasah, dia juga-lah yang mengepalai TPQ Shohibur Rohmah (tempat Fiki mengaji
dan memunculkan bakat tilawahnya).
Cerita
Mustofa, sejak masuk MI Manbail Huda dan mengaji di TPQ-nya, Fiki terkenal
sebagai anak yang pendiam. Kegiatan kesehariannya juga biasa, tidak ada
perbedaan yang signifikan dengan anak yang lain. Prestasi akademisnya pun tidak
menonjol.
Sampai
pada suatu ketika, Mustofa mengadakan lomba adzan di TPQ asuhannya. Dalam lomba
itu, tidak disangka, Fiki menunjukkan kebolehannya. Dia menjadi juara lomba
adzan itu dengan mengalahkan santri-santri di atas usianya. “Ada anak yang
kelas 3 ada yang kelas 4, ada yang kelas 5. Suaranya berhasil mengalahkan
mereka,” kenang Mustofa. Sejak saat itu Mustofa meyakini bahwa Fiki memiliki
bakat untuk melantunkan tilawah dengan baik.
2011
menjadi tahun awal Fiki menorehkan sejarah baru bagi hidupnya. Pada tahun itu,
dia dibimbing Mustofa secara intensif, minimal 3 kali seminggu, untuk mengikuti
lomba tilawah dalam rangka peringatan HUT RI di tingkat SD-MI se-Kecamatan
Jenu. Fiki berhasil menyabet juara I pertamanya dalam lomba yang diadakan di
Masjid Baitur Rozak Jenggolo-Jenu tersebut.
Pada
2012, Fiki kembali menuliskan namanya di papan nama juara. Dia berhasil
menjuarai lomba MTQ tingkat kabupaten. Di tahun yang sama, Fiki kembali
menjuarai lomba tilawah dalam rangka HUT RI Tingkat Kecamatan di Masjid Baitur
Rozak Jenggolo.
Umpama
jalan telah semakin lancar, prestasi juara bagi Fiki pada tahun 2013 semakin
berdatangan. Lagi-lagi dia berhasil menjuarai lomba tilawah dalam acara
peringatan HUT RI di SDN Beji I. Dalam acara Pekan Olahraga dan Seni (Porseni)
MI tingkat kecamatan di MI Miftahul Huda Rawasan, Fiki kembali menjadi juara.
Di level tingkat Kabupaten, Fiki tak terbendung. Dia kembali menyabet juara I
dalam acara Porseni yang diselenggarakan di aula Kemenag Tuban itu. Sayang,
Fiki harus berhati besar ketika mengikuti Porseni di tingkat propinsi. Dia
menunda untuk menuliskan namanya di papan juara. “Ingin sekali menang di
tingkat Propinsi,” ungkapnya singkat.
Namun,
kekalahan tidak membuatnya jatuh. Dia malah semakin bersungguh-sungguh dalam
berlatih. Latihan bersama Mustofa dia gunakan sebaik mungkin. Akhirnya, dia
kembali menjadi juara 3 dalam lomba tilawah dalam rangka HUT Masjid Agung
Tuban. Bahkan dalam acara Festival Anak Sholeh Indonesia (FASI) Kecamatan Jenu,
dia mampu menyabet triple winner. “Tartil juara I, tilawah putra juara I dan
adzan juara I,” ungkap Mustofa. Namun, dalam FASI Kabupaten Tuban pada awal
2014 lalu, Fiki cukup menempati posisi ke-2 dalam lomba adzan dan posisi ke-3
dalam lomba tilawah.
Kini dia mengaku semakin percaya diri. Tidak
lain hal itu karena kehadiran Mustofa yang selalu membimbingnya dalam
melantunkan ayat-ayat Allah SWT dengan merdu. Kondisi bapaknya (Nurwanto) yang
hanyalah seorang nelayan dan ibunya (Sri Munfaatun) yang hanya ibu rumah tangga
biasa, membuatnya dipercayakan penuh kepada Mustofa. Harapan besar masih
ditatapnya lekat-lekat. “Ingin juara tingkat nasional,” ujarnya lirih. (wakhid)
Jejak Sunan Kalijaga di Desa Medalem, Senori Tuban
Dapat
Firasat, Gus Dur pun Berziarah
Masyarakat sekitar
menyebutnya makam Sunan Kalijaga Mara Teka atau dikenal Raden Sahid Mara Teka.
Sebagian masyarakat juga ada yang menamakan makam Ploso Medalem. Tempat
tersebut diyakini sebagai petilasan Sunan Kalijaga yang ada di Tuban.
Makam tersebut
terletak di Dusun Soko, Desa Medalem, Senori. Dari pusat kota Tuban menuju
lokasi makam, diperkirakan sekitar kurang lebih 65 km. Sebelum diziarahi oleh
masyarakat luar dan dibuka oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), makam tersebut
sudah ditemukan oleh seorang penduduk setempat.
Juri kunci makam, Ali
Imron saat ditemui dilokasi makam menceritakan, sebelum dibuka dan diresmikan
oleh Gus Dur pada 1999 lalu, keberadaan makam tersebut sudah ditemukan oleh
seorang warga setempat yang bernama Mulyadi. “Mulyadi itu masih Pak Lek
kulo,”ujar Imron.
Diceritakan, saat itu
pamannya termasuk orang kaya di Desa Medalem. Namun suatu hari hartanya semakin
habis, lalu membuat rumah di tengah area ladang atau tegalan. Disitu ia hidup sendirian dan tidak punya
tetangga. Dari situlah tiap malam antara sekitar jam 21.00 hingga 23.00,
Mulyadi sering didatangi seseorang yang berpakaian serba hitam.
“Tiap hari didatangi
terus. Orang itu bilang agar Pak Lek (Mulyadi, Red) merawat makam yang masih
rumbuk. Dan ternyata, ketika kesokan harinya dicek, makam tersebut ternyata
ada. Dulu tempat ini memang rungget (banyak semaknya),” imbuh Imron.
Setelah ditemui
beberapa kali, akhirnya Mulyadi datang dan berkonsultasi kepada Kiai Baidi (ayah
Gus Mad Tuban). Saat itu, Mulyadi diajak oleh K. Baidi untuk menghadap ke K.H.
Hamid Pasuruan. Saat datang ke rumahnya Kiai Hamid, jawaban kiai tersebut
sangat mengejutkan Mulyadi. Katanya kiai Hamid juga pernah ziarah di makam
tersebut. Tidak hanya itu, ia juga mengatakan kalau nama dari makam tersebut
bernama Raden Sahid Moro Teko. Setelah ditanyakan kejelasan makam tersebut,
seminggu kemudian Kiai Baedi bersama warga setempat mulai membukanya.
“Tapi dulu kondisinya
belum secerah ini, keadaannya masih banyak semaknya. Jadi kelihatan angker. Selain
itu, pemerintah dulu kan senpat melarang untuk menziarahi,”tandasnya.
Dijelaskan Imron, saat
zamannya Gus Dur menjadi presiden, tepatnya pada 1999, makam tersebut baru
dibuka dan direnovasi sedikit demi sedikit. Kedatangan Gus Dur ke makam karena beliau
dapat petunjuk, kalau ingin negara makmur harus berziarah ke makam Sunan Kali
Jaga. Saat itu Gus Dur datang ke Kadilangu, Demak. Akan tetapi, di situ Gus Dur
dapat firasat untuk ziarah ke makam Sunan Kalijaga yang berada di Kabupaten
Tuban. Dengan melalui Riyadh Tsauri yang biasa dipanggil Gus Aya, selanjutnya
mencari keberadaan makam tersebut. Informasi yang diterima ternyata benar
terdapat makam Sunan Kalijaga yang letaknya di Dusun Soko, Desa Medalem,
Kecamatan Senori. Sehingga Gus Dur datang dan berziarah ke makam tersebut.
Tepatnya pada 17 Ramadhan persisnya 1999. Pada saat itu, makam sudah mulai
dibuka. “Kalau menurut penuturan Gus Dur, yang di Kadilangu itu kantornya, akan
tetapi di sini makamnya. Tapi semua itu Allahu a’lam,” papar Imron.
Setelah ditetapkan
acara haulnya, selanjutnya di tahun 2000 masehi dibentuk juru kunci oleh pihak
desa dan kecamatan setempat. Dalam musyawarah tersebut, lalu ditetapkan
sebanyak 5 juri kunci. Di antaranya, Mbah Sangep, Khoribun, Mbah Modin Wanijo,
Dimiyati, dan Ali Imron. Di saat itu pula, sekitar makam mulai dibangun dan
renovasi. “Akan tetapi kelima juru kunci tersebut empat sudah meninggal, ya
tinggal saya juru kuncinya ini,” katanya. (suwandi)
Semilir Dinaungi Ploso
Songo
Ada yang menarik, ketika berziarah di makam di Dusun Soko, Medalem, Senori. Selain angin sawah yang semilir membelai rambut para peziarah, makam yang berada di tengah sawah tersebut ditumbuhi pohon ploso. Karena itulah makam tersebut dinamakan makam ploso. Hal ini, menimbulkan hawa sejuk dan kenyamanan untuk berteduh di siang hari. Warga sekitar biasanya beristirahat di sekitar makam sambil menjemur hasil panen di halaman makam. Dengan demikian, makam yang berada di tengah sawah tersebut tak pernah sepi lalu lalang aktivitas warga setempat.
Tidak hanya warga
saja, bahkan peziarah pun banyak yang beristirahat di kompleks pesarean tersebut.
Salah satu peziarah, Rudi (25) dari Kalitidu, Bojonegoro, mengatakan nyaman dan
teduh ketika berada di pesarean makam. Ketenangan ia rasakan bersama satu
temannya siang itu.
Panorama Ploso Songo yang
tumbuh di kompleks makam sunan Kali Jaga, memayungi beberapa makam aulia
lainnya. Makam auliya lain yang berada dalam satu kompleks dengan makam sunan
Kali Jaga yaitu makam Syekh Badawi (Solo), makam Abdurrahman (Janjang, Blora),
Makam Dewi Amiroh (Istri Sunan Kalijaga), makam Abdul Aziz Abdul Basith
(saudara Mbah Jabbar, Nglirip, Singgahan), Mpu Supa (adik sunan Kalijaga), Patih Wana Salam dan Abdul Qodir (putra Raden
Patah), Raden Semangun (senopati Banyuwangi), dan satu makam yang terletak 1 Km
dari makam Sunan Kalijaga yaitu makam Rasa Wulan atau dikenal dengan nama Nyai
Dembaga (adik sunan Kalijaga).
Keberadaan pohon Ploso
yang memayungi pesarean dan musala, ternyata memiliki cerita lain. Cerita
tersebut merupakan simbol nama makam itu sendiri. Sembilan pohon ploso dimaknai
sebagai jumlah wali sanga. “Ada juga yang memaknai sebagai simbul Rasulullah,
empat sahabat rasul, dan empat madzab. Ada beberapa tafsiran dari mulut ke
mulut mengenai pohon ploso di makam ini,” jelas Imron yang juga pengajar di salah satu MI di Desa
Medalem.
Imron menambahkan, jauh
sebelum makam ditemukan, pohon ploso sudah ada. Sekarang pohon itu tinggal 8
batang, karena yang berada di sebelah selatan pesarean Dewi Amiroh, tumbang. (antok)
Pesarean
Berbentuk Segi Delapan
Dari kejadian itu,
warga lantas berinsiatif untuk tetap mendirikan cungkup tersebut dengan membuat
sudut baru pada sisi-sisi luar cungkup. Akhirnya, terbentuklah cungkup segi
delapan dengan pintu yang menyudut. “Seperti itulah bentuknya, mirip pagoda di
Semarang,” ungkap Imron.
Selain itu, untuk
mencukupi kebutuhan peziarah, di area kompleks makam dihadirkan pula gentong tempat
wudu dan minum. Selain itu, terdapat ruang kantor untuk juru kunci.
Sedangkan untuk menambah kekhusyukan peziarah, dibangun sebuah musala yang
nyaman untuk para peziarah. Di samping itu, acara istigosah selapanan, rutin
diadakan warga sekitar. Acara tersebut dilaksanakan setiap kamis kliwon malam
jumat legi. (antok)
Rapat Koordinasi LP Ma’arif Tuban
![]() |
MASA DEPAN MA’ARIF TUBAN: Beberapa Pengurus PC. LP Ma’arif NU Tuban siap bekerjasama demi kemajuan pendidikan di Kabupaten Tuban. |
Harapan Besar di Pundak Ma’arif
Solidaritas dan
soliditas keluarga besar PC LP Ma’arif NU Tuban kembali dipertontonkan dalam
acara Rapat Koordinasi (Rakor) pada 22 Maret 2014 lalu di gedung KSPKP Tuban. Ekspektasi
tinggi muncul dari para stakeholder.
Sedikitnya 500 orang lebih
dari seluruh ketua yayasan lokal dan kepala madrasah-sekolah yang bernaung di
bawah payung LP Ma’arif NU Tuban turut mengahadiri acara Rakor PC LP Ma’arif NU
Tuban itu. Di tengah-tengah mereka hadir pula Pengurus Pusat LP Ma’arif NU H.
Adul Gofar Rozin (wakil ketua LP Ma’arif NU Pusat), Dirjen Pendidikan Agama
Islam Kemenag RI Prof. Dr. H. Nursyam, M.Si, Bupati dan Wakil Bupati Tuban,
Ketua PCNU Tuban dan Kepala Kemenag Tuban. Kehadiran mereka dan ditambah dengan
penampilan brilian siswa-siswi LP Ma’arif yang ada di berbagai daerah menambah
gaung Rakor tersebut.
Dalam sambutannya,
Akhmad Zaini (ketua PC LP Ma’arif NU Tuban) melaporkan bahwa Ma’arif telah
melakukan registrasi ulang kepada seluruh lembaga yang masih berkomitmen
menginduk di PC LP Ma’arif NU Tuban. Dia membacakan data sementara bahwa total
lembaga yang menginduk di Ma’arif Tuban adalah 287 lembaga, dengan rincian MI
180 lembaga, SD 2 lembaga, MTs 67 lembaga, SMP 9 lembaga, MA 18 lembaga, SMA 6
lembaga, dan SMK 6 lembaga.
‘’Jumlah ini belum final, isya Allah akan masih bisa bertambah,’’ tandasnya
optimistis.
Dengan lembaga
sejumlah itu, Ma’arif memiliki hampir 5 ribu guru pengajar dan siswa-siswi
hampir mencapai 35 ribu orang.
Dengan data itu,
Zaini mengatakan bahwa LP Ma’arif adalah sebuah lembaga yang besar, yang
kesatuannya bukan diikat oleh materi tapi ukhuwah nahdliyah yang dijabarkan
dalam ajaran ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja).
“Mari
kita terus perkuat ukhuwah
ke-NU-an kita untuk menjaga ahlussunnah wal jama’ah,” ungkap Zaini.
“Tunjukkan bahwa NU dan Ma’arif itu besar,
tunjukkan bahwa NU dan Ma’arif itu hebat, karena dengan kebesaran dan kehebatan itu kita
akan diperhitungkan, dengan kehebatan itu kita tidak akan pernah disingkirkan,
dengan kehebatan itu kita akan menjadi kuat dan disiplin,” imbuhnya dengan penuh semangat.
Dalam rakor tersebut dilakukan pula
penyerahan dan penerimaan secara simbolis SK registrasi kepada beberapa kepala
sekolah dari MI, SD, MTs,
SMP, MA, SMA dan SMK oleh Ketua PC NU Tuban H. Musta’in Syukur.
Menanggapi sambutan
Zaini, Musta’in Syukur, dalam sambutannya, menyampaikan bahwa PCNU Tuban bangga terhadap kinerja dan langkah-langkah seluruh jajaran pengurus LP Ma’arif NU Tuban. “Saat itu, SK belum keluar saja Pak Zaini sudah melakukan Turba untuk
memperkenalkan diri dan konsolidasi dengan seluruh MWC LP Ma’arif NU di 20 kecamatan yang ada di Tuban. Sampai-sampai
dia memboyong Ma’arif mengadakan study banding ke Kudus untuk belajar memimpin
Ma’arif dengan baik dan benar,”
ungkapnya.
Ditambahkan, bahwa usaha dan langkah yang
ditempuh Ma’arif saat ini adalah sebuah awal kinerja yang bagus. “Ini mampu menjawab keraguan masyarakat NU kepada Pak Zaini dalam mengemban amanat sebagai Ketua Ma’arif,
karena latar Pak Zaini saat itu memang belum dikenal luas,” ungkapnya.
Sementara itu, Gus Rozin –sapaan Abdul Ghofa Rozin--menyampaikan
bahwa masyarakat saat ini
menggantungkan harapan yang tinggi
kepada LP Ma’arif. Dia bercerita dulu
masyarakat mengamanahkan putra-putrinya di pondok pesantren karena keilmuan
Kiai yang menjadi pemegang otoritas untuk legalisasi kelulusan santri. Namun,
dalam perkembangannya, madrsah-sekolah umum memasuki pondok pesantren. Karena
eksistensi lembaga umum mampu memberikan kontribusi langsung terhadap
harapan-hara masa depan masyarakat, akhirnya kepercayaan yang awalnya
dipercayakan kepada Kiai semata bergeser kepada lembaga umum. Otomatis pusat
penanggung jawab ajaran Aswaja nahdliyah kini menjadi tanggung jawab lembaga
umum tersebut.
Untuk itu, Gus Rozin menegaskan bahwa Ma’arif-lah
yang kini mempunyai tanggung jawab besar menjaga eksistensi ajaran Aswaja
nahdliyah di tengah masyarakat.
Penasehat Ma’arif yang juga menjabat sebagai Bupati Tuban H.
Fatchul Huda mengapresiasi antusiasme seluruh anggota Ma’arif dalam menjaga Aswaja. Dia menginginkan adanya perbaikan di berbagai
aspek yang ada di Ma’arif. Untuk menanamkan ajaran Aswaja nahdliyah dengan
baik, perlu adanya buku Aswaja yang baik pula. Dia masih melihat isi buku
pelajaran yang selama ini dipakai LP Ma’arif masih memakai buku yang
menjelaskan teorinya saja, tapi belum kepada esensinya Aswaja.
Dia menginginkan
diciptakannya buku Aswaja yang mengandung poin-poin penting ajaran Aswaja
an-Nahdliyah yang aplikatif, sehingga siswa-siswi Ma’arif tidak mengenal Aswaja
hanya pada teorinya saja tapi lebih pada aplikasinya setiap hari.
Selain itu, dalam kesempatan tersebut, Huda juga
berpesan bahwa, masyarakat NU harus dapat mengambil, menciptakan, dan
memanfaatkan setiap peluang. Sebagaimana disampaikan bahwa karomah dari Allah
SWT itu muncul karena ada tantangan. “Cobalah bikin tantangan-tantangan, karomah
muncul karena ada tantangan,” ungkapnya.
Ditambahkan pula, mengenai pendidikan di
Ma’arif, hendaknya ada pelatihan kepala sekolah, sehingga kepala
sekolah dapat mengelola
guru dengan baik. Dan tentunya hal tersebut akan lebih baik jika ditindak
lanjuti dengan peningkatan kualitas guru. “Kalau sistematisnya sudah benar, itu
akan semakin menambah kepercayaandiri dan kebanggaan masyarakat NU,” tandasnya. (wakhid/hisyam)
Study Banding L.P. Ma’arif Tuban ke Pasuruan
PASURUAN- Guna meningkatkan kinerja
organisasi, L.P. Ma’arif NU Tuban kembali melakukan study banding ke daerah
lain. Bila pada awal Januari lalu menimba ilmu ke Kudus, Jawa Tengah, kali ini,
lembaga di bawah PC NU yang menaungi ratusan lembaga pendidikan NU di Tuban ini
menimba ilmu ke Pasuruan. ‘’Ke Pasuruan ini, kita fokus belajar soal hubungan
sinergi antara L.P. Ma’arif dan Pemerintah Daerah (Pemda),’’ kata Akhmad Zaini,
ketua L.P. Ma’arif NU Tuban.
Study banding ke Pasuruan dilakukan pada, Sabtu,
5 April 2014. Sebanyak 25 pengurus Ma’arif yang
terdiri dari pengurus harian dan beberapa ketua MWC Ma’arif NU mengikuti
kegiatan tersebut. Dengan menumpang dua mobil, rombongan sampai di Pasuruan
pukul 13.00 WIB.
Saat memberikan sambutan, Zaini mengatakan
kalau kedatangan pengurus Ma’arif Tuban ke Pasuruan karena dinilai daerah
tersebut berhasil membangun sinergi yang baik antara Ma’arif dan Pemda. Salah
satu indikasi keberhasilan tersebut adalah keterlibatan Ma’arif dalam merancang
Peraturan Daerah (Perda) Pendidikan. ‘’Sebagai daerah yang kebetulan bupatinya
sama-sama berlatar belakang NU, tentu kami ingin seperti itu. Kami ingin
kepentingan sekolah, khususnya madrasah yang berada di bawah L.P Ma’arif bisa
terakomudasi,’’ kata mantan Redakstur Jawa
Pos ini.
Merespon sambutan Zaini, Ketua L.P
Ma’arif NU Pasuruan, KH Mujib Imroh, mengatakan kalau keinginan Ma’arif Tuban tersebut
sangat bisa dipahami. Sebab, nasib sekolah/madrasah di bawah L.P. Ma’arif
sangat terpengaruh oleh kebijakan-kebijakan Pemda yang mengacu kepada Perda
Pendidikan. ‘’Di era otonomi daerah ini, Pemda-Pemda yang berbasis NU semestinya
harus bisa mengikhtiarkan agar kepentingan warga NU terwadahi. Tentu, ini bukan
berarti mengabaikan kelompok lain. Kita tetap mengembangkan Islam yang rahmatan lil alamain, ‘’ ujar Gus Mujib.
Mantan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah)
ini, lebih lanjut memaparkan, di Pasuruan hubungan Pemda dan Ma’arif memang
dibangun sangat erat. Ketika Perda Pendidikan hendak disusun, Ma’arif adalah
perancangn utama dari Perda tersebut. Sehingga, kepentingan madrasah, diniyah
serta pondok pesantren bisa terakomudasi dengan baik. ‘’Namun, ketika menyusun,
tentu kami melibatkan semua unsur masyarakat di Pasuruan. Jadi, Perda itu
hakekatnya hasil dari usulan masyarakat Pasuruan yang di dalamnya ada Ma’arif
dan NU,’’ tandasnya.
Gus Mujib juga menekankan soal pentingnya
komunikasi politik dibangun
oleh Ma’arif. ‘’Di sini (Pasuruan, Red) Ma’arif
bisa sejajar dengan sekolah
negeri karena LP Ma’arif Pasuruan berusaha semaksimal mungkin
membangun komunikasi dengan legislatif dan eksekutif. Komunikasi politik itu penting karena tidak dipungkiri
sesungguhnya pendidikan juga menjadi bagian dari politik, ”
tambahnya. (hisyam)
FOTO NUsa PEDULI
Rabu, 23 April 2014
AVANZA UNTUK OPERASIONAL MA’ARIF TUBAN
NUsa PEDULI EDISI 23
TABLOID NUsa EDISI 23
Anda bisa membaca Tabloid NUsa EDISI 23 di Layar Komputer, Laptop, HP/I-Pad File PDF Anda.
Syaratnya antara lain:
1. Anda harus punya akun 4shared (www.4shared.com)
2. Silahkan anda login atau masuk jika sudah punya akun 4shared, namun jika belum punya silahkan anda buat akun.
Catatan: Apabila ada kesulitan untuk download file kami, anda bisa menghubungi admin: kangaidi HP (0856-3301-799/0857-0628-2861) Fb: kangaidi
Catatan: Apabila ada kesulitan untuk download file kami, anda bisa menghubungi admin: kangaidi HP (0856-3301-799/0857-0628-2861) Fb: kangaidi
Contoh Halaman Tabloid NUsa EDISI 23

Untuk download Tabloid NUsa EDISI 23 Format PDF, silahkan Anda klik ikon download di bawah ini ...
NUsa PEDULI 23// Dirjen Pendis Serahkan NUsa Peduli
![]() |
MOMEN ISTIMEWA: Tiga
siswa berada di naungan LP. Ma’arif menerima santunan yang diberikan langsung
oleh Dirjen Pendis (kanan) dan Kapala Kemenag Tuban.
|
TUBAN
KOTA – Santunan NUsa peduli edisi ke-23 kali ini
disalurkan bersamaan dengan diadakanya rapat koordinasi (Rakor) PC
LP Ma’arif Tuban. Penyaluran kali ini tergolong istimewa, sebab
diberikan oleh Dirjen Pendidikan Islam RI Prof. Dr. Nur Syam, M.Si. Tim NUsa
peduli kali ini menyalurkan uang senilai Rp 750 ribu kepada 3 siswa-siswi dari
Kecamatan Kenduruan.
Ketiga
siswa-siswi tersebut adalah Slamet Sutanto (MI Islamiyah Kenduruan), Mita Dia
Auliya (MI Thoriqul Huda Sokoagung), dan Aisyatul Lutfiah (MI Nurul Muttaqin
Sokogrenjeng). Ketiga siswa-siswi tersebut tercatat sebagai anak-anak dari
keluarga yang tidak mampu.
Slamet Sutanto adalah putra Supriyanto
dan Warsilah. Pekerjaan orang tuanya adalah
sebagai tukang kayu dan ibu rumah tangga. Mita Dia Auliya adalah putri Karsono
dan Suningsih. Kedua orang tuanya sebagai buruh tani. Dalam keseharianya, Mita
(sapaan akrabnya) setiap pulang sekolah mengaji di kampungnya. Sedangkan Aisyatul
Lutfiyah adalah putri Kajib (alm) dan Jamilah. Walaupun sejak ditinggal
bapaknya Aisyatul hidup dalam kekurangan, tapi itu semua tidak menghalanginya
untuk terus menuntuk ilmu. “Ingin jadi seorang guru. Karena guru selama ini menjadi
cita-cita yang sangat mulia,” ungkapnya.
Bantuan berupa uang tunai yang diberikan
kepada siswa-siswi tersebut diharapkan mampu meningkatkan semangat mereka dalam
belajar. Ketika ditemui NUsa ketiganya mengaku termotifasi dan senang dengan
diberikanya santunan NUsa peduli ini. “Saya akan terus belajar. Semoga besok
semester akhir dapat rangking satu,” tutur Slamet Sutanto.
(amin)
TOKOH INSPIRATIF NUsa EDISI 23//H. NOOR FAEKO SUMARNO
![]() |
SELAMANYA NU: Nur Faeko, Sekretaris PCNU Tuban |
Di lingkungan PCNU Tuban, namanya sudah
tidak asing lagi. Dia terkenal tegas, blak-blakan dan disiplin. Sosok ini
menjabat Sekretaris PCNU Tuban sejak
1988
Sejak lahir,
namanya adalah Eko Sumarno. Dia terlahir di Dusun Bagor, Desa Kaliapang,
Kecamatan Miri, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah pada 07 Maret 1959. Buah
pernikahan dari Darmo Wiyoto dan Sukanti. Terlahir sebagai anak ke-2 dari 3
bersausara, dia memiliki kakak bernama Sulastri dan adik bernama Jasmo. Nama Eko
berubah menjadi Noor Faeko Sumarno, sejak 2003. Saat itu dia mendapat jatah
berangkat haji gratis dari PWNU Jawa Timur. Dia menjadi salah satu petugas dari
rombongan. Saat akan diberi piagam, namanya ditanya dan dia menjawab Eko
Sumarno. Ternyata nama itu perlu diganti. Mengetahui hal itu, dia ijin
berkonsultasi dulu dengan Kiai Cholilurrohman lewat telpon. Akhirnya, Kiai
Cholil merubahnya sedikit, menjadi “Noor Faeko Sumarno”. Eko beristri Sri
Subekti dan beranak 2: Lilik Handayani dan Dwi Lili Suryani. Dari kedua anak
itu, dia memiliki 2 cucu.
Pengembaraan
hidupnya sangatlah berat dan berliku. Sampai dia menemukan ketentraman
berkhidmah di dalam NU. Di masa sekolah, dia hanya sebentar belajar di SDN
Bagor. Selesai kelas 1 dan naik kelas 2, dia kemudian dibawa Pakdenya yang
bernama Supardi ke Kunthi, Sampung, Ponorogo. Supardi adalah seorang pegawai
perhutani yang beristri Sumarmi. Dalam ceritanya, ibu kandungnya Sukanti
menikah lagi dengan Sudarno dan kemudian tinggal di Desa Magersari, Plumpang,
Tuban.
Bersama keluarga
Supardi, Eko kecil bersekolah lagi di SDN Kunti. “Saya masih ingat SPP-nya dulu
itu 12 repes (rupiah, red),” katanya. Malang nasibnya, Pakde Supardi meninggal
pada 1971, sehingga dia kemudian hidup bersama Bude Sumarmi. Setamat SD (1972),
Eko melanjutkan studinya di SMP Srandil. Dia mengaku selalu rangking atas dalam
mata pelajaran Al-jabar, Ukur dan Bahasa Inggris. Namun, keunggulan itu belum
memuaskan hatinya. Dalam benaknya selalu terpikir cita-citanya sejak kelas 6
SD, yakni ingin menjadi guru agama. “Karena saya mempunyai guru agama yang
sangat ganteng dan pinter saat itu. Imam Tholhah namanya,” kenang Eko. Ditambah
dengan tarikan biaya sekolah yang tidak mampu dia bayar, dia akhirnya
kebingungan menyelesaikan masalahnya. Hidup dengan orang lain membuatnya tidak
ingin memberatkan lagi bebannya kepada orang lain.
Dia bersyukur
memiliki guru Agama SMP bernama Zaeni, BA yang juga menjadi Kepala PGA
Al-Mukarom Sumoroto. Di samping itu, dia juga beruntung memiliki guru Ilmu
Pasti di SMP itu yang juga mengajar di PGA yang dipimpin Zaeni. Dia adalah
Harno. Kepada Harno, Eko menjelaskan permasalahannya. Dia ingin pindah ke PGA. Mendengar
itu, seketika, Harno membolehkan dan secepatnya Eko mengurus proses perpindahan
dan bertemu Zaeni. Mudah saja, Eko diterima di PGA Al-Mukarom Sumoroto.
PGA barunya itu,
jelas Eko benar-benar milik NU karena di papan namanya terpajang logo NU yang
besar. Mendapat tempat belajar baru yang biayanya murah dan ber-basic NU, Eko
mengaku sangat senang. Bahkan saking cintanya dengan PGA NU-nya itu, dia pernah
membeli stiker besar berlogo NU. Logo itu dia lubangi mengikuti alur gambar dan
dilekatkannya dikaos putihnya. Selanjutnya dia mencari dedaunan untuk
digosok-gosokkan di daerah yang lubang. Begitulah caranya saat itu untuk memiliki
kaos berlogo NU.
Belajar di PGA
Al-Mukarom Sumoroto, dia gunakan sebagian waktunya untuk bertani dan berdagang
“blantik” sapi. Di usianya yang masih muda itu dia sudah terbiasa dengan dunia
sekeras itu. Lagi-lagi Eko harus berhadapan dengan permasalahan biaya. Pada
masa-masa akhir belajarnya di PGA (1978) dia tidak mampu membayar biaya Ujian
Negara.
Dia mencoba ke
Tuban untuk menemui ibu kandungnya yang tinggal di Magersari. Bukan uang yang
didapat, tapi sama-sama cerita susah yang dia lihat. Akhirnya dia bertemu
dengan Pakdenya bernama Samsi Parto Yitno yang tinggal di Sambong, Doromukti,
Tuban. Dengannya, Eko diminta mengurusi surat pindah dari PGA Al-Mukarom
Sumoroto ke PGA 6 tahun yang lokasinya di kantor NU Tuban Jl. Diponegoro. Hidup
bersama Pakde Samsi, Eko belajar sambil membantu jualan nasi pecel. Biaya ujian
Eko ditanggung oleh Pakde Samsi. Dengan kondisi seperti itu, akhirnya Eko
berhasil menamatkan studinya di PGA 6 tahun Tuban pada 1979-1980.
Lulus dari PGA,
Unsuri Tuban cabang dari Surabaya dan SMA Mualimin berdiri di kompleks kantor
NU Tuban. KH. Moertadji saat itu yang menjadi dekan. Saat berdiri itu dia
mendaftar sebagai angkatan pertama Unsuri Tuban (1980). Sambil kuliah, dia
diterima sebagai tenaga jaga malam dan penarik donatur SMA Mualimin. Dia
akhirnya diwisuda pada 1986 dengan menyandang gelar sarjana muda (BA). Dia
melanjutkan belajarnya di Unisma Tuban cabang dari Malang dan diwisuda pada
1990. Dengan demikian dia menyandang gelar S-1 jurusan Hukum Perdata. Memiliki
gelar akademik, dia mengabdikan diri untuk mengajar dan menjadi kepala
madrasah-sekolah diberbagai lembaga.
“Kalau mengingat
kehidupan saya yang seperti itu dan melihat anak sekarang yang sekolah saja
sudah digratiskan kok tidak sungguh-sungguh, hati saya sedih,” keluhnya. (hisyam)
Sampai Mati Saya di NU
Dalam bidang
organisasi, Eko Sumarno tidak bisa diragukan lagi komitmenya terhadap NU.
“Sampai mati saya akan di NU,” ungkapnya dalam beberapa acara. Sejarah bergelut
di NU, Eko memulainya dengan menjadi Sekretaris PC LP Ma’arif NU Tuban saat
dipimpin oleh H. Asnawi Amir (1983). Namun, sebelum itu (1982), dia telah
menjadi full timer di MUI Tuban.
Dia pertama kali
diangkat menjadi Sekretaris PCNU Tuban pada Konferensi Fusi di Jenu (1988).
Saat itu Rois Syuriah dan Ketua Tanfidziyah dipegang oleh KH. A. Syifa’ dan Drs.
Abdul Matin. Pada Konferensi Tanggir (1998), di mana saat itu yang menjadi
Syuriah dan Tanfidziyah adalah KH. Cholilurrohman dan H. Noor Nahar Hussein,
Eko ditempatkan sebagai wakil sekretaris. KH. Achmad Mundzir saat itu yang
menjadi sekretaris.
Pada konferensi
Langitan (1997) Eko dipilih lagi sebagai Sekretaris NU sampai sekarang (1013),
meski telah berganti-ganti kepemimpinan PCNU Tuban. Dengan pengalaman menjadi
sekretaris organisasi yang sedemikian lamanya, sudah tidak bisa dibantah lagi
komitmenya terhadap organisasi.
Sri Subekti,
istri Eko Sumarno, mengatakan bahwa sejak dulu berkecimpung di NU dan mengabdi
di berbagai lembaga pendidikan, Eko jarang sekali di rumah. Dia selalu
mementingkan kepentingan masyarakat dari pada kepentingan keluarga. “Karena di
luar itu, ratusan masyarakat menunggu. Jadi, yang di rumah ngalah,” tutur Eko.
Sri Subekti pun tetap setia dan memahami Eko sepenuhnya. Meski jarang di rumah,
dia tetap mendukung suaminya untuk berkecimpung di NU. “Saya dari dulu tidak
mengharapkan apa-apa dari Bapak. Asal tahu kalau keluar untuk urusan NU, saya
tidak bisa melarang,” ungkapnya.
Ditanya,
karakteristik Eko, Sri mengaku disiplin. “Berangkat mengajar itu, sebelum jam 7
sudah berada di sekolah. Jadi, pagi sebelum sarapan itu sudah berangkat,”
ungkapnya. Sementara Eko mengaku, tanpa dukungan istri, dia tidak bisa berbuat
secara total di NU.
Kini dia
merasakan barokah NU. Kehidupannya yang berliku, usahanya untuk memikirkan umat
telah membuatnya tenang. Kedua putrinya kini telah mengabdikan diri di instansi
elit milik NU ataupun milik tokoh NU, yakni di Rumah Sakit NU (RSNU) Tuban dan
di SD BAS. (hisyam)