Disiplin
karena Pernah jadi Menwa
Penulis: Wakhid Qomari (Tulisan 2012)
Perawakannya
kecil, tapi berwibawa. Dan kewibawaan itu semakin nampak ketika dia membuka
cerita tentang masa kecilnya sampai kiprah masa lalunya untuk memperjuangkan NU
di Tuban. Dialah Asnawi Amir. Sosok yang sangat berperan dalam perkembangan L.P
Ma’arif, STITMA, SMA Mu’alimin, dan SMK YPM 12 Tuban. Karena peran itulah, pada
edisi ini NUsa menjadikannya sebagai
tokoh inspiratif.
Asnawi tinggal
tak jauh dari Masjid Rahmat Jl. Diponogoro Tuban. Saat ditemui NUsa pertengahan September lalu, Asnawi
memakai baju koko, berkopiyah putih dan bersarung putih. Dengan ramah, dia
menerima kedatangan NUsa dan
menceritakan masa kecilnya dan semua kiprahnya di NU.
Asnawi terlahir
pada 16 April 1946, hasil pernikahan dari pasangan Amir dan Masfu’ah.
Ayahandanya adalah seorang yang disegani di Montong. Meskipun ayahandanya hanya
sebagai seorang petani, dia merupakan pengurus NU, sekaligus tokoh perintis
lembaga pendidikan di Jetak-Montong, yakni MI Tarbiyatul Banin Banat.
Diakuinya,
karena pengaruh kehidupan yang telah dikondisikan oleh orang tuanya itu, Asnawi
menjadi anak yang senang belajar di lembaga pendidikan, selain juga terbiasa
dengan aktifitas bertani. Terbukti pada 1959, dia menamatkan pendidikan
dasarnya di dua sekolah sekaligus, yakni, SDN Montong dan MI Tarbiatul Banin
Banat. Saking aktif dan semangatnya, ketika terjadi gejolak antara Indonesia
dan Malaysia, dia bersedia dilatih perang-perangan. Namun, dia tidak merasa
malu untuk membantu orang tuanya di sawah. Bahkan sampai telah belajar di
perguruan tinggi pun, kalau dia pulang ke rumah, dia akan pergi ke sawah.
“Salah satu mahasiswa yang kalau di rumah mau pergi ke sawah, ya saya ini,”
ungkapnya bangga.
Pada 1961-1963
dia bersekolah di MTs Tarbiatul Banin Banat. Setelah menamatkan studinya di MTs
Tarbiatul Banin Banat, dia melanjutkan studinya di Sekolah Persiapan Masuk
Perguruan Tinggi pada 1963-1964.
Pada 1965-1970
Asnawi melanjutkan studinya pada fakultas hukum Islam di UNU (Universitas NU)
Solo. Ketika menjadi mahasiswa inilah Asnawi mulai mengenal organisasi lebih
mendetail. Ketika itu dia aktif dalam Resimen Mahasiswa (Menwa) dan PMII
(Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Dalam struktur organisasi Resimen Mahasiswa,
dia berposisi sebagai Komandan Kompi dan Kasi Intel, sedangkan di PMII dia
masuk dalam divisi keamanan dan ketua Kosad (Koordinasi Satuan Da’wah).
Kenangan yang
paling mengesankan bagi Asnawi semasa kuliah di UNU Solo adalah ketika dia
aktif sebagai Resimen Mahasiswa. Dia merasa dibutuhkan ketika menjadi anggota
Resimen Mahasiswa. “Kelebihan Resimen Mahasiswa adalah kalau tokoh-tokoh NU ke
Solo untuk kepentingan tertentu, maka saya yang bertugas mengawal. Tokoh-tokoh
NU saat itu seperti KH. Idam Kholid, KH. Syaifudin Zuhri dan yang lainnya,”
tuturnya.
Oleh karena
itu, posisi sebagai Resimen Mahasiswa saat itu merupakan posisi yang disegani.
“(menjadi Resimen, red.) aji-ajinya orang NU,” ungkapnya.
Karena pengaruh
gemblengan karakter di Resimen Mahasiswa itu pula, ketika dia telah mengajar di
PGA Negeri maupun swasta, dia terkenal tegas dan disiplin. Kalau ada muridnya
yang tidak tertib, maka akan dia pukul. Tapi, anehnya dengan gemblengan semacam
itu, dia berhasil mencetak anak-anak bangsa yang berhasil menjadi orang. “Pak
Ali Mansur Jenu itu salah satu murid saya dulu,” ungkapnya memberikan contoh.
Tahun 1971
Asnawi kembali pulang ke Tuban, setelah berkelana ke Solo menimba ilmu. Karena
ketika kuliah dia telah mempunyai pengalaman mengajar di MTs Negeri Bekonang
Solo, maka setelah pulang ke Tuban dia langsung mengajar di PGA Negeri 4 tahun
dan PGA Swasta 6 tahun Tuban.
Dengan
bermodal pegangan hidup “meminta rejeki (kepada Allah, red.) untuk ibadah dan
berjuang”, dia membagi hidupnya antara pekerjaan yang mengahsilkan uang dan
perjuangan untuk mempertahankan ke-NU-an. Untuk itu, sekitar tahun 1975 Asnawi mendirikan
usaha penjualan bahan bangunan kecil-kecilan. Dan bertambah satu usaha lagi
sekitar 1977, yakni usaha penyediaan asrama (tempat kost) untuk para pegawai,
anak sekolah dan sales. Penghasilannya dari dua usaha itu, ditambah
penghasilannya mengajar di PGA Negeri dan PGA Swasta, sudah mencukupi
kehidupannya sehari-hari. Dari kehidupan yang bercukupan itulah, dia bisa fokus
berjuang untuk NU.
Pada 1979 dia
masuk dalam jajaran tokoh pendiri SMA Mu’alimin dan Unsuri (kini STITMA Tuban).
Pada 1983 dia terpilih menjadi ketua PC LP Ma’arif NU Tuban. Selanjutnya dia
juga termasuk tokoh pendiri SMK YPM 12 NU Tuban. Ketika awal SMA Mu’alimin
berdiri, banyak warga NU yang sinis. “Orang pondok kok buka SMA. Banyak yang sinis,” ungkap Asnawi. Namun, pendapat
masyarakat tidak dihiraukannya. Malah KH. Murtadji mengusulkan mendirikan SMP
juga agar ada tali penyambung dari madrasah Ibtidaiyah dan SMA. Dalam
perkembangannya kemudian, SMA Mu’alimin menjadi sekolah yang diakui kebesarannya
saat itu.
“Bahkan
anaknya Abdul Kholiq, tokoh Muhammadiyah yang sangat keras saja, disekolahkan
di SMA Mu’alimin. Dan masih banyak lagi anak-anak dari orang di luar NU di
sekolahkan di SMA Mu’alimin,” jelas Asnawi. Dalam hal pendirian SMK YPM 12 NU
Tuban pun dia juga mengatakan bahwa banyak warga NU yang tidak mendukung,
sehingga menyebabkan dirinya bekerja sama dengan KH. Hasyim Latif (ketua
Yayasan Pendidikan Ma’arif Sepanjang).
“Awal SMK YPM
12 berdiri mendapat murid untuk 6 ruang, tapi SMK YPM-nya tidak punya ruang
sama sekali. Jadi, kami berhutang banyak pada YPM Sepanjang. Tapi, info
terakhir hutang itu sudah lunas,” jelasnya.
Ditambahkan, hambatan-hambatan
yang muncul saat itu tidak datang dari kalangan NU saja. Kalangan luar NU
banyak juga yang mengkritik. Bahkan pihak pemerintah daerah saat itu berusaha
mendirikan lembaga-lembaga pendidikan baru untuk menandingi keberadaan SMA Mualimin,
SMK YPM 12 NU dan lembaga pendidikan NU yang lain.
Strategi yang
Asnawi terapkan dalam mengelola lembagan pendidikan NU, sehingga mampu
melangkah sejauh itu adalah karena dukungan para kiai NU. “Di NU itu kan ada
budaya. masyarakat itu akan lega ketika memasrahkan anak mereka kepada para
kiai,” ungkapnya. Dengan melihat itu, Asnawi memprogramkan setiap Jum’at
Pahing, seluruh siswa dan para kiai beristighotsah bersama.
Melihat
kondisi berbagai Lembaga Pendidikan Ma’arif sekarang, lebih-lebih SMA
Mu’alimin, dia berpesan, “berjuanglah sesuai dengan zamanmu. Dulu dengan
sekarang tentu telah berbeda zaman, maka kenalilah zamanmu dan berjuanglah!” (wakhid)