Jumat, 05 Oktober 2012

TOKOH INSPIRATIF NUsa 05//Lebih Dekat dengan Asnawi Amir



Disiplin karena Pernah jadi Menwa
Penulis: Wakhid Qomari (Tulisan 2012)


Perawakannya kecil, tapi berwibawa. Dan kewibawaan itu semakin nampak ketika dia membuka cerita tentang masa kecilnya sampai kiprah masa lalunya untuk memperjuangkan NU di Tuban. Dialah Asnawi Amir. Sosok yang sangat berperan dalam perkembangan L.P Ma’arif, STITMA, SMA Mu’alimin, dan SMK YPM 12 Tuban. Karena peran itulah, pada edisi ini NUsa menjadikannya sebagai tokoh inspiratif.
Asnawi tinggal tak jauh dari Masjid Rahmat Jl. Diponogoro Tuban. Saat ditemui NUsa pertengahan September lalu, Asnawi memakai baju koko, berkopiyah putih dan bersarung putih. Dengan ramah, dia menerima kedatangan NUsa dan menceritakan masa kecilnya dan semua kiprahnya di NU.
Asnawi terlahir pada 16 April 1946, hasil pernikahan dari pasangan Amir dan Masfu’ah. Ayahandanya adalah seorang yang disegani di Montong. Meskipun ayahandanya hanya sebagai seorang petani, dia merupakan pengurus NU, sekaligus tokoh perintis lembaga pendidikan di Jetak-Montong, yakni MI Tarbiyatul Banin Banat.
Diakuinya, karena pengaruh kehidupan yang telah dikondisikan oleh orang tuanya itu, Asnawi menjadi anak yang senang belajar di lembaga pendidikan, selain juga terbiasa dengan aktifitas bertani. Terbukti pada 1959, dia menamatkan pendidikan dasarnya di dua sekolah sekaligus, yakni, SDN Montong dan MI Tarbiatul Banin Banat. Saking aktif dan semangatnya, ketika terjadi gejolak antara Indonesia dan Malaysia, dia bersedia dilatih perang-perangan. Namun, dia tidak merasa malu untuk membantu orang tuanya di sawah. Bahkan sampai telah belajar di perguruan tinggi pun, kalau dia pulang ke rumah, dia akan pergi ke sawah. “Salah satu mahasiswa yang kalau di rumah mau pergi ke sawah, ya saya ini,” ungkapnya bangga.
Pada 1961-1963 dia bersekolah di MTs Tarbiatul Banin Banat. Setelah menamatkan studinya di MTs Tarbiatul Banin Banat, dia melanjutkan studinya di Sekolah Persiapan Masuk Perguruan Tinggi pada 1963-1964.
Pada 1965-1970 Asnawi melanjutkan studinya pada fakultas hukum Islam di UNU (Universitas NU) Solo. Ketika menjadi mahasiswa inilah Asnawi mulai mengenal organisasi lebih mendetail. Ketika itu dia aktif dalam Resimen Mahasiswa (Menwa) dan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Dalam struktur organisasi Resimen Mahasiswa, dia berposisi sebagai Komandan Kompi dan Kasi Intel, sedangkan di PMII dia masuk dalam divisi keamanan dan ketua Kosad (Koordinasi Satuan Da’wah).
Kenangan yang paling mengesankan bagi Asnawi semasa kuliah di UNU Solo adalah ketika dia aktif sebagai Resimen Mahasiswa. Dia merasa dibutuhkan ketika menjadi anggota Resimen Mahasiswa. “Kelebihan Resimen Mahasiswa adalah kalau tokoh-tokoh NU ke Solo untuk kepentingan tertentu, maka saya yang bertugas mengawal. Tokoh-tokoh NU saat itu seperti KH. Idam Kholid, KH. Syaifudin Zuhri dan yang lainnya,” tuturnya.
Oleh karena itu, posisi sebagai Resimen Mahasiswa saat itu merupakan posisi yang disegani. “(menjadi Resimen, red.) aji-ajinya orang NU,” ungkapnya.
Karena pengaruh gemblengan karakter di Resimen Mahasiswa itu pula, ketika dia telah mengajar di PGA Negeri maupun swasta, dia terkenal tegas dan disiplin. Kalau ada muridnya yang tidak tertib, maka akan dia pukul. Tapi, anehnya dengan gemblengan semacam itu, dia berhasil mencetak anak-anak bangsa yang berhasil menjadi orang. “Pak Ali Mansur Jenu itu salah satu murid saya dulu,” ungkapnya memberikan contoh.
Tahun 1971 Asnawi kembali pulang ke Tuban, setelah berkelana ke Solo menimba ilmu. Karena ketika kuliah dia telah mempunyai pengalaman mengajar di MTs Negeri Bekonang Solo, maka setelah pulang ke Tuban dia langsung mengajar di PGA Negeri 4 tahun dan PGA Swasta 6 tahun Tuban.
Dengan bermodal pegangan hidup “meminta rejeki (kepada Allah, red.) untuk ibadah dan berjuang”, dia membagi hidupnya antara pekerjaan yang mengahsilkan uang dan perjuangan untuk mempertahankan ke-NU-an. Untuk itu, sekitar tahun 1975 Asnawi mendirikan usaha penjualan bahan bangunan kecil-kecilan. Dan bertambah satu usaha lagi sekitar 1977, yakni usaha penyediaan asrama (tempat kost) untuk para pegawai, anak sekolah dan sales. Penghasilannya dari dua usaha itu, ditambah penghasilannya mengajar di PGA Negeri dan PGA Swasta, sudah mencukupi kehidupannya sehari-hari. Dari kehidupan yang bercukupan itulah, dia bisa fokus berjuang untuk NU.
Pada 1979 dia masuk dalam jajaran tokoh pendiri SMA Mu’alimin dan Unsuri (kini STITMA Tuban). Pada 1983 dia terpilih menjadi ketua PC LP Ma’arif NU Tuban. Selanjutnya dia juga termasuk tokoh pendiri SMK YPM 12 NU Tuban. Ketika awal SMA Mu’alimin berdiri, banyak warga NU yang sinis. “Orang pondok kok buka SMA. Banyak yang sinis,” ungkap Asnawi. Namun, pendapat masyarakat tidak dihiraukannya. Malah KH. Murtadji mengusulkan mendirikan SMP juga agar ada tali penyambung dari madrasah Ibtidaiyah dan SMA. Dalam perkembangannya kemudian, SMA Mu’alimin menjadi sekolah yang diakui kebesarannya saat itu.
“Bahkan anaknya Abdul Kholiq, tokoh Muhammadiyah yang sangat keras saja, disekolahkan di SMA Mu’alimin. Dan masih banyak lagi anak-anak dari orang di luar NU di sekolahkan di SMA Mu’alimin,” jelas Asnawi. Dalam hal pendirian SMK YPM 12 NU Tuban pun dia juga mengatakan bahwa banyak warga NU yang tidak mendukung, sehingga menyebabkan dirinya bekerja sama dengan KH. Hasyim Latif (ketua Yayasan Pendidikan Ma’arif Sepanjang).
“Awal SMK YPM 12 berdiri mendapat murid untuk 6 ruang, tapi SMK YPM-nya tidak punya ruang sama sekali. Jadi, kami berhutang banyak pada YPM Sepanjang. Tapi, info terakhir hutang itu sudah lunas,” jelasnya.
Ditambahkan, hambatan-hambatan yang muncul saat itu tidak datang dari kalangan NU saja. Kalangan luar NU banyak juga yang mengkritik. Bahkan pihak pemerintah daerah saat itu berusaha mendirikan lembaga-lembaga pendidikan baru untuk menandingi keberadaan SMA Mualimin, SMK YPM 12 NU dan lembaga pendidikan NU yang lain.
Strategi yang Asnawi terapkan dalam mengelola lembagan pendidikan NU, sehingga mampu melangkah sejauh itu adalah karena dukungan para kiai NU. “Di NU itu kan ada budaya. masyarakat itu akan lega ketika memasrahkan anak mereka kepada para kiai,” ungkapnya. Dengan melihat itu, Asnawi memprogramkan setiap Jum’at Pahing, seluruh siswa dan para kiai beristighotsah bersama.

Melihat kondisi berbagai Lembaga Pendidikan Ma’arif sekarang, lebih-lebih SMA Mu’alimin, dia berpesan, “berjuanglah sesuai dengan zamanmu. Dulu dengan sekarang tentu telah berbeda zaman, maka kenalilah zamanmu dan berjuanglah!” (wakhid)

0 komentar:

Posting Komentar