Sejak masuknya Islam di bumi nusantara,
masyarakat Indonesia terutama Jawa, mulai
membangun tempat ibadahnya. Sayangnya, tidak ada yang tahu persis mana tepatnya
masjid pertama di Jawa dengan arsitektur asli jawa, karena banyak pihak yang
mengklaim masjid dari daerahnya sendiri dan arsitekturnya banyak mengadopsi
Timur Tengah, Tionghoa, dan Eropa. Kini, dapat ditemukan masjid dengan beragam
gaya arsitektur, seperti model yang umum dengan kubah besar, masjid dengan
pengaruh arsitektur Timur Tengah, sampai masjid-masjid bertema Tionghoa.
Semuanya meramaikan nuansa ibadah para umat muslim di tanah air. Meskipun
demikian, keberagaman dan keindahan itu tidak serta merta terjadi. Dahulu,
masjid kuno di Jawa memiliki bentuk yang sangat sederhana, bahkan tidak
memiliki dinding kayu. Ia hanyalah sebuah bangunan beratap dengan tiang-tiang
penyangga atap dari kayu.
Masjid
adalah tempat ibadah umat Islam. Masjid berukuran kecil juga disebut musholla,
langgar, atau surau. Selain tempat ibadah, masjid juga merupakan pusat
kehidupan komunitas muslim. Kegiatan-kegiatan perayaan hari besar, diskusi,
kajian agama, ceramah dan belajar Al
Quran sering dilaksanakan di masjid. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid
turut memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga
kemiliteran.
Banyak
pemimpin muslim setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, berlomba-lomba untuk
membangun masjid. Seperti Mekah dan Madinah yang berdiri di sekitar Masjidil
Haram dan Masjid Nabawi, Kota Karbala juga dibangun di dekat makam Imam Husein.
Wilayah Nusantara khususnya Jawa pada abad ke-15-16 merupakan wilayah yang
sedang mengalami peralihan kekuasaan dari zaman Hindu-Buddha ke zaman kerajaan
Islam. Pada masa itu kerajaan kerajaan banyak meninggalkan bangunan yang berupa
masjid, seperti halnya pada zaman kerajaan Hindu-Bunda banyak meninggalkan
bangunan suci berupa candi, petirtaan, dll. Bangunan keagamaan merupakan simbol
keberadaan sebuah keyakinan dalam kerajaan.
Selain
tempat beribadah (menunaikan salat lima waktu) fungsi lainnya adalah sebagai
tempat pendidikan. Masjid sering kali digunakan untuk berdakwah atau belajar
dan mengajarkan agama Islam, maupun pendidikan umum. Pada masa kerajaan Islam
masjid dipergunakan sebagai tempat untuk mengengajarkan ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan keIslaman; dari sinilah pengaruh dan ajaran Islam
berkembang.
Gaya Arsitektur Jawa
Tidak
ada yang tahu persis dari mana datangnya inspirasi masjid kuno di Jawa yang
berbentuk sederhana. Beberapa peneliti dalam dan luar negeri sampai saat ini
masih mengkaji hubungan arsitektur kuno masjid di Jawa dengan berbagai bangunan
pada masa itu. Ada yang menyebutkan inspirasi bangunan berasal dari tempat
sabung ayam seperti yang ada di Bali. Tapi pernyataan ini buru-buru dibantah
oleh peneliti lainnya, lantaran tidak mungkin umat beragama Islam memilih tempat
judi sebagai rumah ibadah. Namun, sebagian besar peneliti berpendapat bahwa
bentuk masjid kuno Jawa terinspirasi dari rumah adat Jawa itu sendiri. Bangunan
berbentuk persegi dengan atap limas susun 3 yang konon katanya melambangkan
tingkatan ilmu dan dasar keyakinan Islam. Beberapa masjid kuno yang masih ada
sampai sekarang adalah Masjid Demak, Masjid Si Pitung, Masjid Cirebon, dan
masjid bersejarah lainnya yang di antaranya sudah dijadikan museum.
Masjid-masjid kuno didirikan sejak awal tahun 1500-an.
Pada
tahun 1947, peneliti Belanda G.F. Pijper telah menyebutkan bahwa tipe bentuk
masjid di Indonesia berasal dari Masjid Jawa. Menurutnya ada enam karakter umum
tipe Masjid Jawa itu yakni: 1) berdenah bujur sangkar, 2) lantainya langsung
berada pada fundamen yang masif atau tidak memiliki kolong lantai sebagaimana
rumah-rumah vernakular Indonesia atau tempat ibadah berukuran kecil seperti
langgar (Jawa), tajug (Sunda), dan bale (Banten), 3) memiliki atap tumpang dari
dua hingga lima tumpukan yang mengerucut ke satu titik di puncaknya, 4) mempunyai
ruang tambahan pada sebelah barat atau baratlaut untuk mihrab, 5) mempunyai
beranda baik pada sebelah depan (timur) atau samping yang biasa disebut surambi
atau siambi (Jawa) atau tepas masjid (Sunda), dan 6) memiliki
ruang terbuka yang mengitari masjid yang dikelilingi pagar pembatas dengan satu
pintu masuknya di bagian muka sebelah timur.
Sementara
peneliti lainnya bernama J.P. Rouffer mencoba mengargumentasikan pandangan
religius bahwa Masjid Jawa muncul dari sebuah bangunan Budha yang disebut dalam
Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca (H. Kern, 1919; Graff, 1947-1948).
Spekulasi Rouffer ini mungkin memang dilengkapi berbagai argumen religi, namun
tampak sama sekali tidak mempertimbangkan segi fisik bangunan sehingga dasar
hipotesisnya lemah.
Arkeolog Indonesia, Sutjipto Wirjosuparto (1962-1963) mengemukakan pandangannya bahwa asal-usul Masjid Jawa itu dari bangunan pendopo di Jawa. Argumennya bahwa denahnya bujur sangkar, jika ditambah dinding luar keliling sudah mirip ruangan masjid. Bahkan jika ditambah ruang mihrab di sisi arah kiblat sudah persis sama dengan masjid. Sementara untuk alasan atap tumpang, ia merujuk pada atap bangunan joglo.
Arkeolog Indonesia, Sutjipto Wirjosuparto (1962-1963) mengemukakan pandangannya bahwa asal-usul Masjid Jawa itu dari bangunan pendopo di Jawa. Argumennya bahwa denahnya bujur sangkar, jika ditambah dinding luar keliling sudah mirip ruangan masjid. Bahkan jika ditambah ruang mihrab di sisi arah kiblat sudah persis sama dengan masjid. Sementara untuk alasan atap tumpang, ia merujuk pada atap bangunan joglo.
Pandangan
Wirjosuparto ini masih perlu penjelasan lebih lanjut, sebab nama pendopo
sendiri berasal dari bahasa Sanskrit Mandhapa yang erat kaitannya
dengan satu bagian pada candi Hindu India. Bahkan sulit juga menjelaskan bahwa
filosofi bangunan pendopo bagaimanapun adalah bangunan tambahan. Sementara
kalau menjadi masjid, ia bangunan terpenting. Selain itu, hipotesa joglo, juga
meragukan. Memang benar atapnya tumpang, tetapi bukan berbentuk piramidal yang
menuju pada satu titik di puncaknya.
Hipotesis
dari ilmuwan Perancis Claude Guillot pada tahun1985 dalam artikelnya berjudul La
Symbolique de la Mosquee Javanaise (archipel 30, Paris) menyimpulkan bahwa
arsitektur Masjid Jawa dipengaruhi secara kuat arsitektur batu di India dan
arsitektur kayu di China. Sementara untuk atap tumpuknya diturunkan dari atap
cungkup kuburan Islam di Jawa. Pertanyaannya adalah lebih dulu yang mana apakah
masjid atau cungkup? Apalagi dalam tradisi bahwa atap cungkup jarang yang
tumpuk kecuali cungkup Sunan Giri.
Perkembangan
Arsitektur
Sebenarnya
tidak ada perkembangan yang berarti dalam arsitektur masjid di Nusantara
sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya. Hal ini dikarenakan gairah mencipta
karya masyarakat belum muncul. Penderitaan akibat penjajahan lebih banyak
menyita perhatian rakyat. Namun demikian, tetap ada dinamika arsitektur islami
di sini. Salah satu contohnya adalah Masjid Angke yang terletak di Jakarta
(sekarang nama resminya adalah Masjid Al Anwar) memiliki perpaduan langgam yang
unik. Gaya arsitekturnya memadukan antara budaya pribumi, Tionghoa, dan Eropa.
Masjid yang didirikan sejak tahun 1761 ini juga sudah mulai dihiasi dengan
ukiran bunga dan kaligrafi. Sementara itu, Masjid Si Pitung juga cukup unik
dengan atap rendah dan pilar penyangga yang cukup besar.
Hal lain, yang
dianggap cukup menarik dan bagian dari ciri khas dari masjid-masjid kuno di
Jawa adalah keberadaan sebuah makam, yang diletakkan di bagian belakang atau
samping masjid. Hampir tidak jauh dari komplek masjid kuno Jawa selalu terdapat
makam-makam yang disakralkan dan dimitoskan oleh penduduk setempat.
Orang-orang
yang dimakamkan di sekitar masjid biasanya mereka yang berjasa dalam penyebaran
Islam (tokoh agama). Penyakralan tersebut merupakan bagian dari penghargaan
atau penghormatan dari masyarakat atau umat kepada orang yang dihargainya.
Namun penyakralan ini akan berbahaya apabila sudah ke luar dari kaidah-kaidah
keislaman, karena akan mengakibatkan perbuatan syirik. Pengeramatan
tersebut terjadi di masjid-masjid yang terletak di desa seperti misalnya Masjid
Sendang Duwur di Paciran Lamongan atau Masjid Mantingan di Jepara, juga
masjid-masjid kuno di Kudus (Masjid Menara Kudus), Surabaya (Masjid Sunan
Ampel), Masjid Agung Demak, Masjid Agung Banten. Bentuk seperti ini merupakan
ciri khas dari masjid kuno di Jawa.
Meski
kurang berkembang, setidaknya ada beberapa ciri khas masjid kuno di Indonesia,
khususnya Jawa, bila dibandingkan dengan masjid kuno dari negara lain, yaitu
(1) fondasi bangunan yang berbentuk persegi dan pejal (massive) yang agak
tinggi; (2) masjid tidak berdiri di atas tiang, seperti rumah di Indonesia
model kuno dan langgar, tetapi di atas dasar yang padat; (3) masjid itu
mempunyai atap yang meruncing ke atas, terdiri dari dua sampai lima tingkat, ke
atas makin kecil; (4) masjid mempunyai tambahan ruangan di sebelah barat atau
barat laut, yang dipakai untuk mihrab; (5) masjid mempunyai serambi di depan
maupun di kedua sisinya; (6) halaman di sekeliling masjid dibatasi oleh tembok
dengan satu pintu masuk di depan, disebut gapura; (7) denahnya berbentuk segi
empat; (8) dibangun di sebelah barat alun-alun; (9) arah mihrab tidak tepat ke
kiblat; (dibangun dari bahan yang mudah rusak; (10) dahulu dibangun tanpa
serambi (intinya saja). Ciri-ciri tersebut menunjukkan kemandirian arsitektur
pada masanya, yang berarti bahwa masyarakat tidak mengadopsi langsung gaya
masjid dari Timur Tengah.
Masjid di Jawa
Memiliki Kubah dan Menara
Bentuk kubah pada masjid pertama kali
ada pada Masjid Sultan Riau dari provinsi Riau yang dibangun sekitar
pertengahan abad XIX. Di Jawa, masjid berkubah baru ada pada pertengahan abad
XX atau sekitar tahun 1900an.
Menara masjid yang pertama kali ada
yaitu menara Masjid Kudus yang dibangun pada awal abad ke-16. Menara ini cukup
unik karena tidak ditirukan di bangunan masjid lainnya. Selain itu, menara ini
juga memiliki bedug yang umumnya diletakkan di serambi masjid. Sumber lain
mengatakan bahwa menara tertua adalah yang terletak di Masjid Sultan Banten.
Pengaruh Islam baru muncul dalam
arsitektur masjid di Jawa setelah memasuki periode 1900-an. Pengaruh budaya
Hindu masih sangat kuat sampai periode 1800-an. Sulit memang untuk mengetahui
seperti apa tepatnya perkembangan arsitektur masjid di Indonesia, akibat
keterbatasan sumber autentik dan informasi yang simpang-siur. (Disarikan dari Bambang Setia Budi,
peneliti arsitektur masjid Nusantara, staf pengajar Departemen Arsitektur ITB.
Web: oleh Antok)
0 komentar:
Posting Komentar