Senin, 03 November 2014

MOZAIK 30 - Gaya Arsitektur Masjid Jawa

     

 Sejak masuknya Islam di bumi nusantara, masyarakat  Indonesia terutama Jawa, mulai membangun tempat ibadahnya. Sayangnya, tidak ada yang tahu persis mana tepatnya masjid pertama di Jawa dengan arsitektur asli jawa, karena banyak pihak yang mengklaim masjid dari daerahnya sendiri dan arsitekturnya banyak mengadopsi Timur Tengah, Tionghoa, dan Eropa. Kini, dapat ditemukan masjid dengan beragam gaya arsitektur, seperti model yang umum dengan kubah besar, masjid dengan pengaruh arsitektur Timur Tengah, sampai masjid-masjid bertema Tionghoa. Semuanya meramaikan nuansa ibadah para umat muslim di tanah air. Meskipun demikian, keberagaman dan keindahan itu tidak serta merta terjadi. Dahulu, masjid kuno di Jawa memiliki bentuk yang sangat sederhana, bahkan tidak memiliki dinding kayu. Ia hanyalah sebuah bangunan beratap dengan tiang-tiang penyangga atap dari kayu.
            Masjid adalah tempat ibadah umat Islam. Masjid berukuran kecil juga disebut musholla, langgar, atau surau. Selain tempat ibadah, masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas muslim. Kegiatan-kegiatan perayaan hari besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al Quran sering dilaksanakan di masjid. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid turut memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga kemiliteran.
            Banyak pemimpin muslim setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, berlomba-lomba untuk membangun masjid. Seperti Mekah dan Madinah yang berdiri di sekitar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, Kota Karbala juga dibangun di dekat makam Imam Husein. Wilayah Nusantara khususnya Jawa pada abad ke-15-16 merupakan wilayah yang sedang mengalami peralihan kekuasaan dari zaman Hindu-Buddha ke zaman kerajaan Islam. Pada masa itu kerajaan kerajaan banyak meninggalkan bangunan yang berupa masjid, seperti halnya pada zaman kerajaan Hindu-Bunda banyak meninggalkan bangunan suci berupa candi, petirtaan, dll. Bangunan keagamaan merupakan simbol keberadaan sebuah keyakinan dalam kerajaan.
            Selain tempat beribadah (menunaikan salat lima waktu) fungsi lainnya adalah sebagai tempat pendidikan. Masjid sering kali digunakan untuk berdakwah atau belajar dan mengajarkan agama Islam, maupun pendidikan umum. Pada masa kerajaan Islam masjid dipergunakan sebagai tempat untuk mengengajarkan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan keIslaman; dari sinilah pengaruh dan ajaran Islam berkembang.

Gaya Arsitektur Jawa
            Tidak ada yang tahu persis dari mana datangnya inspirasi masjid kuno di Jawa yang berbentuk sederhana. Beberapa peneliti dalam dan luar negeri sampai saat ini masih mengkaji hubungan arsitektur kuno masjid di Jawa dengan berbagai bangunan pada masa itu. Ada yang menyebutkan inspirasi bangunan berasal dari tempat sabung ayam seperti yang ada di Bali. Tapi pernyataan ini buru-buru dibantah oleh peneliti lainnya, lantaran tidak mungkin umat beragama Islam memilih tempat judi sebagai rumah ibadah. Namun, sebagian besar peneliti berpendapat bahwa bentuk masjid kuno Jawa terinspirasi dari rumah adat Jawa itu sendiri. Bangunan berbentuk persegi dengan atap limas susun 3 yang konon katanya melambangkan tingkatan ilmu dan dasar keyakinan Islam. Beberapa masjid kuno yang masih ada sampai sekarang adalah Masjid Demak, Masjid Si Pitung, Masjid Cirebon, dan masjid bersejarah lainnya yang di antaranya sudah dijadikan museum. Masjid-masjid kuno didirikan sejak awal tahun 1500-an.
            Pada tahun 1947, peneliti Belanda G.F. Pijper telah menyebutkan bahwa tipe bentuk masjid di Indonesia berasal dari Masjid Jawa. Menurutnya ada enam karakter umum tipe Masjid Jawa itu yakni: 1) berdenah bujur sangkar, 2) lantainya langsung berada pada fundamen yang masif atau tidak memiliki kolong lantai sebagaimana rumah-rumah vernakular Indonesia atau tempat ibadah berukuran kecil seperti langgar (Jawa), tajug (Sunda), dan bale (Banten), 3) memiliki atap tumpang dari dua hingga lima tumpukan yang mengerucut ke satu titik di puncaknya, 4) mempunyai ruang tambahan pada sebelah barat atau baratlaut untuk mihrab, 5) mempunyai beranda baik pada sebelah depan (timur) atau samping yang biasa disebut surambi atau siambi (Jawa) atau tepas masjid (Sunda), dan 6) memiliki ruang terbuka yang mengitari masjid yang dikelilingi pagar pembatas dengan satu pintu masuknya di bagian muka sebelah timur.
            Sementara peneliti lainnya bernama J.P. Rouffer mencoba mengargumentasikan pandangan religius bahwa Masjid Jawa muncul dari sebuah bangunan Budha yang disebut dalam Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca (H. Kern, 1919; Graff, 1947-1948). Spekulasi Rouffer ini mungkin memang dilengkapi berbagai argumen religi, namun tampak sama sekali tidak mempertimbangkan segi fisik bangunan sehingga dasar hipotesisnya lemah.
            Arkeolog Indonesia, Sutjipto Wirjosuparto (1962-1963) mengemukakan pandangannya bahwa asal-usul Masjid Jawa itu dari bangunan pendopo di Jawa. Argumennya bahwa denahnya bujur sangkar, jika ditambah dinding luar keliling sudah mirip ruangan masjid. Bahkan jika ditambah ruang mihrab di sisi arah kiblat sudah persis sama dengan masjid. Sementara untuk alasan atap tumpang, ia merujuk pada atap bangunan joglo.
Pandangan Wirjosuparto ini masih perlu penjelasan lebih lanjut, sebab nama pendopo sendiri berasal dari bahasa Sanskrit Mandhapa yang erat kaitannya dengan satu bagian pada candi Hindu India. Bahkan sulit juga menjelaskan bahwa filosofi bangunan pendopo bagaimanapun adalah bangunan tambahan. Sementara kalau menjadi masjid, ia bangunan terpenting. Selain itu, hipotesa joglo, juga meragukan. Memang benar atapnya tumpang, tetapi bukan berbentuk piramidal yang menuju pada satu titik di puncaknya.
            Hipotesis dari ilmuwan Perancis Claude Guillot pada tahun1985 dalam artikelnya berjudul La Symbolique de la Mosquee Javanaise (archipel 30, Paris) menyimpulkan bahwa arsitektur Masjid Jawa dipengaruhi secara kuat arsitektur batu di India dan arsitektur kayu di China. Sementara untuk atap tumpuknya diturunkan dari atap cungkup kuburan Islam di Jawa. Pertanyaannya adalah lebih dulu yang mana apakah masjid atau cungkup? Apalagi dalam tradisi bahwa atap cungkup jarang yang tumpuk kecuali cungkup Sunan Giri.

Perkembangan Arsitektur
            Sebenarnya tidak ada perkembangan yang berarti dalam arsitektur masjid di Nusantara sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya. Hal ini dikarenakan gairah mencipta karya masyarakat belum muncul. Penderitaan akibat penjajahan lebih banyak menyita perhatian rakyat. Namun demikian, tetap ada dinamika arsitektur islami di sini. Salah satu contohnya adalah Masjid Angke yang terletak di Jakarta (sekarang nama resminya adalah Masjid Al Anwar) memiliki perpaduan langgam yang unik. Gaya arsitekturnya memadukan antara budaya pribumi, Tionghoa, dan Eropa. Masjid yang didirikan sejak tahun 1761 ini juga sudah mulai dihiasi dengan ukiran bunga dan kaligrafi. Sementara itu, Masjid Si Pitung juga cukup unik dengan atap rendah dan pilar penyangga yang cukup besar.
Hal lain, yang dianggap cukup menarik dan bagian dari ciri khas dari masjid-masjid kuno di Jawa adalah keberadaan sebuah makam, yang diletakkan di bagian belakang atau samping masjid. Hampir tidak jauh dari komplek masjid kuno Jawa selalu terdapat makam-makam yang disakralkan dan dimitoskan oleh penduduk setempat.
            Orang-orang yang dimakamkan di sekitar masjid biasanya mereka yang berjasa dalam penyebaran Islam (tokoh agama). Penyakralan tersebut merupakan bagian dari penghargaan atau penghormatan dari masyarakat atau umat kepada orang yang dihargainya. Namun penyakralan ini akan berbahaya apabila sudah ke luar dari kaidah-kaidah keislaman, karena akan mengakibatkan perbuatan syirik. Pengeramatan tersebut terjadi di masjid-masjid yang terletak di desa seperti misalnya Masjid Sendang Duwur di Paciran Lamongan atau Masjid Mantingan di Jepara, juga masjid-masjid kuno di Kudus (Masjid Menara Kudus), Surabaya (Masjid Sunan Ampel), Masjid Agung Demak, Masjid Agung Banten. Bentuk seperti ini merupakan ciri khas dari masjid kuno di Jawa.
         Meski kurang berkembang, setidaknya ada beberapa ciri khas masjid kuno di Indonesia, khususnya Jawa, bila dibandingkan dengan masjid kuno dari negara lain, yaitu (1) fondasi bangunan yang berbentuk persegi dan pejal (massive) yang agak tinggi; (2) masjid tidak berdiri di atas tiang, seperti rumah di Indonesia model kuno dan langgar, tetapi di atas dasar yang padat; (3) masjid itu mempunyai atap yang meruncing ke atas, terdiri dari dua sampai lima tingkat, ke atas makin kecil; (4) masjid mempunyai tambahan ruangan di sebelah barat atau barat laut, yang dipakai untuk mihrab; (5) masjid mempunyai serambi di depan maupun di kedua sisinya; (6) halaman di sekeliling masjid dibatasi oleh tembok dengan satu pintu masuk di depan, disebut gapura; (7) denahnya berbentuk segi empat; (8) dibangun di sebelah barat alun-alun; (9) arah mihrab tidak tepat ke kiblat; (dibangun dari bahan yang mudah rusak; (10) dahulu dibangun tanpa serambi (intinya saja). Ciri-ciri tersebut menunjukkan kemandirian arsitektur pada masanya, yang berarti bahwa masyarakat tidak mengadopsi langsung gaya masjid dari Timur Tengah.

Masjid di Jawa Memiliki Kubah dan Menara
         Bentuk kubah pada masjid pertama kali ada pada Masjid Sultan Riau dari provinsi Riau yang dibangun sekitar pertengahan abad XIX. Di Jawa, masjid berkubah baru ada pada pertengahan abad XX atau sekitar tahun 1900an.
        Menara masjid yang pertama kali ada yaitu menara Masjid Kudus yang dibangun pada awal abad ke-16. Menara ini cukup unik karena tidak ditirukan di bangunan masjid lainnya. Selain itu, menara ini juga memiliki bedug yang umumnya diletakkan di serambi masjid. Sumber lain mengatakan bahwa menara tertua adalah yang terletak di Masjid Sultan Banten.

      Pengaruh Islam baru muncul dalam arsitektur masjid di Jawa setelah memasuki periode 1900-an. Pengaruh budaya Hindu masih sangat kuat sampai periode 1800-an. Sulit memang untuk mengetahui seperti apa tepatnya perkembangan arsitektur masjid di Indonesia, akibat keterbatasan sumber autentik dan informasi yang simpang-siur. (Disarikan dari Bambang Setia Budi, peneliti arsitektur masjid Nusantara, staf pengajar Departemen Arsitektur ITB. Web: oleh Antok)

0 komentar:

Posting Komentar