Senin, 03 November 2014

JEDA NUsa EDISI 30//Membangun Sistem (2-habis)


Dunia usaha tentu beda dengan dunia pendidikan. Ini artinya, dalam mengurusnya pun tentu harus berbeda. Terutama dalam hal tujuan. Dalam dunia usaha atau bisnis tujuan yang hendak dicapai adalah keuntungan finansial. Sedang dalam dunia pendidikan, keuntungan finansial tidak patut dijadikan tujuan. Dalam bahasa menterengnya, tidak boleh kita melakukan kapitalisasi pendidikan!
Meski pada kanyataannya saat ini banyak yang melakukan kapitalisasi pendidikan, dan karena saking banyaknya sehingga banyak yang menganggap lumrah, namun saya termasuk orang yang bersikukuh agar kapitalisasi pendidikan dihindari. Bagi saya, itu hukumnya HARAM! Namun demikian, dalam hal pengembangan, saya rasa tidak ada salahnya dunia pendidikan mengadopsi atau meniru langkah-langkah para pelaku usaha.
Menurut saya, banyak hal-hal positif yang bisa diadopsi dari dunia usaha. Semisal, profesionalisme, adanya target yang jelas, trik marketing yang kreatif, pelayanan yang prima atau optimal, jaminan mutu yang dijaga serius, aturan main yang jelas dan lain sebagainya. Hanya, dalam dunia pendidikan, semua itu tidak dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan finansial yang sebesar-besarnya. Melainkan, untuk mendapatkan kemajuan sekolah yang maksimal. Dari situ, diharapkan akan tercipta lembaga-lembaga yang berkualitas dan mampu menghasilkan anak-anak didik yang hebat.
Berangkat dari pemikiran seperti itu, maka menurut saya, membangun sistem layaknya dunia usaha adalah sebuah keharusan yang perlu dilakukan para pelaku pendidikan. Saya sebagai ketua PC LP Ma’arif merasa berkewajiban membantu untuk mewujudkannya. Di internal kepengurusan PC Ma’arif sendiri, meski pada kenyataannya tidak semudah ketika saya membangun sistem di dunia usaha, namun terus-menerus saya berusaha membangunnya. Menggelar Rapat Kerja (Raker) di awal kepengurusan adalah langkah awal membangun sistem tersebut.
Kini, tahap yang harus saya lalui adalah menerapkan atau menjalankan sistem. Nah, di titik ini saya benar-benar merasakan perbedaan. Di dunia usaha, begitu sistem dirumuskan, maka penerapannya relatif gampang (untuk tidak mengatakan mudah, mengingat hambatan sekecil apapun tetap ada). Namun, di dunia pendidikan, berbagai persoalan besar ternyata siap menghambat. Pihak-pihak yang semula ikut terlibat dalam pembentukan sistem, banyak yang tidak konsekuen. Relatif cari enaknya dan untungnya sendiri. Bila sistem itu dirasa menguntungkan, maka dia mau menjalankan. Sebaliknya, bila dirasa mengancam atau merugikan dirinya, maka akan berusaha menghindarinya, bahkan melakukan perlawanan.
Ini kenyataan pahit yang saya hadapi. Persoalan kedua adalah belum adanya pemahaman yang sama soal perlunya membangun sistem. Pihak-pihak yang seharusnya membantu membangun sistem dan sama sekali tidak terancam adanya sistem itu, kurang maksimal dalam memberikan dukungan. Karena itu, upaya untuk menyadarkan dan memberi pemahaman harus terus-menerus dilakukan.
Sejauh ini, saya tetap menyakini, untuk membangun dan mengembangkan Ma’arif sebagai organisasi serta sekolah atau madrasah di bawah naungan LP Ma’arif, maka membangun sistem adalah sebuah keharusan. Dengan adanya sistem yang baik, selain Ma’arif serta sekolah yang di bawahnya bisa dikembangkan, keberlangsungannya pun juga bisa diselamatkan. Sebab, reorganisasi atau istafet kepemimpinan adalah keniscayaan atau sunatullah yang tidak bisa dihindari. Sehebat apapun pengurus Cabang Ma’arif serta para kepala sekolah yang memimpin lembaga-lembaga pendidikan di bawah Ma’arif, maka pada titik tertentu mereka harus diganti. Dan itu, harus ada sistem yang mengaturnya.
Bak mengurai benang kusut. Sangat sulit mencari ujung dan pangkalnya. Namun, rasanya tidak pas kalau menyerah. Karena itu, sekecil apapun, langkah harus diambil. Di internal kepengurusan Cabang pelan-pelan saya membangun sistem administrasi yang baik. Terkait dengan ini, sistem kerja staf pun harus dibangun. Namun, hingga detik ini, sistem yang berhasil saya bangun masih sangat minim. Masih sangat jauh dari yang seharusnya.
Tiap hari, hati saya selalu berhias dengan doa dan harapan semoga empat tahun ke depan, ketika periode kepengurusan saya berakhir serta puncuk kepemimpinan di PC Ma’arif Tuban harus diserahkan kepada orang lain, sistem yang berhasil dibangun sudah relatif lebih banyak. Terutama sistem keuangan dan pendanaan organisasi Ma’arif. Jujur saja, saya sangat khawatir bila hal itu gagal diwujudkan, maka ancaman kevakuman kepengurusan seperti yang terjadi sebelumnya, bisa terjadi lagi.
LP Ma’arif bukanlah organisasi yang berdiri sendiri. Di bawah organisasi ini menginduk 300 lebih sekolah/madrasah. Diilihat dari kesejarahannya sekolah/madrasah tersebut ada yang memang milik NU (asetnya milik jam’iyah NU dan pendiriannya juga ditangani secara organisasi), milik sejumlah warga NU (asset dan pendiriannya dilakukan oleh sejumlah warga NU), serta miliki warga NU (asset dan pendiriannya dilakukan secara invidual atau sekeluarga warga NU). Nah, dalam membangun sistem di Ma’arif, mau tidak mau harus melibatkan sekolah/madrasah ini.    
Idealnya, apa pun latar belakang sejarahnya, semua sekolah/madrasah tersebut harus bersama-sama membangun sistem. Namun saya realistis. Untuk membangunnya tidak semudah membalik telapak tangan. Karena itu, saya menggunakan falsafat makan bubur panas. Memulai dari yang mungkin dulu. Dari Pinggir!
Sekolah/madrasah yang asset dan pendiriannya dilakukan NU secara organisasi, menurut saya bagaikan bubur yang berposisi di pinggir. Lembaga-lembaga ini harus menjadi pilot proyek. Jumlahnya memang tidak banyak. Namun, tidak apa-apa. Bukanlah lebih baik berbuat meski kecil, daripada tidak berbuat sama sekali. Bahkan, menurut saya, ada berkah atau sisi positifnya di balik sedikitnya jumlah tersebut. Yakni lebih mudah mengurus dan mengaturnya.
         Jadi, bila belakangan saya berusaha keras melakukan reorganisasi di sejumlah sekolah/madrasah milik NU yang memang waktunya reorganisasi, maka tidak lain saya maksudkan untuk membangun sistem. Dan ini, adalah langkah awal. Untuk menghasilkan kemajuan yang diharapkan, masih dibutuhkan langkah B, C, D, E dan seterusnya. Karena itu, mari kita bahu-membahu mewujudkannya. Mari kita wariskan hal yang terbaik untuk generasi yang akan datang! Wassalam…   

0 komentar:

Posting Komentar