Bersinar Meski Lokasinya Terpencil
Wakhid Qomari
Pondok
pesantren Al-Ishlah (Lebak-Sumurgung-Montong) berdiri pada 1977. Pendirinya
adalah KH. Qosam (alumnus pondok hufadz Jenu asuhan KH. Husein), serta menurut
keluarganya, beliau pernah nyantri pada KH. Arwani Amin Kudus.
Sepulang
mondok (1977), Kiai Qosam membangun mushola di kampung halaman tempat
tinggalnya. Di mushola itulah dia mulai merintis pondok hafidz, yang dia beri nama
Pondok Pesantren Al-Ishlah. Tentu saja, usahanya mendirikan pondok, tidak
semata-mata hasil usahanya sendiri. Tokoh terkemuka Montong saat itu, KH.
Chusnan Ali beserta adiknya KH. Bahrun Ali, turut mendorong berdirinya pondok
hafidz itu. Sehingga dalam perkembangannya, pondok Al-Ishlah mampu berjalan dan
mengalumnikan banyak hafidz-hafidzoh, yang tersebar di dalam dan di luar kota,
bahkan kini banyak yang telah menjadi kiai di tempat tinggal mereka
masing-masing. Diketahui KH. Mansur, pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda
Bojonegoro dan KH. Mashudi Kastam Jenu adalah alumnus Al-Ishlah.
Gus
Nur Afif, S.Pd.I, salah putra KH. Qosam, kini meneruskan perjuangan abahnya
untuk terus menetaskan para hafidz-hafidzoh baru. Berada di sebuah desa
pedalaman, Pondok Al-Ishlah tidak sepi santri dari luar kota. Kini, terdapat 34
santri mukim yang mengambil program hafidz. Dari 34 itu, sejumlah 22 orang
adalah santri putra dan 12 yang lainnya adalah santri putri. Mereka rata-rata
berasal dari luar kota Tuban. “Ada yang dari Jateng, Malang, Blitar,” ungkap
Afif.
Kedatangan
santri-santri itu tidak disebabkan tersebarnya informasi tentang Al-Ishlah melalui
media masa, namun hanya melewati mulut ke mulut, “gethok tular”. Hal itu
menunjukkan bahwa Kiai Qosam merupakan Kiai yang diakui keulamaannya. Sampai
kini pun wajah Pondok Al-Ishlah masih terlihat sederhana dan tradisional, tapi
santri-santri yang bermukim di sana berasal dari luar kota Montong.
Namun,
ada juga santri pondok yang berasal dari desa sekitar Sumurgung. Santri yang
tinggal di Sumurgung dan desa sekitar serta mengikuti program hafidz, jumlahnya
hanya 9 orang, tapi yang tidak mengikuti program hafidz jumlahnya ratusan.
Mereka yang tidak mengikuti program hafidz kebanyakan belajar di Madrasah
Diniyah Al-IShlah.
Aktifitas Harian
Kegiatan
Al-Ishlah setiap hari adalah pagi sebelum Subuh, ada kegiatan sema’an
(menyimak) Al-Qur’an bagi santri mukim. Setelah Subuh juga ada kegiatan sema’an
tapi untuk warga kampung. Setiap pagi, santri yang bersekolah di sekolah umum
dipersilahkan berangkat sekolah. Namun, santri yang tidak bersekolah diberi
kegiatan beternak dan bertani (sistem hortikultura).
Siang
setelah Dzuhur, santri yang tidak bersekolah melakukan kegiatan sema’an.
Setelah Ashar, seluruh santri belajar di madrasah diniyah sampai Maghrib dan
dilanjutkan dengan kegiatan sema’an di malam hari. Setelah Isa’, Tafsir
Jalalain dikaji oleh Gus Afif. Seluruh kegiatan Ponpes Al-Ishlah itu berlaku
kecuali hari Selasa dan Jum’at. Pada hari Selasa sebelum berangkat sekolah,
diadakan kegiatan Muroja’ah. Seluruh santri diajari kitab Fatkhul Qorib pada
hari itu.
Kurikulum
Gus Nur Afif, Pengasuh Ponpes |
Untuk
masalah ilmu-ilmu yang lain, baik agama maupun umum, Gus Afif yang menamatkan
pendidikannya di LP3IA Nunukan-Kragan-Jawa Tengah itu membebaskannya kepada
para santri sendiri. “Kalau yang menginginkan ijazah dan ilmu-ilmu umum ya
bersekolah di sekolah umum, kalau yang ingin hafal Al-Qur’an ya ikut program
hafidz dan kalau ada yang ingin bisa baca kitab ya belajar di Madin,” jelas
murid KH. Nur Salim Kragan itu. Namun, Gus Afif sendiri mewajibkan kalau alumni
Al-Ishlah wajib hukumnya hafal Al-Qur’an dan bisa membaca kitab kuning.
“Walaupun di sini santri diutamakan hafal Al-Qur’an, tapi santri juga
diwajibkan bisa membaca kitab kuning,” tegasnya. (wakhid)
Ajari Santri Dengan Tani dan Ternak
Ajari Santri Dengan Tani dan Ternak
Untuk
mendidik para santrinya, utamanya yang bermukim, agar bisa mandiri, Gus Afif
membekali mereka dengan hewan piaraan dan lahan pertanian. Dari 17 kambing
miliknya yang dititipkan ke tetangga-tetangganya (sistem paron), sekitar 6
darinya dipelihara sendiri oleh para santri.
Sementara
itu, para santri mukim itu juga dibekali tanah hasil kerja sama dengan
perhutani. Di tanah perhutani itulah para santri bertani cabai dan tomat.
“Tujuannya ya agar santri mandiri. Tidak memberatkan orang tua mereka saat
nyantri di sini,” jelas Kiai alumnus STITMA Tuban ini.
Kandang kambing yang dikelola oleh para santri |
Di
samping tujuan kemandirian di pondok, Gus Afif juga mengharapkan
santri-santrinya bisa hidup mandiri ketika telah terjun di masyarakat. Bekal
ilmu peternakan dan pertanian yang telah mereka biasakan di pondok itulah yang
dia harapkan mampu memandirikan para santri untuk mengais rejeki dari Allah
SWT.
Sementara
tentang biaya mondok, Gus Afif mengatakan bahwa para santri hanya dikenakan
biaya Rp 5 ribu per bulan. “Untuk makan, sebagian santri ada yang kost di
masyarakat,” katanya. Untuk menutupi biaya makan dan mondok itulah para santri
mukim yang tidak bersekolah diajari mandiri oleh Gus Afif. (wakhid)
MasyaaAllah. Luar biasa. Menginspirasi
BalasHapusGus Baha' masih rutin hadir tahunan di haul KH Qosam tidak ya? Rupanya Gus Afif dulu santri KH Nur Salim ... jadi dengan Gus Baha' sama-sama dididik oleh ayah Gus Baha'.
BalasHapus