Sabtu, 01 Maret 2014

Melihat dari Dekat Pondok Hafidz di Perut Montong

Ponpes Al-Ishlah Lebak-Sumurgung-Montong, ini merupakan pondok hafidz

Bersinar Meski Lokasinya Terpencil
Wakhid Qomari

Pondok pesantren Al-Ishlah (Lebak-Sumurgung-Montong) berdiri pada 1977. Pendirinya adalah KH. Qosam (alumnus pondok hufadz Jenu asuhan KH. Husein), serta menurut keluarganya, beliau pernah nyantri pada KH. Arwani Amin Kudus.
Sepulang mondok (1977), Kiai Qosam membangun mushola di kampung halaman tempat tinggalnya. Di mushola itulah dia mulai merintis pondok hafidz, yang dia beri nama Pondok Pesantren Al-Ishlah. Tentu saja, usahanya mendirikan pondok, tidak semata-mata hasil usahanya sendiri. Tokoh terkemuka Montong saat itu, KH. Chusnan Ali beserta adiknya KH. Bahrun Ali, turut mendorong berdirinya pondok hafidz itu. Sehingga dalam perkembangannya, pondok Al-Ishlah mampu berjalan dan mengalumnikan banyak hafidz-hafidzoh, yang tersebar di dalam dan di luar kota, bahkan kini banyak yang telah menjadi kiai di tempat tinggal mereka masing-masing. Diketahui KH. Mansur, pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda Bojonegoro dan KH. Mashudi Kastam Jenu adalah alumnus Al-Ishlah.
Gus Nur Afif, S.Pd.I, salah putra KH. Qosam, kini meneruskan perjuangan abahnya untuk terus menetaskan para hafidz-hafidzoh baru. Berada di sebuah desa pedalaman, Pondok Al-Ishlah tidak sepi santri dari luar kota. Kini, terdapat 34 santri mukim yang mengambil program hafidz. Dari 34 itu, sejumlah 22 orang adalah santri putra dan 12 yang lainnya adalah santri putri. Mereka rata-rata berasal dari luar kota Tuban. “Ada yang dari Jateng, Malang, Blitar,” ungkap Afif.
Kedatangan santri-santri itu tidak disebabkan tersebarnya informasi tentang Al-Ishlah melalui media masa, namun hanya melewati mulut ke mulut, “gethok tular”. Hal itu menunjukkan bahwa Kiai Qosam merupakan Kiai yang diakui keulamaannya. Sampai kini pun wajah Pondok Al-Ishlah masih terlihat sederhana dan tradisional, tapi santri-santri yang bermukim di sana berasal dari luar kota Montong.
Namun, ada juga santri pondok yang berasal dari desa sekitar Sumurgung. Santri yang tinggal di Sumurgung dan desa sekitar serta mengikuti program hafidz, jumlahnya hanya 9 orang, tapi yang tidak mengikuti program hafidz jumlahnya ratusan. Mereka yang tidak mengikuti program hafidz kebanyakan belajar di Madrasah Diniyah Al-IShlah.

Aktifitas Harian
Kegiatan Al-Ishlah setiap hari adalah pagi sebelum Subuh, ada kegiatan sema’an (menyimak) Al-Qur’an bagi santri mukim. Setelah Subuh juga ada kegiatan sema’an tapi untuk warga kampung. Setiap pagi, santri yang bersekolah di sekolah umum dipersilahkan berangkat sekolah. Namun, santri yang tidak bersekolah diberi kegiatan beternak dan bertani (sistem hortikultura).
Siang setelah Dzuhur, santri yang tidak bersekolah melakukan kegiatan sema’an. Setelah Ashar, seluruh santri belajar di madrasah diniyah sampai Maghrib dan dilanjutkan dengan kegiatan sema’an di malam hari. Setelah Isa’, Tafsir Jalalain dikaji oleh Gus Afif. Seluruh kegiatan Ponpes Al-Ishlah itu berlaku kecuali hari Selasa dan Jum’at. Pada hari Selasa sebelum berangkat sekolah, diadakan kegiatan Muroja’ah. Seluruh santri diajari kitab Fatkhul Qorib pada hari itu.

Kurikulum  
Gus Nur Afif, Pengasuh Ponpes
Kurikulum yang diterapkan di Al-Ishlah tidak dibakukan layaknya pendidikan formal. Target yang terlalu muluk-muluk dan membuat santri kalang kabut tidak diterapkan. Yang utama bagi Gus Afif adalah keberhasilan para santri mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an 30 juz, karena memang aspek itulah yang menjadi inti dari Ponpes Al-Ishlah dan dipegang sejak didirikan oleh KH. Qosam. Lama atau singkatnya rentang waktu menghafal adalah bergantung dari usaha santri sendiri.
Untuk masalah ilmu-ilmu yang lain, baik agama maupun umum, Gus Afif yang menamatkan pendidikannya di LP3IA Nunukan-Kragan-Jawa Tengah itu membebaskannya kepada para santri sendiri. “Kalau yang menginginkan ijazah dan ilmu-ilmu umum ya bersekolah di sekolah umum, kalau yang ingin hafal Al-Qur’an ya ikut program hafidz dan kalau ada yang ingin bisa baca kitab ya belajar di Madin,” jelas murid KH. Nur Salim Kragan itu. Namun, Gus Afif sendiri mewajibkan kalau alumni Al-Ishlah wajib hukumnya hafal Al-Qur’an dan bisa membaca kitab kuning. “Walaupun di sini santri diutamakan hafal Al-Qur’an, tapi santri juga diwajibkan bisa membaca kitab kuning,” tegasnya. (wakhid)

Ajari Santri Dengan Tani dan Ternak
Untuk mendidik para santrinya, utamanya yang bermukim, agar bisa mandiri, Gus Afif membekali mereka dengan hewan piaraan dan lahan pertanian. Dari 17 kambing miliknya yang dititipkan ke tetangga-tetangganya (sistem paron), sekitar 6 darinya dipelihara sendiri oleh para santri.
Kandang kambing yang dikelola oleh para santri
Sementara itu, para santri mukim itu juga dibekali tanah hasil kerja sama dengan perhutani. Di tanah perhutani itulah para santri bertani cabai dan tomat. “Tujuannya ya agar santri mandiri. Tidak memberatkan orang tua mereka saat nyantri di sini,” jelas Kiai alumnus STITMA Tuban ini.
Di samping tujuan kemandirian di pondok, Gus Afif juga mengharapkan santri-santrinya bisa hidup mandiri ketika telah terjun di masyarakat. Bekal ilmu peternakan dan pertanian yang telah mereka biasakan di pondok itulah yang dia harapkan mampu memandirikan para santri untuk mengais rejeki dari Allah SWT.
Sementara tentang biaya mondok, Gus Afif mengatakan bahwa para santri hanya dikenakan biaya Rp 5 ribu per bulan. “Untuk makan, sebagian santri ada yang kost di masyarakat,” katanya. Untuk menutupi biaya makan dan mondok itulah para santri mukim yang tidak bersekolah diajari mandiri oleh Gus Afif. (wakhid)

2 komentar:

  1. Gus Baha' masih rutin hadir tahunan di haul KH Qosam tidak ya? Rupanya Gus Afif dulu santri KH Nur Salim ... jadi dengan Gus Baha' sama-sama dididik oleh ayah Gus Baha'.

    BalasHapus