RAPAT REDAKSI NUsa

Akhmad Zaini (Pimred Tabloid NUsa) memimpin rapat redaksi di halaman kampus STITMA Tuban.

DIKLAT JURNALISTIK

Peserta diklat jurnalistik dan crew Tabloid NUsa berpose bersama usai kegiatan diklat.

SILLATURRAHMI

Ketua LP. Ma'arif NU Kab. Tuban dan Pimred Tabloid NUsa berkunjung ke Rumah Gus Rozin (Putra KH. Sahal Mahfudz).

NUsa PEDULI SPESIAL

Mustain Syukur (Ketua PCNU Kab.Tuban) dan Fathul Huda (Penasehat LP. Ma'arif NU Tuban) berpose bersama siswa yang mendapatkan santunan NUsa Peduli.

STUDY BANDING LP. MA'ARIF NU KAB. TUBAN

Akhmad Zaini, ketua LP. Ma'arif NU Kabupatn Tuban saat menerima cinderamata dari LP. Ma'arif Kab. Pasuruan.

RAPAT BERSAMA

Pengurus PCNU, Pengurus LP. Ma'arif NU, PC.Muslimat Tuban, PC.Fatayat NU Tuban saat rapat bersama membahas pendidikan di Kabupaten Tuban.

GROUP SHOLAWAT SMK YPM 12 TUBAN

Group Sholawat Al-Banjari SMK YPM 12 Tuban melantunkan tembang sholawat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.

TURBA MAARIF NU TUBAN KE RENGEL

Group Sholawat Al-Banjari SMK YPM 12 Tuban melantunkan tembang sholawat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.

NUsa PEDULI EDISI 23

Tiga siswa berada di naungan LP. Ma’arif menerima santunan yang diberikan langsung oleh Dirjen Pendis (kanan) dan Kapala Kemenag Tuban.

PENGURUS PC. LP MA’ARIF NU

Beberapa Pengurus PC. LP Ma’arif NU Tuban siap bekerjasama demi kemajuan pendidikan di Kabupaten Tuban.

AVANZA UNTUK OPERASIONAL MA’ARIF NU TUBAN

Zaini (Ketua PC. LP. Ma'arif) menerima hadiah mobil dari Bupati Tuban secara simbolis pada acara Rakor kepala sekolah dan pengurus yayaasan se-kabupaten Tuban.

PRESTASI FATAYAT

Fatayat NU Tuban Masuk 10 Besar Lomba Rias Provinsi.

JUARA MTK

Beberapa Crew Tabloid NUsa, mereka semua generasi dari NU berasal dari Tuban, Lamongan dan Bojonegoro.

TIM TABLOID NUsa

Beberapa Crew Tabloid NUsa, mereka semua generasi dari NU berasal dari Tuban, Lamongan dan Bojonegoro.

Senin, 26 Januari 2015

ISHARI Tuban Mulai Eksis

RAKER RENGEL: PC ISHARI Tuban berkumpul bersama mengeksiskan kembali seni hadrah di Tuban. 
TUBAN KOTA- Berkeinginan kuat agar organisasi hadrah tradisinal Islam ISHARI dikenal dan dirasakan eksistensinya oleh masyarakat Tuban, pada akhir 2014 ini Pengurus Cabang ISHARI Tuban melaksanakan Konferensi Cabang (Konfercab) pada 26 Desember 2014 lalu. Acara yang baru pertama kali digelar itu ditempatkan di Ponpes Al-Hidayah, Jl. Lukman hakim, Kelurahan Doromukti, Kabupaten Tuban. Tempat itu dipilih karena konon saat Masjid Al-Hidayah yang berada dalam satu komplek dengan Pondok pesantren itu didirikan, sholawat hadrah dipakai untuk mengiringi pembukaan masjid.
Dalam momen bersejarah itu, Ketua PW ISHARI Jawa timur KH. Yusuf Arif beserta sekretarisnya Ust. Nuruddin, turut menyaksikannya. Ketua PW ISHARI Khusus Kiai Munif Sya’roni dan sekretarisnya Ust. Usman juga ikut menyaksikan peristiwa bersejarah itu.
Dalam sambutanya, KH. Yusuf Arif bercerita sejarah perkembangan hadrah ISHARI. Menurut ceritanya, hadrah ISHARI bermula dari Habib Syaikh yang berasal dari Hadramaut-Yaman pada sekitar abad 16-17 silam. Dulu belum bernama ISHARI. Hanya saja ketika telah melalui proses panjang, akhirnya pada 1959 KH. Wahab Chasbulloh yang mengetahui eksistensi hadrah klasik ini memberinya wadah dengan nama ISHARI.
Memberikan motivasi kepada sekitar 80 anggota ISHARI di Kabupaten Tuban yang berasal dari 3 kecamatan (Tuban Kota, Jenu dan Merakurak), Ust. Nuruddin mengkalim bahwa ISHARI adalah seni sholat klasik yang masih orisinil. “Ini belum musta’mal. Kalau seni sholawatan yang lain kan sudah musta’mal. Sudah ketambahan gitar dan macem-macem,” kata dia.

Ketika dilakukan pemilihan, Ust. Musta’in terpilih sebagai Rois Majelis Hadi dan Kiai Ali Maftuhin Zamroni terpilih sebagai Ketua Tanfidzi. Ditanya NUsa terkait program prioritasnya, Kiai Ali akan memfokuskan pada penambahan anggota ISHARI di Kabupaten Tuban dan menjalankan roda organisasi sesuai dengan AD/ART. Disinggung terkait pelaksanaan hadrah ISHARI pada waktu haul Sunan Bonang yang selalu dikelola warga Lamongan, dia berharap tahun depan ISHARI Tuban yang akan menghandlenya. (wakhid)

Kamis, 01 Januari 2015

TABLOID NUsa EDISI 32

Contoh Halaman Tabloid NUsa EDISI 32


Anda bisa membaca Tabloid NUsa EDISI 32 di Layar Komputer, Laptop, HP/I-Pad dengan mudah. Untuk download Tabloid NUsa Format PDF,  silahkan Anda klik ikon download di bawah ini ...

TOKOH INSPIRATIF NUsa EDISI 31//Mengenal Sosok Hj. Marsunah Fardiyati Fauzan

Tokoh penggagas arisan persahabatan santunan yatim dan dhuafa Perempuan Bangsa (dulu PPKB)

Hj. Marsunah Fardiyati Fauzan. 
Di lingkungan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) nama Hj Marsunah memang tidak begitu mentereng. Akan tetapi dibalik kegigihan dan naluri yang dimiliki, membuat perempuan kelahiran Desa Kesamben, Kecamatan Plumpang selalu giat berkiprah dalam organisasi sosial masyarakat.
Pengalaman organisasinya terbilang luas, sebab selain mengikuti fatayat dan muslimat perempuan yang lahir 22 Maret 1948 itu juga giat di organisasi sosial kemanusiaan lainnya.
“Sebelum gabung di muslimat saya lebih dulu ikut fatayat, kala itu sebagai bendahara dan ketuanya Istiana Cholil (istri KH. Cholilurrohman) itupun karena disuruh almarhum Kiyai Murtadji, dari situlah mulai senang dan ada naluri untuk selalu mengikuti kegiatan,” ujar Hj. Marsunah Fardiyati Fauzan saat ditemui di kediamannya, Jalan Pramukan Tuban.
Menurutnya, setelah di fatayat pada tahun 1982 hingga 1985, ia melanjutkan perjuangannya di PC Muslimat NU Tuban mulai tahun 1985 hingga sekarang. Ketika berkecimpung di muslimat, dipercaya sebagai bendahara yang saat itu diketuai Nyai Munir Maliki. Kemudian pada periode berikutnya dipercaya menjabat wakil ketua muslimat tepatnya tahun 1994 hingga 1999. Meskipun usianya hampir memasuki kepala tujuh, namun tak membuatnya kendor untuk berjuang dimuslimat. Kini selain sebagai pembina di Muslimat, juga aktif diikatan hajah milik muslimat.
Tidak berhenti disitu,  perempuan yang pernah belajar di pondok pesantren Denanyar, Jombang selama 4 tahun tersebut kini aktif juga di organisasi Perempuan Bangsa (PB) dulu Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa (PPKB) dan sudah berganti nama sejak hasil munas III pada Agustus lalu. Di salah satu organisasi sayap PKB itu, Hj. Marsunah termasuk sebagai pendiri Perempuan Bangsa di Kabupaten Tuban. Bahkan dengan giatnya, saat ini telah dipercaya sebagai penasihat sekaligus sebagai penggagas dan koordinator kegiatan arisan persahabatan santunan yatim dan dhuafa Perempuan Bangsa di Kabupaten Tuban.
“Alhamdulillah sampai saat ini, saya masih bisa mengikuti kegiatan di muslimat maupun di Perempuan Bangsa, selama mendapat undangan, Insya Allah akan datang kok,” ucapnya dengan senyum.
Meskipun pernah aktif di fatayat dan kini menjadi pengurus muslimat serta Perempuan Bangsa, namun tak membuat Hj. Marsunah menutup diri untuk ikut kegiatan organisasi lainnya. Buktinya, pernah bergabung dan menjadi ketua Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) mulai  tahun 1990 hingga 1995. Selain itu, juga ikut bergabung di organisasi Penyelenggara Taman Kanak indonesia (GOPTKI) sejak 1985 hingga sekarang. Bahkan karena saat itu PKB belum berdiri, sempat pula aktif di salah satu sayap organisasi milik partai Golkar. Namun ketika pada tahun 1998 NU membentuk PKB, dengan terang-terangan dan secara resmi telah keluar dari organisasi tersebut. Kemudian melanjutkan perjuangannya di muslimat NU serta aktif di PPKB sekarang PB.
“Karena saya merasa kader NU, saat NU mendirikan PKB, ya saya menyatakan keluar dari organisasi yang ada di partai golkar itu, lalu saya melanjutkan perjuangan di PKB yaitu di PPKBnya,” terangnya.

Pendidikan                
Hj. Marsunah Fardiyati Fauzan merupakan kader NU yang kependudukannya asli Tuban. Ia dibesarkan dan dididik ayahnya yang bernama KH. Moch Taslim dan ibunya bernama Hj Siti Zainab. Sebelum belajar di ponpes Denanyar, Kabupaten Jombang, semasa kecil telah mengampu di sekolah dasar. Bahkan setelah selesai sekolah pagi, pada sore harinya melanjutkan belajar di madrasah diniyah atau dikenal dengan sekolah sore. Kemudian setelah lulus dari sekolah dasar, melanjutkan proses belajarnya di ponpes selama 4 tahun. Ketika keluar dari pesantren, lalu dipersunting oleh KH. A. Fauzan Umar. Dari hasil pernikahannya, ia dikarunia seorang 3 putra bernama Zainal arifin, Yoni Anshori, Mirza Ali Mashur, sedangkan putrinya bernama Luky sa’adah.
“Karena ayah seorang PNS, jadi sering pindah-pindah, otomatis sekolah saya ketika SD pun pindah-pindah. Pernah di SD Pelumpang, Bulu dan Tuban,” ceritanya
Meskipun sudah memiliki cucu, namun tak membuatnya berhenti belajar dalam dunia pendidikan. Buktinya, saat ini perempuan pemilik CV Shita Jaya ini tetap mengurusi yayasan pendidikan TK FAST Tuban. Diyayasan pendidikan tersebut Hj Marsunah sebagai pembina sekaligus ikut menghendel dilembaga pendidikan itu.
“Umi ini adalah sosok yang peduli lingkungan, selain menjadi pembina diyayasan penddidikan FAST, juga aktif ikut mengurussi pendidikan disitu,” ujar Hj. Ratna Juwita menantunya.
Menurut Hj. Ratna, dimata keluarga sosok Umi adalah seorang aktifis yang penuh semangat diorganisasi. Meskipun saat ini usianya sudah tua, namun kegigihan dan nalurinya untuk aktif diorganisasi tetap semangat. Hal itu dibuktikan, dengan ikutnya dimuslimat yang menjabat sebagai pembina dan aktif pula diPerempuan Bangsa dimana berperan sebagai penggagas sekaligus koordinator arisan persahabatan santunan yatim dan dhuafa.
“Alhamdulillah dengan adanya arisan untuk yatim dan dhuafa ini pesertanya tidak hanya dari ibu-ibu NU dan PKB saja, tetapi dari luar partai juga ikut, bakhan warga muhamadiyah dan tionghoa juga ikut dikegiatan arisan utnuk yatim dan dhuafa itu,” terangnya.

JEDA NUsa EDISI 32//Revolusi Mental (2)

Pada awal Desember 2014 lalu, saya bersama tim Jaringan Penelitian (Jarlit) Pendidikan Pemkab Tuban berkeliling ke sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah di 6 Kecamatan. Kunjungan ini dimaksudkan untuk menampung aspirasi yang kemudian akan dijadikan dasar untuk merumuskan kebijakan pendidikan di Tuban.
Dari sekitar 12 sekolah dan madrasah yang dikunjungi, 10 di antaranya lembaga pendidikan yang bernaung di bawah L.P. Ma’arif. Sisanya, 2 lembaga berada di bawah naungan Muhammadiyah. Meski latar belakang idiologisnya berbeda, namun hampir persoalan yang dikeluhkan sama; sarana prasarana minim dan butuh uluran tangan pemerintah.    
Saya sangat memahami keluhan itu. Mayoritas (untuk tidak mengatakan semua karena satu dua juga ada yang lumayan), kondisi sarpras mereka memang sangat memprihatinkan. Mengingat sekolah-sekolah/madrasah-madrasah tersebut juga ikut mencerdaskan anak bangsa, maka pemerintah atau negara seyogiyanya tak tutup mata.
Rasanya tidaklah tepat bila masih ada pemikiran kalau pemerintah/negara hanya bertanggung jawab atas lembaga pendidikan negeri, khususnya yang bernama ‘’sekolah’’.  Aparatur negara yang masih berpikir seperti itu, harus secara mental direvolusi. Mereka harus diajak untuk berpikir lebih luas, bijak dan adil. Mereka harus ‘’dipaksa’’ untuk memahami bahwa dana yang digunakan pemerintah atau negara dalam membiayai pendidikan adalah dana pajak dan hasil bumi Indonesia. Karena itu, semua anak bangsa, baik yang menempuh pendidikan di ‘’sekolah’’ maupun di ‘’madrasah’’ berhak mendapatkan bantuan yang sama dan berkeadilan.
Tentu, saya tidak menutup mata kalau upaya itu saat ini sudah ada. Semisal, bantuan BOS dan BSM yang sudah memandang sama antara sekolah atau madrasah. Namun, masih terlalu banyak kebijakan pemerintah yang masih perlu direvisi. Di Tuban saja, BOSDA belum bisa disamakan. Apalagi, bantuan sarana dan prasarana lainnya.
Dalam kaitannya Pemda Tuban, saya memahami memang masih ada kendala-kendala regulasi nasional yang menghambat ‘’niat baik’’ pemerintah. Dan bila bicara regulasi nasional, memang tidak ada kata lain kecuali saya mendorong agar mereka yang berada di pusat (eksekutif dan legislatif) mau berpikir untuk menghilangkan (minimal mengurangi) pola pikir dikotomis tadi. Pemikiran yang memisahkan antara ‘’sekolah’’ dan ‘’madrasah’’ tidak relevan lagi.
Harus dipahami kalau pemikiran dikotomis yang memisahkan ‘’madrasah’’ dan ‘’sekolah’’ adalah pemikiran lama yang diwariskan Belanda. Semangat dari pemikiran ini adalah melemahkan Islam, memecah belah bangsa Indonesia, dan melestarikan penjajahan. Jadi, pejabat pemerintah/negara yang getol mempertahankan pemikiran ini, harus direvolusi mentalnya. Pejabat model ini—terutama yang beragama Islam—perlu diajak lagi mempelajari sejarah. Mereka harus bisa membaca sejarah dari sisi sosiologis di balik sebuah kebijakan warisan masa lalu.
Berkelindan dengan menunggu perubahan kebijakan tingkat nasional, pejabat yang ada di level provinsi dan kabupaten/kota madya harus berikhtiar mencari terobosan guna meminimalisir pemikiran dikhotomis tadi. Mereka harus berikhtiar untuk mencari celah sekecil apa pun untuk dimanfaatkan. Bila ini dilakukan, insya Allah akan menjadi amal kebaikan yang luar biasa maslahatnya. Saya rasa, otonomi daerah yang menjadi salah satu ‘’ikon’’ era reformasi saat ini adalah salah satu celah besar yang bisa dimanfaatkan.
Sungguh saya sangat memberikan apresiasi kepada pemprov Jatim yang telah menggulirkan dana pendidikan untuk beasiswa sarjana bagi guru madrsah diniyah (madin), tunjangan untuk guru madrasah dan taman pendidikan al-qur’an (TPQ), serta tunjangan untuk hafidz. Saya rasa, itu semua bisa dilakukan karena menggunakan celah hukum Undang-Undang otonomi daerah. Namun, ihktiar itu masih perlu diperluas. Madrasah formal yang selama ini dianggap ‘’anak kandungnya’’ Kemenag harus ikut dipikirkan dan dicarikan celah.
Harus dipahami bersama kalau yang benar-benar ‘’anak kandugnya’’ Kemenag itu hakekatnya adalah sekolah berstatus negeri (MIN, MTsN dan MAN). Dan ini, jumlahnya sangat kecil. Sedang yang swasta hanyalah anak binaan yang tidak mendapatkan hak-hak memadai. Bila dilihat dari kuantitas, jumlah madrasah yang swasta ini jelas sangat besar. Bila sekolah di bawah diknas komposisinya 90 persen adalah sekolah negeri dan 10 persen adalah sekolah swasta, maka di Kemenag kondisinya berbalik: 10 persen madrasah negeri, 90 madrasah swasta.
Lalu, dari jumlah madrasah swasta yang 90 persen itu kira-kira mayoritas beraviliasi ke mana? Saya rasa, tidak sulit untuk menjawabnya. Mayoritas dari madrasah swasta tersebut beraviliasi ke NU (baca: L.P. Ma’arif). Di level nasional, diperkirakan madrasah/sekolah yang bernaung di bawah Ma’arif adalah 13.500 lembaga. Sedangkan di bawah Muhammadiyah sekitar 6.500. Dari jumlah 13.500 lembaga itu, 90 persen (sekitar 12 ribu) berbentuk madrasah dan 10 persen (1,5 ribu) berbentuk sekolah.
Komposisi seperti itu juga terjadi di Tuban ini. Dari 300 lebih lembaga yang bernaung di bawah LP Ma’arif, 90 persen lebih berbentuk madrasah. Sisanya sekolah. Lembaga tingkat dasar yang bernaung di bawah Ma’arif Tuban adalah 180 lembaga. Sebanyak 178 lembaga berbetuk Madrasah Ibtidaiyah dan hanya dua yang berbentuk sekolah (SDI di Makam Agung dan SD Islam Terpadu di Kerek).
Mengapa mayoritas berbentuk madrasah? Mengapa tidak berbentuk sekolah? Saya mengajak semua pihak bisa memahami realitas tersebut. Itu tidak terjadi begitu saja. Ada ruang dan waktu yang menyertainya. Kita harus kembali membaca sejarah, bagaimana pergulatan politik umat Islam, khususnya warga NU, ketika berhadapan dengan Belanda yang anti Islam dan pemerintah Orde Baru yang fobia terhadap Islam.

Kini yang terbaik, di saat iklim politik lebih terbuka, saya mengajak semua pihak untuk berikhtiar bersama-sama mewujudkan regulasi (undang-undang atau peraturan pemerintah) yang berkeadilan. Saat ini sudah sangat banyak kader-kader NU hasil didikan madrasah yang sudah menjadi pejabat di negeri ini. Selayaknyalah mereka berjuang untuk lembaga yang sudah membesarkannya. Kalau satu dua ada yang tidak mau, berarti orang inilah yang harus di-Reparasi pemikirannya dan di-Revolusi Mentalnya! (bersambung)          

JEDA NUsa EDISI 31//Revolusi Mental (1)

Saya sangat bersyukur istilah ‘’Revolusi Mental’’ sekarang begitu populer di Indonesia. Saya merasa berkewajiban menyampaikan rasa terima kasih kepada Presiden Jokowi yang telah mempopulerkannya. Semoga istilah itu tidak hanya sebatas populer, namun juga menjadi gerakan perubahan di masyarakat.
Revolusi adalah kebalikan dari evolusi yang mengandung makna perubahan secara pelan. Jadi, secara sederhana istilah ‘’Revolusi Mental’’ mengandung makna dan keinginan adanya perubahan mental yang cepat di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Keinginan Presiden Jokowi itulah yang menjadikan saya pada pemilihan presiden lalu menjatuhkan pilihan kepadanya.
Sejak masih  di Jawa Pos, saya sudah memimpikan adanya perubahan mental yang cepat di masyakakat. Berbagai tulisan saya di Jawa Pos mengekspresikan keinginan tersebut. Dan, saya semakin menyadari perlunya ‘’Revolusi Menta’’ ketika saya menjadi ketua PC Ma’arif NU Tuban saat ini. Dalam berbagai kesempatan, saya mengungkapkan keinginan itu. Hanya istilah yang saya pakai, bukan revolusi mental, melainkan perubahan minside atau perubahan pola pikir.  
Spirit atau ruh yang terkandung dalam kalimat ‘’perubahan minside’’ dan ‘’revolusi mental’’ semestinya bak dua sisi mata uang; seide, seirama. Bukankah perubahan mental harus diawali dengan perubahan pola pikir? Namun saya akui, bahwa istilah revolusi mental mampu membangun imajinasi yang lebih heroik, lebih terasa emosinya. Inilah ‘’kehebatan’’ pilihan kata yang dipakai Jokowi.
Lalu, seberapa pentingkah revolusi mental bagi bangsa ini? Sangat perlu. Sejak masih menjadi wartawan di Istana Negara dan Gedung DPR/MPR, saya melihat betapa rumitnya mentalitas para elite kita. Mental mereka benar-benar sudah kacau balau. Kekuasaan dan kewenangan yang ada di tangan mereka, sepertinya semata-mata dilihat dari sisi kesempatan untuk mengeruk kekayaan dan kemewahan. Sudut pandang bahwa kekuasaan dan kewenangan adalah amanah yang harus dijalankan demi kesejahteraan rakyat, seakan tidak mendapatkan tempat.
Parahnya lagi (maaf) mentalitas semacam itu juga menjalar ke beberapa tokoh yang berlatar belakang pesantren (nahdliyin) yang saya temui di Jakarta. Saya sering merasa patah arang. Seakan, pada waktu itu, sulit sekali mencari teman yang ‘’seiman’’. Hal inilah, yang pernah saya gambarkan dalam tulisan saya sebelumnya (Nusa edisi ke-10) di mana ketika di Jakarta saya bagaikan Tarzan masuk kota. Bingung dan tidak bisa memahami lingkungan sekitar. Dan faktor itu pulalah yang menjadikan saya bertekat untuk tidak ‘’melanjutkan karier’’ di Jakarta dan memilih menjadi Wong Ndeso di Tuban.
Tentu, satu dua orang yang masih baik mentalitasnya tetap ada. Namun, jumlah mereka sangat sedikit. Seribu  banding satu. Sangat-sangat sedikit. Sehingga sangat sulit ditemukan dan langka. Keberadaan mereka tertutup rapat oleh kelompok yang mentalitasnya sudah kacau balau.
Dalam berbagai kesempatan kuliah, saya sering mengatakan kepada mahasiswa kalau umat Islam di Indonesia kebanyakan sudah berpaling ke lain hati atau selingkuh. Mereka mengaku sebagai muslim, namun ternyata dalam praktek kehidupan sehari-hari mereka tidak menggunakan Islam sebagai falsafat hidup. Tanpa terasa (mungkin juga tak disadari) faham materialisme dan kapitalisme telah menjadi pegangan baru. Mereka telah menjadikan dua faham ini sebagai acuan hidup. Mereka bertindak dan bergerak atas bimbingan kedua faham ini. Sehingga materi dan modal (kapital) menjadi tujuan utama dari gerak langkahnya.
Di bawah ini saya mencoba akan memberikan ilustrasi, betapa ‘’perselingkuhan’’ itu telah mewabah di tengah-tengah umat Islam;  
Falsafah Islam mengajarkan, mengajar adalah ibadah. Seorang yang memiliki ilmu, haram hukumnya menyembunyikannya. Mereka yang mengajarkan ilmu kepada orang lain dan ilmu itu dalam perkembangannya memberikan kemanfaatan, maka orang yang mengajarkannya itu akan terus menerus mendapatkan pahala, meski yang bersangkutan telah meninggal dunia. Sekarang, pertanyaannya; seberapa banyak guru-guru kita yang masih berpegangan pada prinsip seperti itu?
Ilustrasi kedua;
Jabatan adalah amanah. Tak selayaknya seorang muslim memperebutkan sebuah jabatan. Namun, apabila amanah itu diembankan ke pundaknya dan dia mampu melaksanakannya, maka tak sepatutnya dia menolak jabatan itu. Dia harus memikulnya dengan penuh tanggung jawab, keilkhlasan dan kejujuran. Sekarang, apa fakta yang kita hadapi sehari-hari? Bukankah sudah sangat umum kita menyaksikan sesama muslim memperebutkan jabatan? Rasanya, jabatan-jabatan publik di negeri ini, dari kepala desa hingga presiden, juga anggota dewan harus diperebutkan dan dipertarungkan. Praktek suap menyuap pun (money politics) bukan hal yang tabu lagi. Lebih miris lagi, belakangan ini, beberapa kasus menunjukkan posisi-posisi struktural di NU yang penting pun sudah diperebutkan dengan menggunakan media uang.
Ini hanya contoh kecil. Saya rasa, terlalu mudah mencari contoh-contoh lainnya. Jika kita ingin terhindar dari kehancuran, semua itu harus diubah. Harus dilakukan perubahan minside. Harus ada revolusi mental. Nabi Muhammad SAW menyelamatkan umat manusia, khususnya bangsa Arab dari kehancuran dengan cara melakukan revolusi mental. Mental jahiliyah menuju ke mental ilahiyah (Islam). Saat ini, kapitalisme dan materialisme telah menuntun manusia ke alam jahiliyah lagi. Hak dan bathil menjadi kabur.  Rambu-rambu kebenaran terlalu mudah dilanggar demi kepentingan duniawi yang menguasai pemikiran manusia sekarang.
Revolusi mental, bukanlah pekerjaan main-main. Butuh keseriusan dan kesungguhan dari pihak-pihak yang menghendakinya. Kita perlu membaca lagi sejarah, betapa para nabi yang berhasil melakukan revolusi mental di kalangan umatnya benar-benar berjuang tanpa lelah. Mereka memberi suri tauladan (uswatun hasanah) yang tidak henti-hentinya. Dan itu pun, memerlukan waktu yang tidak pendek. Nabi Muhammad SAW yang dianggap paling sukses melakukan revolusi mental pun paling tidak butuh waktu 23 tahun untuk menjalankan misinya itu.
Tapi, yakinlah kalau ada kemauan dan ikhtiar kita bisa! Jalan pasti terbuka. Mari mulailah dari diri kita masing-masing. Ibdha’ binnafsih! Wassalam…..(bersambung)

DARI KAMI TABLOID NUsa EDISI 32//PCNU Kembali Langganan NUsa



Semoga Banom Menyusul

     Semenjak Pimred NUsa seklaigus Ketua PC LP Ma’arif NU Tuban Akhmad Zaini menyatakan bahwa beban NUsa harus dibagi pada yang muda, maka pada saat itu kami, para punggawa muda NUsa, kelabakan mencari formula agar NUsa selamat. Hal ini terjadi karena kami menyadari bahwa NUsa belum “dewasa”. NUsa masih butuh kerja sama dengan bebagai pihak. NUsa butuh insentif penyegar agar tetap bisa hidup.
       Sejak saat itu, kami berdiskusi dengan berbagai tokoh NU. Berbagai ide kami lontarkan dan kami mencoba menyaring masukan. Banyak masukan yang kami dapatkan, mulai dari ide yang menjulang sampai ide yang serba pas-pasan. Dari berbagai ide itu, nampaknya apa yang dilontarkan Amenan, wakil sekretaris PCNU Tuban, ada baiknya. Dia memberikan desain bagaimana seharusnya posisi NUsa dalam dinamika eksistensi PCNU Tuban. Dia sangat menyayangkan jika NUsa dijual pada pemodal, karena menurutnya, NUsa telah terbukti kebal, kuat, tahan gempuran dan ulet untuk tetap eksis mengiring dinamika PCNU Tuban. Karena itu, dia menginginkan NUsa sebagai aset PCNU Tuban; menaikkan grade-nya dari di bawah PC LP Ma’arif menjadi di bawah langsung PCNU Tuban.
    Ide Amenan itu direspon baik oleh H. Sutrisno Rahmat, wakil PCNU Tuban yang membawahi bidang pendidikan. Selama ini, dia belum menganggap eksistensi NUsa sebagai suatu unit yang menginduk kepada NU, meskipun secara tersirat NUsa di bawah LP Ma’arif. Setelah ada komunikasi yang baik dengan kami, Sutrisno welcome dengan ide segar bahwa NUsa menyatakan diri sebagai bagian dari NU. Untuk itu, Sutrisno meminta komposisi pengurus PCNU harus dilibatkan dalam struktur keorganisasian NUsa.
   Sembari terus berusaha dan berdoa, tepat pada saat PC LP Ma’arif NU Tuban mengadakan sosialisasi perubahan akta notaris kepada pengurus lembaga Ma’arif se-Kabupaten Tuban pada Desember lalu, H. Mustain Syukur (ketua PCNU Tuban) menawarkan diri untuk berlanggganan NUsa lagi, agar di sebar kepada seluruh pengurus MWC NU se-Kabupaten Tuban. Ucapan Pak Mustain itu seketika membuat hati kami gembira. Di tengah peran lebih yang harus kami pikul, Pak Mustain memberikan angin segar kepada kami. Meskipun jumlah dana yang akan kami terima dari Pak Mustain hanya cukup untuk 4 kali terbit, tapi jumlah itu telah memberikan oase dalam diri kami. Semoga, berbagai Banom NU juga mau berbagi dengan NUsa. (*)