RAPAT REDAKSI NUsa

Akhmad Zaini (Pimred Tabloid NUsa) memimpin rapat redaksi di halaman kampus STITMA Tuban.

DIKLAT JURNALISTIK

Peserta diklat jurnalistik dan crew Tabloid NUsa berpose bersama usai kegiatan diklat.

SILLATURRAHMI

Ketua LP. Ma'arif NU Kab. Tuban dan Pimred Tabloid NUsa berkunjung ke Rumah Gus Rozin (Putra KH. Sahal Mahfudz).

NUsa PEDULI SPESIAL

Mustain Syukur (Ketua PCNU Kab.Tuban) dan Fathul Huda (Penasehat LP. Ma'arif NU Tuban) berpose bersama siswa yang mendapatkan santunan NUsa Peduli.

STUDY BANDING LP. MA'ARIF NU KAB. TUBAN

Akhmad Zaini, ketua LP. Ma'arif NU Kabupatn Tuban saat menerima cinderamata dari LP. Ma'arif Kab. Pasuruan.

RAPAT BERSAMA

Pengurus PCNU, Pengurus LP. Ma'arif NU, PC.Muslimat Tuban, PC.Fatayat NU Tuban saat rapat bersama membahas pendidikan di Kabupaten Tuban.

GROUP SHOLAWAT SMK YPM 12 TUBAN

Group Sholawat Al-Banjari SMK YPM 12 Tuban melantunkan tembang sholawat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.

TURBA MAARIF NU TUBAN KE RENGEL

Group Sholawat Al-Banjari SMK YPM 12 Tuban melantunkan tembang sholawat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.

NUsa PEDULI EDISI 23

Tiga siswa berada di naungan LP. Ma’arif menerima santunan yang diberikan langsung oleh Dirjen Pendis (kanan) dan Kapala Kemenag Tuban.

PENGURUS PC. LP MA’ARIF NU

Beberapa Pengurus PC. LP Ma’arif NU Tuban siap bekerjasama demi kemajuan pendidikan di Kabupaten Tuban.

AVANZA UNTUK OPERASIONAL MA’ARIF NU TUBAN

Zaini (Ketua PC. LP. Ma'arif) menerima hadiah mobil dari Bupati Tuban secara simbolis pada acara Rakor kepala sekolah dan pengurus yayaasan se-kabupaten Tuban.

PRESTASI FATAYAT

Fatayat NU Tuban Masuk 10 Besar Lomba Rias Provinsi.

JUARA MTK

Beberapa Crew Tabloid NUsa, mereka semua generasi dari NU berasal dari Tuban, Lamongan dan Bojonegoro.

TIM TABLOID NUsa

Beberapa Crew Tabloid NUsa, mereka semua generasi dari NU berasal dari Tuban, Lamongan dan Bojonegoro.

Selasa, 01 Desember 2015

TABLOID NUsa EDISI 43

TABLOID NUsa EDISI 43


Anda bisa membaca Tabloid NUsa EDISI 43 di Layar Komputer, Laptop, HP/I-Pad Anda dengan mudah. Contoh Halaman Tabloid NUsa EDISI 43  Untuk download Tabloid NUsa Format PDF,  silahkan Anda klik di sini

JEDA NUsa EDISI 42 - Tali Jagat NU

Dua Tahun memikul amanah sebagai ketua Pengurus Cabang Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Kabupaten Tuban, saya benar-benar merasakan betapa beratnya mengurusi umat. Pernah suatu malam saya benar-benar merasa suntuk, jenuh dan lelah. Dan, tidak ada jalan lain kecuali saat itu saya menangis dan mengadu kepada Sang Khaliq. Saya minta diberi kesabaran,dikuatkan, dimudahkan dan diberi pertolongan.
Kendati demikian, insya Allah saya tidak menyesali taqdir ini. Sebaliknya, saya bersyukur. Beban berat ini saya maknai sebagai pelajaran mahal yang sedang saya jalani. Itu adalah bentuk kasih sayang Allah kepada diri saya. Itu adalah cara Allah menyelamatkan saya dari kekhilafan. Saya yakin Allah mempunyai skenario baik di balik semua itu.
Selama menekuni dunia kewartawanan selama 18 tahun lebih (4 tahun menjadi aktivis pers kampus di IAIN Walisongo Semarang dan 14 tahun lebih menjadi wartawan di Jawa Pos), tanpa terasa saya telah terjebak pada ‘’kesombongan’’. Lewat tulisan-tulisan yang saya buat, saya mudah sekali mengeluarkan kritik kepada siapa saja. Bahkan, tidak jarang pula saya mengkritik ulama-ulama NU. Saya mengkritik berbagai langkah atau kebijakan yang saya nilai tidak ‘’pas’’.
Karena kritik-kritik tajam itu, tidak jarang saya ‘’kena batunya’’. Saya pernah ditelpon dan ‘’didukani’’ Gus Mus (KH Mustofa Bisri) hampir satu jam. Gara-garanya, saya membuat tulisan dengan judul ‘’Netral yang Tidak Netral’’. Tulisan itu, mengkritik pertemuan para kiai NU (termasuk Gus Mus) di Kediri yang kecewa dengan pemerintahan Gus Dur.
Tapi, itu masa lalu. Tahun 2000. Alhamdulillah, mungkin karena tindakan itu tidak saya dasari kebencian dan niat jelek, kini Allah SWT menyelamatkan saya. Sekarang, saya diberi pelajaran hidup yang luar biasa. Allah menunjukkan betapa beratnya ngurusi umat. Butuh kesabaran ekstra. Mungkin kita memiliki niat baik, pemikiran baik, namun belum tentu niat baik itu diterima dengan baik. Salah paham, prasangka buruk, fitnah masih bisa muncul.
Dalam benak saya sering terlintas, jika sampai sekarang saya masih jadi wartawan, mungkin pelajaran hidup itu tidak saya terima. Kesalahan demi kesalahan masih saya lakukan. Bisa jadi, saya masih menjadi ‘’Tukang Kritik’’ yang angkuh. Banyak orang, banyak tokoh, banyak kiai saya komentari. Padahal, belum tentu semuanya benar.
Jadi, di situlah saya merasa bersyukur. Di situlah saya melihat rahasia besar mengapa Allah menakdirkan saya mencicipi amanah sebagai ketua Ma’arif di Tuban. Rupanya, inilah cara Allah mengingatkan, cara Allah memberi pelajaran, cara Allah menyelamatkan saya dari tumpukan kesalahan. Semoga pelajaran itu tidak harus lama-lama saya jalani. Semoga Allah segera memberikan ‘’predikat lulus’’ kepada saya.
***
Di luar pelajaran hidup yang saya terima secara pribadi, ada pelajaran mahal yang lain yang juga saya tangkap selama dua tahun ini. Yakni, soal tali jagat NU yang kendor. Satu sisi, tali kendor itu tentu potensial menimbulkan banyak masalah. Sebab, tersedia ruang gerak yang sangat longgar dan cair. Namun, di sini lain, tali kendor itu memberikan efek fleksebilitas dan elastisitas.
Saat Muktamar NU di Jombang Agustus lalu, KH Maemun Zuber menuturkan, dengan tali tampar yang kendor, NU harus mewadahi banyak orang. NU tidak hanya mewadani orang alim, orang-orang santri dan orang-orang yang ‘’bersih’’ dari dosa. Namun, orang-orang yang tidak masuk katagori baik, tidak masuk katagori alim, tidak masuk katagori santri pun, harus diopeni. Mereka yang tidak baik-baik ini, harus dididik dengan penuh hikmah agar akhirnya menjadi orang baik.
Mungkin, itulah salah satu rahasia mengapa nama organisasi ini Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama), bukan Nahdlatul Ummah (kebangkitan umat). Saat itu, para ulama bangkit untuk menyelamatkan umat. Beliau-beliau terpanggil untuk berbuat sesuatu agar umatnya selamat dari kebodohan, kesesatan, kekhufuran, kenistaan, kemiskinan, penindasan dan lain sebagainya. Jadi, ulama itu bangkit untuk menolong. Bukan bangkit untuk mengapai kejayaan-kejayaan pribadi.
Maka, wajar kalau berat. Wajar kalau melelahkan. Orang yang tidak memiliki maqom ulama seperti saya, tentu beban itu masuk dalam katagori over capacity alias kelebihan muatan. Kalau lewat jembatan timbang Dinas Perhubungan, bisa jadi kena tilang dan tidak boleh melanjutkan perjalanan.  Dan jika tetap diperbolehkan jalan, maka jalannya akan menyek-menyek (tertatih-tatih). Jadi, tidak ada kata lain, kuncinya hanya tawakkal. Terus berikhtiar semampunya. Tanpa target. Dan selebihnya, selalu meminta pertolongan Allah. Minta dimudahkan. Dan juga minta diberi kesabaran.
Soal fleksebilitas dan elastisitas yang dilambangkan dengan tali kendor telah terbukti keampuhannya. NU bisa tetap hidup di era penjajahan Belanda dan era Orde Baru yang secara sistematis hendak melenyapkan NU. Ketika para tokoh NU dikekang, warganya tetap bisa leluasa bergerak leluasa melakukan konsolidasi. Melalui media-media kultural, seperti tahlilan, yasinan, manaqiban dan lain sebagainya warga NU tetap berada pada ikatan hati yang sama. Mereka tetap bergerak menjaga keutuhan NU, tanpa harus menunggu komando pengurus jam’iyah NU yang ada di atasnya.
Namun harus diakui, di sini lain fleksebilitas dan elastisitas ini, juga menimbulkan persoalan yang pelik. Di saat kondisi aman dan dibutuhkan konsolidasi yang konkret, dibutuhkan satu langkah yang sama, maka tidak mudah warga NU disatukan. Mereka tetap ingin bergerak sendiri-sendiri. Mereka tidak ingin diikat oleh aturan-aturan organisasi yang baku.
Nah, di sinilah pengurus organisasi NU harus memiliki kemampuan ekstra. Mereka dituntut untuk tetap memberikan ruang gerak yang longgar kepada warganya, namun di sisi lain, harus tetap bisa mengikatnya dalam wadah keluarga besar Nahdlatul Ulama. Maka, para ulama terdahulu seperti Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syamsuri dan kiai-kiai penerus beliau yang sudah terbukti bisa ngopeni dan bisa membesarkan jam’iyah Nahdlatul Ulama, menurut saya adalah orang-orang hebat. Orang-orang luar biasa. Orang-orang yang maqomnya di atas rata-rata.

Saya pun akhirnya merasa sangat kecil. Sangat lemah. Dan, tidak sepantasnya lagi dengan mudah mengeluarkan kritik. Wallahu a’lam bisshowab. (*) 

NUsa Peduli 43 - Siswa MTs Maarif Terima Santunan NUsa Peduli


TUBAN KOTA- MTs Ma’arif NU Tuban memiliki siswa sebanyak 117 anak. Namun dari keseluruhan siswa itu ternyata rata-rata berasal dari keluarga miskin. Meski berada di kota, sebagian siswa MTs Maarif masih sangat membutuhkan uluran tangan. Apa lagi lembaga ini termasuk madrasah yang memiliki cukup banyak anak-anak yatim-piyatu.
Mengetahui hal itu, tim NUsa segera bergerak. Santunan NUsa Peduli disalurkan kepada 5 anak yatim-piyatu yang ada di sana. Mereka adalah Ahmad Abdul Rozak (kelas 7-A), Luluk Rohyana (kelas 9-A), Gunawan Apriliansyah (kelas 9-A) dan Fanany Asror (kelas 9-A). Mereka adalah para anak yatim. Sementara M. Danu Septiawan (kelas 9-B) adalah anak yatim-piyatu. Bapak-ibunya meninggal. Kini dia tinggal bersama Kakeknya yang bekerja sebagai buruh tani.
Said Suryanto, S.Pd.I (kepala MTs Maarif NU Tuban) mengatakan bahwa memang kelima anak itu semangat belajarnya ada. “Mereka aktif. Meski untuk prestasi, kemampuan mereka terbilang rata-rata,” ungkapnya. Namun, yang menjadikan iba adalah kelima anak itu hidup dalam keluarga yang kurang mampu. “Seperti Luluk Rohyana. Ayahnya meninggal. Kini dia tinggal sama kakanya. Kakaknya itu bekerja ikut warung. Gajinya tidak seberapa,” lanjut dia.

Dan untuk Tabloid NUsa, Said (sapaan akrabnya) mengucapkan banyak terima kasih. Dia berharap NUsa Peduli selalu ada sehingga anak-anak yatim dan miskin bisa diperhatikan. (wakhid)

Minggu, 01 November 2015

TABLOID NUsa EDISI 42

TABLOID NUsa EDISI 42

Anda bisa membaca Tabloid NUsa EDISI 42 di Layar Komputer, Laptop, HP/I-Pad Anda dengan mudah. Contoh Halaman Tabloid NUsa EDISI 42  Untuk download Tabloid NUsa Format PDF,  silahkan Anda klik di sini

DARI KAMI TABLOID NUsa EDISI 42//Berkah, Semakin Banyak Pelanggan NUsa


“Tolong siapkan 100 lembar format surat pernyataan berlangganan dik ya. Soalnya besok tanggal 15 Fatayat akan memiliki gawe. Pada saat itu nanti saya tawarkan pada mereka untuk langganan NUsa,” ungkap Hj. Umi Kulsum (ketua PC Fatayat NU Tuban) kepada salah satu tim NUsa.
Mendengar hal itu, tentu hati kami sangat senang. Bukan hanya karena jumlah eksemplarnya, tapi juga karena niat Mbak Umi yang mau turut serta memikirkan eksistensi NUsa. Kami yakin, tanpa rasa ikut memikirkan NUsa, tidak akan mungkin Ketua Fatayat yang kembali dilantik pada periode kedua ini mau mempromosikan kepada anggotanya untuk berlangganan NUsa.
Sebenarnya, sudah sekitar 2 bulan lalu Mbak Umi mewacanakan mengajak anggotanya berlangganan NUsa. Namun, karena berbagai kegiatan beliau baik yang di organisasi maupun yang di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tuban, akhirnya wacana itu bergulir sampai sekarang.
Sebelumnya, kami juga patut berterima kasih kepada Ketua PC NU Tuban KH. Mustain Syukur yang telah membuka berlangganan 200 eksemplar NUsa untuk disebarkan kepada seluruh pengurus MWC NU se-Kabupaten Tuban. Kedua, Ketua PD IGRA Kabupaten Tuban Siti Nur Aini kembali membuka kerja sama dengan NUsa. Sejumlah 178 lembaga RA se-Kabupaten Tuban berlangganan NUsa. Jauh sebelum, kerja sama ini, seluruh lembaga di bawah naungan Ma’arif telah berlangganan NUsa. Kemudian, akhir-akhir ini disusul PC Fatayat.

Tentu saja, dengan hasil ini saya ingin menyimpulkan sementara bahwa sebenarnya NUsa tidak sendirian. NU dan Banomnya sungguh-sungguh mau memikirkan NUsa. Semoga kerja sama dengan Fatayat benar-benar deal. Karena PC Muslimat juga kami harapkan respon positivenya. (*)

KH. Nur Hasyim, Pahlawan Pendidikan dan Pejuang ‘’Jadilah Generasi-Generasi Macan”


Nama KH. Nur Hasyim bin Muhammad Rowi sudah tak asing di telinga warga Tuban, khususnya warga nahdliyin Bumi Wali ini. Tokoh termashur dengan julukan ‘macan dari Tuban’ ini adalah seorang orator ulung, pejuang umat dan pahlawan serta pelopor pendidikan.

Kiai Nur Hasyim juga  mempunyai jiwa enterpreneur (penguasaha)yang tinggi. Masa hidupnya dia berprinsip ‘’hidup matiku untuk umat’’. Prinsip itu ternukil dalam buku catatan pribadinya yang masih ada. Motto perjuangannya yang terkenal adalah ‘Samatni samatni alkhoidah’ artinya jadilah generasi-generasi macan. Kiai Nur Hasyim begitu bersemangat untuk menjaga kemurnian agama, pendidikan yang mencerdaskan dan keutuhan bumi pertiwi. Dia memperjuangankan umat dan mempertahankan panji-panji pendidikan ma`arif di Tuban sejak tahun 1924-1994
Kiai Nur Hasyim adalah sang pelopor pendidikan sekaligus guru bangsa pada masa orde lama dan pra-orde baru. Menumpas kebatilan, membasmi penjajah yang merongrong dan perusak kedaulatan serta keutuhan negara adalah tujuan hidupnya. Kiai Nur Hasyim adalah salah satu pelaku sejarah dalam perjalanan Nahdlatul Ulama di Tuban.  Kiai Nur Hasyim fokus menggeluti pengembangan pendidikan Ma`arif NU Tuban, khususnya di Kecamatan Soko. Saat itu, tahun 1965 NU Tuban di bawah pimpinan Rois Syuri’ah tahun 1965 KH. Abdul Fatah, Plumpang yang merupakan ayah dari A.S. Hikam mantan menristek ketika presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjabat.
Wakil Syuri’ah kala itu KH. Murtadji, dan pucuk pimpinan ma`arif untuk kali pertama kala itu KH Ali Tamam. Dengan keyakinan bahwa pendidikan adalah modal memperbaiki umat dari segala lini dan sendi kehidupan itulah yang membuat Kiai Nur Hasyim gigih memperjuangkan pendidikan.
Selain memperjuangkan pendidikan umat, perjuangan yang dia lakukan sekaligus untuk menyelamatkan aset-aset NU dan ideologinya dari faham komunis yang waktu itu dibawa oleh kaum atheisme (PKI). NU saat itu juga menjadi partai politik hasil pemisahan diri dari partai Masyumi pada 1952. Sehingga NU berhak menjadi peserta pemilu pertama kali tahun 1955 dengan menempatkan diri menjadi partai tiga besar nasional di bawah Masyumi dan PNI.
Hal itu tak berbeda dengan suasana di Tuban.  NU saat itu bertengger nomor dua dalam pemilu. Namun setelah itu, tahun 1973 saat orde baru memerintah, pemerintah melakukan penyederhanaan dan penggabungan partai politik (defuse), hingga hanya ada tiga partai yaitu PPP (Partai Persatuan Pembangunan), Golkar (Golongan karya) dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Sejak itu, Mbah Nur Hasyim terjun menjadi kader PPP dan mengantarkannya menjadi anggota DPRD sampai tiga periode, hingga wafatnya.
Mbah Nur Hasyim adalah salah satu tokoh muda NU yang berani menentang kebijakan pemerintahan Belanda. Juga sangat gentol memperjuangkan kaum tertindas, fakir miskin, serta menjadi sosok yang disegani di kalangan pejabat negara, masyarakat, sekaligus menjadi tokoh yang ditakuti kaum komunis. Pada 1968 dialah yang menjadi penggerak untuk membasmi PKI dan antek-anteknya. Kala itu di Rengel dan Soko adalah tempat gembong PKI bersembunyi.
Garis nasab
Kiai Nur Hasyim, menurut catatan silsilah yang dibuat di Soko pada September 1990, merupakan anak bungsu dari sepuluh bersaudara yang lahir di Desa Mojoagung, Kecamatan Soko, tanggal 24 April 1924 Masehi atau 20 Ramadan 1342 Hijriyah. Merupakan anak hasil pernikahan Mohammad Rowi Mojoagung, Soko dengan  Siti Habibah asal Lamongan yang memiliki garis keturunan sampai ke pangeran Hadi Widjaya atau Sultan Pajang yang dikenal dengan sebutan Joko Tingkir.
Ayahnya termasuk sosok yang teguh pendirian dan berwibawa. Dengan sikap yang tegas dan santun. Saat itu ayah Kiai Nur Hasyim menjadi seorang pengusaha di pasar Soko, dan  masyarakat mempercayainya menjadi kiai desa. Dalam manuskrip, menurut salah satu putra tertuanya, Kiai M. Ali Mufthi Soko, bahwa garis keturunan dari ayahnya tidak dibukukan, tapi silsilah dari ibunya masih ada sampai sekarang.  “Semua masih saya simpan, silsilah ini adalah tulisan abah,’’ terangnya.
Lembaran silsilah itu ditulis  dengan tulisan arab pegon. Dengan keterangan “niki silsilah dikutip dene Nur Hasyim Soko Tuban mboten nambahi lan ngurangi artinya (ini silsilah ditulis oleh Nur Hasyim Soko Tuban tidak mengurangi dan menambahi)”.
Dalam manuskrip disebutkan, keturunan Kiai Nur Hasyim dari jalur ibunya bermula dari Pangeran Pajang Hadi Widjaya atau Joko Tingkir berputra Pangeran Sumayudha, dikenal sebagai Abdul Jabbar yang makamnya di bukit Nglirip, Kecamatan Singgahan.
Diceritakan, dalam dakwahnya Abdul Jabbar memakai nama samaran Purboyo, yang berputra tiga orang yakni (Kiai Mursyid, Kiai Anom dan Nyai Dalem. Dari Nyai Dalem berputri Nyai Jamilah yang berputra Kiai Yahya, Kiai Abdurrohman, Nganjar Lasem, Nyai Baithit, Nyai Lajuk Cepu. Dari Kiai Abdurrohman asal Nganjar, Bonang, Lasem Jawa Tengah berputra Kiai Juma’in yang berputra Kiai Abdurrohman, Lamongan. Kiai Abdurrohman Lamongan memiliki empat anak, yakni  Kiai Marthowi, Nyai Siti Khotimah, Nyai Siti Habibah, dan Kiai Nasruddin, Jathos Lamongan. Dari Nyai Siti Habibah berputra 10 anak, Kiai Nur Hasyim Soko adalah yang bungsu.
Pendidikan
Kiai Nur Hasyim mengenyam pendidikan formalnya di Sekolah Dasar (SD) Tanggungan, Desa Pandanwangi Soko, karena waktu itu pendidikan agama masih dibatasi. Apalagi berbasis NU masih dilarang. Tapi,hal itu tidak menyurutkan niat untuk belajar. Selain itu, dia juga tekun mengaji di abahnya.
Setelah lulus SD, dia ingin mendalami pendidikan agamanya, sehingga melanjutkan ke pondok mondok di pondok pesantren Abu pesantren di Dusun Beron, DEsa  Punggulre jo Rengel selama 5 tahun dengan asuhan Kiai Musyafak. Dirasa kurang dalam mendalami ilmu agama, dia melanjutkan Darin Ngumpakdalem, Kendal Bojonegoro. Berbagai ilmu dia kuasai, di antaranya fiqih dan tasawuf. Bakat menjadi mubalig sudah terlihat sejak usia 20 tahun.
Dia tak kenal lelah menuntut ilmu, sehingga kembali mondok. Pondok pesantren Tebu Ireng Jombang, yang pengasuhnya waktu itu adalah tokoh sekaligus pelopor berdirinya NU, KH Hasyim Asy’ari menjadi tujuannya. Kala itu jiwa mandirinya sudah terbentuk. Dia membiayai dirinya sendiri selama mondok dengan mengumpulkan uang dari menjahit. Hal itulah, yang membuat dia disegani oleh para kiai dan gurunya. Dari situlah kemandiriannya terlatih sampai akhirnya di tahun 1949 dia pulang kampung untuk berjuang di Soko.
Karena sejak kecil sudah hidup di keluarga yang kental nilai agama, dengan didikan sang ayah yang tegas dan keras, menjadikan dia tokoh masyarakat sekaligus seorang pengusaha dengan manajemen yang bagus.
Di Soko berdakwah melalui surau-surau yang ada, juga mendirikan pondok pesantren Nurul Huda yang berada di komplek yayasan Islam Nurul Huda. Ada madrasah Tarbiyatul Islam yang sekarang diteruskan anak dan cucunya.
Anak yang ke 7 Asadullah Khoiri, menceritakan tentang salah satu karomah tersembunyi Kiai Nur Hasyim. Bahwa musala dari Mojo ke Soko dipindah oleh Kiai Nur Hasyim sendiri dengan bantuan para kodam (pembantunya) berupa macan putih. ‘’Aneh juga paginya tidak ada musala di situ, kok malamnya bisa ada. Padahal abah waktu itu sedang istirahat di rumah, ungkap Kepala Sekolah MA Tarbiyatul Islam itu.
Sejak tahun 1949, sepulangnya dari pondok Tebu Ireng Jombang, memang Kiai Nur Hasyim langsung membantu mengajar ngaji. ‘’Sejarah mencatat pendidikan islam untuk pertama kalinya yang didirikan di Soko dipelopori oleh Kiai Nur Hasyim,’’ tambah  Kiai Mu’thi,  putra Kiai Nur Hasyim lainnya. Dia meniruman ucapan Kiai Nur Hasyim bahwa mencerdaskan generasi dan kader bangsa harus melalui pendidikan,  khususnya agama. Sejak berdiri Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Soko. Sampai sekarang MI menyebar sampai pelosok desa di Soko.
Pada tahun 1951 berdiri MI Tarbiyatul Islam Sokosari. Berdirinya di pelopori bersama sahabatnya, hingga dikenal dengan sebutan ‘tiga serangkai’, yakni Kiai Nur Hasyim sebagai pelopor yang membidangi pendidikan dan politik kebangsaan, Kiai Rozi membidangi hubungan masyarakat dan diplomatik umat, serta Kiai Kardani membidangi politik kemasyarakatan sekaligus menjadi mata-mata Golkar sebagai strategi pendekatan pemerintahanan kala itu.
Sementara itu, setelah berupaya keras dengan memulai berjuang mendirikan MI, di tahun yang sama, Kiai Nur HAsyim menikah dengan seorang gadis asal Desa Sawahan, Kecamatan Rengel bernama Siti Mu’tiah binti Ahmad Musyafak. Pasangan itu  dikaruniai delapan anak. Di antaranya Umi Nasikhah, Luluk Muftiyah, Anisa’i Khoiriyyah, M. Ali Mufthi, Hadi Masruri, Rofih Kholiliyah, Asadullah Khoiri dan Khoirul Muttaqim.
Meskipun hidup di jaman penjajahan Belanda sampai Jepang, dengan stabilitas keamanan terganggu, tidak menyurutkan langkahnya untuk mengembangkan sistem pendidikan madrasah yang didirikannya. Semula masih menggunakan sistem sorogan (klasikal) ala pesantren. Hingga seiring perjalanan waktu, akhirnya sukses mengembangkan program pendidikan ma`arif. Terbukti, tahun 1957 berhasil mendirikan madrasah tsanawiyah (Mts) Tarbiyatul Islam yang sudah mulai menggunakan kurikulum dinas pendidikan, hasil perjuangannya yang tak kenal lelah itu bersama temannya tersebut.
Akhirnya 1968, bersama sahabat seperjuangannya, Kiai Nur Hasyim mempunyai inisiatif untuk menyelamatkan umat dari rongrongan ideologi komunism dan demi mempertahankan agama dan bangsa, dia memulai menampakkan diri ikut berkiprah dipanggung politik kala itu menjadi kader PPP. Misinya menyebarkan pendidikan agama dan politiknya sampai ke pelosok desa se Kecamatan Soko. Kunci perjuangannya menyatukan tiga pilar yaitu melestarikan ubudiyyah (ibadah-akhlaq), penyebaran pendidikan politik umat dan sikap komunikatif atau musyawaroh bersama rakyat, mendapat dukungan penuh oleh rakyat. Satu persatu berdiri MI di Soko, hampir 16 MI yang berdirinya dipelopori Kiai  Nur Hasyim. “Dengan daya yang tangguh, setiap malam Mbah Nur Hasyim dengan sepeda pancal bersilaturrahmi ke desa-desa. Pertama untuk mengaji dan konsolidasi bersama rakyat. Kemudian membuat stategi mendirikan madrasah. Itulah yang istiqomah dilakukan. Pagi berurusan dengan santri malam berurusan dengan masyarakat, itu yang bikin salut,” tandas Kiai Fauzan Menilo teman seperjuangnnya. 
Pada tahun 1971, selain pendidikan, politik menjadikan salah satu metode dakwahnya. Degan kendaraan PPP telah menguatkan ruh perjuangannya sebagai langkah perlawanan pada pemerintahan yang selalu mengibiri kepentingan umat nadliyin. Harapannya, dengan menjadi wakil rakyat suaranya rakyat akan tersampaikan. Dia terpilih menjadi anggota DPRD Tuban untuk pertama kalinya saat Bupati Tuban dijabat KH Mustain. Selama menjadi angota dewan tiga periode berturut-turut mulai tahun 1971, 1982, dan 1990, Kiai Nur Hasyim mendirikan Madrasah Aliyah (MA) Tarbiyatul Islam pada 1979 dan satu Yayasan Pendidikan Islam Nurul Huda (YAPISNU).
Kiprah dan Keteladanan
Sikap yang santun, sederhana dan penuh wibawa tetap menjadi adalah ciri khas Kiai Nur Hasyim. KH Fauzan Umar Menilo mengatakan, bahwa Kiai Nur Hasyim selalu mengajarkan sifat yang tawaduk pada rakyat. “ Beliau sejak dulu selalu keliling kampung mengunjungi umat sehingga kedekatan beliau tak diragukan lagi, siapa yang tidak kenal beliau dalam keliling yang kala itu harus dia tempuh dengan jalan kaki atau pakai onthel,’’ ujarnya.
Asadullah Khoiri, anak ketujuh Kiai Nur Hasyim menambahkan, bahwa abahnya tipe pekerja keras memperjungakan agama tanpa pamrih, pantang menyerah. Kesulitan apapun tidak menyurutkan niat untuk berjuang, bahkan akan menjadi kekuatan untuk menggapai hari esok lebih baik. ‘’Abah itu orangnya kalem tapi serius dalam berprinsip, salah satu yang pernah dikatakan kalau berjuang jangan setengah-setengah tapi niat hati harus ditata dan sepenuhnya agar bisa runtut,’’ terangnya.
Hal senada disampaikan satu murid MTs Tarbiyatul Islam Soko (1976-1979) M. Sufaat yang menjabat kepala UPTD Disdikpora Soko. Dia mengatakan, sifat kesabaran, keberanian dan konsisten selalu mewarnai sosok Kiai Nur Hasyim. Demi kemaslahatan umat, tak pernah mengeluh, semangat dan keikhlasannya luar biasa. “Yang masih teringat, ketika Kiai mau mengajar, mendengar suara sandal kletek (sandal dari kayu) yang dipakai Mbah Yai saja, anak-anak sudah pada takut, karena wibawa dan karomahnya itu,’’ ungkap Ketua Tanfidziyah MWC NU Soko itu.
pejabat yang penting.
Kiai Nur Hasyim telah membuktikan diri, selama hidupnya selalu digunakan untuk pengabdian dalam urusan pendidikan dan berdakwah. Selain memiliki pendidikan formal dan pondok pesantren, beliau juga meninggalkan majelis ta’lim Ahad Kliwonon, yang sampai sekarang masih diteruskan oleh putra-putranya.
Di antaranya mengajarkan kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rosyid dan Ihya’ Ulumuddin karya Imam Al-Ghozali. Jamaah Ahad Kliwon ini masih eksis sampai sekarang yang dibina oleh putra ke empat yakni Kiai  M Ali Mufti.
Selain aktif di dunia pendidikan, beliau bersama para jamaahnya juga berhasil mendirikan koperasi untuk kemaslahatan ekonomi umat kala itu. Sambil berniaga barang mebeler, jamu, dan peralatan kantor, hasilnya diberikan sebagai permodalan koperasi dengan tanpa bunga, sehingga masyarakat dan jamaah merasa terbantu. Bahkan juga membantu fakir miskin dengan membelikan 100 becak untuk dipinjamkan dengan memberikan setoran setiap hari yang peruntukkan demi kemajaun koperasi dan pendidiknya, tanpa mengambil sepeserpun. ’’Ya begitulah caa abah mengayomi umat. Masyarakat juga merasa dekat dengannya.
Pada hari senin 15 Juni 1994, Kiai Nur Hasyim wafat dan dimakamkam di makam umum Desa Sokosari. Setiap Muharam diadakan haul memperingati perjuangnnya. Terkadang juga bersamaan dengan akhirrusanah YAPISNU, peninggalannya adalah Lembaga YAPISNU dan SMP NU Plus 2 yang didirikan oleh putranya Kiai Ali Mufthi. Karya-karya yang masih ada dan pernah di terbitkan adalah  Pedoman Tashrifan (Ilmu Sharaf), Syarah Ta’lim al-Muta’allim , Hidayatus Shibyan dan masih banyak yang sebagian besar adalah terjemah dalam arti pegon.
 Jasa – jasa
  1. Pelopor berdirinya Lembaga pendidikan Ma`arif (MI, MTs, MA) se Kec. Soko (1951-1990)
  2. Mengajarkan Manajemen Keuangan dengan mendirikan Badan Usaha (Koperasi) Niaga
  3. Mendirikan Media komunikatif antar Santri dan Kyai serta Masyarakat ((KKM) di Soko (1989)
  4. Mendirikan YAPISNU (Yayasan Pendidikan Islam Nurul Huda) Soko Tuban (1990)
  5. Perintis berdirinya MWC NU Kecamatan Soko (1990)
  6. Pengajian Rutin Ahad Kliwonan, Pelestarian Kajian Aswaja yang dilestarikan di seluruh desa di Soko.
  7. Komandan Laskar Jihad saat memerangi PKI di Goa Tluwe Soko
 Prinsip
1.                  Istiqomah adalah Hidupku
2.                  Hidup dan matiku untuk Umat
3.                  Samatni Samatni Al Khoidah, (Jadilah Generasi Macan)
4.                  Semangat berjuang tanpa pamrih, akan jadi modal hidup di masa depan
5.                  Setiap Kesulitan tidak menjadi penghalang untuk berkarya dan berjuang
6.                  Apabila niat baik akan berakar baik pula
7.                  Amalkanlah syariah islam apa adanya itu sudah termasuk TASAWUF
8.                  Berpeganglah pada satu pedoman yang betul jangan guna lain pedoman untuk memusuhi
9.                  Konsisten dalam prinsip dan siap menjalani resiko
10.              Jangan mengeluh dalam berjuang, karena bisa merusak iman


JEDA NUsa EDISI 41 - Cinta

Bila cinta sudah di dada, maka tahi kucing terasa cokelat. Itulah hebatnya cinta. Cinta bisa merubah segalanya. Orang bisa melakukan apa pun karena cinta. Seorang suami, siang malam banting tulang tanpa mengeluh karena demi cintanya kepada istri dan anak. Begitu juga dengan seorang istri. Karena cintanya terhadap suami dan anak-anaknya, dia juga mau melakukan apa saja, tanpa sedikit pun terucap kata-kata bernada keluhan.
Cinta tidak mengenal hukum transaksional, layaknya hukum perdagangan. Orang yang melakukan sesuatu karena cinta, maka dia akan melakukannya dengan tanpa perhitungan. Dia melakukannya dengan hati. Ringan tanpa merasa terbebani. Dia tidak akan pernah menghitung balasan apa yang akan dia terima atas apa yang telah dilakukannya. Dia hanya ingin orang yang dicintainya bahagia, bisa tertawa. Cukup sampai di situ. Tidak lebih.   
Karena itu, dalam beragama pun, nilai yang tertinggi adalah karena cinta kepada Allah dan Rasul-nya. Kita melakukan shalat lima waktu, puasa, mengeluarkan zakat dan membayar puluhan juta rupiah untuk melaksanakan perjalanan haji ke tanah suci,  bukan karena semata-mata takut akan ancaman siksa. Namun, tidak lain karena kita cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Begitu juga ketika kita melakukan berbagai ibadah sunnah, seperti berbuat baik kepada sesama, mengeluarkan shadaqoh, bangun malam hari dan kemudian melakukan shalat di tengah keheningan malam. Itu dilakukan bukan karena semata-mata berharap imbalan surga di akherat nanti, tapi karena semata-mata rasa cinta yang menggebu kepada Allah SWT.
Tentu model ibadah transaksional (berhitung keuntungan yang akan diperoleh), karena takut adzab Allah dan ingin mendapatkan surga, tidaklah dilarang. Tapi, itu levelnya rendah. Dalam proses perjalanan spiritual selanjutnya, seseorang seharusnya meningkat. Dari takut karena ancaman adzab dan iming-iming surga menjadi karena Cinta. Semata-mata agar Allah SWT senang. Semata-mata agar Allah SWT meridhai kita.
Itulah hebatnya energi cinta. Namun sayang, cinta kita di akhir zaman ini lebih mengarah kepada hal-hal yang sifatnya materi kebendaan. Kita mau melakukan apa pun demi materi yang kita inginkan. Tanpa sadar, kita telah terjerembah kepada pemikiran materialistik. Di mana, siang malam yang dipikirkan hanya materi. Apa pun yang dilakukan harus berbuah imbalan materi.
Inilah fenomena umum yang belakangan sering kita saksikan, bahkan mungkin juga kita lakukan. Dalam berbagai kesempatan, saya sering mengungkapkan bahwa tanpa sadar, kita sebagai seorang muslim telah melakukan PERSELINGKUHAN. Kita ngakunya Islam, namun dalam kehidupan sehari-hari kita tidak menjadikan ajaran Islam sebagai rujukan atau pandangan hidup. Sebaliknya, kita menjadikan pemikiran materialistik yang tidak diajarkan Islam, menjadi falsafah hidup atau pandangan hidup.
Inti dari perselingkuhan adalah berpalingnya atau berpindahnya ke lain hati. Dari istri sendiri ke istri orang, dari ajaran sediri ke ajaran orang lain. Yang pasti, perselingkungan biasanya dilakukan secara diam-diam. Tidak mengakui, tapi melakukannya.
***   
    Sungguh menjadi keprihatinan tersendiri bagi saya ketika mendengar pernyataan bahwa seorang pengurus lembaga pendidikan di lingkungan NU, tidak mau ikut Ma’arif karena takut lembaganya nanti dikuasai Ma’arif. Kesedihan serupa juga saya rasanya ketika ada pertanyaan, kalau ikut Ma’arif,  kami dapat apa? Juga ada yang mengancam mau ikut organisasi non-NU gara-gara kecewa tidak kebagian hibah dan mendapat janji bantuan dari organisasi itu.
Menanggapi serangkaian pertanyataan itu, saya biasanya melontarkan pernyataan balik, ‘’Ma’arif itu milik siapa? NU itu milik siapa?’’ Ma’arif itu bukan milik saya atau pengurus Ma’arif lainnya. NU juga bukan miliki Pak Ta’in (Ketua PC NU Tuban Bapak H. Musta’in Syukur) dan pengurus PC NU lainnya. Ma’arif dan NU hakekatnya miliki kita bersama. Milik semua orang yang berhaluan ahlussunah waljamaah.
Karena itu, saya rasa pernyataan-pernyataan di atas sangat tidak pas diucapkan oleh seseorang yang masih menyakini bahwa NU adalah organisasnya. Ahlussunah wal jamaah adalah idiologinya.
Sebagai orang yang kebetulan sedang mendapat amanah memimpin Ma’arif, saya tentu akan melakukan sesuatu yang terbaik yang bisa saya lakukan. Insya Allah itu semua saya lakukan karena rasa cinta. Karena saya mencintai organisasi ini. Karena saya yakin bahwa ajaran ahlussunah waljamaah adalah ajaran yang baik dan perlu terus dipertahankan serta diperjuangkan.
Terus terang, ketika diminta menjadi ketua Ma’arif dulu, saya merasa berat untuk menerimanya. Saya merasa tidak pantas. Saya bukan pemilik lembaga pendidikan. Saya bukanlah tokoh NU di Tuban. Saya bukanlah kiai yang sangat menguasai ilmu agama. Namun, ketika yang meminta itu adalah orang-orang yang saya pandang adalah tokoh-tokoh NU yang selama ini telah berkorban banyak untuk NU, rasanya saya tidak kuasa menolak. Saya merasa malu. Akhirnya, bismillah saya niati untuk ikut membantu beliau-beliau dalam ngopeni NU.
Semoga apa yang saya sampaikan di atas tidak menimbulkan salah paham dan penafsiran macam-macam. Dengan mengungkapkan itu, saya hanya ingin mengajak, ayo kita cintai NU. Bila lembaga njenengan ikut Ma’arif, tolong didasari dengan rasa cinta. Didasari niat karena semata-mata ingin membesarkan, memelihara dan mengembangkan ajaran ahlussunah waljamaah secara bersama-sama. NU, Ma’arif adalah milik kita bersama. Hidup dan matinya organisasi kita tergantung kita memperlakukannya.

Kita kumpul di Ma’arif dan NU harus diikat oleh rasa Cinta terhadap organisasi.  Kita harus berusaha saling memberi, bukan saling menuntut. Sungguh siapa pun yang jadi ketua atau pengurus Ma’arif atau NU mendatang akan sangat berat bebannya bila mereka yang kumpul di Ma’arif atau di NU adalah orang-orang yang datang karena ingin mendapatkan sesuatu. Sebaliknya, akan terasa ringan bila semua yang berkumpul punya niat untuk memberi. Ingin mengabdi. Ingin memberikan yang terbaik kepada organisasi yang sama-sama mereka cintai. Insya Allah! (*) 

NUsa Peduli 42 - Yatim di MI Futuh Terima Santunan


TUBAN- Keceriaan anak-anak yatim itu nampak jelas pada raut wajahnya saat dikunjungi NUsa beberapa waktu lalu. Senyumnya lebar dengan mulut sedikit menganga. Tidak menunjukkan sama sekali bahwa salah satu dari kedua orang tuanya telah meninggal dunia. Merekalah siswa-siswi yatim di MI Futuh Sumurgung Tuban.
Pada kunjungan itu, kami tim NUsa menyalurkan bantuan pendidikan kepada 6 anak yatim yang belajar di madrasah yang baru saja menyabet juara I dalam acara Pekan Madaris Kecamatan Tuban itu. Mereka bernama Wiwik Indrayani (kelas 1), Siti Nur Lailatus Sholihah (kelas 2), Alfan Alfian (kelas 3), Ahmad Zamroni (kelas 4), Amelia Putri (kelas 4) dan Siti Qomariah (kelas 6). Dari keenam anak itu, 5 anak telah yatim, sementara Ahmad Zamroni adalah piyatu.
H. Achmad Syueb, SH (kepala MI Futuh) mengucapkan beribu terima kasih atas bantuan yang diberikan NUsa kepada siswa-siswinya yang yatim-piyatu. “Mudah-mudahan bantuan yang diberikan bermanfaat bagi anak-anak kami, sehingga sekolahnya lebih bersemangat,” ungkapnya.
Dia menambahkan bahwa meski telah kehilangan salah satu orang tua mereka, anak-anak itu masih tetap bersemangat untuk sekolah. Hanya Wiwik Indrayani yang masih memerlukan dorongan semangat. Karena di usianya yang masih sangat belia, dia telah kehilangan bapaknya, Hartoyo (alm).

Untuk NUsa, Syueb berharap NUsa tetap jaya agar bisa membawa misi keagamaan yang berada di Ma’arif NU, khususnya bagi warga Tuban. (wakhid)

Selasa, 27 Oktober 2015

Pertemuan Alim Ulama dan Umaro Adalah Prakarsa Mbah Faqih


TUBAN KOTA- Panitia Haul Sunan Bonang kembali menggelar acara rutin pra haul Sunan Bonang, yakni Pertemuan Alim Ulama dan Umaro. Acara tersebut terselenggara pada Selasa malam (27 Oktober 2015) di Masjid Astana Sunan boning Tuban. Acara tersebut dihadiri sekitar 500 orang yang terdiri dari ulama dan umaro. Panitia menyebutkan bahwa undangan dalam acara tersbeut meliputi unsur alim ulama, Forpimda, anggota DPRD Tuban, pimpinan SKPD, Camat, ketua MWC NU se-kabupaten Tuban dan jama’ah rutinanan di Masjid Astana Sunan Bonang.
Nampak hadir pula para kiai sepuh di antaranya KH. Cholilurrohman (Rois Syuriah PCNU Tuban), KH. Masram Sofwan (Jenu), KH. Abdurrahman Saleh (), dan beberapa kiai sepuh lainnya.
Dalam sambutannya, KH. Cholilurrohman menjelaskan bahwa rutinan pertemuan alim ulama dan umaro dalam rangkaian haul Sunan Bonang adalah atas prakarsa almarhum almaghfurlah KH. Abdulloh Faqih (Langitan-Widang). “Dalam rentetan acara haul, ada pertemuan ulama dan umaro,” kata Mbah Cholil menirukan ucapan Mbah Faqih.
“Tentu beliau sangat tahu dan lebih tahu dari pada kita akan pentingnya pertemuan ulama dan umaro,” imbuhnya.
Dalam kesempatan itu, Mbah Cholil menafsirkan permintaan Mbah Faqih akan adanya pertemuan alim ulama dan umaro dalam rangkaian acara haul Sunan Bonang dengan mengkaji kitab Ihya’ulumuddin karya Imam Ghazali. Dalam paparannya, Mbah Cholil menjelaskan bahwa kerusakan rakyat disebabkan karena kerusakan penguasa, kerusakan penguasa disebabkan kerusakan ulama dan kerusakan ulama disebabkan karena dikuasai rasa cinta dunia dan kedudukan. “Kalau dibalik, baiknya rakyat karena baiknya penguasa, baiknya penguasa karena baiknya ulama dan baiknya ulama karena menjauhi rasa cinta dunia dan kedudukan,” ungkap Rois Syuriah PCNU Tuban ini.
Dalam kesempatan itu pula Kiai Cholil menjelaskan bahwa ulama ibarat lampu-lampu yang menerangi dunia. Semakin banyak lampu yang menyala, maka semakin dunia terang dan jalan akan semakin jelas, sehingga masyarakat tidak tersesat ketika mencari jalan.
Sementara itu, KH. Fathul Huda (Bupati Tuban) menyampaikan bahwa selama masa kepemimpinannya, hubungan antara ulama dan umaro terjalin harmonis. “Sekarang (di Pemda Tuban) sudah ada halaqoh ulama dan umaro, sehingga hasil rekomendasinya bisa ditindak-lanjuti sesuai perundangan yang berlaku,” jelas incumbent dalam Pemilukada Tuban 2015 ini.
Selain itu, dia memaparkan bahwa dalam mencegah kemungkaran, butuh 3 komponen. “Pertama, umaro yang mau nahi munkar. Kedua, ulama yang mau tabligh. Dan ketiga, masyarakat yang mendukung,” sebutnya.

Tuban di bawah kepemimpinannya, telah melakukan penutupan tempat PSK, memberantas miras dan pil-pil yang memabukkan. Meski diakui bahwa dengan langkah itu, kini muncul modus baru dalam dunia PSK. Produksi Miras pun masih terjadi. Pengedar pil-pil juga masih ada yang tertangkap. Namun, hal itu dinilai Huda hanya 10 persen saja. “Efektivitasnya (usaha nahi munkar Pemerintah Kabupaten Tuban) mencapai 90 persen. Tugas kita sekarang adalah menata yang 10 persen itu,” ungkapnya. (wakhid)

Sabtu, 17 Oktober 2015

Soekarwo Terpikat pada Alat Ciptaan Siswa SMK YPM



TUBAN KOTA-Prestasi SMK YPM 12 Tuban semakin menanjak. Baru-baru ini, SMK yang didaulat PCLP Ma’arif NU Tuban sebagai SMK unggulan milik Ma’arif ini kembali mengikuti pameran hasil kreasi siswa tingkat provinsi.
Tepatnya pada Kamis sampai Minggu (17-20/09/2015) lalu, SMK YPM ikut serta mewakili Tuban dalam ajang Pameran Karya Siswa SMK-Perguruan Tinggi dan Bursa Kerja Jawa Timur 2015 di JX International Convention Exhibition (Gedung Jatim Expo) Jl. Ahmad Yani No. 99 Surabaya.
Dalam ajang itu, SMK YPM memamerkan 3 alat ciptaan siswa-siswinya. Pertama, alat penyiram tanaman berbasis mikro. Menurut penuturan Rahmad Sampurno (kepala SMK YPM), alat ini secara fisik hampir sama dengan alat penyiram tanaman yang lainnya. Namun, yang menjadikan alat ini istimewa adalah alat ini memiliki bagian khusus yang mampu mendeteksi kelembaban tanah. Jika tanah telah basah, maka alat penyiram ini tidak akan bekerja. Namun, jika tanahnya kering, maka secara otomatis alat ini akan bekerja.
Kedua, becak listrik generasi II. Jika dulu pada becak listrik generasi I, motor penggeraknya berarus DC (baca: searah), maka dalam becak listrik generasi II ini motor yang dipakai adalah BLDC (penggabungan antara arus searah dan arus bolak-balik).
Ketiga adalah alat pembunuh hama. Alat ini sepintas seperti raket nyamuk yang didesai sedemikian rupa. Di bagian tengah jaring diberi lampu. Ternyata, lampu itu mampu menjadi perayu hama, sepeti nyamuk, untuk mendekat. “Sebelum nyamuk sampai pada jarring, nyamuk sudah bisa dipastikan mati,” kata Rohmad.

Tidak disangka, ketiga alat yang dipamerka SMK YPM ini mampu memikat hati Gubernur Jawa Timur Soekarwo dan Ibu. Di stand SMK YPM, Bu Karwo berbincang agak lama untuk mengetahui kelebihan-kelebihan alat ciptaan anak-anak nahdliyin yang ada di Tuban ini. (wakhid)

Kamis, 01 Oktober 2015

TABLOID NUsa EDISI 41

TABLOID NUsa EDISI 41


Anda bisa membaca Tabloid NUsa EDISI 40 di Layar Komputer, Laptop, HP/I-Pad Anda dengan mudah. Contoh Halaman Tabloid NUsa EDISI 40  Untuk download Tabloid NUsa Format PDF,  silahkan Anda klik ikon download di bawah ini


TOKOH INSPIRATIF NUsa EDISI 41/Mengenal Sosok H. Achmad Rohmad, S.H

Gigih Perjuangkan NU Sejak Era Orde Baru
 “Ojo wani kiai, ojo wani NU. Ojo elek-elek kiai, ojo elek-elek NU.” Pesan Kiai Murtadji tersebut menjadi pegangan hidup bagi tokoh NU yang satu ini. Bahkan karena pesan itulah, dia menjadi setia berjuang di NU sejak era orde baru hingga saat ini.

Minggu siang sekitar pukul 11.45 WIB (13/09/2015), wartawan NUsa menuju salah satu rumah tokoh senior NU di wilayah Rengel, tepatnya di Desa Campurrejo. Meskipun jarak rumah cukup jauh dari pusat kota Tuban, tidak menjadi halangan baginya untuk tetap berkiprah di NU Tuban. Jarak puluhan kilometer tak mampu mematikan semangat juangnya. Di usia yang bisa dibilang sepuh, ia tetap setia berjuang membesarkan Nahdlotul Ulama’.
Dialah H. Achmad Rohmad, S.H atau yang lebih sering dipanggil Pak Rahmad. Ia lahir dua tahun sebelum kemerdekaan, saat Jepang masih menguasai Indonesia, tepatnya pada 7 Juli 1943. Ia merupakan putra ke-7 dari 10 bersaudara. Rahmad kecil terlahir dalam keluarga yang kental dengan budaya ke-NU-an. Orang tuanya adalah aktivis NU yang aktif, bahkan sang ayah merupakan pengurus pertama NU ranting Campurrejo sekitar tahun 1955.
Pada tahun 1971, Rahmad muda menikahi perempuan asal desa Beji, kecamatan Jenu yang bernama Siti Ma’rifah. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai 6 orang anak yaitu: 1)M. Tajuddin As-Subhi, 2)M. Mukafi, 3)Siti Ulfatur Rohmah, 4)A. Mufaizin, 5)Siti Farida Nur Ainiyah, 6)Ahmad Hisbullah Huda. Anak-anaknya sudah banyak yang berkeluarga dan tidak tinggal serumah dengan Pak Rahmad dan istri. Hanya anak terakhir yang tinggal serumah, namun si bungsu pun masih kuliah di Gresik, sehingga tiap harinya Pak Rahmad hanya tinggal berdua dengan sang istri.
Meski sudah sepuh, Pak Rahmad aktif mengikuti pengajian dan pertemuan rutin NU, di antaranya adalah kajian rutin sabtu pagi di Pendopo Manunggal Kridho Tuban, kajian Ahad pagi  “Lentera Hati” di masjid Al-Futuhiyah, serta Lailatul ijtima’ rutin di tiap ranting di kecamatan Rengel. Ditanya kesibukan, ia mengatakan bahwa ia sibuk sebagai petani dan peternak. “Kesibukanku yo macul sama ngurusi sapi ini, kotorannya dibuat kompos biar mengurangi pupuk dan juga pernah coba buat biogas tetapi tetangga nggak mau pakai, takut bau kotoran sapi,” ungkap kakek dari 10 cucu ini sambil tertawa.  Pak Rahmad memang orang yang menyukai kerja. Selain menjadi wakil ketua PCNU Tuban, ia juga menjadi wakil ketua MUI Rengel, ketua BAZ kecamatan Rengel, serta mendirikan KBIH Jam’iyatul Hujjat NU sejak 1994. “Saya ini punya kerjaan sampingan ngojek, ngantarkan ibuk ke kecamatan-kecamatan kalau ada acara Muslimat,” ungkap suami dari ketua Muslimat Rengel itu. “Kemarin ada acara di Bancar, di Parengan, saya antar sendiri,” tambahnya.
Haji Rahmad merupakan orang yang mencintai pendidikan. Saat kelas 1-3 SD, Rahmad kecil mengenyam pendidikan di SD Banjararum, sedangkan kelas 4-6 dilanjutkan di SD Prambonwetan. Di sore hari sepulang sekolah, ia melanjutkan belajar agama lebih dalam di Diniyah. Saat SMP, ia mondok di ponpes Matholi’ul Falah Kajen, Jawa Tengah. Dan setelah lulus SMP melanjutkan di PGA Bojonegoro. Tak berhenti di situ, ia juga pernah kuliah jurusan pendidikan di IKIP ISE Bojonegoro, sempat mengambil D3 IAIN Sunan Ampel Surabaya, serta mengambil S1 Hukum di Universitas Darul Ulum Jombang. Pada Oktober tahun 1965, Pak Rahmad diangkat menjadi PNS. Ia menjadi guru agama di banyak sekolah dasar, seperti di MI Prambonwetan, SDN Rengel, SDN 1 Ngerong, SDN Punggul, dan mengajar di MI nya sendiri, yaitu yayasan Al-Islahiyah yang berdiri sejak 1963. Ia pensiun PNS pada tahun 2003.
Pengabdiannya di NU sudah dilakukan sejak masa orde baru, sekitar tahun 1971, yang saat itu NU belum berkembang seperti sekarang. Bahkan pemerintah saat itu tidak mendukung gerakan NU. Karena cintanya pada NU, ia pernah dipecat dari jabatan ketua KPPS. “Saat pertemuan pembinaan KPPS, saya dipanggil pembantu Bupati. Saya masih ingat dengan orangnya. Lalu saya dipecat di hadapan orang banyak. Dia bilang petugas KPPS harus selektif,” kisahnya. Saat ada monoloyalitas tunggal pada satu partai yang berkuasa jaman itu, sebagai PNS otomatis Pak Rahmad juga harus mengikuti, namun jiwanya tetap pada NU. “Saya abot di NU. Saat itu saya langsung sowan ke Mbah Yai Murtadji. Dan pesan beliau masih saya pegang sampai sekarang,” ungkapnya. “Ojo wani kiai, ojo wani NU. Ojo elek-elek kiai, ojo elek-elek NU,” kata Pak Rahmad menirukan pesan Kiai Murtadji.
Kiprahnya di NU berawal dari menjadi wakil ketua MWC NU kecamatan Rengel, lalu menjadi pengganti ketua MWC yang diangkat menjadi ketua partai. Pada tahun 1998 hingga 2013, selama 15 tahun, Pak Rahmad menjabat sebagai Ketua MWC NU kecamatan Rengel. Dan kini adalah periode kedua ia menjabat sebagai wakil ketua PC NU kabupaten Tuban. Loyalitasnya pada NU sudah tidak diragukan lagi. Di usia 72 tahun ini, meski jarak Rengel-Tuban cukup jauh, Pak Rahmad aktif mengikuti kegiatan-kegiatan di Tuban. “Pernah dulu saat hujan, ada rapat di Tuban malam hari, ya saya berangkat pakai mantel ke Tuban sendirian,” kenangnya. Faktor jarak dan usia tidak menjadi masalah baginya untuk tetap berjuang bersama NU demi menunjukkan wajah Islam yang ramah, Islam rahmatan lil alamin.
Pengalamannya yang paling diingat adalah saat pembangunan gedung PCNU Tuban. Beliau termasuk kader yang aktif mencari dana ke banyak pihak untuk pembangunan gedung NU tersebut. “Dulu kalau rapat itu malam hari setelah isya’, dan selesainya sampai tengah malam. Pulang naik sepeda onthel, sampai rumah jam 2 hingga jam 3 pagi, yo dilakoni. Rapat ya nggak ada makannya, paling kopi sama gorengan itu,” kisahnya. “Guyub jaman dahulu daripada sekarang,” tambahnya.

Baginya, kunci untuk tetap sehat dan semangat adalah dengan mengendalikan pikiran agar tetap bahagia dan rajin berolah raga. “Kuncinya seneng. Jangan sampai susah. Kalau ada masalah jangan dipikir terus. Kalau orang ngguyu, itu kan stress bisa hilang,” ungkap bapak yang hobi baca koran itu. “Kalau dulu saya suka olah raga sepak bola, voli, badminton. Saya pernah jadi juara badminton kecamatan. Tapi sekarang ya sering gak kena kalau mukul kock. Ya ganti olah raganya sama macul, jalan-jalan muter dari rumah ke sawah. Pagi hari itu mungkin ada sekitar 2 kilo saya jalan kaki,” jelasnya sambil tertawa. Mendengarkan cerita Pak Rahmad sangat menyenangkan, karena ia sering menyisipkan humor di sela ceritanya. (ria)

Rahmad: Yang Muda Harus Belajar Aswaja
Prinsip hidup Pak Rahmad adalah hidup ini untuk ibadah dan kerja. Ibadah untuk urusan akhirat, kerja untuk kebutuhan, agar seimbang. Dan selalu menjaga kesehatan agar tetap bisa bermanfaat untuk agama dan masyarakat. “Selama kita sehat, kita bisa ikut berjuang ngurusi agama,” katanya.  Pesannya bagi warga NU, khususnya yang muda adalah agar memperbanyak belajar tentang Aswaja. “Yang muda-muda itu harus benar-benar belajar Aswaja, biar tahu bedanya NU dengan yang lainnya. Anshor, IPNU-IPPNU itu harus aktif mengumpulkan remaja kalau libur sekolah, datangkan kiai untuk mengajari Aswaja,” katanya.
“Sekarang enak mau acara apa saja NU diijinkan, kalau dulu mau tahlilan saja harus ijin dahulu, mau ngumpulin orang disuruh ijin. Bahkan dulu orang masang gambar NU di rumah sendiri saja tidak berani. Lha beda jauh dengan sekarang, NU bisa berkembang, pertemuan pakai seragam NU, bahkan kondangan pun seragamnya NU. Apalagi sekarang orang-orang NU sudah banyak yang berani jadi pemimpin,” pungkasnya. (Ria)