Bila cinta sudah di dada, maka tahi
kucing terasa cokelat. Itulah hebatnya cinta. Cinta bisa merubah segalanya.
Orang bisa melakukan apa pun karena cinta. Seorang suami, siang malam banting
tulang tanpa mengeluh karena demi cintanya kepada istri dan anak. Begitu juga
dengan seorang istri. Karena cintanya terhadap suami dan anak-anaknya, dia juga
mau melakukan apa saja, tanpa sedikit pun terucap kata-kata bernada keluhan.
Cinta tidak mengenal hukum
transaksional, layaknya hukum perdagangan. Orang yang melakukan sesuatu karena
cinta, maka dia akan melakukannya dengan tanpa perhitungan. Dia melakukannya
dengan hati. Ringan tanpa merasa terbebani. Dia tidak akan pernah menghitung
balasan apa yang akan dia terima atas apa yang telah dilakukannya. Dia hanya
ingin orang yang dicintainya bahagia, bisa tertawa. Cukup sampai di situ. Tidak
lebih.
Karena itu, dalam beragama pun,
nilai yang tertinggi adalah karena cinta kepada Allah dan Rasul-nya. Kita
melakukan shalat lima waktu, puasa, mengeluarkan zakat dan membayar puluhan
juta rupiah untuk melaksanakan perjalanan haji ke tanah suci, bukan karena semata-mata takut akan ancaman
siksa. Namun, tidak lain karena kita cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Begitu juga ketika kita melakukan
berbagai ibadah sunnah, seperti berbuat baik kepada sesama, mengeluarkan
shadaqoh, bangun malam hari dan kemudian melakukan shalat di tengah keheningan
malam. Itu dilakukan bukan karena semata-mata berharap imbalan surga di akherat
nanti, tapi karena semata-mata rasa cinta yang menggebu kepada Allah SWT.
Tentu model ibadah transaksional
(berhitung keuntungan yang akan diperoleh), karena takut adzab Allah dan ingin
mendapatkan surga, tidaklah dilarang. Tapi, itu levelnya rendah. Dalam proses
perjalanan spiritual selanjutnya, seseorang seharusnya meningkat. Dari takut
karena ancaman adzab dan iming-iming surga menjadi karena Cinta. Semata-mata
agar Allah SWT senang. Semata-mata agar Allah SWT meridhai kita.
Itulah hebatnya energi cinta. Namun
sayang, cinta kita di akhir zaman ini lebih mengarah kepada hal-hal yang
sifatnya materi kebendaan. Kita mau melakukan apa pun demi materi yang kita
inginkan. Tanpa sadar, kita telah terjerembah kepada pemikiran materialistik.
Di mana, siang malam yang dipikirkan hanya materi. Apa pun yang dilakukan harus
berbuah imbalan materi.
Inilah fenomena umum yang
belakangan sering kita saksikan, bahkan mungkin juga kita lakukan. Dalam
berbagai kesempatan, saya sering mengungkapkan bahwa tanpa sadar, kita sebagai
seorang muslim telah melakukan PERSELINGKUHAN. Kita ngakunya Islam, namun dalam
kehidupan sehari-hari kita tidak menjadikan ajaran Islam sebagai rujukan atau
pandangan hidup. Sebaliknya, kita menjadikan pemikiran materialistik yang tidak
diajarkan Islam, menjadi falsafah hidup atau pandangan hidup.
Inti dari perselingkuhan adalah
berpalingnya atau berpindahnya ke lain hati. Dari istri sendiri ke istri orang,
dari ajaran sediri ke ajaran orang lain. Yang pasti, perselingkungan biasanya
dilakukan secara diam-diam. Tidak mengakui, tapi melakukannya.
***
Sungguh menjadi keprihatinan
tersendiri bagi saya ketika mendengar pernyataan bahwa seorang pengurus lembaga
pendidikan di lingkungan NU, tidak mau ikut Ma’arif karena takut lembaganya
nanti dikuasai Ma’arif. Kesedihan serupa juga saya rasanya ketika ada
pertanyaan, kalau ikut Ma’arif, kami dapat
apa? Juga ada yang mengancam mau ikut organisasi non-NU gara-gara kecewa tidak
kebagian hibah dan mendapat janji bantuan dari organisasi itu.
Menanggapi serangkaian pertanyataan
itu, saya biasanya melontarkan pernyataan balik, ‘’Ma’arif itu milik siapa? NU
itu milik siapa?’’ Ma’arif itu bukan milik saya atau pengurus Ma’arif lainnya.
NU juga bukan miliki Pak Ta’in (Ketua PC NU Tuban Bapak H. Musta’in Syukur) dan
pengurus PC NU lainnya. Ma’arif dan NU hakekatnya miliki kita bersama. Milik
semua orang yang berhaluan ahlussunah waljamaah.
Karena itu, saya rasa
pernyataan-pernyataan di atas sangat tidak pas diucapkan oleh seseorang yang
masih menyakini bahwa NU adalah organisasnya. Ahlussunah wal jamaah adalah
idiologinya.
Sebagai orang yang kebetulan sedang
mendapat amanah memimpin Ma’arif, saya tentu akan melakukan sesuatu yang
terbaik yang bisa saya lakukan. Insya Allah itu semua saya lakukan karena rasa
cinta. Karena saya mencintai organisasi ini. Karena saya yakin bahwa ajaran
ahlussunah waljamaah adalah ajaran yang baik dan perlu terus dipertahankan
serta diperjuangkan.
Terus terang, ketika diminta
menjadi ketua Ma’arif dulu, saya merasa berat untuk menerimanya. Saya merasa
tidak pantas. Saya bukan pemilik lembaga pendidikan. Saya bukanlah tokoh NU di
Tuban. Saya bukanlah kiai yang sangat menguasai ilmu agama. Namun, ketika yang
meminta itu adalah orang-orang yang saya pandang adalah tokoh-tokoh NU yang
selama ini telah berkorban banyak untuk NU, rasanya saya tidak kuasa menolak.
Saya merasa malu. Akhirnya, bismillah saya niati untuk ikut membantu
beliau-beliau dalam ngopeni NU.
Semoga apa yang saya sampaikan di
atas tidak menimbulkan salah paham dan penafsiran macam-macam. Dengan mengungkapkan
itu, saya hanya ingin mengajak, ayo kita cintai NU. Bila lembaga njenengan ikut Ma’arif, tolong didasari dengan
rasa cinta. Didasari niat karena semata-mata ingin membesarkan, memelihara dan
mengembangkan ajaran ahlussunah waljamaah secara bersama-sama. NU, Ma’arif
adalah milik kita bersama. Hidup dan matinya organisasi kita tergantung kita
memperlakukannya.
Kita kumpul di Ma’arif dan NU harus
diikat oleh rasa Cinta terhadap organisasi.
Kita harus berusaha saling memberi, bukan saling menuntut. Sungguh siapa
pun yang jadi ketua atau pengurus Ma’arif atau NU mendatang akan sangat berat
bebannya bila mereka yang kumpul di Ma’arif atau di NU adalah orang-orang yang
datang karena ingin mendapatkan sesuatu. Sebaliknya, akan terasa ringan bila
semua yang berkumpul punya niat untuk memberi. Ingin mengabdi. Ingin memberikan
yang terbaik kepada organisasi yang sama-sama mereka cintai. Insya Allah! (*)
0 komentar:
Posting Komentar