Minggu, 01 November 2015

JEDA NUsa EDISI 41 - Cinta

Bila cinta sudah di dada, maka tahi kucing terasa cokelat. Itulah hebatnya cinta. Cinta bisa merubah segalanya. Orang bisa melakukan apa pun karena cinta. Seorang suami, siang malam banting tulang tanpa mengeluh karena demi cintanya kepada istri dan anak. Begitu juga dengan seorang istri. Karena cintanya terhadap suami dan anak-anaknya, dia juga mau melakukan apa saja, tanpa sedikit pun terucap kata-kata bernada keluhan.
Cinta tidak mengenal hukum transaksional, layaknya hukum perdagangan. Orang yang melakukan sesuatu karena cinta, maka dia akan melakukannya dengan tanpa perhitungan. Dia melakukannya dengan hati. Ringan tanpa merasa terbebani. Dia tidak akan pernah menghitung balasan apa yang akan dia terima atas apa yang telah dilakukannya. Dia hanya ingin orang yang dicintainya bahagia, bisa tertawa. Cukup sampai di situ. Tidak lebih.   
Karena itu, dalam beragama pun, nilai yang tertinggi adalah karena cinta kepada Allah dan Rasul-nya. Kita melakukan shalat lima waktu, puasa, mengeluarkan zakat dan membayar puluhan juta rupiah untuk melaksanakan perjalanan haji ke tanah suci,  bukan karena semata-mata takut akan ancaman siksa. Namun, tidak lain karena kita cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Begitu juga ketika kita melakukan berbagai ibadah sunnah, seperti berbuat baik kepada sesama, mengeluarkan shadaqoh, bangun malam hari dan kemudian melakukan shalat di tengah keheningan malam. Itu dilakukan bukan karena semata-mata berharap imbalan surga di akherat nanti, tapi karena semata-mata rasa cinta yang menggebu kepada Allah SWT.
Tentu model ibadah transaksional (berhitung keuntungan yang akan diperoleh), karena takut adzab Allah dan ingin mendapatkan surga, tidaklah dilarang. Tapi, itu levelnya rendah. Dalam proses perjalanan spiritual selanjutnya, seseorang seharusnya meningkat. Dari takut karena ancaman adzab dan iming-iming surga menjadi karena Cinta. Semata-mata agar Allah SWT senang. Semata-mata agar Allah SWT meridhai kita.
Itulah hebatnya energi cinta. Namun sayang, cinta kita di akhir zaman ini lebih mengarah kepada hal-hal yang sifatnya materi kebendaan. Kita mau melakukan apa pun demi materi yang kita inginkan. Tanpa sadar, kita telah terjerembah kepada pemikiran materialistik. Di mana, siang malam yang dipikirkan hanya materi. Apa pun yang dilakukan harus berbuah imbalan materi.
Inilah fenomena umum yang belakangan sering kita saksikan, bahkan mungkin juga kita lakukan. Dalam berbagai kesempatan, saya sering mengungkapkan bahwa tanpa sadar, kita sebagai seorang muslim telah melakukan PERSELINGKUHAN. Kita ngakunya Islam, namun dalam kehidupan sehari-hari kita tidak menjadikan ajaran Islam sebagai rujukan atau pandangan hidup. Sebaliknya, kita menjadikan pemikiran materialistik yang tidak diajarkan Islam, menjadi falsafah hidup atau pandangan hidup.
Inti dari perselingkuhan adalah berpalingnya atau berpindahnya ke lain hati. Dari istri sendiri ke istri orang, dari ajaran sediri ke ajaran orang lain. Yang pasti, perselingkungan biasanya dilakukan secara diam-diam. Tidak mengakui, tapi melakukannya.
***   
    Sungguh menjadi keprihatinan tersendiri bagi saya ketika mendengar pernyataan bahwa seorang pengurus lembaga pendidikan di lingkungan NU, tidak mau ikut Ma’arif karena takut lembaganya nanti dikuasai Ma’arif. Kesedihan serupa juga saya rasanya ketika ada pertanyaan, kalau ikut Ma’arif,  kami dapat apa? Juga ada yang mengancam mau ikut organisasi non-NU gara-gara kecewa tidak kebagian hibah dan mendapat janji bantuan dari organisasi itu.
Menanggapi serangkaian pertanyataan itu, saya biasanya melontarkan pernyataan balik, ‘’Ma’arif itu milik siapa? NU itu milik siapa?’’ Ma’arif itu bukan milik saya atau pengurus Ma’arif lainnya. NU juga bukan miliki Pak Ta’in (Ketua PC NU Tuban Bapak H. Musta’in Syukur) dan pengurus PC NU lainnya. Ma’arif dan NU hakekatnya miliki kita bersama. Milik semua orang yang berhaluan ahlussunah waljamaah.
Karena itu, saya rasa pernyataan-pernyataan di atas sangat tidak pas diucapkan oleh seseorang yang masih menyakini bahwa NU adalah organisasnya. Ahlussunah wal jamaah adalah idiologinya.
Sebagai orang yang kebetulan sedang mendapat amanah memimpin Ma’arif, saya tentu akan melakukan sesuatu yang terbaik yang bisa saya lakukan. Insya Allah itu semua saya lakukan karena rasa cinta. Karena saya mencintai organisasi ini. Karena saya yakin bahwa ajaran ahlussunah waljamaah adalah ajaran yang baik dan perlu terus dipertahankan serta diperjuangkan.
Terus terang, ketika diminta menjadi ketua Ma’arif dulu, saya merasa berat untuk menerimanya. Saya merasa tidak pantas. Saya bukan pemilik lembaga pendidikan. Saya bukanlah tokoh NU di Tuban. Saya bukanlah kiai yang sangat menguasai ilmu agama. Namun, ketika yang meminta itu adalah orang-orang yang saya pandang adalah tokoh-tokoh NU yang selama ini telah berkorban banyak untuk NU, rasanya saya tidak kuasa menolak. Saya merasa malu. Akhirnya, bismillah saya niati untuk ikut membantu beliau-beliau dalam ngopeni NU.
Semoga apa yang saya sampaikan di atas tidak menimbulkan salah paham dan penafsiran macam-macam. Dengan mengungkapkan itu, saya hanya ingin mengajak, ayo kita cintai NU. Bila lembaga njenengan ikut Ma’arif, tolong didasari dengan rasa cinta. Didasari niat karena semata-mata ingin membesarkan, memelihara dan mengembangkan ajaran ahlussunah waljamaah secara bersama-sama. NU, Ma’arif adalah milik kita bersama. Hidup dan matinya organisasi kita tergantung kita memperlakukannya.

Kita kumpul di Ma’arif dan NU harus diikat oleh rasa Cinta terhadap organisasi.  Kita harus berusaha saling memberi, bukan saling menuntut. Sungguh siapa pun yang jadi ketua atau pengurus Ma’arif atau NU mendatang akan sangat berat bebannya bila mereka yang kumpul di Ma’arif atau di NU adalah orang-orang yang datang karena ingin mendapatkan sesuatu. Sebaliknya, akan terasa ringan bila semua yang berkumpul punya niat untuk memberi. Ingin mengabdi. Ingin memberikan yang terbaik kepada organisasi yang sama-sama mereka cintai. Insya Allah! (*) 

0 komentar:

Posting Komentar