RAPAT REDAKSI NUsa

Akhmad Zaini (Pimred Tabloid NUsa) memimpin rapat redaksi di halaman kampus STITMA Tuban.

DIKLAT JURNALISTIK

Peserta diklat jurnalistik dan crew Tabloid NUsa berpose bersama usai kegiatan diklat.

SILLATURRAHMI

Ketua LP. Ma'arif NU Kab. Tuban dan Pimred Tabloid NUsa berkunjung ke Rumah Gus Rozin (Putra KH. Sahal Mahfudz).

NUsa PEDULI SPESIAL

Mustain Syukur (Ketua PCNU Kab.Tuban) dan Fathul Huda (Penasehat LP. Ma'arif NU Tuban) berpose bersama siswa yang mendapatkan santunan NUsa Peduli.

STUDY BANDING LP. MA'ARIF NU KAB. TUBAN

Akhmad Zaini, ketua LP. Ma'arif NU Kabupatn Tuban saat menerima cinderamata dari LP. Ma'arif Kab. Pasuruan.

RAPAT BERSAMA

Pengurus PCNU, Pengurus LP. Ma'arif NU, PC.Muslimat Tuban, PC.Fatayat NU Tuban saat rapat bersama membahas pendidikan di Kabupaten Tuban.

GROUP SHOLAWAT SMK YPM 12 TUBAN

Group Sholawat Al-Banjari SMK YPM 12 Tuban melantunkan tembang sholawat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.

TURBA MAARIF NU TUBAN KE RENGEL

Group Sholawat Al-Banjari SMK YPM 12 Tuban melantunkan tembang sholawat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.

NUsa PEDULI EDISI 23

Tiga siswa berada di naungan LP. Ma’arif menerima santunan yang diberikan langsung oleh Dirjen Pendis (kanan) dan Kapala Kemenag Tuban.

PENGURUS PC. LP MA’ARIF NU

Beberapa Pengurus PC. LP Ma’arif NU Tuban siap bekerjasama demi kemajuan pendidikan di Kabupaten Tuban.

AVANZA UNTUK OPERASIONAL MA’ARIF NU TUBAN

Zaini (Ketua PC. LP. Ma'arif) menerima hadiah mobil dari Bupati Tuban secara simbolis pada acara Rakor kepala sekolah dan pengurus yayaasan se-kabupaten Tuban.

PRESTASI FATAYAT

Fatayat NU Tuban Masuk 10 Besar Lomba Rias Provinsi.

JUARA MTK

Beberapa Crew Tabloid NUsa, mereka semua generasi dari NU berasal dari Tuban, Lamongan dan Bojonegoro.

TIM TABLOID NUsa

Beberapa Crew Tabloid NUsa, mereka semua generasi dari NU berasal dari Tuban, Lamongan dan Bojonegoro.

Selasa, 27 Oktober 2015

Pertemuan Alim Ulama dan Umaro Adalah Prakarsa Mbah Faqih


TUBAN KOTA- Panitia Haul Sunan Bonang kembali menggelar acara rutin pra haul Sunan Bonang, yakni Pertemuan Alim Ulama dan Umaro. Acara tersebut terselenggara pada Selasa malam (27 Oktober 2015) di Masjid Astana Sunan boning Tuban. Acara tersebut dihadiri sekitar 500 orang yang terdiri dari ulama dan umaro. Panitia menyebutkan bahwa undangan dalam acara tersbeut meliputi unsur alim ulama, Forpimda, anggota DPRD Tuban, pimpinan SKPD, Camat, ketua MWC NU se-kabupaten Tuban dan jama’ah rutinanan di Masjid Astana Sunan Bonang.
Nampak hadir pula para kiai sepuh di antaranya KH. Cholilurrohman (Rois Syuriah PCNU Tuban), KH. Masram Sofwan (Jenu), KH. Abdurrahman Saleh (), dan beberapa kiai sepuh lainnya.
Dalam sambutannya, KH. Cholilurrohman menjelaskan bahwa rutinan pertemuan alim ulama dan umaro dalam rangkaian haul Sunan Bonang adalah atas prakarsa almarhum almaghfurlah KH. Abdulloh Faqih (Langitan-Widang). “Dalam rentetan acara haul, ada pertemuan ulama dan umaro,” kata Mbah Cholil menirukan ucapan Mbah Faqih.
“Tentu beliau sangat tahu dan lebih tahu dari pada kita akan pentingnya pertemuan ulama dan umaro,” imbuhnya.
Dalam kesempatan itu, Mbah Cholil menafsirkan permintaan Mbah Faqih akan adanya pertemuan alim ulama dan umaro dalam rangkaian acara haul Sunan Bonang dengan mengkaji kitab Ihya’ulumuddin karya Imam Ghazali. Dalam paparannya, Mbah Cholil menjelaskan bahwa kerusakan rakyat disebabkan karena kerusakan penguasa, kerusakan penguasa disebabkan kerusakan ulama dan kerusakan ulama disebabkan karena dikuasai rasa cinta dunia dan kedudukan. “Kalau dibalik, baiknya rakyat karena baiknya penguasa, baiknya penguasa karena baiknya ulama dan baiknya ulama karena menjauhi rasa cinta dunia dan kedudukan,” ungkap Rois Syuriah PCNU Tuban ini.
Dalam kesempatan itu pula Kiai Cholil menjelaskan bahwa ulama ibarat lampu-lampu yang menerangi dunia. Semakin banyak lampu yang menyala, maka semakin dunia terang dan jalan akan semakin jelas, sehingga masyarakat tidak tersesat ketika mencari jalan.
Sementara itu, KH. Fathul Huda (Bupati Tuban) menyampaikan bahwa selama masa kepemimpinannya, hubungan antara ulama dan umaro terjalin harmonis. “Sekarang (di Pemda Tuban) sudah ada halaqoh ulama dan umaro, sehingga hasil rekomendasinya bisa ditindak-lanjuti sesuai perundangan yang berlaku,” jelas incumbent dalam Pemilukada Tuban 2015 ini.
Selain itu, dia memaparkan bahwa dalam mencegah kemungkaran, butuh 3 komponen. “Pertama, umaro yang mau nahi munkar. Kedua, ulama yang mau tabligh. Dan ketiga, masyarakat yang mendukung,” sebutnya.

Tuban di bawah kepemimpinannya, telah melakukan penutupan tempat PSK, memberantas miras dan pil-pil yang memabukkan. Meski diakui bahwa dengan langkah itu, kini muncul modus baru dalam dunia PSK. Produksi Miras pun masih terjadi. Pengedar pil-pil juga masih ada yang tertangkap. Namun, hal itu dinilai Huda hanya 10 persen saja. “Efektivitasnya (usaha nahi munkar Pemerintah Kabupaten Tuban) mencapai 90 persen. Tugas kita sekarang adalah menata yang 10 persen itu,” ungkapnya. (wakhid)

Sabtu, 17 Oktober 2015

Soekarwo Terpikat pada Alat Ciptaan Siswa SMK YPM



TUBAN KOTA-Prestasi SMK YPM 12 Tuban semakin menanjak. Baru-baru ini, SMK yang didaulat PCLP Ma’arif NU Tuban sebagai SMK unggulan milik Ma’arif ini kembali mengikuti pameran hasil kreasi siswa tingkat provinsi.
Tepatnya pada Kamis sampai Minggu (17-20/09/2015) lalu, SMK YPM ikut serta mewakili Tuban dalam ajang Pameran Karya Siswa SMK-Perguruan Tinggi dan Bursa Kerja Jawa Timur 2015 di JX International Convention Exhibition (Gedung Jatim Expo) Jl. Ahmad Yani No. 99 Surabaya.
Dalam ajang itu, SMK YPM memamerkan 3 alat ciptaan siswa-siswinya. Pertama, alat penyiram tanaman berbasis mikro. Menurut penuturan Rahmad Sampurno (kepala SMK YPM), alat ini secara fisik hampir sama dengan alat penyiram tanaman yang lainnya. Namun, yang menjadikan alat ini istimewa adalah alat ini memiliki bagian khusus yang mampu mendeteksi kelembaban tanah. Jika tanah telah basah, maka alat penyiram ini tidak akan bekerja. Namun, jika tanahnya kering, maka secara otomatis alat ini akan bekerja.
Kedua, becak listrik generasi II. Jika dulu pada becak listrik generasi I, motor penggeraknya berarus DC (baca: searah), maka dalam becak listrik generasi II ini motor yang dipakai adalah BLDC (penggabungan antara arus searah dan arus bolak-balik).
Ketiga adalah alat pembunuh hama. Alat ini sepintas seperti raket nyamuk yang didesai sedemikian rupa. Di bagian tengah jaring diberi lampu. Ternyata, lampu itu mampu menjadi perayu hama, sepeti nyamuk, untuk mendekat. “Sebelum nyamuk sampai pada jarring, nyamuk sudah bisa dipastikan mati,” kata Rohmad.

Tidak disangka, ketiga alat yang dipamerka SMK YPM ini mampu memikat hati Gubernur Jawa Timur Soekarwo dan Ibu. Di stand SMK YPM, Bu Karwo berbincang agak lama untuk mengetahui kelebihan-kelebihan alat ciptaan anak-anak nahdliyin yang ada di Tuban ini. (wakhid)

Kamis, 01 Oktober 2015

TABLOID NUsa EDISI 41

TABLOID NUsa EDISI 41


Anda bisa membaca Tabloid NUsa EDISI 40 di Layar Komputer, Laptop, HP/I-Pad Anda dengan mudah. Contoh Halaman Tabloid NUsa EDISI 40  Untuk download Tabloid NUsa Format PDF,  silahkan Anda klik ikon download di bawah ini


TOKOH INSPIRATIF NUsa EDISI 41/Mengenal Sosok H. Achmad Rohmad, S.H

Gigih Perjuangkan NU Sejak Era Orde Baru
 “Ojo wani kiai, ojo wani NU. Ojo elek-elek kiai, ojo elek-elek NU.” Pesan Kiai Murtadji tersebut menjadi pegangan hidup bagi tokoh NU yang satu ini. Bahkan karena pesan itulah, dia menjadi setia berjuang di NU sejak era orde baru hingga saat ini.

Minggu siang sekitar pukul 11.45 WIB (13/09/2015), wartawan NUsa menuju salah satu rumah tokoh senior NU di wilayah Rengel, tepatnya di Desa Campurrejo. Meskipun jarak rumah cukup jauh dari pusat kota Tuban, tidak menjadi halangan baginya untuk tetap berkiprah di NU Tuban. Jarak puluhan kilometer tak mampu mematikan semangat juangnya. Di usia yang bisa dibilang sepuh, ia tetap setia berjuang membesarkan Nahdlotul Ulama’.
Dialah H. Achmad Rohmad, S.H atau yang lebih sering dipanggil Pak Rahmad. Ia lahir dua tahun sebelum kemerdekaan, saat Jepang masih menguasai Indonesia, tepatnya pada 7 Juli 1943. Ia merupakan putra ke-7 dari 10 bersaudara. Rahmad kecil terlahir dalam keluarga yang kental dengan budaya ke-NU-an. Orang tuanya adalah aktivis NU yang aktif, bahkan sang ayah merupakan pengurus pertama NU ranting Campurrejo sekitar tahun 1955.
Pada tahun 1971, Rahmad muda menikahi perempuan asal desa Beji, kecamatan Jenu yang bernama Siti Ma’rifah. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai 6 orang anak yaitu: 1)M. Tajuddin As-Subhi, 2)M. Mukafi, 3)Siti Ulfatur Rohmah, 4)A. Mufaizin, 5)Siti Farida Nur Ainiyah, 6)Ahmad Hisbullah Huda. Anak-anaknya sudah banyak yang berkeluarga dan tidak tinggal serumah dengan Pak Rahmad dan istri. Hanya anak terakhir yang tinggal serumah, namun si bungsu pun masih kuliah di Gresik, sehingga tiap harinya Pak Rahmad hanya tinggal berdua dengan sang istri.
Meski sudah sepuh, Pak Rahmad aktif mengikuti pengajian dan pertemuan rutin NU, di antaranya adalah kajian rutin sabtu pagi di Pendopo Manunggal Kridho Tuban, kajian Ahad pagi  “Lentera Hati” di masjid Al-Futuhiyah, serta Lailatul ijtima’ rutin di tiap ranting di kecamatan Rengel. Ditanya kesibukan, ia mengatakan bahwa ia sibuk sebagai petani dan peternak. “Kesibukanku yo macul sama ngurusi sapi ini, kotorannya dibuat kompos biar mengurangi pupuk dan juga pernah coba buat biogas tetapi tetangga nggak mau pakai, takut bau kotoran sapi,” ungkap kakek dari 10 cucu ini sambil tertawa.  Pak Rahmad memang orang yang menyukai kerja. Selain menjadi wakil ketua PCNU Tuban, ia juga menjadi wakil ketua MUI Rengel, ketua BAZ kecamatan Rengel, serta mendirikan KBIH Jam’iyatul Hujjat NU sejak 1994. “Saya ini punya kerjaan sampingan ngojek, ngantarkan ibuk ke kecamatan-kecamatan kalau ada acara Muslimat,” ungkap suami dari ketua Muslimat Rengel itu. “Kemarin ada acara di Bancar, di Parengan, saya antar sendiri,” tambahnya.
Haji Rahmad merupakan orang yang mencintai pendidikan. Saat kelas 1-3 SD, Rahmad kecil mengenyam pendidikan di SD Banjararum, sedangkan kelas 4-6 dilanjutkan di SD Prambonwetan. Di sore hari sepulang sekolah, ia melanjutkan belajar agama lebih dalam di Diniyah. Saat SMP, ia mondok di ponpes Matholi’ul Falah Kajen, Jawa Tengah. Dan setelah lulus SMP melanjutkan di PGA Bojonegoro. Tak berhenti di situ, ia juga pernah kuliah jurusan pendidikan di IKIP ISE Bojonegoro, sempat mengambil D3 IAIN Sunan Ampel Surabaya, serta mengambil S1 Hukum di Universitas Darul Ulum Jombang. Pada Oktober tahun 1965, Pak Rahmad diangkat menjadi PNS. Ia menjadi guru agama di banyak sekolah dasar, seperti di MI Prambonwetan, SDN Rengel, SDN 1 Ngerong, SDN Punggul, dan mengajar di MI nya sendiri, yaitu yayasan Al-Islahiyah yang berdiri sejak 1963. Ia pensiun PNS pada tahun 2003.
Pengabdiannya di NU sudah dilakukan sejak masa orde baru, sekitar tahun 1971, yang saat itu NU belum berkembang seperti sekarang. Bahkan pemerintah saat itu tidak mendukung gerakan NU. Karena cintanya pada NU, ia pernah dipecat dari jabatan ketua KPPS. “Saat pertemuan pembinaan KPPS, saya dipanggil pembantu Bupati. Saya masih ingat dengan orangnya. Lalu saya dipecat di hadapan orang banyak. Dia bilang petugas KPPS harus selektif,” kisahnya. Saat ada monoloyalitas tunggal pada satu partai yang berkuasa jaman itu, sebagai PNS otomatis Pak Rahmad juga harus mengikuti, namun jiwanya tetap pada NU. “Saya abot di NU. Saat itu saya langsung sowan ke Mbah Yai Murtadji. Dan pesan beliau masih saya pegang sampai sekarang,” ungkapnya. “Ojo wani kiai, ojo wani NU. Ojo elek-elek kiai, ojo elek-elek NU,” kata Pak Rahmad menirukan pesan Kiai Murtadji.
Kiprahnya di NU berawal dari menjadi wakil ketua MWC NU kecamatan Rengel, lalu menjadi pengganti ketua MWC yang diangkat menjadi ketua partai. Pada tahun 1998 hingga 2013, selama 15 tahun, Pak Rahmad menjabat sebagai Ketua MWC NU kecamatan Rengel. Dan kini adalah periode kedua ia menjabat sebagai wakil ketua PC NU kabupaten Tuban. Loyalitasnya pada NU sudah tidak diragukan lagi. Di usia 72 tahun ini, meski jarak Rengel-Tuban cukup jauh, Pak Rahmad aktif mengikuti kegiatan-kegiatan di Tuban. “Pernah dulu saat hujan, ada rapat di Tuban malam hari, ya saya berangkat pakai mantel ke Tuban sendirian,” kenangnya. Faktor jarak dan usia tidak menjadi masalah baginya untuk tetap berjuang bersama NU demi menunjukkan wajah Islam yang ramah, Islam rahmatan lil alamin.
Pengalamannya yang paling diingat adalah saat pembangunan gedung PCNU Tuban. Beliau termasuk kader yang aktif mencari dana ke banyak pihak untuk pembangunan gedung NU tersebut. “Dulu kalau rapat itu malam hari setelah isya’, dan selesainya sampai tengah malam. Pulang naik sepeda onthel, sampai rumah jam 2 hingga jam 3 pagi, yo dilakoni. Rapat ya nggak ada makannya, paling kopi sama gorengan itu,” kisahnya. “Guyub jaman dahulu daripada sekarang,” tambahnya.

Baginya, kunci untuk tetap sehat dan semangat adalah dengan mengendalikan pikiran agar tetap bahagia dan rajin berolah raga. “Kuncinya seneng. Jangan sampai susah. Kalau ada masalah jangan dipikir terus. Kalau orang ngguyu, itu kan stress bisa hilang,” ungkap bapak yang hobi baca koran itu. “Kalau dulu saya suka olah raga sepak bola, voli, badminton. Saya pernah jadi juara badminton kecamatan. Tapi sekarang ya sering gak kena kalau mukul kock. Ya ganti olah raganya sama macul, jalan-jalan muter dari rumah ke sawah. Pagi hari itu mungkin ada sekitar 2 kilo saya jalan kaki,” jelasnya sambil tertawa. Mendengarkan cerita Pak Rahmad sangat menyenangkan, karena ia sering menyisipkan humor di sela ceritanya. (ria)

Rahmad: Yang Muda Harus Belajar Aswaja
Prinsip hidup Pak Rahmad adalah hidup ini untuk ibadah dan kerja. Ibadah untuk urusan akhirat, kerja untuk kebutuhan, agar seimbang. Dan selalu menjaga kesehatan agar tetap bisa bermanfaat untuk agama dan masyarakat. “Selama kita sehat, kita bisa ikut berjuang ngurusi agama,” katanya.  Pesannya bagi warga NU, khususnya yang muda adalah agar memperbanyak belajar tentang Aswaja. “Yang muda-muda itu harus benar-benar belajar Aswaja, biar tahu bedanya NU dengan yang lainnya. Anshor, IPNU-IPPNU itu harus aktif mengumpulkan remaja kalau libur sekolah, datangkan kiai untuk mengajari Aswaja,” katanya.
“Sekarang enak mau acara apa saja NU diijinkan, kalau dulu mau tahlilan saja harus ijin dahulu, mau ngumpulin orang disuruh ijin. Bahkan dulu orang masang gambar NU di rumah sendiri saja tidak berani. Lha beda jauh dengan sekarang, NU bisa berkembang, pertemuan pakai seragam NU, bahkan kondangan pun seragamnya NU. Apalagi sekarang orang-orang NU sudah banyak yang berani jadi pemimpin,” pungkasnya. (Ria)

JEDA NUsa EDISI 41 - Sinergitas

‘’NU ITU BESAR. NU ITU HEBAT’’.
Kalimat itu sering saya ucapkan ketika memberi sambutan atau pengarahan di lingkungan Lembaga Pendidikan Ma’arif. Dengan mengucapkan itu, saya berharap para pengurus dan keluarga besar L.P. Ma’arif semangat, bangkit gairahnya, bangkit percaya dirinya, menyadari kalau dirinya besar, menyadari kalau dirinya berada pada lingkungan besar, menyadari kalau posisi dirinya berada di tengah-tengah komunitas (organisasi) yang luar biasa.
Menurut pengamatan saya selama ini (semoga tidak salah), salah satu faktor ketidakmajuan lembaga-lembaga di bawah Ma’arif adalah kurangnya semangat, kurangnya kepercayaan diri, dan kurangnya pemahaman akan peta keberadaan NU (termasuk Ma’arif) di tengah-tengah kelompok lain.  
Saya tidak asal bicara. Meski niat atau tujuannya memberi dorongan semangat, tapi saya juga mendasarkan kepada data-data penelitian. Dan, rasanya sebagian dari kita tidak terlalu kaget dengan hasil penelitian tersebut. 
Fakta yang ada adalah NU merupakan organisasi massa (ormas) Islam terbesar di dunia. Berdasarkan penelitian beberapa lembaga survey pada pemilu 2014 lalu, warga muslim Indonesia yang berhaluan NU, diperkirakan 33 pesen dari 250 juta penduduk Indonesia. Jadi, warga nahdliyin kisaran 82,5 juta. Sedang saudara kita Muhammadiyah sebanyak 19 persen atau sekitar 47,5 juta. Separoh lebih sedikit dari warga NU. Adapun mereka yang di luar NU dan Muhammadiyah sebanyak 31 persen atau sebanyak 77,5 juta.
Jumlah 82,5 juta jiwa adalah jumlah yang sangat besar. Lebih besar dari penduduk beberapa negara Islam seperti Malaysia (30 juta), Arab Saudi (29 juta) dan Mesir hanya kisaran 82 juta. Turki yang dulu merupakan pusat Kekhalifahan Turki Usmani (yang merupakan pemerintahan Islam terbesar sepanjang sejarah peradaban Islam) hanya sekitar 75 juta jiwa. LUAR BIASA bukan?
Tidak hanya jumlah. Yang menjadikan NU layak disebut HEBAT adalah soal daya tahannya untuk hidup di berbagai gonjangan zaman. Saat ini, NU hampir berusia satu abad. Dalam rentan waktu panjang itu, NU hidup dalam dinamika kehidupan yang berliku dan berkelok. Di jaman penjajah, karena sikapnya yang non-kooperatif, anti politik asosiasi yang dilancarkan Belanda dan selalu membangkitkan semangat nasionalisme, NU selalu berada pada posisi ditekan. Ulama-ulama NU pun, demi menjaga eksistensi warga NU membangun pesantren (lembaga pendidikan) di tempat-tempat yang jauh dari keramaian (jalan raya).
Di era orde lama, meski kondisinya lebih baik, NU juga tidak bisa dikatakan enak. NU sempat harus berdarah-darah melawan keberutalan PKI. Di zaman Orde Baru (Soeharto), kondisi NU semakin termarginalkan. Soeharto yang di awal kepemimpinannya mengalami Islam fobia (takut dan penuh prasangka) menjadikan NU sebagai musuh politiknya. NU harus hidup dalam tekanan. Aktivis NU harus bergerak di bawah tanah. Gus Dur harus bersilat ala ‘’Dewa Mabuk’’ demi menjaga gerbang besar NU.
Kendati batu terjal harus dilalui, NU tetap eksis. NU tetap besar. Maka layaklah kalau jam’iyah yang didirikan para ulama mukhlis ini diberi label HEBAT. Ya…NU organisasi yang HEBAT plus LUAR BIASA.
Di era reformasi, kondisinya jauh lebih baik. Lapak demokrasi memberikan ruang kepada warga NU untuk tampil di tengah-tengah gelanggang. Namun, ranjau yang puluhan tahun telah ditebar oleh rezim Orde Baru masih berserakan di mana-mana. Dengan SDM (Sumber Daya Manusia) terbatas –karena puluhan tahun tidak diberi kesempatan—warga NU sering terkena ranjau. Kepiluan pun terkadang masih mendera warga NU di tengah-tengah bangsa yang sedang eforia merayakan kebebasan demokrasi. Warga NU sering tidak tahu caranya makan hidangan yang sudah tersaji di depan meja.
Namun toh demikian, , menurut saya, di era reformasi ini kondisinya tetap lebih baik. Dan saya yakin, warga NU akan bisa mengambil peran lebih besar manakala mampu memaksimalkan dan memenej potensi besar NU dan kehebatan organisasi yang didirikan oleh (insya Allah) para auliya’ ini.
Menurut saya, banyak potensi yang luar biasa besar yang bisa digali dari NU. Yang paling menonjol adalah potensi jumlah massa (pengikut), jaringan dan loyalitas warga nahdliyin kepada para tokohnya. Dari sisi SDM-pun kalau kita mau secara jeli mencari, warga NU yang pinter-pinter sekarang sudah banyak. Sekarang ini, mencari profesor dan doktor di lingkungan NU sangat mudah. Beda jauh dengan gambaran ayahanda Gus Dur, KH Wahid Hasyim ketika beliau masih sugeng, yang mengatakan kalau mencari intelektual di kalangan NU bagaikan mencari es di malam hari. Saat ini, kapan pun, jam beradapa pun, kita bisa mencari es. Begitu pun mencari doktor dan profesor di NU sekarang sangatlah mudah.
Hanya, mereka kadang tercerai berai di mana-mana. ‘’Penyakitnya’’ orang NU, mereka kadang tidak mudah menerima kader NU yang bau pesantrennya sudah berkurang. Padahal, nyata-nyata orang itu amaliahnya masih NU dan dzuriah orang NU.
Makanya, demi menggali semua potensi di atas, menurut saya, membangun sinergitas adalah sebuah keniscayaan. Sinergitas mengandung makna menghimpun, mengerahkan berbagai potensi warga NU untuk mewujudkan cita-cita bersama. Sinergitas juga mengandung makna, masing-masing potensi yang telah terhimpun tersebut melakukan peran sendiri-sendiri (bahasa birokrasinya sesuai dengan tupoksi) secara maksimal. Namun, muara dari kerja maksimal itu satu; kemaslahatan warga NU.
Apa kata kunci agar kondisi seperti itu tercipta? Jawabannya: KEBERSAMAAN. Kebersamaan dalam pemikiran, kebersamaan dalam tujuan, visi misi, kebersamaan keyakinan atau idiologi (aswaja), dan kebersamaan perasaan (tidak ada yang merasa lebih hebat, lebih tinggi derajatnya, lebih berhak dll).

Mungkin, menciptakan KEBERSAMAAN di lingkungan NU bukanlah hal mudah. Riak-riak perbedaan dan perselisihan senantiasa menyertai warga NU. Paham yang salah atau salah paham lebih sering terjadi dari pada paham yang benar. Namun, saya yakin, seiring dengan waktu, seiring dengan perkembangan SDM warga NU, perselisihan-perselisihan seperti itu akan menurun grafiknya. Orang yang terdidik, akan semakin berpikir dan bertindak rasional. Mereka tentu tidak akan mau menghabiskan waktu, pikiran dan tenaga untuk pertengkaran-pertengkaran yang dipicu oleh persoalan-persoalan sepele. Wallahu a’lam! (*)

DARI KAMI TABLOID NUsa EDISI 41//Belajar dari Pola Ciptaan Allah



Pada suatu ketika, kami mendengar sebuah ceramah yang segar dari MH Ainun Najib, atau yang sering disapa Cak Nun. Ceramah itu sejatinya membicarakan tentang membaca Al-Qur’an dengan langgam jawa. Meski banyak pendirian para alim-ulama dalam menanggapi hukumnya, Cak Nun nampaknya mengambil sisi kebolehannya. Namun, harus tetap memperhatikan sisi makhorijul huruf, tajwid dan maknanya. Dan yang paling penting adalah langgam itu tidak dibuat-buat sendiri, semau hati sendiri, sehingga merusak ketiga elemen tersebut.
Namun, di sini kami tidak mau mendalilkan tentang siapa yang benar dalam permasalahan itu. Hanya saja, ada hal baru yang mampu dipetik dari diskusi Cak Nun, Sujiwo Tedjo dan para jamaah Maiyah itu. Hal baru tersebut adalah pola yang selalu Allah tampilkan dalam semua ciptaannya ini. Alam jagad raya ini terdiri dari planet-planet yang bergerak membentuk pola. Dalam kehidupan sehari-hari pun, kita sering menyaksikan pola-pola yang ada di hadapan mata kita. Mungkin pola perilaku yang ditunjukkan teman-teman kita, pola system tempat kita bekerja, bahkan apa yang terjadi pada diri kita sendiri, kita akan menemukan pola. Dan pola itu, diyakini, selalu dibentuk dari titik-titik yang tidak terhingga, namun mengikuti ritme tertentu. Dan diyakini pula, ritme tersebut pada ujungnya membentuk pola gambar lingkaran.
Di dalam NUsa, kami pun merasakan hal itu. Ada pola-pola yang sampai sekarang ini terbentuk sejalan dengan berjalannya NUsa. Mulai dari pola keredaksian, pemasaran, iklan, keuangan, kemanusiaan, dan masih banyak pola yang lainnya. Semua masih berjalan dan masih menentukan titik-titik yang belum selesai.
Dalam kasus manajemen perguruan tinggi di Tuban yang hari-hari ini mengguncang jagad Tuban pun demikian. Ada pola yang berjalan. Entah kini sudah dalam bentuk apa pola itu. Namun, bila dicermati ada pola yang terbentuk. Misalnya, manajemen lembaga yang mengikuti aturan, pasti akan terasa polanya. Kemudian, ada penyimpangan-penyimpangan. Penyimpangan itu kian hari kian tambah. Dan pada akhirnya akan ketemu polanya. Jika kita merenung dengan pola-pola ini, maka kita akan menjadi orang yang bijak.

Lalu, bagaimana dengan LAZISNU Tuban? Digadang PCNU Tuban untuk menjadi sumber keuangan dakwah, bagaimana pola yang akan dibentuk ke depan? Kami menunggu. (*)

NUsa Peduli 41 - Disalurkan pada Yatim Anak Buruh Toko



SEMANDING- Selalu ada yang butuh dibantu di setiap lembaga atau komunitas. Dan NUsa Peduli hadir untuk menyantuni mereka. Seperti yang terjadi di MI NU 03 Darussalam Kiring, Semanding. Di lembaga yang baru bergabung dengan LP Ma’arif tahun 2015 ini terdapat 5 anak yang membutuhkan bantuan. Mereka adalah Teguh Prasetyo, Ahmad Rifa’i, Dewi Anggraini, Dewi Isnawati dan Latifah. Kesemua anak ini duduk di bangku kelas satu dan menjadi angkatan pertama MI NU Kiring ini.
Kandhim (wakil ketua Yayasan Darussalam- yayasan yang mengelola madrasah) menceritakan bahwa kelima anak itu berasal dari keluarga tidak mampu. Rata-rata adalah anak buruh petani yang bersemangat untuk belajar. “Ahmad Rifa’i adalah anak yatim. Ibunya bernama Siti Kholifah. Kini menjadi buruh toko. Dia harus berjuang untuk menghidupi dua anaknya, yang satunya masih duduk di bangku SMA,” ungkapnya.
Meskipun berada dalam keluarga kurang mampu, kelima anak ini tergolong anak yang mempunyai minat sekolah tinggi. Bahkan Dewi Anggraini dikatakan sebagai anak yang berprestasi di antara teman-temannya.

Kepada anak-anak itulah santunan NUsa Peduli diberikan. Tim NUsa yang terjun di lapangan berharap semoga santunan yang nilainya tidak seberapa itu bisa bermanfaat bagi anak-anak yang menerimanya. Kepada NUsa, Kandhim mengucapkan banyak terima kasih. “Bangga. Terima kasih atas bantuan dan perhatiannya. Semoga NUsa tetap jaya!” ungkap dia. (wakhid)