‘’NU ITU BESAR. NU ITU
HEBAT’’.
Kalimat itu sering saya ucapkan ketika memberi sambutan atau
pengarahan di lingkungan Lembaga Pendidikan Ma’arif. Dengan mengucapkan itu,
saya berharap para pengurus dan keluarga besar L.P. Ma’arif semangat, bangkit
gairahnya, bangkit percaya dirinya, menyadari kalau dirinya besar, menyadari
kalau dirinya berada pada lingkungan besar, menyadari kalau posisi dirinya berada
di tengah-tengah komunitas (organisasi) yang luar biasa.
Menurut pengamatan saya selama ini (semoga tidak salah), salah satu
faktor ketidakmajuan lembaga-lembaga di bawah Ma’arif adalah kurangnya
semangat, kurangnya kepercayaan diri, dan kurangnya pemahaman akan peta
keberadaan NU (termasuk Ma’arif) di tengah-tengah kelompok lain.
Saya tidak asal bicara. Meski niat atau tujuannya memberi dorongan
semangat, tapi saya juga mendasarkan kepada data-data penelitian. Dan, rasanya
sebagian dari kita tidak terlalu kaget dengan hasil penelitian tersebut.
Fakta yang ada adalah NU merupakan organisasi massa (ormas) Islam
terbesar di dunia. Berdasarkan penelitian beberapa lembaga survey pada pemilu
2014 lalu, warga muslim Indonesia yang berhaluan NU, diperkirakan 33 pesen dari 250 juta penduduk
Indonesia. Jadi, warga nahdliyin kisaran 82,5 juta. Sedang saudara kita
Muhammadiyah sebanyak 19 persen atau sekitar 47,5 juta. Separoh lebih sedikit dari
warga NU. Adapun mereka yang di luar NU dan Muhammadiyah sebanyak 31 persen atau
sebanyak 77,5 juta.
Jumlah 82,5 juta jiwa adalah
jumlah yang sangat besar. Lebih besar dari penduduk beberapa negara Islam
seperti Malaysia (30 juta), Arab Saudi (29 juta) dan Mesir hanya kisaran 82
juta. Turki yang dulu merupakan pusat Kekhalifahan Turki Usmani (yang merupakan
pemerintahan Islam terbesar sepanjang sejarah peradaban Islam) hanya sekitar 75
juta jiwa. LUAR BIASA bukan?
Tidak hanya jumlah. Yang
menjadikan NU layak disebut HEBAT adalah soal daya tahannya untuk hidup di berbagai
gonjangan zaman. Saat ini, NU hampir berusia satu abad. Dalam rentan waktu
panjang itu, NU hidup dalam dinamika kehidupan yang berliku dan berkelok. Di
jaman penjajah, karena sikapnya yang non-kooperatif, anti politik asosiasi yang
dilancarkan Belanda dan selalu membangkitkan semangat nasionalisme, NU selalu
berada pada posisi ditekan. Ulama-ulama NU pun, demi menjaga eksistensi warga
NU membangun pesantren (lembaga pendidikan) di tempat-tempat yang jauh dari
keramaian (jalan raya).
Di era orde lama, meski kondisinya
lebih baik, NU juga tidak bisa dikatakan enak. NU sempat harus berdarah-darah
melawan keberutalan PKI. Di zaman Orde Baru (Soeharto), kondisi NU semakin
termarginalkan. Soeharto yang di awal kepemimpinannya mengalami Islam fobia
(takut dan penuh prasangka) menjadikan NU sebagai musuh politiknya. NU harus
hidup dalam tekanan. Aktivis NU harus bergerak di bawah tanah. Gus Dur harus bersilat
ala ‘’Dewa Mabuk’’ demi menjaga gerbang besar NU.
Kendati batu terjal harus dilalui,
NU tetap eksis. NU tetap besar. Maka layaklah kalau jam’iyah yang didirikan
para ulama mukhlis ini diberi label HEBAT.
Ya…NU organisasi yang HEBAT plus LUAR BIASA.
Di era reformasi, kondisinya jauh
lebih baik. Lapak demokrasi memberikan ruang kepada warga NU untuk tampil di
tengah-tengah gelanggang. Namun, ranjau yang puluhan tahun telah ditebar oleh
rezim Orde Baru masih berserakan di mana-mana. Dengan SDM (Sumber Daya Manusia)
terbatas –karena puluhan tahun tidak diberi kesempatan—warga NU sering terkena
ranjau. Kepiluan pun terkadang masih mendera warga NU di tengah-tengah bangsa
yang sedang eforia merayakan kebebasan demokrasi. Warga NU sering tidak tahu
caranya makan hidangan yang sudah tersaji di depan meja.
Namun toh demikian, , menurut
saya, di era reformasi ini kondisinya tetap lebih baik. Dan saya yakin, warga NU
akan bisa mengambil peran lebih besar manakala mampu memaksimalkan dan memenej
potensi besar NU dan kehebatan organisasi yang didirikan oleh (insya Allah)
para auliya’ ini.
Menurut saya, banyak potensi yang luar
biasa besar yang bisa digali dari NU. Yang paling menonjol adalah potensi jumlah
massa (pengikut), jaringan dan loyalitas warga nahdliyin kepada para tokohnya.
Dari sisi SDM-pun kalau kita mau secara jeli mencari, warga NU yang
pinter-pinter sekarang sudah banyak. Sekarang ini, mencari profesor dan doktor
di lingkungan NU sangat mudah. Beda jauh dengan gambaran ayahanda Gus Dur, KH
Wahid Hasyim ketika beliau masih sugeng,
yang mengatakan kalau mencari intelektual di kalangan NU bagaikan mencari es di
malam hari. Saat ini, kapan pun, jam beradapa pun, kita bisa mencari es. Begitu
pun mencari doktor dan profesor di NU sekarang sangatlah mudah.
Hanya, mereka kadang tercerai
berai di mana-mana. ‘’Penyakitnya’’ orang NU, mereka kadang tidak mudah
menerima kader NU yang bau pesantrennya sudah berkurang. Padahal, nyata-nyata
orang itu amaliahnya masih NU dan dzuriah
orang NU.
Makanya, demi menggali semua
potensi di atas, menurut saya, membangun sinergitas adalah sebuah keniscayaan.
Sinergitas mengandung makna menghimpun, mengerahkan berbagai potensi warga NU
untuk mewujudkan cita-cita bersama. Sinergitas juga mengandung makna,
masing-masing potensi yang telah terhimpun tersebut melakukan peran
sendiri-sendiri (bahasa birokrasinya sesuai dengan tupoksi) secara maksimal.
Namun, muara dari kerja maksimal itu satu; kemaslahatan warga NU.
Apa kata kunci agar kondisi
seperti itu tercipta? Jawabannya: KEBERSAMAAN. Kebersamaan dalam pemikiran,
kebersamaan dalam tujuan, visi misi, kebersamaan keyakinan atau idiologi
(aswaja), dan kebersamaan perasaan (tidak ada yang merasa lebih hebat, lebih
tinggi derajatnya, lebih berhak dll).
Mungkin, menciptakan KEBERSAMAAN
di lingkungan NU bukanlah hal mudah. Riak-riak perbedaan dan perselisihan senantiasa
menyertai warga NU. Paham yang salah atau salah paham lebih sering terjadi dari
pada paham yang benar. Namun, saya yakin, seiring dengan waktu, seiring dengan
perkembangan SDM warga NU, perselisihan-perselisihan seperti itu akan menurun
grafiknya. Orang yang terdidik, akan semakin berpikir dan bertindak rasional.
Mereka tentu tidak akan mau menghabiskan waktu, pikiran dan tenaga untuk
pertengkaran-pertengkaran yang dipicu oleh persoalan-persoalan sepele. Wallahu a’lam! (*)
0 komentar:
Posting Komentar