RAPAT REDAKSI NUsa

Akhmad Zaini (Pimred Tabloid NUsa) memimpin rapat redaksi di halaman kampus STITMA Tuban.

DIKLAT JURNALISTIK

Peserta diklat jurnalistik dan crew Tabloid NUsa berpose bersama usai kegiatan diklat.

SILLATURRAHMI

Ketua LP. Ma'arif NU Kab. Tuban dan Pimred Tabloid NUsa berkunjung ke Rumah Gus Rozin (Putra KH. Sahal Mahfudz).

NUsa PEDULI SPESIAL

Mustain Syukur (Ketua PCNU Kab.Tuban) dan Fathul Huda (Penasehat LP. Ma'arif NU Tuban) berpose bersama siswa yang mendapatkan santunan NUsa Peduli.

STUDY BANDING LP. MA'ARIF NU KAB. TUBAN

Akhmad Zaini, ketua LP. Ma'arif NU Kabupatn Tuban saat menerima cinderamata dari LP. Ma'arif Kab. Pasuruan.

RAPAT BERSAMA

Pengurus PCNU, Pengurus LP. Ma'arif NU, PC.Muslimat Tuban, PC.Fatayat NU Tuban saat rapat bersama membahas pendidikan di Kabupaten Tuban.

GROUP SHOLAWAT SMK YPM 12 TUBAN

Group Sholawat Al-Banjari SMK YPM 12 Tuban melantunkan tembang sholawat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.

TURBA MAARIF NU TUBAN KE RENGEL

Group Sholawat Al-Banjari SMK YPM 12 Tuban melantunkan tembang sholawat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.

NUsa PEDULI EDISI 23

Tiga siswa berada di naungan LP. Ma’arif menerima santunan yang diberikan langsung oleh Dirjen Pendis (kanan) dan Kapala Kemenag Tuban.

PENGURUS PC. LP MA’ARIF NU

Beberapa Pengurus PC. LP Ma’arif NU Tuban siap bekerjasama demi kemajuan pendidikan di Kabupaten Tuban.

AVANZA UNTUK OPERASIONAL MA’ARIF NU TUBAN

Zaini (Ketua PC. LP. Ma'arif) menerima hadiah mobil dari Bupati Tuban secara simbolis pada acara Rakor kepala sekolah dan pengurus yayaasan se-kabupaten Tuban.

PRESTASI FATAYAT

Fatayat NU Tuban Masuk 10 Besar Lomba Rias Provinsi.

JUARA MTK

Beberapa Crew Tabloid NUsa, mereka semua generasi dari NU berasal dari Tuban, Lamongan dan Bojonegoro.

TIM TABLOID NUsa

Beberapa Crew Tabloid NUsa, mereka semua generasi dari NU berasal dari Tuban, Lamongan dan Bojonegoro.

Sabtu, 24 Mei 2014

LIPUTAN KEWIRAUSAHAAN TABLOID NUsa EDISI 24

Rasimah (Pembuat Ampo) tengah membentuk tanah menjadi gundukan.


Edy Suprayogi (wartawan Tabloid NUsa) wawancara dengan Rasimah (Pembuat Ampo).


Rasimah menyisir gundukan tanah.


Setelah membentuk gulungan, lalu dipanggang


Hasil Tanah (Makanan Ampo) setelah dipanggang.


Ampo, makanan sehat khas Tuban.










LP. MA'ARIF NU KAB. TUBAN RAPAT BERSAMA


STUDY BANDING LP. MA'ARIF KAB.TUBAN KE LP. MA'ARIF KAB. PASURUAN


RAPAT REDAKSI TABLOID NUsa


NUsa PEDULI SPESIAL


TABLOID NUsa EDISI 24



Anda bisa membaca Tabloid NUsa EDISI 24 di Layar Komputer, Laptop, HP/I-Pad File PDF. 
Catatan: Apabila ada kesulitan untuk download file kami, anda bisa menghubungi admin: kangaidi HP (0856-3301-799/0857-0628-2861) Fb: kangaidi

Contoh Halaman Tabloid NUsa EDISI 24



















Untuk download Tabloid NUsa EDISI 24 Format PDF,  silahkan Anda klik ikon download di bawah ini ...



SILLATURRAHMI


NUsa PEDULI 24// NUsa Peduli Disalurkan ke Mlangi

6 SISWA: Dewan Guru MI Al-Hidayah Leran Wetan Palang berpose bersama beberapa siswa saat berpose usai menerima santunan NUsa Peduli.

PALANG – Santunan NUsa peduli edisi 24 kali ini disalurkan di MI Al-Hidayah Leran Wetan Palang, Tim NUsa peduli menyalurkan santunan senilai  600 ribu kepada 6 siswa-siswi dilembaga tersebut. Santunan diserahkan oleh Ahmad Muthorib, S.Pd ketua MWC Ma’arif NU Palang.
   Keenam siswa-siswi tersebut yakni Affan Syahrul Romadhoni (kelas 1), Muhammad Arifin (kelas 1), Ahmad Zubair (kelas 2), Fair Fajeri Mahmud (kelas 2), Zumaroh (kelas 4), dan Rona Lestiwi (kelas 5). Keenam siswa-siswi tersebut tercatat sebagai anak yatim serta dari keluarga yang kurang mampu.
   Affan Syahrul Romadhoni adalah putra dari ibu Sri Lestari, seorang wiraswasta. Muhammad Arifin putra dari ibu Suparti seorang petani. Ahmad Zubair putra ibu Setinah seorang petani, Fair Fajeri Mahfud putra ibu Syarofah seorang wiraswasta, Zumaroh putri ibu Darmani seorang petani. Zumaroh yang saat ini pendidikanya di TPA sudah jilid 6, punya cita-cita menjadi seorang guru ngaji. Dan Rona Lestiwi putri ibu Lasminah, yang juga seorang petani.

   Waka Humas MI Al-Hidayah Sujud menjelaskan, Affan Syahrul Romadhoni dan Rona Lestiwi mempunyai prestasi yang cukup menggembirakan di kelasnya.  “Walaupun mereka berangkat dari keluarga yang tidak mampu tetapi mempunyai semangat yang luar biasa dalam belajar,” ungkapnya.(amin)

TOKOH INSPIRATIF NUsa 24//KH. ACHMAD MUNDZIR, M.Si

TOKOH KH. ACHMAD MUNDZIR, M.Si

MUNDZIR:  meski usianya sudah relatif sepuh tetapi tetap menulis sebuah buku

Hidup dan Mati Sama Saja!

KH. Achmad Mundzir, M.Si. Begitulah nama lengkap beserta gelarnya. Di Kabupaten Tuban, nama itu sudah tidak asing lagi. Dialah sang penulis buku Tuban Bumi Wali.

Ditemui NUsa di kediamannya yang berada di Jl. Pramuka V No. 2 Tuban, Mundzir bercerita tentang beberapa penggal sejarah hidupnya. Siapa yang menyangka, di balik dandanan kesederhanaannya setiap hari, dia menyimpan dasar pemikiran yang senantiasa dia pegang dalam hidupnya.
Mundzir terlahir di Desa Kesambi, Pucuk, Lamongan pada 20 April 1951. Abahnya bernama KH. Abdul Ghoni, seorang pemimpin thoriqoh Tauhid Rububiyah Kesambi, Pucuk. Uminya bernama Hj. Masfiyah. Dalam sejarah kehidupannya, Kiai Abdul Ghoni pernah menimba ilmu di Makkah al-Mukarromah selama 7 tahun. Dan ketika telah menetap di Kesambi, Kiai Ghoni mengisi ngaji kitab di beberapa majelis ta’lim. Nyai Hj. Masfiyah pun mempunyai majelis ta’lim sendiri.
Hidup dalam keluarga demikian, Mundzir mengaku bahwa abahnya telah mengajarkan ajaran thoriqot Tauhid Rububiyah padanya sejak masih sangat belia. Ajaran yang mengatakan bahwa hidup dan mati itu sama saja selalu dia pegang. Karena dengan berpegang pada ajaran itu, dirinya mengaku siap untuk menghadapi hidup ataupun mati. Begitulah motto hidup yang dia pegang, sehingga jelaslah dengan dandanannya yang sederhana mampu menampakkan jati dirinya. Bahkan sejak kelas 5 SR, dia telah menghatamkan Al-Qur’an. Itu pun atas bimbingan abahnya.

Dari Sedan hingga Langitan
Mundzir mengawali pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat (SR) Pucuk. Tepatnya pada 1956. Di SR itu, dia hanya bersekolah sampai kelas 5, kemudian berpindah ke Karas, Sedan, Jawa Tengah (1960). Perpindahannya disebabkan abahnya meninggal dan tidak ada orang “Kiai” yang mengajarinya lagi. Dia di Sedan tinggal bersama budenya dan mengaji pada Kiai Sulthon bin Mawardi. Mengaji pada Kiai Mawardi, Mundzir mendapat pentashihan Al-Fatihah dan ilmu nahwu. Di samping belajar pada Kiai Mawardi, Mundzir juga belajar di Madrasah Diniyah Roudlotut Tholabah Sedan.
Hanya berlangsung sampai 1963, Mundzir kecil berhijrah kembali untuk nyantri di Pondok Pesantren Pringgoboyo Sekaran, Lamongan. Dia mengaji pada Kiai Masnur Kusairi. Di sana, dia telah belajar beberapa kitab, salah satunya kitab Durrotun Nasihin. Hanya berselang 1 tahun, Mundzir berhijrah lagi ke Langitan Tuban (1964). Di Langitan, Mundzir belajar sampai 7 tahun.
Pada 1971 Mundzir boyong dari Langitan. Saat di langitan itulah, bakat-bakat kepemimpinan Mundzir mulai tumbuh. Di pondok salaf itu, Mundzir mengaji pada Kiai Zuhdi, Kiai Faqih, Kiai Marzuqi, Kiai Abdul Hadi dan Gus Hamim (adik Kiai Faqih).
Setidaknya, kenangan yang sangat kuat dia ingat selama di Langitan adalah sejak masuk menjadi santri, Mundzir tidak pernah masuk dalam jajaran santri tukang bersih-bersih. Karena kemampuannya di bidang bahasa, pada usia itu (13 tahun) Mundzir langsung duduk di bangku kelas 5. “Umumnya, anak biasanya masuk di kelas 3 dulu,” katanya heran.
Dia pun langsung masuk dalam kelompok orang dewasa dan menjadi bagian dari keamanan pondok. Bahkan ketika telah cukup lama belajar di Langitan, dia menjadi teman dekat Gus Hamim. “Saat Gus Hamim mengoreksi ujian, saya diajak untuk mengoreksi,” ungkapnya. Padahal saat itu, Mundzir masih tercatat sebagai santri Langitan. Saat di pondok Langitan pula Mundzir mulai bersentuhan dengan aliran-aliran pemikiran. Dia mengaku sering membaca kitab-kitab larangan (dibaca oleh orang-orang tertentu), seperti kitab Subul Salam karya Muhammad bin Ismail al-Kakhlani as-Sun’ani. Dulu saat getol membaca, dia tidak mengetahui alasan larangan membaca kitab-kitab semacam itu. Namun, setelah duduk di bangku kuliah, baru dia tahu bahwa kitab itu adalah karya orang Syi’ah Zaidi (golongan Syi’ah moderat).
Ketika belajar di Langitan, Mundzir tidak lantas meninggalkan masalah ilmu umum. Saat di pondok itu, dia juga belajar di PGA 6 tahun dan kursus Bahasa Inggris di Kota Babad.

Melawan Babinsa
Boyong dari Langitan (1971), Mundzir telah mengantongi ijazah PGA dan sertifikat kursus, serta wawasan keilmuan agama yang matang. Kembali ke Kesambi, kampung halamannya, dia aktif di jajaran IPNU Kesambi dan mengajar di MI Salafiyah Cungkup. Bahkan dia langsung mendirikan MTs Ma’arif Pucuk dan menjadi kepalanya sekaligus. Dalam pikirannya saat itu, orang Muhammadiyah di lingkungannya jumlahnya sedikit, tetapi dengan jumlah kecil itu mereka belajar sampai perguruan tinggi dan akhirnya bisa mengisi tempat-tempat strategis pemerintah. Semntara warga NU menjadi mayoritas, tapi tidak bisa menduduki posisi-posisi penting itu, karena terganjal ijazah. Untuk itu, dia mendirikan MTs, dalam rangka mendorong agar anak-anak warga NU Kesambi mau melanjutkan belajarnya sampai ke jenjang tinggi. “Alhamdulillah dengan dorongan-dorongan itu, kini jumlah sarjana yang ada di Pucuk imbang antara NU-Muhammadiyah, malah kini lebih banyak warga NU,” ungkap Mundzir.
Saat mengurusi lembaga itu, Mundzir menyempatkan diri belajar di Unsusri Surabaya pada Fakultas Tarbiyah-PAI (1976-1978). Dia akhirnya mendapatkan gelar sarjana mudanya (BA). Bahkan saat kuliah itu, Mundzir mendapatkan sebutan sebagai kamus berjalan karena ilmu Bahasa Arab dan Inggisnya mumpuni. “Kalau ilmu agama, saya ambil metodologinya,” katanya.
Dalam bidang organisasi, saat di IPNU, dia pernah melawan seorang pimpinan Babinsa yang terkenal kejam saat itu. Sebagai kepanjangan tangan Golkar, Pimpinan Babinsa itu sering meneror pihak-pihak yang menentang Golkar dan bahkan memberikan hukuman fisik. Saat akan diadakan pengajian umum, Pimpinan Babinsa itu tidak menghendaki jika acara itu dihadiri banyak jama’ah, sehingga dia meneror orang-orang yang akan menghadiri pengajian. Tidak kalah arang, Mundzir mengerahkan pasukan IPNU-IPPNU untuk menghadiri pengajian itu dengan serempak berpawai. Akhirnya Babinsa itu datang dan menghentikan motornya di tengah jalan untuk menghadang. Dengan keberanian Mundzir, Babinsa itu disuruhnya meminggirkan sepedahnya dan membiarkan rombongan berangkat. Entah kenapa akhirnya rombongan dibiarkan berjalan oleh Babinsa itu. “Padahal sebelum kejadian itu, Anshor pun takut melawannya,” ungkap Mundzir. “Tapi pada malam sebelumnya orang itu saya bacakan Yasin 121 kali,” imbuhnya. (wakhid)

Jumat, 23 Mei 2014

TAUSIYAH - Abaikan Adab, Sholat Bisa Sia-Sia



Assalammu’alaikum warohmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah kita ucapakan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kita keselamatan dan kesehatan. Pertama-tama yang perlu dipahami dan diketahui bersama-sama bahwa ibadah sholat itu adalah kewajiban seorang umat Islam. Tata cara sholat juga sudah banyak yang mengerti yaitu dimulai dari takbir dan diakhiri oleh salam. Tetapi perlu diingat bersama, bahwa ibadah sholat itu juga ada wajibnya, haramnya, sunnahnya dan yang terakhir yaitu makruhnya. Hal itulah yang minim sekali dimengerti oleh umat Islam saat ini, lebih-lebih pada masyarakat Islam yang awam terhadap ajaran agama islam.
Padahal, hal itu bisa merusak tatanan dalam melakukan ibadah sholat. Apalagi pada saat ini banyak sekali orang yang melakukan ibadah sholat dengan penampilan yang tidak diharapkan oleh aturan-aturan agama atau para ulama dan kiai. Kita ambil contoh saja masalah berpakaian dalam melakukan ibadah sholat, banyak orang sekarang memakai baju yang tidak sesuai dengan anjuran oleh agama Islam. Padahal, sedikit kita salah dalam berpakaian ketika melaksanakan ibadah sholat, maka hal itu termasuk makruh hukumnya. Dan kalau sholatnya makruh, maka orang yang melakukan ibadah sholat juga akan terkurangi ganjarannya atau bisa-bisaa kosong ganjarannya.

Hal-hal yang semacam itulah yang harus diperhatiakan dan dicatat oleh umat Islam, agar nanti bisa melakukan ibadah sholat dengan benar dan sesuai ajaran Islam yang sesungguhnya yaitu berdasarkan Al Qur’an dan Hadistnya.
Marilah kita simak kembali pada kitab Fathul Muin atau Kasifatul Sajah dan maupun kitab yang lainnya tentang bab pembahasan sholat. Pasti di dalam kitab-kitab itu akan dijelaskan bagaimana kita melakukan ibadah sholat dengan benar, hingga sampai bagaimana kita berpenampilan ketika dalam melakukan ibadah sholat. Dari situlah kita seharusnya bisa belajar dan melakukan ibadah sholat dengan benar, tanpa melakukan hal-hal yang makruh apalagi sampai menjalani hal-hal yang haram. Kalau hal yang seperti itu sudah terjadi, maka sholatnya juga akan muspro atau sia-sia.
Contoh kecil melakukan ibadah sholat dikatakan makruh yaitu melakukan ibadah sholat di tempat yang alasnya ada gambar-gambarnya atau semacam pernak-perniknya. Hal itu seharusnya dihindari. Dan sebaiknya menggunakan alas sholat itu yang biasa-biasa saja atau berwarna polos. Contoh lain yang perlu diperhatikan, yaitu seharusnya kalau sholat tidaklah berpakaian yang ada gambar-gambarnya atau semacam kembang- kembangannya, lebih baik ketika melakukan ibadah sholat gunakanlah baju atau kemeja yang polos saja atau berkemeja putih. Hal-hal semacam itu kalau tidak diperhatikan ketika menjalankan ibadah sholat, maka ibadah sholatnya juga akan musproh, artinya ibadah sholat yang dikerjakan pun belum dikatakan sempurna.
Bab tentang makruhnya sholat harus benar-benar dipelajari, supaya mengerti bagaimana melakukan ibadah sholat yang yang benar tanpa harus menghilangkan atau mengosongkan ganjaran sholat. Kenapa harus dipelajari? Karena kita ini sebagai warga nahdliyin tidak sama dengan ajaran wahabi, maka dari itu marilah barsama-sama mempelajari lebih dalam pada bab sholat ini.
Perlu diketahui bersama, bahwa dulu para kiai membuat jama’ah NU, tidak lain karena hanya ingin mempertahankan ajaran ahlussunnah waljama’ah. Dalam ajaran ahluisunnah waljama’ah lah, yang sedikit atau banyak membahas tentang tata cara ibadah sholat yang sebenarnya, apalagi pada zaman saat ini banyak orang yang mengalami pergeseran tentang tata cara ibadah sholat. Hal itulah yang seharusnya dihentikan dan diarahkan yang benar. Jangan sampai kita sebagai warga nahdliyin ikut-ikutan seperti ajaran wahabi.
Maka dari itu sebagai warga Nahdliyin yang selalu memegang ajaran Ahlisunnah waljama’ah, marilah kita bersama-sama bahu-membahu menegakkan ajaran agama Islam, khususnya dalam pembahasan bagaimana melakukan ibadah sholat yang benar menurut ajaran islam ahlisunnah waljama’ah. Selain itu janganlah sampai kita ini ikut-ikutan atau mengikuti ajaran dari orang wahabi, karena ajaran wahabi itu hanya menggunakan landasan dari Al qur’an saja, tetapi tidak mau menggunakan atau menengok ke hadist-hadist yang lain. Lebih bahayanya lagi kalau orang wahabi itu salah menafsirkan apa isi dari Al Qur’an itu.



Wassalamu’alaikum Warrahmatullahiwabarakaatuh

Membongkar Tradisi Syuroan

  Bulam Muharram, atau orang Jawa sering menyebutnya Syuro, dinyakini sebagai bulan yang mulia dan keramat. Karena keyakinan itulah berbagai budaya atau tradisi bermunculan untuk menyambut datangnya bulan itu. NUsa mencoba menelusi berbagai tradisi tersebut.  
Dalam tradisi masyarakat Jawa ada sebuah mitos bahwa di bulan ini orang tidak diperkenankan untuk mengadakan acara keluarga (gawe), seperti; nikahan, khitanan, mendirikan rumah, atau yang sejenisnya. Bahkan dalam kasus tertentu ada yang mengatakan bahwa di bulan Muharram/Suro inilah waktu yang tepat untuk mencuci senjata (keris) agar bertambah kekuatan yang ada di dalamnya, terutama pada malam tahun baru 1 Suro/Muharram.
Di bagian lain, karena mulianya bulan tersebut beberapa kalangan santri tertentu merayakan kedatangan tahun baru Hijriyah (1 Muharram) ini dengan berbagai kegiatan religius. Mulai dari menghatamkan al-qur’an 30 juz secara bergantian, membaca dziba’iyah, membaca barzanji, mengirim doa untuk ahli kubur, hingga mengadakan istighotsah dan pengajian akbar. Lebih semarak lagi, ada yang mengadakan kegiatan festival dengan tema Muharram, pawai ta’ruf Muharram, dan juga aksi damai untuk umat Islam.
Menurut Muhammad Najib, Lc., wakil ketua Bidang Kajian keilmuan pesantren PW GP. Ansor Jawa Timur tradisi merayakan bulan Suro/Muharram ini juga marak di beberapa tempat. Misalnya di Keraton Solo, tiap malam bulan Suro mengadakan ritual tertentu yang dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan atas kedatangannya. Kemudian di Semarang, tepatnya di Tugu Soeharto beberapa orang melakukan ritual mandi, mencuci keris, dan ontokusumo pada malam 1 Muharram/Suro.
Dikatakannya, jauh sebelum kedatangan Islam di tanah Arab sudah ada tradisi penghormatan terhadap bulan Muharram. Pada masa jahiliyah, bangsa Arab adalah bangsa pengembara yang tangguh dan memiliki fanatisme yang kuat terhadap kelompok, suku, atau kabilahnya. Mereka sering kali bentrok dan berperang satu sama lain untuk memperebutkan wilayah kekuasaan, jalur perdagangan, dan harta rampasan. Namun, mereka akan berhenti berperang jika pada bulan Muharram. Mereka sepakat, bahwa pada bulan itu mereka akan berhenti bermusuhan dan melakukan aktivitas sehari-hari yang lain. Bahkan di Ukaz, sebuah bazar besar di kota Mekkah di zaman Jahiliyah diadakan festival membaca sya’ir dari masing-masing kabilah di seluruh jazirah Arabia. “Sehingga sebelum kedatangan Agama Islam, kegiatan memuliakan bulan Muharram ini sudah ada dan berjalan dengan dinamis,” kata ustadz Madrasah Ghazaliyah Syafi’iyah Sarang yang berdomisili di Tambakboyo ini.
Setelah Islam datang, tradisi memuliakan bulan Muharram ini terus dilakukan dan dilestarikan, terutama untuk tidak melakukan peperangan pada bulan ini. Bentuk memuliakan bulan Muharram ini merupakan sikap taqrir (menetapkan) Islam terhadap tradisi yang baik di masyarakat, sehingga harus dilestarikan.
Penetapan Islam terhadap tradisi jahiliyah bukan tanpa alasan, hal itu didasarkan pada sebuah hadits Nabi SAW. yang berisi tentang diskusi dengan orang Yahudi. Rasulullah saw. bertanya kepada orang Yahudi ketika puasa pada hari asyura’ (10 Muharram), dan orang yang Yahudi menjawab bahwa hal itu dilakukan untuk merayakan kemenangan Nabi Musa terhadap kerajaan Fir’aun. Lalu Rasulullah SAW. pun menegaskan bahwa beliau dan umatnya lebih berhak untuk melakukannya.
Memang dalam sejarah peradaban Islam, pada hari asyura’ telah terjadi peristiwa-peristiwa besar yang menjadi eksistensi Islam itu sendiri. Mulai dari dikeluarkannya Nabi Yunus AS. dari perut ikan paus, bertemunya Nabi Adam AS. dengan Siti Hawa, terselamatkannya umat Nabi Nuh AS. dari banjir besar, dan lain sebagainya.      
Adapun jika dikaitkan dengan konteks tradisi Jawa yang mempunyai hitungan kalender yang sama dengan Islam, namun dengan nama yang berbeda hal itu memiliki nilai historis tersendiri. Terlepas dari asal usulnya, apakah bulan Suro itu sudah ada sebelum adanya agama Islam di Jawa atau muncul baru setelah adanya Islam, Gus Najib, panggilan akrab alumnus Al-Azhar University Cairo ini mengatakan bahwa hal itu dinyakini sebagai bentuk menyatukan atau mengadopsi simbol-simbol Islam agar meresap bersama kebudayaan Jawa (akulturasi, sinkretisme, pribumisasi).    
Pada kenyataannya tradisi memuliakan bulan Muharam yang dilakukan oleh umat Islam juga terjadi pada masyarakat Jawa yang memuliakan bulan Suro, yang mana hitungan jumlah hari dan hitungan tiap tahunnya sama. “Sedikitpun tidak ada perbedaan antara bulan syuro dan bulan Muharram, dan ini bisa dipastikan merupakan bentuk sinkretisme atau akulturasi antara tradisi Islam dan tradisi Jawa yang diwujudkan dalam bentuk kalender,” tambah ustadz muda yang juga sekretaris LBM PCNU Tuban ini. 

Mitos Bulan Syuro
Dalam kehidupan sehari-hari berkembang pula sebuah mitos yang terbangun dari hasil pengalaman masyarakat Jawa terhadap fenomena alam. Salah satunya adalah memuliakan dan mensucikan bulan Muharram atau Suro. Bentuk penghormatan tersebut dilakukan dalam berbagai ritual dan adat istiadat tradisi, termasuk pula menghindari mengadakan kegiatan-kegiatan besar sebagai rasa penghormatan. Pada gilirannya hal itu dikultuskan dan menjadi semacam mitos.
Akan tetapi sebenarnya hal itu bukanlah mitos atau dikultuskan dan menjadi fetis, dalam arti mengandung unsur pemberhalaan terhadap sesuatu benda karena ada anggapan mengandung kekuatan yang tersimpan, seperti yang dituduhkan oleh kelompok-kelompok anti SIPILI (Salafi-Wahabi). Justru merupakan pengalaman ilmiah yang dilakukan oleh orang jawa selama bertahun-tahun. Pengalaman tersebut terbentuk dari sebuah kebiasaan yang berjalan selama ribuan ratusan tahun. Misalnya, larangan untuk mengadakan kegiatan besar (acara keluarga) pada bulan Muharram/Syuro adalah karena kebiasaan orang tua Jawa yang sudah mengamati bahwa pada bulan tersebut sering kali terjadi kecelakaan jika melakukan kegiatan besar.
Sama halnya dengan kebiasaan rasional terhadap api yang membakar benda-benda tertentu dan akan padam jika diguyur air. Karena kebiasaanya yang selalu membakar benda kering, maka orang pun tahu kalau api itu bisa membakar dan juga merusak. Begitu juga orang tahu kalau api itu akan padam jika diguyur dengan air. “Kebiasaan memuliakan dan menghindari kegiatan menikah pada bulan Muharram atau Syuro bagi orang Jawa sama halnya dengan pengalaman air dan api tersebut. Bukan karena mengkultuskan atau menganggap ada kekuatan yang tersimpan pada bulan tersebut,” tegas bapak beranak tiga ini.
Terkait dengan memuliakan bulan Muharram, Islam sendiri menganjurkan kepada umatnya agar berpuasa pada tanggal 1 Muharram, membaca surat Yasin tiga kali pada malam harinya, dan memperbanyak dzikir pada tengah malam. Beberapa santri dari kalangan pesantren juga merayakan jauh lebih semarak, misalnya mengadakan khotmil qur’an, istighotsah, membaca kitab nurul burhan, dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya.
Ada pula yang merayakan tahun baru Muharram seperti halnya tahun baru masehi, yakni dengan cara melakukan konvoi motor berkeliling kota, mengibarkan bendera ormas yang diikutinya, dan meneriakan kalimat takbir dan shalawat. Bagi Gus Najib hal itu sah-sah saja, dan memang harus dilakukan sebagai langkah syi’ar terhadap simbol dan tradisi Islam. Simbol-simbol Islam harus diperkenalkan kepada masyarakat. Dan salah satu caranya adalah dengan merayakan tahun baru Muharram itu,” kata pria kelahiran Semarang ini.(syihab)

Arisan Sekaligus Beramal ala Ibu-Ibu NU Tuban



Lima Persen untuk Anak Yatim

SIAPA DAPAT? Dengan dibantu peserta panitia mengedarkan kaleng yang berisi nomor undian arisan di kantor PCNU Tuban.


Budaya arisan baru dilakukan ibu-ibu NU di Tuban. Mereka mengadakan arisan sekaligus beramal. Hasil uang arisan, dipotong 5 persen untuk disalurkan kepada anak-anak yatim di kabupaten ini. Bagaimana budaya arisan itu muncul?

Umumnya arisan yang dilakukan di masyarakat adalah  mengumpulkan uang arisan dari anggota. Kemdian setelah terkumpul semua uang arisan itu, panitia mengocok botol yang berisi gulungan kertas bertuliskan nama-nama anggota arisan. Dan setelah ke luar satu kertas akan dibacakan namanya. Setelah tahu siapa nama yang tertera di kertas, seluruh uang akan diberikan kepada yang tersebut namanya tadi.
Namun, tidak sama dengan yang umum, arisan yang diikti ibu-ibu tokoh NU Tuban ini mempunyai sedikit perbedaan yang menyebabkan perubahan mendasar. Mereka mebuat budaya arisan baru, yakni, arisan sekaligus beramal. Hasil uang arisan yang terkumpul, tidak semuanya diberikan kepada pihak yang menerima. Melainkan dipotong lima persen untuk dana sosial. Dana sosial itu secara rutin disalurkan kepada anak yatim yang berada di berbagai wilayah Tuban.
Setidaknya ada 2 kelompok arisan di Tuban yang anggotanya di dominasi ibu-ibu NU kelas atas. Keduanya mempunyai pola yang sama seperti yang telah tersebut di atas. Mereka adalah kelompok arisan PC Mslimat NU Tuban dan kelompok arisan persahabatan PPKB Tuban.
Masunah Fardiyati Fauzan, merupakan salah satu tokoh di balik munculnya dua arisan tersebut.  Dia sebagai penasihat dalam struktur kepengursan PC Muslimat NU Tuban dan sebagai Koordinator dalam kelompok Arisan Persahabatan PPKB Tuban. Di rumahnya, yang ada di Jl. Pramuka, Bu Fauzan (panggilan akrab Masunah Fardiyati Fauzan) menceritakan kronologis kemunculan 2 kelompok arisan yang memunculkan budaya berarisan yang “berbeda” itu.
Dia menceritakan awalnya tidak ada arisan semacam itu. Yang ada hanya kegiatan rutin penyaluran zakat secara rutin yang dilakukan suaminya H. Fauzan, karena Fauzan sendiri memiliki sebuah Panti Ashan Anak Yatim.
Kebiasaan membagikan santunan kepada anak yatim juga sudah biasa dilakukan oleh PC Muslimat NU Tuban. “Sudah lama sekali kegiatan membagi santunan kepada anak yatim dilakkan Muslimat,”  ungkap Bu Fauzan. Namun, dana yang diperoleh saat itu dengan cara membuat proposal dan turun ke jalan mengumplkan uang dengan proposal.
“Saya masuk ke rumah-rumah dengan membawa map (proposal, red). Itu saya lakukan dengan rasa malu karena setiap tahun harus meminta-minta uang kepada donator,” tuturnya mengisahkan. Ironisnya, usaha yang sedemikian berat itu, tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. “Usaha besar tapi tidak mendapat hasil yang sesuai dengan yang diharapkan,” ungkapnya. Setiap kali mau santunan dia keliling kota Tuban membawa map untuk minta dana sumbangan.
Oleh karena itu, sekitar 1998 dia berinisiatif membuat arisan satu juta-an di kepengurusan Muslimat Tuban. Nama-nama yang langsung segera tertarik ikut termasuk Bu Huda (istri Bupati Tuban H. Fathul Huda), Bu Noor Nahar (istri wabup) dan yang lain. “Waktu dulu uang satu juta masih sangat besar,” ungkap Bu Fauzan. Sehingga, yang mengikuti arisan baru sedikit. Ada 20 orang. Maskipun mahal, arisan itu tetap berjalan karena dilandasi niat yang sama, yakni ingin beramal. Lima persen dari dana arisan yang didapat akan dipakai sebagai dana sosial, sebagai pengganti budaya lama: yakni budaya meminta.
Karena konsistensi para anggota arisan dengan visi yang telah disepakati bersama, budaya arisan “mahal” itu masih berjalan sampai sekarang dan bahkan berkembang. Bu Fauzan mengatakan bahwa terakhir ini anggotanya berjmlah 100 orang dan akan bertambah lagi setelah periode arisan tahun ini selesai. Nama-nama baru akan muncul termasuk nama Siti Hanifah Muzadi, yang sebelumnya belum ikut.
Karena jumlah anggotanya telah mencapai 100 orang, maka setiap undian arisan diambil 2 nama, sehingga uang yang terkumpul dibagi menjadi 2. Sebelum diberikan kepada yang menerima undian, uang diambil lima persen untuk dana sosial.
Setelah 1 tahun, biasanya bulan Muharrom, uang akan diambil dari bank dan diberikan kepada 400 anak yatim yang tersebar di berbagai daerah Tuban pada acara santunan anak yatim Muslimat Tuban. Setiap anak yatim mendapat 150 ribu. Ini berarti setiap kali santunan anak yatim, PC Muslimat NU Tuban mengelarkan uang sebesar Rp. 60 juta rupiah. Itu hanya uang yang dibagikan kepada anak yatim, belum biaya untuk konsumsi, dekorasi dan yang lainnya. “Biaya lain-lain tidak diambil dari uang anak yatim, tapi dari anggota pribadi,” ungkap Bu Fauzan.
Tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh kelompok arisan Muslimat Tuban, Kelompok Arisan Persahabatan PPKB Tuban juga muncul pada 2000 dengan memakai pola yang sama. Arisan 1 juta-an dengan pemotongan 5 persen sebagai dana sosial. Secara garis besar antara Kelompok Arisan PC Muslimat NU Tuban dan Kelompok Arisan Persahabat PPKB Tuban adalah mirip (similar). Hanya ada beberapa hal yang tidak begitu mendasar yang berbeda satu sama lain.
“Kalau di Muslimat, penyalurannya itu anak-anak yatim dari berbagai daerah itu yang diundang datang ke Tuban. Tapi kalau di PPKB, anggota arisan yang datang ke daerah untuk menyalurkan,” ungkap Bu Fauzan. (wakhid)