Sabtu, 24 Mei 2014

TOKOH INSPIRATIF NUsa 24//KH. ACHMAD MUNDZIR, M.Si

TOKOH KH. ACHMAD MUNDZIR, M.Si

MUNDZIR:  meski usianya sudah relatif sepuh tetapi tetap menulis sebuah buku

Hidup dan Mati Sama Saja!

KH. Achmad Mundzir, M.Si. Begitulah nama lengkap beserta gelarnya. Di Kabupaten Tuban, nama itu sudah tidak asing lagi. Dialah sang penulis buku Tuban Bumi Wali.

Ditemui NUsa di kediamannya yang berada di Jl. Pramuka V No. 2 Tuban, Mundzir bercerita tentang beberapa penggal sejarah hidupnya. Siapa yang menyangka, di balik dandanan kesederhanaannya setiap hari, dia menyimpan dasar pemikiran yang senantiasa dia pegang dalam hidupnya.
Mundzir terlahir di Desa Kesambi, Pucuk, Lamongan pada 20 April 1951. Abahnya bernama KH. Abdul Ghoni, seorang pemimpin thoriqoh Tauhid Rububiyah Kesambi, Pucuk. Uminya bernama Hj. Masfiyah. Dalam sejarah kehidupannya, Kiai Abdul Ghoni pernah menimba ilmu di Makkah al-Mukarromah selama 7 tahun. Dan ketika telah menetap di Kesambi, Kiai Ghoni mengisi ngaji kitab di beberapa majelis ta’lim. Nyai Hj. Masfiyah pun mempunyai majelis ta’lim sendiri.
Hidup dalam keluarga demikian, Mundzir mengaku bahwa abahnya telah mengajarkan ajaran thoriqot Tauhid Rububiyah padanya sejak masih sangat belia. Ajaran yang mengatakan bahwa hidup dan mati itu sama saja selalu dia pegang. Karena dengan berpegang pada ajaran itu, dirinya mengaku siap untuk menghadapi hidup ataupun mati. Begitulah motto hidup yang dia pegang, sehingga jelaslah dengan dandanannya yang sederhana mampu menampakkan jati dirinya. Bahkan sejak kelas 5 SR, dia telah menghatamkan Al-Qur’an. Itu pun atas bimbingan abahnya.

Dari Sedan hingga Langitan
Mundzir mengawali pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat (SR) Pucuk. Tepatnya pada 1956. Di SR itu, dia hanya bersekolah sampai kelas 5, kemudian berpindah ke Karas, Sedan, Jawa Tengah (1960). Perpindahannya disebabkan abahnya meninggal dan tidak ada orang “Kiai” yang mengajarinya lagi. Dia di Sedan tinggal bersama budenya dan mengaji pada Kiai Sulthon bin Mawardi. Mengaji pada Kiai Mawardi, Mundzir mendapat pentashihan Al-Fatihah dan ilmu nahwu. Di samping belajar pada Kiai Mawardi, Mundzir juga belajar di Madrasah Diniyah Roudlotut Tholabah Sedan.
Hanya berlangsung sampai 1963, Mundzir kecil berhijrah kembali untuk nyantri di Pondok Pesantren Pringgoboyo Sekaran, Lamongan. Dia mengaji pada Kiai Masnur Kusairi. Di sana, dia telah belajar beberapa kitab, salah satunya kitab Durrotun Nasihin. Hanya berselang 1 tahun, Mundzir berhijrah lagi ke Langitan Tuban (1964). Di Langitan, Mundzir belajar sampai 7 tahun.
Pada 1971 Mundzir boyong dari Langitan. Saat di langitan itulah, bakat-bakat kepemimpinan Mundzir mulai tumbuh. Di pondok salaf itu, Mundzir mengaji pada Kiai Zuhdi, Kiai Faqih, Kiai Marzuqi, Kiai Abdul Hadi dan Gus Hamim (adik Kiai Faqih).
Setidaknya, kenangan yang sangat kuat dia ingat selama di Langitan adalah sejak masuk menjadi santri, Mundzir tidak pernah masuk dalam jajaran santri tukang bersih-bersih. Karena kemampuannya di bidang bahasa, pada usia itu (13 tahun) Mundzir langsung duduk di bangku kelas 5. “Umumnya, anak biasanya masuk di kelas 3 dulu,” katanya heran.
Dia pun langsung masuk dalam kelompok orang dewasa dan menjadi bagian dari keamanan pondok. Bahkan ketika telah cukup lama belajar di Langitan, dia menjadi teman dekat Gus Hamim. “Saat Gus Hamim mengoreksi ujian, saya diajak untuk mengoreksi,” ungkapnya. Padahal saat itu, Mundzir masih tercatat sebagai santri Langitan. Saat di pondok Langitan pula Mundzir mulai bersentuhan dengan aliran-aliran pemikiran. Dia mengaku sering membaca kitab-kitab larangan (dibaca oleh orang-orang tertentu), seperti kitab Subul Salam karya Muhammad bin Ismail al-Kakhlani as-Sun’ani. Dulu saat getol membaca, dia tidak mengetahui alasan larangan membaca kitab-kitab semacam itu. Namun, setelah duduk di bangku kuliah, baru dia tahu bahwa kitab itu adalah karya orang Syi’ah Zaidi (golongan Syi’ah moderat).
Ketika belajar di Langitan, Mundzir tidak lantas meninggalkan masalah ilmu umum. Saat di pondok itu, dia juga belajar di PGA 6 tahun dan kursus Bahasa Inggris di Kota Babad.

Melawan Babinsa
Boyong dari Langitan (1971), Mundzir telah mengantongi ijazah PGA dan sertifikat kursus, serta wawasan keilmuan agama yang matang. Kembali ke Kesambi, kampung halamannya, dia aktif di jajaran IPNU Kesambi dan mengajar di MI Salafiyah Cungkup. Bahkan dia langsung mendirikan MTs Ma’arif Pucuk dan menjadi kepalanya sekaligus. Dalam pikirannya saat itu, orang Muhammadiyah di lingkungannya jumlahnya sedikit, tetapi dengan jumlah kecil itu mereka belajar sampai perguruan tinggi dan akhirnya bisa mengisi tempat-tempat strategis pemerintah. Semntara warga NU menjadi mayoritas, tapi tidak bisa menduduki posisi-posisi penting itu, karena terganjal ijazah. Untuk itu, dia mendirikan MTs, dalam rangka mendorong agar anak-anak warga NU Kesambi mau melanjutkan belajarnya sampai ke jenjang tinggi. “Alhamdulillah dengan dorongan-dorongan itu, kini jumlah sarjana yang ada di Pucuk imbang antara NU-Muhammadiyah, malah kini lebih banyak warga NU,” ungkap Mundzir.
Saat mengurusi lembaga itu, Mundzir menyempatkan diri belajar di Unsusri Surabaya pada Fakultas Tarbiyah-PAI (1976-1978). Dia akhirnya mendapatkan gelar sarjana mudanya (BA). Bahkan saat kuliah itu, Mundzir mendapatkan sebutan sebagai kamus berjalan karena ilmu Bahasa Arab dan Inggisnya mumpuni. “Kalau ilmu agama, saya ambil metodologinya,” katanya.
Dalam bidang organisasi, saat di IPNU, dia pernah melawan seorang pimpinan Babinsa yang terkenal kejam saat itu. Sebagai kepanjangan tangan Golkar, Pimpinan Babinsa itu sering meneror pihak-pihak yang menentang Golkar dan bahkan memberikan hukuman fisik. Saat akan diadakan pengajian umum, Pimpinan Babinsa itu tidak menghendaki jika acara itu dihadiri banyak jama’ah, sehingga dia meneror orang-orang yang akan menghadiri pengajian. Tidak kalah arang, Mundzir mengerahkan pasukan IPNU-IPPNU untuk menghadiri pengajian itu dengan serempak berpawai. Akhirnya Babinsa itu datang dan menghentikan motornya di tengah jalan untuk menghadang. Dengan keberanian Mundzir, Babinsa itu disuruhnya meminggirkan sepedahnya dan membiarkan rombongan berangkat. Entah kenapa akhirnya rombongan dibiarkan berjalan oleh Babinsa itu. “Padahal sebelum kejadian itu, Anshor pun takut melawannya,” ungkap Mundzir. “Tapi pada malam sebelumnya orang itu saya bacakan Yasin 121 kali,” imbuhnya. (wakhid)

0 komentar:

Posting Komentar