Ingatan saya tentang KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) kembali muncul ketika sebuah majalah beberapa waktu lalu mewartakan
peringatan 1000 hari wafatnya tokoh kharismatik NU ini. Waktu terasa berlalu
begitu cepat. Gus Dur yang masih terasa begitu lekat di hati saya, ternyata per
Desember ini telah 3 tahun meninggalkan jutaan umat (baik warga NU maupun non
NU, bahkan non muslim) yang mencintainya.
Saya bukanlah orang dekat beliau.
Namun, saya termasuk orang yang beruntung. Sebab, selama lima tahun
(1999-2003), saya berada di atmosfir kehidupan cucu pendiri NU Hadratus Syech
KH Hasyim Asy’ari ini. Hampir setiap hari saya bertatap muka dengan beliau.
Saya juga pernah berdialog panjang dengan Gus Dur di dalam mobil yang hanya
ditemani Mbak Yeni (putri kedua Gus Dur) dan seorang sopir. Beberapa kali pula
saya naik pesawat dan pergi ke beberapa negara (dari Arab Saudi, beberapa negara
Eropa hingga Thailand) bersama Gus Dur.
Sebagai warga NU yang kagum dan
mencintai Gus Dur, saya sangat bersyukur dengan semua itu. Saya merasa lebih
beruntung dibanding warga NU lain yang mungkin tidak mudah bertemu, bahkan
sekedar bersalaman sekali pun. Ya..begitulah. Sebagai wartawan, memang saya
memiliki sedikit ‘’keistimewaan’’ (he..he..he..).
Begitu banyak catatan penting
perihal Gus Dur yang saya miliki, terutama selama 2 tahun tatkala beliau
menjadi presiden. Banyak perubahan mendasar yang beliau lakukan. Membongkar
kesakralan istana adalah langkah pertama yang dilakukan Gus Dur. Arus informasi
dari istana negara yang di era Soeharto begitu tertutup, di era ini langsung
dibuka selebar-lebarnya. Ratusan wartawan tanpa prosedur yang ketat bisa
menjadi wartawan istana.
Berikutnya (ini yang luput dari
perhatian publik), Gus Dur juga memporak-porandakan keistimewaan pegawai istana
yang pernah diciptakan oleh Soeharto. Gus Dur mencabut keputusan Soeharto yang
memberikan tunjangan khusus (konon dua kali lipat dari pegawai pada umumnya) kepada
pegawai negeri yang bertugas di istana. Bersamaan dengan itu, mantan ketua umum
PB NU ini juga menata rekening-rekening yang menampung dana Banpres (bantuan
presiden) miliaran rupiah yang sebelumnya berceceran di rekening pribadi para
pejabat istana. Gus Dur juga menghapus jatah rutin bulanan dan fasilitas lain untuk
wartawan.
Di luar istana, seperti tersiar
luas, Gus Dur juga melakukan pembenahan mendasar lainnya. Dari menghapus Depsos
(Departemen Sosial) dan Deppen (Departemen Penerangan), pembenahan di tubuh TNI (untuk pertama kalinya
posisi panglima TNI tidak dijabat dari unsur TNI AD), dan masih banyak lagi.
Pendek kata, begitu menginjakkan kaki di istana, Gus Dur berusaha sangat keras
untuk membenani dan merubah warisan pemerintahan Orde Baru yang menjadikan
media dan aparatur negara serta pemerintahan untuk kepentingan kekuasaan
Soeharto.
Tentu, perubahan mendasar tersebut
harus ditebus dengan harga yang sangat mahal. Di hadapan saya, beberapa pegawai
istana dan wartawan sering mengeluarkan cemoohan yang tidak pantas. Pembicaraan
positif tentang Gus Dur menjadi sangat tidak populer di lingkungan istana. Saya
yang sejak kuliah di Semarang menjadi pengagum Gus Dur, selama berada di dalam
istana terpaksa harus menyembunyikan kegaguman itu. Pernah suatu ketika, bertemu
Mbak Yeni untuk urusan serius saya harus sembunyi-sembunyi.
Sebagai orang nomor satu di istana,
Gus Dur tidak begitu dihargai. Bahkan, seorang pengawal pun pernah saya
saksikan meledek kekurangan fisik Gus Dur yang tak bisa melihat dengan normal,
ketika Gus Dur kesulitan keluar dari mobil kepresidenan dan harus dipapah
dengan hati-hati oleh ajudan.
Semua ledekan dan cemoohan itu
sempat saya sampaikan. Namun, semua itu tidak ditanggapi serius oleh Gus Dur.
Beliau sepertinya ikhlas dengan semua itu. Untuk sebuah kebenaran, Gus Dur
sepertinya rela dihina dan dicemooh. Pencitraan tidak terlalu dihiraukan. Bahkan
terbukti, ketika lawan politiknya ingin menumbangkan dengan sejumlah alasan
yang diadakan-adakan, Gus Dur pun tidak pernah mau mengubah kebijakannya yang
dianggap tidak menguntungkan lawan politiknya. Dan sejarah mencatat, karena prinsip
itulah Gus Dur akhirnya benar-benar dipaksa harus meninggalkan istana sebelum
masa kekuasaannya berakhir.
Akhirnya, pembenahan mendasar itu
pun terhenti. Yang harus dicatat, kegagalan itu tidak murni karena kelemahan
Gus Dur. Beberapa ‘’oknum’’ orang NU yang seharusnya mendukung langkah itu,
malah suka bikin ‘’ulah’’. Mereka yang sukses menempatkan diri menjadi ‘’orang
dekat Gus Dur’’, bukanlah sibuk bekerja keras membantu Gus Dur membenahi negeri
ini. Sebaliknya, mereka banyak yang berlomba-lomba dan cepat-cepatan mengeruk
keuntungan pribadi. Dan itu, yang dimanfaatkan oleh lawan politik Gus Dur untuk
melakukan serangan balik.
Hati saya tentu sangat getir dan
pedih. Tapi, saya tidak bisa berbuat banyak, apalagi mencegah. Cara berpikir
yang saya bawa dan pelihara, kalah populer dengan ‘’gaya baru’’ yang mereka
bawa. Saya hanyalah percikan air di
tengah gemuruh ombak lautan luas.
Kini, semua telah berlalu. Gus Dur
telah 3 tahun meninggalkan kita. Harapan saya, semoga kejadian seperti itu
tidak terjadi lagi di mana tokoh NU sedang memegang tampuk kekuasaan. Khususnya
di Tuban ini, di mana jabatan Bupati dan Wakil Bupati berada di tangah tokoh
NU.(*)
0 komentar:
Posting Komentar