Kamis 20 Desember 2012, pukul 04.45
WIB. Seperti biasa, usai jamaah shalat Subuh di mushalla, saya membuka laptop.
Pagi itu, karena akhir bulan (waktu persiapan untuk penerbitan NUsa), saya berencana membuka email untuk men-download tulisan teman-teman wartawan
NUsa dan mengeditnya.
Setelah beberapa kiriman
tulisan saya buka, saya tidak langsung mengeditnya. Iseng-iseng saya memantau
berita di detik.com. Mata saya
menyapu semua berita yang terpampang di portal milik pengusaha Choerul Tanjung
itu. Judul ‘’Office Boy Temukan Rp 100 Juta’’ menarik perhatian saya.
Klik! Saya buka berita
selengkapnya. Begitu membaca alenia pertama, bulu kuduk saya merinding. Hati
saya berdecak kagum. Di alenia itu dipaparkan kalau Agus Choerudin, si penemu
uang itu, mengembalikan kepada yang berhak. Yang membuat bulu kuduk saya
merinding, dia melakukan itu karena iman.
‘’Saya inget wejangan orang tua. Jangan
mencuri, orang jujur tak akan ketuker. Kalau intan dikubur di sebuah tanah
tetap akan menjadi intan," kata pegawai rendahan Bank Syariah Mandiri Bekasi
berusia 35 tahun itu.
Kendati diungkapkan dengan
kalimat sederhana, sungguh apa yang disampaikan Agus itu merupakan bentuk pancaran
keimanan yang luar biasa. Itu bukti kekukuhan imannya. Dia intan di
tengah-tengah maraknya ketidakjujuran yang saat ini begitu subur di negeri ini.
Sebagai Office Boy (OB) yang fungsi dan kerjanya sebagai pelayan kantor, gaji
dia per bulan Rp. 2,2 juta. Jumlah yang relatif sedikit untuk ukuran hidup di
Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Jadi, dia bukanlah
orang kaya yang tidak butuh uang lagi. Namun karena keimanan, dia bisa
mengalahkan godaan materi.
Kalau menurut cerita di
berita itu, bila tidak memiliki rasa takut kepada Allah Yang Maha Tahu, Agus
bisa diam-diam mengambil uang segepok itu. Dia menemukan uang tersebut di
tempat sampah. Tidak ada orang yang tahu temuanya itu. Namun, alih-alih dia
mengambil dan menyembunyikannya, dia malah melapor temuannya ke satpam bank.
Agus menuturkan kalau dia
adalah pengagum Khalifah Umar bin Khattab. Dia mengaku bersyukur sudah bisa bekerja di
bank meski hanya sebagai OB yang gajinya kecil. "Allah Maha Melihat, Maha
Mengetahui," katanya singkat. Hingga saat ini, dia belum memiliki rumah
dan hidup menumpang di rumah mertua di Pondok Gede.
Cerita Agus mengingatkan
saya pada keteladanan lain yang diberikan oleh seorang yang bernama Jose
Mujica. Dia adalah Presiden Uruguay. Orang ini juga memberikan keteladanan luar
biasa. Bedanya, dia bukanlah muslim seperti Agus. Namun yang dia lakukan
benar-benar layak diteladani oleh siapa pun.
Mujica yang menjabat
presiden sejak 2010 lalu mendapat julukan presiden termiskin di dunia. Ini
bukan karena gajinya kecil. Sebagai presiden, dia mendapatkan gaji US$ 12,5
ribu (sekitar Rp 119 juta) per bulan. Namun, gaji itu tidak dia ambil semua.
Dia hanya mengambilnya 10 persen (Rp 11,9 juta). Sisanya dia sumbangkan ke
badan amal.
Mujica tidak risau dengan
julukan sebagai presiden termiskin. Atas julukan itu, dia hanya berujar enteng,
’’Saya tak mempermasalahkan apa yang saya dapat, masih banyak warga yang hidup
kekurangan.’’
Di bawah kepemimpinan
Mujica, Uruguay sekarang berkembang pesat. Terpesat di kawasan Amerika Latin.
Selama memimpin 2 tahun, dia melakukan pemberantasan korupsi dengan
sunguh-sungguh. Bukan untuk kepentingan pencitraan belaka. Terbukti, selama dia
memimpin, korupsi di negeri itu turun tajam. Menurut indeks lembaga
Transparency International, Uruguay menempati urutan kedua terbawah. Bandingkan
dengan Indonesia yang bertengger di urutan di atas 100.
Saya yakin, orang seperti
Agus dan Mujica masih banyak di negeri ini. Namun, mereka berada di pojok-pojok
kehidupan yang jauh dari arus utama publik. Jumlahnya semakin mengecil. Yang
terus berkembang dan semakin memenuhi negara ini adalah orang-orang rakus dan
gila harta. Mereka kaya, gaji yang mereka peroleh sangat banyak. Namun karena
kerakusannya, dia tetap menggarong uang negara alias korupsi.
‘’Koruptor di Indonesia
dilakukan oleh orang-orang rakus,’’ kata seorang dosen UGM Jogjakarta yang giat
di lembaga kajian Anti Korupsi. Ini
karena pelaku korupsi di Indonesia bukanlah orang-orang miskin atau orang
kelaparan yang ‘’perlu korupsi’’ demi sekedar menyambung hidup. Namun korupsi
dilakukan orang kaya, berduit yang merasa ‘’perlu korupsi’’ demi menumpuk uang
dan demi memenuhi hajatnya: hidup mewah dan penuh foya-foya.
Perilaku korup rasanya
sangat mudah ditemui. Lingkungan kita (NU) yang dipenuhi para alim dan
orang-orang yang tahu agama, juga tidak sepi dari itu. Perhelatan-perhelatan
penting di NU (seperti Muktamar, Muswil dan Muscab) selalu diramaikan oleh
taburan materi yang ikut mempengaruhi dan menentukan hasil pemilihan. Kejujuran
menjadi barang aneh dan terpojok di tempat sepi.
Kendati demikian, saya tetap
berkeyakinan orang jujur, masih banyak di NU. Hanya mereka adalah orang-orang
kecil seperti Agus. Mereka hanyalah OB-OB atau pelayan-pelayan rendahan di jam’iyah yang didirikan oleh Hadratus
Syeck KH Hasyim Asy’ari ini. Mereka bukanlah orang top yang setiap gerak langkahnya
diabadikan oleh media.
Harapan saya, di Tuban ini
masih banyak orang NU seperti itu. Di Muscab yang akan datang, mereka bisa
mendapat tempat yang layak. Bukan di pojokan tempat sepi. Semoga mereka bisa
menentukan pemimpin berdasarkan kata hati, bukan kata si pemberi. Insya Allah! (*)
0 komentar:
Posting Komentar