RAPAT REDAKSI NUsa

Akhmad Zaini (Pimred Tabloid NUsa) memimpin rapat redaksi di halaman kampus STITMA Tuban.

DIKLAT JURNALISTIK

Peserta diklat jurnalistik dan crew Tabloid NUsa berpose bersama usai kegiatan diklat.

SILLATURRAHMI

Ketua LP. Ma'arif NU Kab. Tuban dan Pimred Tabloid NUsa berkunjung ke Rumah Gus Rozin (Putra KH. Sahal Mahfudz).

NUsa PEDULI SPESIAL

Mustain Syukur (Ketua PCNU Kab.Tuban) dan Fathul Huda (Penasehat LP. Ma'arif NU Tuban) berpose bersama siswa yang mendapatkan santunan NUsa Peduli.

STUDY BANDING LP. MA'ARIF NU KAB. TUBAN

Akhmad Zaini, ketua LP. Ma'arif NU Kabupatn Tuban saat menerima cinderamata dari LP. Ma'arif Kab. Pasuruan.

RAPAT BERSAMA

Pengurus PCNU, Pengurus LP. Ma'arif NU, PC.Muslimat Tuban, PC.Fatayat NU Tuban saat rapat bersama membahas pendidikan di Kabupaten Tuban.

GROUP SHOLAWAT SMK YPM 12 TUBAN

Group Sholawat Al-Banjari SMK YPM 12 Tuban melantunkan tembang sholawat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.

TURBA MAARIF NU TUBAN KE RENGEL

Group Sholawat Al-Banjari SMK YPM 12 Tuban melantunkan tembang sholawat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.

NUsa PEDULI EDISI 23

Tiga siswa berada di naungan LP. Ma’arif menerima santunan yang diberikan langsung oleh Dirjen Pendis (kanan) dan Kapala Kemenag Tuban.

PENGURUS PC. LP MA’ARIF NU

Beberapa Pengurus PC. LP Ma’arif NU Tuban siap bekerjasama demi kemajuan pendidikan di Kabupaten Tuban.

AVANZA UNTUK OPERASIONAL MA’ARIF NU TUBAN

Zaini (Ketua PC. LP. Ma'arif) menerima hadiah mobil dari Bupati Tuban secara simbolis pada acara Rakor kepala sekolah dan pengurus yayaasan se-kabupaten Tuban.

PRESTASI FATAYAT

Fatayat NU Tuban Masuk 10 Besar Lomba Rias Provinsi.

JUARA MTK

Beberapa Crew Tabloid NUsa, mereka semua generasi dari NU berasal dari Tuban, Lamongan dan Bojonegoro.

TIM TABLOID NUsa

Beberapa Crew Tabloid NUsa, mereka semua generasi dari NU berasal dari Tuban, Lamongan dan Bojonegoro.

Rabu, 30 Juli 2014

RUBRIK BUDAYA TABLOID NUsa EDISI 3

Maraknya Kafe dan Kedai Kopi di Tuban
Oleh: Kangaidi

Ayo ngopi, ngopi yuk… siapa yang tidak pernah mendengar kalimat itu. dari anak-anak sampai aki-aki pasti pernah mendengar kalimat itu meski hanya satu kali dalam seumur hidup. Namun kebiasaan ini sudah ada sejak dulu dan kini semakin marak dengan berbagai variasi kopi maupun warung kopi.
Kangaidi
Nyangkruk dan ngopi ,menikmati kopi atau bisa juga diartikan meminum kopi di warung. kini nampaknya telah menjadi budaya baru di kalangan remaja. Tak hanya orang tua atau kaum lelaki saja seperti dulu. Kini, kaum wanita pun ketularan nyangkruk dan ngopi di warung.Entah apa penyebab awal munculnya budaya baru ini.
Nyangkruk dan ngopi dirasa sebagian orang menyenangkan. karena selain ritual ngopi, orang-orang penghuniwarung sering membahas hal-hal menarik untuk menjadi tema obrolan dan menikmati gorengan. Seperti kata Luthfi (20) sorang remaja yang telah menjadi pelanggan warung kopi di depan masjid Agung Tuban selama 3 tahun .
“kalau sudah di warung kopi semuanya bisa dibahas mas, orangnya juga enjoy-enjoy. Sering ngajak ngobrol asyik soal otomotif, mode HP, sepak bola, olahraga, berita di TV, politik, agama, sosial, pacar, sampe orang lewat apalagi cewek cantik yang lewat di depan kita. Terus kadang saya nggak ngopi itu nggak uenak mas, badan rasanya pegel-pegel, kadang juga gorengan di warung itu yang buat saya kesini”ujarnya.
Sebagian orang lainnya merasa jika ngopi dan nyangkruk adalah hal yang memalukan.
“Saya itu mas jarang ngopi, ya sampeyan juga tahu sendiri tidak semua orang marung kopi itu sekedar minum kopi ya ada yang punya tujuan yang lain. Saya juga malu nanti kalau ketahuan anak saya. Bapak ngopi, saya berarti boleh nanti malah jadi kebiasaan anak saya. Kadang mereka juga nggosip ngrasani tonggo mas, malah dadi doso.” Ujar Waluyo  (41) ,warga sekitar warung.
Maraknnya warung kopi yang berada di kota Tuban,di setiap warung pasti menyediakan kopi baik kopi deplok, kopi hitam, kopi susu atau kopi instan seperti Nescafe, cappuccino, kopi abc, dan sebagainya. Dan biasanya selain menyediakan kopi, pemilik warung juga menyediakan jaringan internet gratis (wifi), karaoke, nonton TV. tak hayal, semakin hari penghuni warung semakin bertambah, selagi warung kopi itu tempatnya nyaman dan ada fasilitas lain yang bisa dimanfaatkan pelanggannya. Namun yang biasa menyediakan fasilitas wifi hanyalah kedai-kedai kopi atau kafe-kafe tertentu tidak semuanya.
Sejarah awal mula keberadaan berbagai kedai kopi di belahan bumi ini bisa di telusuri di berbagai Negara. Sebuah kedai kopi di Makkah segera menjadi perhatian oleh para khalifah (pemimpin) karena menjadi tempat pertemuan politik, para khalifah itu kemudian melarangnya, begitu juga dengan kopinya yang ikut dilarang antara tahun 1512 dan 1524. Pada tahun 1530, kedai kopi yang pertama dibuka di Damaskus, dan tidak berapa lama kemudian ada banyak kedai kopi di Kairo.
Cappucino terutama populer dikalangan penikmat kopi Inggris. Dengan kepopuleran yang sama, di Amerika Serikat kegilaan akan espresso menyebar. North Beach di San Francisco menjadi saksi pembukaan Caffe Trieste pada tahun 1957, dimana dapat ditemui penyair-penyair generasi masa lampau seperti Allan Ginsberg dan Bob Kaufman di antara banyak imigran Italia. Cafe yang seperti itu juga dapat ditemui di Greenwich Village dan tempat-tempat lain.
Sebuah " kedai kopi atau " cafe "adalah suatu usaha yang terutama melayani kopi siap atau minuman panas lainnya historis. kafe telah menjadi titik pertemuan penting sosial di Eropa. Mereka-dan terus menjadi tempat-tempat orang berkumpul untuk berbicara, menulis, membaca , menghibur satu sama lain, atau menghabiskan waktu. Selama abad ke-16 kedai kopi yang dilarang di Mekah karena mereka tertarik pertemuan politik.  
Selain kopi, kafe banyak juga melayani teh , ekstra jos, kukubima, jahe, jeruk, kacang kue kering , dan minuman makanan ringan lainnya.  Beberapa menyediakan layanan lainnya, seperti kabel atau nirkabel akses internet untuk pelanggan mereka.
Di kafe hingga warung kopi, semua orang menjadi lupa dengan strata sosial masing-masing dan melebur menjadi penikmat kopi. Semuanya akan menyatu sesuai dengan gerombolan mereka. Rokok dan kopi yang selalu ada di depan mereka yang menemani mereka hingga larut malam dengan berbagai obrolan. Selain itu, meski di warung kopi atau di kafe tidak semuanya minum kopi ada yang minum jahe, jos susu, kukubima, bahkan es teh, teh hangat atau marimas juga ada. Yang penting mereka bisa berkumpul bersama saling bertemu dan mengakrabkan mereka.
“saya meski ke warung kopi, tapi saya tidak minum kopi dan merokok. Intinya mas yang penting solidaritas kami tetap terjaga sesame temana” ungkap Rudi (23).
“kalau saya mas, bangun tidur harus minum kopi. Kalau tidak membuat sendiri ya ke warung kopi mas. Tapi enak buatan orang lain mas” ujar Rohim.
Dalam wikepedia disebutkan Menurut orang Amerika meminum kopi karena kehausan. Mungkin persamaan kultur meminum kopi kita dengan orang Eropa ada keterkaitan dengan sejarah. Orang Belanda yang menjajah Indonesia selama 350 tahun ternyata suka sekali minum kopi. Asal tahu saja, Belanda menjadi negara Eropa pengimpor kopi terbesar di saat awal demam ngopi. Sayangnya, Belanda dan negara Eropa lainnya tersiksa dengan monopoli kopi pedagang Arab dan pencegahan penyelundupan bijih kopi oleh negara-negara Arab. Namun, akhirnya Belanda memperoleh bijih kopi selundupan dan membawanya ke negara-negara koloni di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Kopi sejatinya diawali sebagai minuman di beberapa negara muslim Arab dan Afrika Utara. Tanaman ini diperkenalkan ke masyarakat Eropa melalui pedagang muslim yang berkunjung ke Venesia, Italia. Dengan cepat, komoditas ini tersebar ke seluruh Eropa. Lantas, muncul cerita pro kontra. Banyak pendeta di Italia yang melarang pengikutnya minum kopi karena merasa kopi adalah 'komoditas politik' kaum muslim sekaligus akan menggeser anggur yang dikenal lebih dulu oleh mereka. Di kaum muslim sendiri, ulama konservatif di Mekah juga sempat melarang kopi karena ada efek kafein dikandungnya. Walaupun begitu, lambat laun larangan itu terkikis juga karena tidak berdaya oleh rasa ketagihan peminum kopi. Selain itu, "Dalam segmen pengusaha yang sukses, Euromaxx juga mengupas seorang ibu rumah tangga Jerman bernama Melitta Bentz yang menemukan ide penggunaan filter kertas dalam menyajikan kopi di rumahnya," ujar Arief yang kini menonton DW-TV Asia+ lewat Indovision. Ide brilian ini memungkinkan menikmati kopi tanpa terganggu ampasnya dengan tidak mengurangi rasa maupun aroma.

Dengan demikian ngopi sekarang menjadi budaya masyarakat dari remaja hingga aki-aki. Meski mereka tidak semuanya minum kopi di warung kopi tetapi di rumah mereka juga tetap minum kopi. Hanya satu tujuan mereka yang marung di warung kopi ingin berkumpul dengan teman, membangun solidaritas, sebagai refreshing, dan bisa mendapat wawasan. Di warung kopi tempat berkumpul segalanya. Dalam diskusipun setiap komunitas, atau lembaga tertentu pasti selalu ada kopi. (Aidi)

SAJAK-SAJAK


Tarian Kata
Rumpun tua tak lagi bicara
Cukup mengunci kata
Galau tunduk dalam kisahya
Hidup untuk kata
Bukan berkata
Berjalan likuan mendaki arti
Kataku katamu
Gayung bersambut rindu
Ku katamu kata
Sudut jiwa menggeming
Kalau warna kata itu
Lapisi tangga rasa
Arah pustaka jendela
Kata berlabih relung pena


Tuban, di ruang tak bernama




Bahasa Berkertas
Lidah tak bertahta
Menyerumu isyarat tak pasti
Lumatan syair tertelan rindu
Di sudut riuh transaksi semu

Tak dahulu sekarang pasti
Tunduk kala berselimut
Mengadu kemuara jejak
Bola salju luruhkan kalbu

Tuban, di ruang tak bernama



Letup Ngigau
Bola bergulir merotasi syaraf
Belahan tipis gairah
Mengembang syaraf imajinku
Lanjut kata itu menggeming
Siluet nafsu tak terelak

Nadi bergulat menantang detak
Jarum jam bertahan
Dalam egonya desahan memanggil
Merayu mencumbu
Lentik mata mencari mangsa

Kuncup bunga melayu
Meradang bisu keangkuhan
Rapuh tak termakan waktu
Menunggu sahutan kepalsuan
Neraka berselimut Surga

Tuban, di ruang tak bernama



Obral Suara
Jambu jambu jambu
Jual jambu Pak Bu
Jangkrik berisik tarik
Asem kecut celetuk bibir tak
Bertulang lirik lirik racun rakyat

Sorak sorai celotehan manja
Punggawa bernada risau
Hmmm
Ragu memastikan
Kalau kata sekali lagi
Tak  bertahta
Muna terkira asa

Tuban, di ruang tak bernama



Terpasung Asa
Pulang merantai  kata aku
Kaki memegang induktak
Bersuara vagina kecil
Jalan
Pemungut suara ludah anjing
gonggongan siluman malam

rona siti dalam kisahnya
terkubur rindu mendekap hujan
syahdu terian embun pagi
nyanyian terang sang rembulan
menoleh riang sengatan surya

kelabu menantang bintang
bergejolak di antara lautan
irama pujian mengikat erat
melayang ruh kemunaan
ketenangan tertarik
riuhnya kembang perawan

Tuban, di ruang tak bernama

OPINI TABLOID NUsa EDISI 2


Minimnya Budaya Munulis Warga NU


Oleh: M. WAKHID QOMARI *)

Sebagai bagian dari warga NU, saya masih kurang puas, kalau tidak boleh berkata prihatin, dengan kemampuan menulis warga NU yang tersebar di desa-desa maupun kota, baik pelajar, mahasiswa sampai pegawai berkerah putih sekalipun. Saat diminta berargument dalam suatu musyawarah, banyak sekali warga nahdliyin itu yang mampu berbicara secara panjang lebar, baik yang runtut maupun yang glambyar
M. Wakhid Qomari, S.Pd
ke mana-mana sekalipun. Namun saat diminta untuk menulis secara runtut, sistematis dan panjang, sangat sedikit sekali yang mampu. Bisa dibilang mereka yang mampu menulis bisa dihitung dengan jari dari keseluruhan warga nahdliyin Indonesia dari Sabang sampai Merauke, yang jumlahnya sangat banyak. Sungguh sangat memprihatinkan, mengingat nahdliyin adalah masyarakat mayoritas di negeri ini.
Memang, cukup rumit mendapatkan kemampuan menulis. Oleh karena itu, kemampuan menulis menempati tempat yang paling prestisius dalam ilmu bahasa.
Di dalam ilmu bahasa, ada empat tingkatan kemampuan bahasa yang harus dilewati oleh orang yang berbahasa dan tingkatan itu telah tersusun secara runtut, yakni mendengar, berbicara, membaca dan menulis. Dari runtutan ini nampak sekali kemampuan menulis terletak pada bagian paling belakang. Hal ini terjadi karena memang kemampuan menulis adalah kemampuan yang paling rumit di antara kemampuan bahasa yang lain dan memang kegiatan menulis juga melibatkan beberapa tingkat tahapan kemampuan bahasa itu. Pada awalnya manusia terlahir di dunia, mereka akan mendengar. Setelah mendengar dan paham, mereka akan berucap-ucap kata, kemudian membaca-baca dan akhirnya menulis tulisan. Menulis tulisan terjadi saat manusia telah mampu mendengar, berbicara dan membaca.
Menurut Suhariyadi seorang dosen prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Unirow Tuban, apa yang orang bicarakan, betapa penting ide yang diucapkan itu, akan segera hilang ditelan keadaan apabila tidak dituliskan. Dan ide yang penting itu tidak bisa kita pelajari lagi di masa mendatang. Akan tetapi, beda halnya dengan tulisan. Tulisan tidak akan lekas hilang, bahkan akan ada terus selama tulisan itu masih ada dan bisa dibaca serta dipelajari. Ini adalah kekekalan ilmu di atas bumi ini.
Coba bayangkan ketika masa kepemimpinan kholifah Abu Bakar As-Shiddiq, di mana banyak hafidz yang dibunuh saat itu, sehingga tinggal sedikit sekali para hafidz di kalangan muslimin, ilmu yang terkandung dalam Al-Qur’an mungkin telah diobrak-abrik oleh pihak-pihak yang berkepentingan, karena sudah jarang yang menjaganya. Namun, berkat ayat-ayat yang telah tertulis dan ingatan para hafidz yang tersisa, yang kemudian berujung pada pengumpulan dan penataan ayat-ayat itu sehingga menjadi mushaf, apa yang kita lihat, sampai sekarangpun Al-Qur’an masih tetap utuh dan bisa dipelajari oleh siapapun. Oleh karenanya, kemampuan menulis adalah kemampuan yang sangat penting. Sangat penting!
Sebenarnya, kegiatan menulis sangat berkaitan dengan daya nalar (imagination), kreatifitas serta struktur fikir seseorang, yang dituangkan dalam bentuk tulisan sebagai akibat dari input yang masuk ke otak, yang kemudian berujung pada penilaian tingkat intelektualitas orang tersebut. Dan hal ini, di tubuh NU, telah ditunjukkan oleh sosok seorang KH. Abdurrahman Wahid “Gus Dur” (alm).
Gus Dur, betapa pun orang mengaguminya dari berbagai aspeknya: baik sebagai seorang kiai, budayawan, seniman, aktifis, ataupun politikus, adalah cermin bagi kita warga nahdliyin dalam dunia tulis menulis. Tulisan-tulisan beliau di berbagai media massa, selama beliau hidup, yang kini telah banyak dibukukan, menunjukkan keluasan dan keruntutan pemikiran beliau. Saat kita membaca tulisan beliau yang panjang dan padat itu, kita akan merasa berenang dalam lautan ide yang disuguhkan. Dan itu tidak terbatas pada satu aspek dari disiplin ilmu. Beliau berhasil memadukan ilmu agama dengan realitas sosial, humor, seni dan politik. Semua itu diramunya dengan apik dan menarik, dengan sentuhan religious akan tetapi tidak meng-abuse. Sehingga, saat kita membaca tulisan beliau, kita akan merasa ingin dan ingin membaca.
Namun, nampaknya, apa yang ditunjukkan Gus Dur belum mendapat respon yang menggairahkan dari kita sebagai warga NU secara umum. Kita lebih mangagumi Gus Dur sebagai sosok, sam’an wa tho’atan dalam cara berpikir, tetapi tidak mengikuti jejak beliau sebagai seorang penulis handal.
Tentu saja, kalau diminta untuk menyamai kapasitas beliau yang terlampau tinggi itu, kita jelas tidak mampu menandingi hasanah pemikiran beliau. Akan tetapi, budaya menulis yang beliau tunjukkan semestinya mampu menjadi motor penggerak semangat kita untuk menulis, betapapun jeleknya tulisan kita, apa lagi kalau kita tertakdirkan sebagai mahasiswa atau pegawai berkerah putih. Budaya menulis harus menjadi concern kita di era sekarang.
Setelah sekian lama saya bergelut dalam lingkungan nahdliyin, mulai sejak dulu masih bersekolah di SDNU Al-Falah Gajah-Baureno-Bojonegoro sampai sekarang bergelut dan berinteraksi dengan para nahdliyin di berbagai organisasi, nampaknya saya melihat ketidak mampuan warga nahdliyin untuk menulis itu karena ada keengganan sikap terhadap dunia tulis menulis. ‘Tidak mampu mengembangkan tulisan’ menjadi alasan utama kala ditanya mengapa. Alasan ini memang logis untuk menjelaskan masalah ini. Memang, mengembangkan tulisan itu sulit, kalau tidak mengerti caranya. Namun, apabila kita sudah tahu cara mengembangkan tulisan, maka dengan sendirinya masalah mandegnya ber’ide’ yang berakibat stagnannya tulisan tidak akan pernah terjadi lagi.
Tidak dapat mengembangkan tulisan terjadi, menurut saya, karena ketidak-tahuan kita akan teknik menulis yang sistimatis, kurang membaca (baik buku maupun keadaan alam dan lingkungan di sekitar kita) dan kurangnya latihan menulis.

Ketidak-tahuan Teknik Menulis Secara Sistimatis
Coba bayangkan bagaimana seseorang bisa menulis dengan baik dan runtut kalau belum memahami tekniknya. Anak yang baru belajar membaca tidak akan pernah bisa membaca kalau belum tahu teknik membaca. Huruf ‘o’ tidak mungkin dia ucapkan kalau dia belum tahu cara membacanya. Dan dia tidak akan pernah bisa membacanya kalau dia tidak berusaha belajar mengucapkannya. Tentu saja harus ada yang mengajarinya, kalau dia mau mempelajarinya. Dunia tulis menulis pun sama. Bahwa ada teknik yang harus dipelajari untuk bisa menulis dengan baik dan runtut.
Setiap jenis tulisan mempunyai karakteristiknya masing-masing, namun keruntutan tulisan tetaplah harus dijaga. Alur tulisan dengan loncatan-loncatan perubahan ide harus disampaikan secara enak dan menarik, tidak sekedar menyampaikan ide tanpa ada pengembangan yang tuntas.
Ide, bagaimanapun bentuknya, adalah pilihan yang telah dipilih oleh seorang penulis. Ide yang dipilih ini kemudian menjadi ide pokok, ide yang mendasari tulisan. Ide pokok itu akan menjadi ide utama tulisan manakala ide pokok itu telah dipecah menjadi ide-ide pokok yang lebih rinci yang kemudian dipersiapkan untuk ide-ide pokok di setiap paragraf.
Ide utama tetaplah ide utama yang akan menjadi inti tulisan, namun ide-ide pokok dalam setiap paragraf tadi harus menjadi ide-ide yang bisa dikembangkan menjadi paragraf-paragraf. Tentu saja yang harus dipahami di sini adalah pengembangan ide pokok dalam setiap paragraf itu bisa dengan penjelasan, contoh, ataupun penguatan/pendalaman. Di samping itu, dalam pengembangan paragraf itu harus tetap diperhatikan ketepatan pemilihan ide-ide pendukung. Baik penjelasan, contoh ataupun pendalaman ide pokok harus berupa ide-ide yang mampu mengembangkan dan memperjelas ide utama paragraf itu.

Kurang Membaca
Kesalahan yang kedua sebagai faktor yang menyebabkan ketidak mampuan menulis secara sitematis adalah kurangnya membaca. Padahal jelas sebagai orang Islam, lebih-lebih kita sebagai nahdliyin yang mengaku ahlussunnah, kita diminta untuk membaca. Dengan kata “Iqro’”  di dalam Al-Qur’an yang berarti bacalah, maka kita sudah dengan sendirinya diminta Allah SWT. untuk membaca.
Suharyadi bahkan mengatakan bahwa menulis dan membaca umpama dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Orang membaca tetapi tidak menulis maka ilmu yang diserapnya tidak akan tersampaikan kepada orang lain dan dengan itu maka berakibat tidak berumur lamanya ilmu yang telah susah payah didapat itu. Sebaliknya, orang menulis tetapi tidak membaca jelas tidak mungkin, karena orang bisa menulis sebagai akibat dari input yang masuk ke dalam otak melalui membaca, baik buku maupun keadaan.
Oleh karena itu, di sini, yang perlu dipahami adalah apa yang menjadi pusat adanya kegiatan menulis dan membaca adalah otak. Otak manusia umpama perut yang diisi makanan, kemudian makanan itu akan dikeluarkan manusia sesuai dengan apa yang dimakan setelah berproses. Otak pun demikian. Otak akan mengeluarkan pikiran tentang meja yang ditutupi taplak warna hijau kalau sumber informasi dari mata (dalam proses membaca lingkungan) yang masuk ke otak adalah meja yang ditutupi taplak warna hijau. Begitulah. Apa yang masuk ke otak dari proses membaca akan keluar, setelah berproses, sesuai dengan apa yang masuk tadi.
Oleh karenanya, Suhariyadi mengatakan, “Menulis tanpa membaca tidak mungkin.” Coba pikirkan bagaimana mungkin orang menulis dengan lancar kalau tidak mau membaca. Membaca di sini adalah kegiatan membaca dalam arti yang luas, yakni membaca bukan sekedar membaca buku, tetapi bisa juga berupa membaca keadaan lingkungan sekitar. Jadi intinya adalah kalau mau menulis, maka harus sering membaca. Membaca!

Kurang Latihan
Kesalahan selanjutnya adalah kurangnya latihan menulis. Menulis sebagai sesuatu yang membutuhkan proses yang begitu rumit juga harus membutuhkan latihan. Seperti yang saya ceritakan di atas, bagaimana seorang anak mampu membaca huruh ‘o’ kalau tidak pernah latihan. Sehingga latihan menjadi tangga yang sangat penting untuk menghubungkan kemampuan penguasaan teknik menulis dan wawasan sebagai akibat membaca dengan hasil tulisan. Betapapun bentuk tulisan yang tercipta, akan mengalami perbaikan terus menerus apabila terus diasah setiap waktu.

Tentu latihan menulis itu butuh niat yang tulus untuk menjadi seorang penulis. Apabila seorang hanya mengatakan kegiatan menulis hanya sebagai kegemaran saja, maka tidak lama kegiatan menulis itu akan segera berhenti dan selesai. Tidak akan berlanjut kegiatan menulis itu dengan hanya dasar kegemaran. Akan tetapi akan berbeda kalau kegiatan menulis itu dilandasi niat yang tulus untuk menjadi seorang penulis. Hal ini juga sesuai dengan apa yang diungkapkan Suhariyadi bahwa kalau kita menulis seyogyanya kita bercita-cita menjadi seorang penulis, karena hanya dengan itu kita akan mendapat kekuatan menulis. (*)

Kasih Nestapa, Cerpen Asroeri


Kasih Nestapa
Oleh: Aghfiel Asroert
Cakrawala menampakkan wajahnya. Langit bercengkrama memaknai tetesan hujan dari tubuhnya. Berdesir air menghujat kehidupan di tanah gersang. Terlihat sepasang mata menatap gumpalan awan hitam, memaknai dirinya dalam kepilauan yang sangat. Sedangkan langit masih tetap saja mengguyur kegersangan yang tiada surut permukaanya. Matanya memandang begitu jauh menerawang hingga tak terbayang apa yang sebenarnya ada di benaknya. Kegelisahan memaknai deretan wajah dari pancaran dilema suraunya.  Nestapa namanya.
Di ruangan yang tak begitu besar dengan sebuah meja yang terlihat sedikit usang dengan tatanan buku di atasnya, Nestapa tetap bersandar menatap rintihan hujan yang menghilangkan keceriaan pagi. Gundah gulana hatinya begitu mengikat, memikul bebas asa yang begitu berat. Sementara di belakangnya, terlihat sesosok wanita setengah baya melangkahkan kakinya setapak demi setapak mendekati Nestapa.
“Nestapa?” katanya seraya memegang pundak kiri Nestapa. Sedangkan Nestapa hanya diam seribu bahasa dengan pandangan kosong.
“Nestapa.. dunia ini masih luas nak.. bunga mawar masih banyak yang bermekaran. Butiran bibit tak akan berhenti ketika manusia terpaku hanya karena cinta. Jika kau mau, ibu masih bisa mencarikan yang lebih baik dari Surya!” ungkap wanita setengah baya itu yang tak lain adalah ibu Nestapa.
Sedangkan Nestapa hanya tetap diam dalam kebisuanya. Bola matanya menatap kedinginan pagi bercampur rintihan air langit. Perlahan matanya mengeluarkan butiran mutiara yang begitu bening. Ibu Nestapa begitu memerhatikan kegundahan hati anaknya itu. Perlahan Ibu Nestapa sudah mencoba membongkar kegundahan yang penuh dengan asa dalam diri Nestapa. Dengan hembusan nafas kecil, Ibu Nestapa mencoba untuk bersabar.
“Nestapa.. !” suaranya tersentak oleh bibir kecil Nestapa.
“Sudahlah ibu. Biarlah Nestapa menatap jiwa Nestapa. Nestapa masih tak bisa percaya dengan semua ini. Nestapa sebelumnya tak pernah jatuh cinta. Baru sekali ini Nestapa membuka bunga hati Nestapa. Surya cinta pertama Nestapa ibu. Tapi kenapa, Surya menyayat-nyayat hati Nestapa ibu?” ratapan Nestapa disertai kucuran air kecil dari kelopak mata Nestapa.
“Nestapa anakku. Mungkin Surya pergi karena semuanya telah menjadi senja. Ayahnya, Ibunya, mereka telah tertimbun miliaran tanah Nestapa. Sekarang Surya harus membanting tulang demi adiknya”.
“Tapi haruskah dengan meninggalkan Nestapa bu..” desak Nespata.
“Ya,, mungkin itu yang terbaik Nestapa. Perlu kamu ketahui Nestapa, bahwa cinta sesungguhnya bukanlah dari manusia. Tapi nanti Nestapa akan mengerti dengan sendirinya!” tutur Ibu Nestapa memutar pikiran yang berkata-kata. Sedangkan Nestapa hanya mengangguk kecil disertai senyum kecil dari bibirnya bersama deraian air langit yang kian surut menghilangkan jejaknya.
***
          Mentari pagi begitu riuh dengan cicauan burung di angkasa. Bola warna matanya memikat setiap insan yang bangun dari samudra gelapnya. Terlihat burung-burung memberikan sayup merdu kicauanya. Berbeda dengan Nestapa yang dari hari ke hari hanya diam menatap kenangan indah bersama Surya. Sesekali kelopak matanya mengeluarkan seribu deraian kecil air mata.
Entah sampai kapan Nestapa seperti itu, menggeluti kesuramanya dalam mencari petak demi petak ladang diotaknya, mencari tahu apa sebenarnya maksud Surya.
          Tiba-tiba dalam lamunanya menatap seribu dilema yang tak kunjung usai, kelopak matanya menangkap satu buah kertas menempati kesantainya di atas tatanan kursi yang sedikit usang dengan tatanan buku diatasnya. Perlahan dalam diri Nestapa, Nestapa merasa ingin tahu apa sebenarnya isi dari kertas itu. Perlahan Nestapa mendekati tempat bersandarnya kertas itu. Kemudian dibukanya perlahan-lahan. Terlihat isinya seperti sepucuk surat. Nestapa kemudian membacanya.

Kasihku Nestapa...
Kutulis lukisan kata ini dengan sebilah pena
Hanya ingin memberimu sedikit cucuran kasih dariku
Jika Nestapa merasa memikul berat jawaban yang tak kunjung usai?
Cucurkan air dengan tuntunan agama yang Nestapa ketahui
Kemudian ambil sebuah kitab suci agama Nestapa
Buka dan bacalah
Maka segenap kegundahan akan sirna menjadi relung kegembiraan
Memaknai ayat perkata didalamnya
Kasihmu Surya....
         
          Perlahan Nestapa teringat akan kertas bertuliskan mantra itu. Surya memberikanya di saat sebelum pergi jauh meninggalkanya. Nestapa teringat akan semua kata-kata itu. Mungkin karena begitu dalamnya relung jiwa kasih Nestapa kepada Surya, hingga sekejap mata Nestapa melakukan apa yang tertera di surat itu. Setapak demi setapak kaki Nestapa berayun mendekati kamar mandi yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Kesuraman wajahnya sirna digantikan rayana embun pagi memecah kegundahan malam yang memikat. Diputarnya penutup jalanya air hingga tsunami datang dari palaron. Nestapa mengambil pancaran air yang keluar itu. Diusapkanya ke mukanya dengan beberapa doa tuntunan agama hingga sampai batas mata kaki dikerjakanya. Kemudian sebuah kecerahan warna membayanginya dalam kelopak matanya. Setapak demi setapak kakinya menghantarkanya pada kecerahan sebuah warna. Diambilnya kecerahan warna itu yang tak lain adalah kitab suci Nestapa. Al qur an namanya. Kemudian sekelumit kata terucap dari bibir Nestapa.
Entah ada kekuatan dari mana. Hati Nestapa terasa ringan, sayup kesejukan, dan kejernihan jiwa terasa di kalbu Nestapa. Hingga lama Nestapa menatap ma’na dari ayat suci itu, mengantarkanya pada kesucian cinta dalam dirinya.
***
          Senja menancap erat di pelupuk langit biru. Meghantarkan segalanya menjadi membisu.  Kicauan burung hilang seketika tergantikan suara mamalia yang bersenandung dalam olah katanya. Berbeda dengen Nestapa yang bersuka ria di kala senja. Wajahnya penuh dengan senyuman kecil, menghiasi pancaranya yang mempesona seperti tak memikul beban penderitaan sedikit pun.
          Malam itu Nestapa dari sangkarnya merenungi keburamanya. Langkah kakinya mendekati meja tempat mengisi relung perut yang kosong. Ibunya merasa terkaget melihat kelincahan Nestapa malam itu. Senyum di bibirnya menunjukkan kegembiraan yang luar biasa.
“Ada apa nak kok senyum-senyum?” tanya ibu Nestapa.
“Tidak ada apa-apa kok buk, cuman Nestapa gembira aja karena kegelisahan pikiran Nestapa telah terobati!”jawab Nestapa.
“Dengan apa Nestapa?”
“Dengan menemukan cinta yang sesungguhya yang pertama dalam hidup Nestapa, memberikan ketenangan palung jiwa Nestapa ibu!”.
“Siapa nak. Kenalkan dong sama ibu,” kata ibu Nestapa dengan senyum ria seperti rayana pagi.
“Bukan orang kok buk!”
“Lalu apa Nestapa?”.
“Ketika rayana pagi menghampiri kesendirianku, sepucuk kertas putih datang menghampiri. Kubaca dan kulakukan apa yang tertera di dalamnya,” jelas Nestapa mengulang sejarah cakrawalanya.
“Lalu apa isinya, ibu ingin tahu!”.
“Isinya; Kutulis lukisan kata ini dengan sebilah pena
Hanya ingin memberimu sedikit cucuran kasih dariku
Jika Nestapa merasa memikul berat jawaban yang tak kunjung usai?
Cucurkan air dengan tuntunan agama yang Nestapa ketahui
Kemudian ambil sebuah kitab suci agama Nestapa
Buka dan bacalah
Maka segenap kegundahan akan sirna menjadi relung kegembiraan
Memaknai ayat perkata di dalamnya. Kata-kata ini dari surya ibu”.
Ibu Nestapa hanya tersenyum kecil sembari berdiri dari tempatnya bersinggah memaknai kata syair yang keluar dari bibir kecil Nestapa. Kelopak matanya berkilau-kilau menatap lampu neon yang menerangi kegelapan malam Nestapa dan ibunya. Dan terucap kata indah dari wanita separuh baya itu.
“Alhamdulillah, kamu telah mendapatkan apa yang namanya cinta abadi yang terlindungi dari ancaman tuhan. Semoga hatimu sesuci alimat ayat penuh dengan kebersihan jiwa itu!”

“Amin…, “ ungkap Nestapa dan ibunya memaknai malam yang sayup akan kegembiraan yang menerjang gelapnya malam di rumah Nestapa. (*)

Sabtu, 26 Juli 2014

TABLOID NUsa EDISI 26

Anda bisa membaca Tabloid NUsa EDISI 26 di Layar Komputer, Laptop, HP/I-Pad Anda dengan mudah.
Syaratnya antara lain:
1. Anda harus punya akun 4shared (www.4shared.com) 
2. Silahkan anda login atau masuk jika sudah punya akun 4shared, namun jika belum punya silahkan anda buat akun.
Catatan: Apabila ada kesulitan untuk download file kami, anda bisa menghubungi admin: kangaidi HP (0856-3301-799/0857-0628-2861) Fb: kangaidi


Contoh Halaman Tabloid NUsa EDISI 26

 
 















Untuk download Tabloid NUsa Format PDF,  silahkan Anda klik ikon download di bawah ini ...











Selasa, 01 Juli 2014

DARI KAMI TABLOID NUsa EDISI 26//Marhaban Ya Ramdahan!



Sungguh waktu terasa begitu cepat. Bulan Ramadhan yang rasanya belum lama meninggalkan kita, kini sudah hadir kembali. Rasa suka cita menyambut bulan nan suci tersebut, kini kembali menyertai hati kita umat Islam.
Pembaca yang budiman, di bulan istimewa ini, kami pertama-tama ingin mengucapkan, ‘’ Selamat Menjalankan Ibadah Puasa’’. Semoga kita bisa menjalani bulan puasa dengan penuh kerikhlasan hati. Semoga apa yang kita lakukan selama sebulan ini, semata-mata mencari ridla Allah SWT. Dan ending-nya kita berharap, di akhir puasa nanti kita tergolong orang-orang mutaqqin seperti yang menjadi target utama dari diwajibkannya puasa Ramadhan.
Dengan maksud untuk melakukan amar makruf nahi mungkar, pada edisi ini kami mengangkat laporan soal tradisi minum toak pada sebagian masyarakat Tuban. Laporan ini kami angkat, dengan maksud untuk melihat lebih dekat mengapa tradisi itu begitu mengakar di sebagian masyarakat di bumi wali ini. 
Dari data-data yang dikumpulkan, terungkap bahwa di balik tradisi minum toak ini ternyata ada beberapa nilai positif yang terkandung,  yakni bolo ngombe yang memiliki nilai dasar pertemanan, persaudaraan dan persahabatan. Juga keyakinan kalau toak bisa menghancurkan kandungan kapur di dalam tubuh manusia, mengingat air di bumi Tuban mengandung zat kapur yang begitu tinggi.
Di sisi lain, tidak bisa dinafikan kalau tradisi ini juga mengandung unsur negatif, yakni unsur mabuk yang kemungkinan besar akan menimpa orang yang meminumnya. Karena mabuk (memabukkan), maka kalau dilihat dari kaca mata agama, jelas hal itu tidak diperbolehkan alias haram. Karena itu, kearifan atau kebijakan dalam melihat persoalan tersebut harus dikedepankan. Diperlukan kiat-kiat khusus untuk tetap mempertahankan nilai-nilai positif, semberi membuang nilai-nilai yang negatif yang terkandung di balik tradisi minum toak tersebut.

Selain menyoroti tradisi minum toak, kami juga mengangkat berbagai fenomena dan persoalan yang terkait dengan Ramadhan. Dari tradisi menyambut datangnya bulan Ramadhan (megengan), membangunkan orang sahur, makanan yang sehat untuk buka dan sahur, serta amalan-amalan yang bisa dilakukan perempuan yang sedanag haid selama bulan Ramadhan. Kita berharap, laporan-laporan tersebut menjadi sanjian menarik dan menambah wawasan terkait dengan datangnya bulan mulia ini . Selamat menikmati! (*)  

NUsa Peduli 26- Disalurkan dalam Bentuk Uang Tunai


DITERIMA ANAK YATIM: Tiga peserta didik dari MI Tarbiyatul Banin Banat saat ber-pose bersama dewan guru usai menerima santunan NUsa peduli.

MONTONG – Di sela-sela Haflah Akhirussanah MA Tarbiyatul Banin Banat Montong, NUsa peduli disalurkan. Penyaluran kali ini dilakukan di MI Tarbiyatul Banin Banat, dan diserahkan oleh Ketua MWC Ma’arif NU Montong Abdussalam, M.Pd.I pada Rabu (25/06).
            Seperti bulan sebelumnya, dana yang disalurkan sebesar Rp. 600 ribu diberikan kepada 3 siswa-siswi  MI Tarbiyatul Banin Banat. Bedanya, bila bulan sebelumnya penyaluran dalam bentuk barang, saat ini diberikan dalam bentuk uang tunai.
Ketiga siswa yang menerima santunan tersebut adalah anak yatim yang ditinggal oleh bapaknya sejak kecil. Mereka adalah Rizka Roihatul Jannah (kelas 5), putri dari Ny. Datun yang keseharianya sebagai seorang petani. Kemudian, Wawan Hendri Kurniawan (kelas 1), putra dari Ny. Darsih seorang buruh tani yang setiap harinya bekerja di ladang orang lain. Dan terakhir Ahmad Alfin Muzzaki (kelas 2) putri dari Ny. Walim.
            “Ketiganya berasal dari keluarga yang benar-benar kurang mampu, tetapi selama ini mereka tidak pernak mengecewakan guru-gurunya. Mereka selalu disiplin dalam keseharianya di sekolah,” jelas Abdussalam.

            Usai menerima, Rizka mengatakan kalau uang santuan yang dia terima akan dibelikan kebutuhan untuk sekolah besok pada tahun ajaran baru. Sedang Alfin bermaksud akan membeli baju baru untuk hari raya besok. (amin)