RAPAT REDAKSI NUsa

Akhmad Zaini (Pimred Tabloid NUsa) memimpin rapat redaksi di halaman kampus STITMA Tuban.

DIKLAT JURNALISTIK

Peserta diklat jurnalistik dan crew Tabloid NUsa berpose bersama usai kegiatan diklat.

SILLATURRAHMI

Ketua LP. Ma'arif NU Kab. Tuban dan Pimred Tabloid NUsa berkunjung ke Rumah Gus Rozin (Putra KH. Sahal Mahfudz).

NUsa PEDULI SPESIAL

Mustain Syukur (Ketua PCNU Kab.Tuban) dan Fathul Huda (Penasehat LP. Ma'arif NU Tuban) berpose bersama siswa yang mendapatkan santunan NUsa Peduli.

STUDY BANDING LP. MA'ARIF NU KAB. TUBAN

Akhmad Zaini, ketua LP. Ma'arif NU Kabupatn Tuban saat menerima cinderamata dari LP. Ma'arif Kab. Pasuruan.

RAPAT BERSAMA

Pengurus PCNU, Pengurus LP. Ma'arif NU, PC.Muslimat Tuban, PC.Fatayat NU Tuban saat rapat bersama membahas pendidikan di Kabupaten Tuban.

GROUP SHOLAWAT SMK YPM 12 TUBAN

Group Sholawat Al-Banjari SMK YPM 12 Tuban melantunkan tembang sholawat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.

TURBA MAARIF NU TUBAN KE RENGEL

Group Sholawat Al-Banjari SMK YPM 12 Tuban melantunkan tembang sholawat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.

NUsa PEDULI EDISI 23

Tiga siswa berada di naungan LP. Ma’arif menerima santunan yang diberikan langsung oleh Dirjen Pendis (kanan) dan Kapala Kemenag Tuban.

PENGURUS PC. LP MA’ARIF NU

Beberapa Pengurus PC. LP Ma’arif NU Tuban siap bekerjasama demi kemajuan pendidikan di Kabupaten Tuban.

AVANZA UNTUK OPERASIONAL MA’ARIF NU TUBAN

Zaini (Ketua PC. LP. Ma'arif) menerima hadiah mobil dari Bupati Tuban secara simbolis pada acara Rakor kepala sekolah dan pengurus yayaasan se-kabupaten Tuban.

PRESTASI FATAYAT

Fatayat NU Tuban Masuk 10 Besar Lomba Rias Provinsi.

JUARA MTK

Beberapa Crew Tabloid NUsa, mereka semua generasi dari NU berasal dari Tuban, Lamongan dan Bojonegoro.

TIM TABLOID NUsa

Beberapa Crew Tabloid NUsa, mereka semua generasi dari NU berasal dari Tuban, Lamongan dan Bojonegoro.

Rabu, 30 April 2014

VIDEO CREW NUsa TUBAN ADAKAN DIKLAT JURNALISTIK


DIKLAT JURNALISTIK


Selasa, 29 April 2014

Perjalanan Panjang MI Salafiyah Mahbubiyah, Bandungrejo, Plumpang

Terpencil tak Halangi Kemajuan


     Dulu bermula dari IPNU-IPPNU, kemudian menjadi madrasah formal tradisional. Kini MI Salafiyah Mahbubiyah pelan-pelan berubah menjadi “modern”. Penerimaan Siswa baru kini bisa online.
Sebelum 1962, belum ada madrasah di Desa Bandungrejo, Plumpang. Kehidupan masyarakat desa masih belum tersentuh dengan pengajaran formal melalui madrasah. Saat itu, pembelajaran yang terjadi baru sebatas anak-anak usia IPNU-IPPNU yang mengaji kitab kepada Kiai setempat, KH. Rohmat. Dari ngaji kitab itu, akhirnya dibentuklah pengurus IPNU-IPPNU.
 “Ngaji itu seolah seperti madrasah, tapi berbentuk diniyah,” ungkap Moh. Djaeri, komite madrasah yang sekaligus pelaku sejarah beridirnya MI Slafiyah Mahbubiyah itu. Pelajaran yang diajarkan adalah dari kitab Sulam Safinah, Bidayah dan Taqrib.
Kegiatan mengaji itu sempat terhenti setahun, yakni pada 1965. Kemudian pada 1966, atas tekat bersama para kiai, tokoh masyarakat dan desa didirikanlah madrasah dengan gedung pertama berupa rumah bambu “bongkotan”. Dijelaskan Mbah Djaeri, letak madrasah itu dulu di sebelah Masjid Al-Khosmani (kini nama Masjid itu adalah Al-Muttaqin, Bandungrejo). Murid MI Salafiyah Mahbubiyah saat itu mencapai 90 anak dan gurunya berjumlah 5 orang: M. Djaeri, M. Sunoko, Rohman, Kaspu Kasan dan Kiai Miftah Asrori (pengajar ngaji pengganti KH. Rohmat).
Namun, madrasah yang masih seumur jagung itu harus berafiliasi dengan sekolah dasar pada 1970-1971. Hal itu disebabkan faktor politis. Pemerintah, dengan kekuasaannya, memaksa MI Salafiyah Mahbubiyah berubah nama menjadi Madrasah GUPPI (Gabungan Usaha Pendidikan Islam). Namun, madrasah hasil intervensi pemerintah saat itu hanya berjalan 3 bulan. “Saat itu, saya saja yang mengajar. Guru yang lain berhenti dan akhirnya siswa-siswinya habis. Tidak bersisa,” cerita Djaeri. Alhasil, MI Salafiyah Mahbubiyah dikembalikan lagi ke sebelah masjid, dengan pertimbangan kemaslahatan.
Pada 1984 madrasah mendapat hibah tanah desa (yang kini ditempati MI S. Mahbubiyah). Dengan tersedianya tanah itu, MI S. Mahbubiyah mendapat bantuan 3 gedung dari pemerintah pada 1985. Selesai dibangun, siswa-siswi madrasah akhirnya diboyong dari gedung bambu sebelah masjid menuju gedung baru hasil bantuan pemerintah. Saat itu, mata pelajaran yang diajarkan MI S. Mahbubiyah di antaranya: Tauhid, Al-Qur’an, Hadits, Fiqih, Ke-NU-an, Ilmu Shot, Nahwu-Shorof dan beberapa ilmu umum. “2/3 ilmu agama dan 1/3 ilmu umum,” ungkap pendiri yang kini menjadi Komite madrasah itu.
Setelah ada kurikulum dari Departemen Agama (Depag) Kabupaten Tuban, akhirnya mata pelajaran yang diajarkan di MI S. Mahbubiyah disesuaikan. Pada 2009 lalu, MI S. Mahbubiyah kembali mendapat bantuan rehab gedung (Block Grant) dari Kemenag Tuban.(wakhid)

Daftar dan Lulus Via Online
Kini MI Salafiyah Mahbubiyah telah hidup di zaman modernisasi-globalisasi, di mana dunia IT telah merebak ke seluruh penjuru dunia. Internet telah mampu menyambungkan hubungan-komunikasi masyarakat yang hidup di daerah manapun di dunia ini. Nah, meski letaknya terpencil, jauh ada di pedalaman, MI S. Mahbubiyah tidak mau ketinggalan dari madrasah-sekolah, yang berada di kota sekalipun, dalam menerapkan aplikasi yang muncul dari dunia IT.
Achmad Suyuthi, S.Pd
Kepala MI Salafiyah Mahbubiyah Bandugerejo Plumpang Tuban
Kepala Madrasah Achmad Suyuthi, S.Pd mengatakan bahwa MI-nya telah menerapkan pendaftaran siswa baru secara online. Tidak hanya itu, untuk mengetahui kelulusan siswa-siswinya pun bisa diakses melalui internet, akun websitenya. “Dalam pembelajaran, khusus kelas 6, kami sudah memakai proyektor-LCD. Absen guru telah memakai finger print dan lingkungan sekolah telah tersambung internet dengan Wi-fi,” jelas kepala madrasah alumnus Universitas Wisnuwardana ini.
Meski telah mengikuti kemajuan, MI S. Mahbubiyah tetap tidak meninggalkan pembelajaran-pendidikan karakter keagamaan. Mata pelajaran agama tetap diberi porsi lebih. Ditambah, pembiasaan siswa akan akhlak islamiyah setiap hari. “Datang awal, salam dan cium tangan guru. Ketika bel pertama (06.30) anak-anak membaca surat-surat pendek. Sebelum belajar, mereka menghafal Asmaul Husna. Dan praktek ibadah juga kami biasakan, seperti: Sholat Dhuha dan Dhuhur dan pada saat-saat tertentu kita tahlil, istighotsah, ziarah,” jelas kepala yang kini hampir menyelesaikan S2-nya di Unisla itu.
Untuk menunjang aspek religius itu, kegiatan ekstrapun digalakkan. Drum band, qosidah al-banjari, qiro’ah, teater, pramuka dan istighotsah telah menjadi kegiatan mingguan mereka.
Berbagai prestasi di tingkat kecamatan telah mampu diraih oleh siswa-siswi MI S. Mahbubiyah. Bahkan dalam ajang di tingkat propinsi pun siswa MI S. Mahbubiyah pernah menempati posisi yang cukup membanggakan. Siswanya pernah mencapai posisi 11 dalam Olimpiade MIPA-IPA tingkat propinsi pada 2011. Sedangkan pada 2012, siswanya mampu menempati posisi 9 dalam Olimpiade MIPA-MTK.

Kini MI S. Mahbubiyah Bandungrejo, Plumpang memiliki siswa-siswi sejumlah 145 anak dan guru yang mengajar, serta karyawan, sejumlah 11 orang. Bahkan di kompleks MI S. Mahbubiyah telah berdiri RA dan PG. “Siswa RA mencapai 60 anak, terbagi 2 kelas. Dan siswa PG 23 anak,” tandas Suyuthi. (wakhid)

Siswa MI Manbail Huda Kaliuntu, Jenu Tuban Impikan Juara Nasional


Impikan Juara Nasional
M. Fiki Farizzuda membawa piala yang pernah diraih saat lomba tilawah. Mustofa, S.Pd.I guru pembimbing Fiki yang selalu membina Fiki.

Nama lengkapnya adalah M. Fiki Farizzuda. Dia anak kelas 5 MI Manbail Huda Kaliuntu, Jenu. Dia terlahir pada 15 Maret 2003 di Meduran Lor, Beji, Jenu. Di usianya yang kini menginjak  11 tahun, Fiki, yang terkenal pendiam itu, telah berhasil meraih juara di berbagai lomba tartil dan tilawah Al-Qur’an, serta adzan di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Banyak orang di lingkungannya yang kaget dengan hasil capaian Fiki itu.
Salah satu orang yang paling kaget dengan hal itu adalah Mustofa, S.Pd.I, guru MI Manbail Huda yang sekaligus ditugasi membimbing dan membina Fiki. Dia adalah satu-satunya orang yang mengerti betul proses muncul dan berkembangnya bakat Fiki sampai kini meraih berbagai prestasi juara. Karena di samping sebagai guru madrasah, dia juga-lah yang mengepalai TPQ Shohibur Rohmah (tempat Fiki mengaji dan memunculkan bakat tilawahnya).
Cerita Mustofa, sejak masuk MI Manbail Huda dan mengaji di TPQ-nya, Fiki terkenal sebagai anak yang pendiam. Kegiatan kesehariannya juga biasa, tidak ada perbedaan yang signifikan dengan anak yang lain. Prestasi akademisnya pun tidak menonjol.
Sampai pada suatu ketika, Mustofa mengadakan lomba adzan di TPQ asuhannya. Dalam lomba itu, tidak disangka, Fiki menunjukkan kebolehannya. Dia menjadi juara lomba adzan itu dengan mengalahkan santri-santri di atas usianya. “Ada anak yang kelas 3 ada yang kelas 4, ada yang kelas 5. Suaranya berhasil mengalahkan mereka,” kenang Mustofa. Sejak saat itu Mustofa meyakini bahwa Fiki memiliki bakat untuk melantunkan tilawah dengan baik.
2011 menjadi tahun awal Fiki menorehkan sejarah baru bagi hidupnya. Pada tahun itu, dia dibimbing Mustofa secara intensif, minimal 3 kali seminggu, untuk mengikuti lomba tilawah dalam rangka peringatan HUT RI di tingkat SD-MI se-Kecamatan Jenu. Fiki berhasil menyabet juara I pertamanya dalam lomba yang diadakan di Masjid Baitur Rozak Jenggolo-Jenu tersebut.
Pada 2012, Fiki kembali menuliskan namanya di papan nama juara. Dia berhasil menjuarai lomba MTQ tingkat kabupaten. Di tahun yang sama, Fiki kembali menjuarai lomba tilawah dalam rangka HUT RI Tingkat Kecamatan di Masjid Baitur Rozak Jenggolo.
Umpama jalan telah semakin lancar, prestasi juara bagi Fiki pada tahun 2013 semakin berdatangan. Lagi-lagi dia berhasil menjuarai lomba tilawah dalam acara peringatan HUT RI di SDN Beji I. Dalam acara Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) MI tingkat kecamatan di MI Miftahul Huda Rawasan, Fiki kembali menjadi juara. Di level tingkat Kabupaten, Fiki tak terbendung. Dia kembali menyabet juara I dalam acara Porseni yang diselenggarakan di aula Kemenag Tuban itu. Sayang, Fiki harus berhati besar ketika mengikuti Porseni di tingkat propinsi. Dia menunda untuk menuliskan namanya di papan juara. “Ingin sekali menang di tingkat Propinsi,” ungkapnya singkat.
Namun, kekalahan tidak membuatnya jatuh. Dia malah semakin bersungguh-sungguh dalam berlatih. Latihan bersama Mustofa dia gunakan sebaik mungkin. Akhirnya, dia kembali menjadi juara 3 dalam lomba tilawah dalam rangka HUT Masjid Agung Tuban. Bahkan dalam acara Festival Anak Sholeh Indonesia (FASI) Kecamatan Jenu, dia mampu menyabet triple winner. “Tartil juara I, tilawah putra juara I dan adzan juara I,” ungkap Mustofa. Namun, dalam FASI Kabupaten Tuban pada awal 2014 lalu, Fiki cukup menempati posisi ke-2 dalam lomba adzan dan posisi ke-3 dalam lomba tilawah.
 Kini dia mengaku semakin percaya diri. Tidak lain hal itu karena kehadiran Mustofa yang selalu membimbingnya dalam melantunkan ayat-ayat Allah SWT dengan merdu. Kondisi bapaknya (Nurwanto) yang hanyalah seorang nelayan dan ibunya (Sri Munfaatun) yang hanya ibu rumah tangga biasa, membuatnya dipercayakan penuh kepada Mustofa. Harapan besar masih ditatapnya lekat-lekat. “Ingin juara tingkat nasional,” ujarnya lirih. (wakhid)










Jejak Sunan Kalijaga di Desa Medalem, Senori Tuban


Dapat Firasat, Gus Dur pun Berziarah

      Masyarakat sekitar menyebutnya makam Sunan Kalijaga Mara Teka atau dikenal Raden Sahid Mara Teka. Sebagian masyarakat juga ada yang menamakan makam Ploso Medalem. Tempat tersebut diyakini sebagai petilasan Sunan Kalijaga yang ada di Tuban.
        Makam tersebut terletak di Dusun Soko, Desa Medalem, Senori. Dari pusat kota Tuban menuju lokasi makam, diperkirakan sekitar kurang lebih 65 km. Sebelum diziarahi oleh masyarakat luar dan dibuka oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), makam tersebut sudah ditemukan oleh seorang penduduk setempat.
Juri kunci makam, Ali Imron saat ditemui dilokasi makam menceritakan, sebelum dibuka dan diresmikan oleh Gus Dur pada 1999 lalu, keberadaan makam tersebut sudah ditemukan oleh seorang warga setempat yang bernama Mulyadi. “Mulyadi itu masih Pak Lek kulo,”ujar Imron.
     Diceritakan, saat itu pamannya termasuk orang kaya di Desa Medalem. Namun suatu hari hartanya semakin habis, lalu membuat rumah di tengah area ladang atau tegalan.  Disitu ia hidup sendirian dan tidak punya tetangga. Dari situlah tiap malam antara sekitar jam 21.00 hingga 23.00, Mulyadi sering didatangi seseorang yang berpakaian serba hitam.
      “Tiap hari didatangi terus. Orang itu bilang agar Pak Lek (Mulyadi, Red) merawat makam yang masih rumbuk. Dan ternyata, ketika kesokan harinya dicek, makam tersebut ternyata ada. Dulu tempat ini memang rungget (banyak semaknya),” imbuh Imron.
        Setelah ditemui beberapa kali, akhirnya Mulyadi datang dan berkonsultasi kepada Kiai Baidi (ayah Gus Mad Tuban). Saat itu, Mulyadi diajak oleh K. Baidi untuk menghadap ke K.H. Hamid Pasuruan. Saat datang ke rumahnya Kiai Hamid, jawaban kiai tersebut sangat mengejutkan Mulyadi. Katanya kiai Hamid juga pernah ziarah di makam tersebut. Tidak hanya itu, ia juga mengatakan kalau nama dari makam tersebut bernama Raden Sahid Moro Teko. Setelah ditanyakan kejelasan makam tersebut, seminggu kemudian Kiai Baedi bersama warga setempat mulai membukanya.
     “Tapi dulu kondisinya belum secerah ini, keadaannya masih banyak semaknya. Jadi kelihatan angker. Selain itu, pemerintah dulu kan senpat melarang untuk menziarahi,”tandasnya.
       Dijelaskan Imron, saat zamannya Gus Dur menjadi presiden, tepatnya pada 1999, makam tersebut baru dibuka dan direnovasi sedikit demi sedikit. Kedatangan Gus Dur ke makam karena beliau dapat petunjuk, kalau ingin negara makmur harus berziarah ke makam Sunan Kali Jaga. Saat itu Gus Dur datang ke Kadilangu, Demak. Akan tetapi, di situ Gus Dur dapat firasat untuk ziarah ke makam Sunan Kalijaga yang berada di Kabupaten Tuban. Dengan melalui Riyadh Tsauri yang biasa dipanggil Gus Aya, selanjutnya mencari keberadaan makam tersebut. Informasi yang diterima ternyata benar terdapat makam Sunan Kalijaga yang letaknya di Dusun Soko, Desa Medalem, Kecamatan Senori. Sehingga Gus Dur datang dan berziarah ke makam tersebut. Tepatnya pada 17 Ramadhan persisnya 1999. Pada saat itu, makam sudah mulai dibuka. “Kalau menurut penuturan Gus Dur, yang di Kadilangu itu kantornya, akan tetapi di sini makamnya. Tapi semua itu Allahu a’lam,” papar Imron.
        Setelah ditetapkan acara haulnya, selanjutnya di tahun 2000 masehi dibentuk juru kunci oleh pihak desa dan kecamatan setempat. Dalam musyawarah tersebut, lalu ditetapkan sebanyak 5 juri kunci. Di antaranya, Mbah Sangep, Khoribun, Mbah Modin Wanijo, Dimiyati, dan Ali Imron. Di saat itu pula, sekitar makam mulai dibangun dan renovasi. “Akan tetapi kelima juru kunci tersebut empat sudah meninggal, ya tinggal saya juru kuncinya ini,” katanya. (suwandi)

Semilir Dinaungi Ploso Songo

     
      Ada yang menarik, ketika berziarah di makam di Dusun Soko, Medalem, Senori. Selain angin sawah yang semilir membelai rambut para peziarah, makam yang berada di tengah sawah tersebut ditumbuhi pohon ploso. Karena itulah makam tersebut dinamakan makam ploso. Hal ini, menimbulkan hawa sejuk dan kenyamanan untuk berteduh di siang hari. Warga sekitar biasanya beristirahat di sekitar makam sambil menjemur hasil panen di halaman makam. Dengan demikian, makam yang berada di tengah sawah tersebut tak pernah sepi lalu lalang aktivitas warga setempat.
      Tidak hanya warga saja, bahkan peziarah pun banyak yang beristirahat di kompleks pesarean tersebut. Salah satu peziarah, Rudi (25) dari Kalitidu, Bojonegoro, mengatakan nyaman dan teduh ketika berada di pesarean makam. Ketenangan ia rasakan bersama satu temannya siang itu.
Panorama Ploso Songo yang tumbuh di kompleks makam sunan Kali Jaga, memayungi beberapa makam aulia lainnya. Makam auliya lain yang berada dalam satu kompleks dengan makam sunan Kali Jaga yaitu makam Syekh Badawi (Solo), makam Abdurrahman (Janjang, Blora), Makam Dewi Amiroh (Istri Sunan Kalijaga), makam Abdul Aziz Abdul Basith (saudara Mbah Jabbar, Nglirip, Singgahan), Mpu Supa (adik sunan Kalijaga),  Patih Wana Salam dan Abdul Qodir (putra Raden Patah), Raden Semangun (senopati Banyuwangi), dan satu makam yang terletak 1 Km dari makam Sunan Kalijaga yaitu makam Rasa Wulan atau dikenal dengan nama Nyai Dembaga (adik sunan Kalijaga).
      Keberadaan pohon Ploso yang memayungi pesarean dan musala, ternyata memiliki cerita lain. Cerita tersebut merupakan simbol nama makam itu sendiri. Sembilan pohon ploso dimaknai sebagai jumlah wali sanga. “Ada juga yang memaknai sebagai simbul Rasulullah, empat sahabat rasul, dan empat madzab. Ada beberapa tafsiran dari mulut ke mulut mengenai pohon ploso di makam ini,” jelas Imron yang  juga pengajar di salah satu MI di Desa Medalem.
      Imron menambahkan, jauh sebelum makam ditemukan, pohon ploso sudah ada. Sekarang pohon itu tinggal 8 batang, karena yang berada di sebelah selatan pesarean Dewi Amiroh, tumbang. (antok)

Pesarean Berbentuk Segi Delapan
     

Makam yang dulunya dipercayai sebagai rumah Sunan Kali Jaga, memang belum ditemukan bukti peninggalan-peninggalan yang berarti, kecuali cincin dan tasbih. Akan tetapi, peninggalan tersebut juga tidak ada artinya lagi, karena sudah raib. Namun demikian, pesarean yang berada di bawah pohon ploso, nampak berbeda dari pesarean-pesarean makam lainnya. Makam tersebut berbentuk segi delapan dengan empat saka guru. Bentuk bangun tersebut berawal, ketika membuat cungkup tidak lagi mencukupi panjang makam. Setiap cungkup diperluas dan ukuran sudah sama dengan ukuran panjang makam, tetap saja cungkup tersebut tidak mencukupi panjang makam. “Hari ini diukur, besuk didirikan, cungkup masih saja kurang luas. Hal itu, berulang-ulang,” ungkap Imron.
      Dari kejadian itu, warga lantas berinsiatif untuk tetap mendirikan cungkup tersebut dengan membuat sudut baru pada sisi-sisi luar cungkup. Akhirnya, terbentuklah cungkup segi delapan dengan pintu yang menyudut. “Seperti itulah bentuknya, mirip pagoda di Semarang,” ungkap Imron.

Selain itu, untuk mencukupi kebutuhan peziarah, di area kompleks makam dihadirkan pula gentong tempat wudu dan  minum. Selain  itu, terdapat ruang kantor untuk juru kunci. Sedangkan untuk menambah kekhusyukan peziarah, dibangun sebuah musala yang nyaman untuk para peziarah. Di samping itu, acara istigosah selapanan, rutin diadakan warga sekitar. Acara tersebut dilaksanakan setiap kamis kliwon malam jumat legi. (antok)

Rapat Koordinasi LP Ma’arif Tuban

MASA DEPAN MA’ARIF TUBAN: Beberapa Pengurus PC. LP Ma’arif  NU Tuban siap bekerjasama demi kemajuan pendidikan di Kabupaten Tuban. 

Harapan Besar di Pundak Ma’arif

Solidaritas dan soliditas keluarga besar PC LP Ma’arif NU Tuban kembali dipertontonkan dalam acara Rapat Koordinasi (Rakor) pada 22 Maret 2014 lalu di gedung KSPKP Tuban. Ekspektasi tinggi muncul dari para stakeholder.

Sedikitnya 500 orang lebih dari seluruh ketua yayasan lokal dan kepala madrasah-sekolah yang bernaung di bawah payung LP Ma’arif NU Tuban turut mengahadiri acara Rakor PC LP Ma’arif NU Tuban itu. Di tengah-tengah mereka hadir pula Pengurus Pusat LP Ma’arif NU H. Adul Gofar Rozin (wakil ketua LP Ma’arif NU Pusat), Dirjen Pendidikan Agama Islam Kemenag RI Prof. Dr. H. Nursyam, M.Si, Bupati dan Wakil Bupati Tuban, Ketua PCNU Tuban dan Kepala Kemenag Tuban. Kehadiran mereka dan ditambah dengan penampilan brilian siswa-siswi LP Ma’arif yang ada di berbagai daerah menambah gaung Rakor tersebut.
Dalam sambutannya, Akhmad Zaini (ketua PC LP Ma’arif NU Tuban) melaporkan bahwa Ma’arif telah melakukan registrasi ulang kepada seluruh lembaga yang masih berkomitmen menginduk di PC LP Ma’arif NU Tuban. Dia membacakan data sementara bahwa total lembaga yang menginduk di Ma’arif Tuban adalah 287 lembaga, dengan rincian MI 180 lembaga, SD 2 lembaga, MTs 67 lembaga, SMP 9 lembaga, MA 18 lembaga, SMA 6 lembaga, dan SMK 6 lembaga. ‘’Jumlah ini belum final, isya Allah akan masih bisa bertambah,’’ tandasnya optimistis.
Dengan lembaga sejumlah itu, Ma’arif memiliki hampir 5 ribu guru pengajar dan siswa-siswi hampir mencapai 35 ribu orang.
Dengan data itu, Zaini mengatakan bahwa LP Ma’arif adalah sebuah lembaga yang besar, yang kesatuannya bukan diikat oleh materi tapi ukhuwah nahdliyah yang dijabarkan dalam ajaran ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja). Mari kita terus perkuat ukhuwah ke-NU-an kita untuk menjaga ahlussunnah wal jama’ah,” ungkap Zaini.
“Tunjukkan bahwa NU dan Ma’arif itu besar, tunjukkan bahwa NU dan Ma’arif itu hebat, karena dengan kebesaran dan kehebatan itu kita akan diperhitungkan, dengan kehebatan itu kita tidak akan pernah disingkirkan, dengan kehebatan itu kita akan menjadi kuat dan disiplin,imbuhnya dengan penuh semangat.
Dalam rakor tersebut dilakukan pula penyerahan dan penerimaan secara simbolis SK registrasi kepada beberapa kepala sekolah dari MI, SD, MTs, SMP, MA, SMA dan SMK oleh Ketua PC NU Tuban H. Musta’in Syukur.
Menanggapi sambutan Zaini, Musta’in Syukur, dalam sambutannya, menyampaikan bahwa PCNU Tuban bangga terhadap kinerja dan langkah-langkah seluruh jajaran pengurus LP Ma’arif NU Tuban. “Saat itu, SK belum keluar saja Pak Zaini sudah melakukan Turba untuk memperkenalkan diri dan konsolidasi dengan seluruh MWC LP Ma’arif NU di 20 kecamatan yang ada di Tuban. Sampai-sampai dia memboyong Ma’arif mengadakan study banding ke Kudus untuk belajar memimpin Ma’arif dengan baik dan benar,” ungkapnya.
Ditambahkan, bahwa usaha dan langkah yang ditempuh Ma’arif saat ini adalah sebuah awal kinerja yang bagus. Ini mampu menjawab keraguan masyarakat NU kepada Pak Zaini dalam mengemban amanat sebagai Ketua Ma’arif, karena latar Pak Zaini saat itu memang belum dikenal luas, ungkapnya.
Sementara itu, Gus Rozin –sapaan Abdul Ghofa Rozin--menyampaikan bahwa masyarakat saat ini menggantungkan harapan yang tinggi kepada LP Ma’arif. Dia bercerita dulu masyarakat mengamanahkan putra-putrinya di pondok pesantren karena keilmuan Kiai yang menjadi pemegang otoritas untuk legalisasi kelulusan santri. Namun, dalam perkembangannya, madrsah-sekolah umum memasuki pondok pesantren. Karena eksistensi lembaga umum mampu memberikan kontribusi langsung terhadap harapan-hara masa depan masyarakat, akhirnya kepercayaan yang awalnya dipercayakan kepada Kiai semata bergeser kepada lembaga umum. Otomatis pusat penanggung jawab ajaran Aswaja nahdliyah kini menjadi tanggung jawab lembaga umum tersebut.
 Untuk itu, Gus Rozin menegaskan bahwa Ma’arif-lah yang kini mempunyai tanggung jawab besar menjaga eksistensi ajaran Aswaja nahdliyah di tengah masyarakat.
Penasehat Ma’arif yang juga menjabat sebagai Bupati Tuban H. Fatchul Huda mengapresiasi antusiasme seluruh anggota Ma’arif dalam menjaga Aswaja. Dia menginginkan adanya perbaikan di berbagai aspek yang ada di Ma’arif. Untuk menanamkan ajaran Aswaja nahdliyah dengan baik, perlu adanya buku Aswaja yang baik pula. Dia masih melihat isi buku pelajaran yang selama ini dipakai LP Ma’arif masih memakai buku yang menjelaskan teorinya saja, tapi belum kepada esensinya Aswaja.
Dia menginginkan diciptakannya buku Aswaja yang mengandung poin-poin penting ajaran Aswaja an-Nahdliyah yang aplikatif, sehingga siswa-siswi Ma’arif tidak mengenal Aswaja hanya pada teorinya saja tapi lebih pada aplikasinya setiap hari.
Selain itu, dalam kesempatan tersebut, Huda juga berpesan bahwa, masyarakat NU harus dapat mengambil, menciptakan, dan memanfaatkan setiap peluang. Sebagaimana disampaikan bahwa karomah dari Allah SWT itu muncul karena ada tantangan. “Cobalah bikin tantangan-tantangan, karomah muncul karena ada tantangan, ungkapnya.

Ditambahkan pula, mengenai pendidikan di Ma’arif, hendaknya ada pelatihan kepala sekolah, sehingga kepala sekolah dapat mengelola guru dengan baik. Dan tentunya hal tersebut akan lebih baik jika ditindak lanjuti dengan peningkatan kualitas guru. “Kalau sistematisnya sudah benar, itu akan semakin menambah kepercayaandiri dan kebanggaan masyarakat NU,” tandasnya. (wakhid/hisyam)

Study Banding L.P. Ma’arif Tuban ke Pasuruan


      PASURUAN- Guna meningkatkan kinerja organisasi, L.P. Ma’arif NU Tuban kembali melakukan study banding ke daerah lain. Bila pada awal Januari lalu menimba ilmu ke Kudus, Jawa Tengah, kali ini, lembaga di bawah PC NU yang menaungi ratusan lembaga pendidikan NU di Tuban ini menimba ilmu ke Pasuruan. ‘’Ke Pasuruan ini, kita fokus belajar soal hubungan sinergi antara L.P. Ma’arif dan Pemerintah Daerah (Pemda),’’ kata Akhmad Zaini, ketua L.P. Ma’arif NU Tuban.
        Study banding ke Pasuruan dilakukan pada, Sabtu, 5 April 2014. Sebanyak 25 pengurus Ma’arif yang terdiri dari pengurus harian dan beberapa ketua MWC Ma’arif NU mengikuti kegiatan tersebut. Dengan menumpang dua mobil, rombongan sampai di Pasuruan pukul 13.00 WIB.    
       Saat memberikan sambutan, Zaini mengatakan kalau kedatangan pengurus Ma’arif Tuban ke Pasuruan karena dinilai daerah tersebut berhasil membangun sinergi yang baik antara Ma’arif dan Pemda. Salah satu indikasi keberhasilan tersebut adalah keterlibatan Ma’arif dalam merancang Peraturan Daerah (Perda) Pendidikan. ‘’Sebagai daerah yang kebetulan bupatinya sama-sama berlatar belakang NU, tentu kami ingin seperti itu. Kami ingin kepentingan sekolah, khususnya madrasah yang berada di bawah L.P Ma’arif bisa terakomudasi,’’ kata mantan Redakstur Jawa Pos ini.
      Merespon sambutan Zaini, Ketua L.P Ma’arif NU Pasuruan, KH Mujib Imroh, mengatakan kalau keinginan Ma’arif Tuban tersebut sangat bisa dipahami. Sebab, nasib sekolah/madrasah di bawah L.P. Ma’arif sangat terpengaruh oleh kebijakan-kebijakan Pemda yang mengacu kepada Perda Pendidikan. ‘’Di era otonomi daerah ini, Pemda-Pemda yang berbasis NU semestinya harus bisa mengikhtiarkan agar kepentingan warga NU terwadahi. Tentu, ini bukan berarti mengabaikan kelompok lain. Kita tetap mengembangkan Islam yang rahmatan lil alamain, ‘’ ujar Gus Mujib.
       Mantan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) ini, lebih lanjut memaparkan, di Pasuruan hubungan Pemda dan Ma’arif memang dibangun sangat erat. Ketika Perda Pendidikan hendak disusun, Ma’arif adalah perancangn utama dari Perda tersebut. Sehingga, kepentingan madrasah, diniyah serta pondok pesantren bisa terakomudasi dengan baik. ‘’Namun, ketika menyusun, tentu kami melibatkan semua unsur masyarakat di Pasuruan. Jadi, Perda itu hakekatnya hasil dari usulan masyarakat Pasuruan yang di dalamnya ada Ma’arif dan NU,’’ tandasnya.

     Gus Mujib juga menekankan soal pentingnya komunikasi politik dibangun oleh Ma’arif. ‘’Di sini  (Pasuruan, Red) Ma’arif bisa sejajar dengan sekolah negeri karena LP Ma’arif Pasuruan berusaha semaksimal mungkin membangun komunikasi dengan legislatif dan eksekutif. Komunikasi politik itu penting karena tidak dipungkiri sesungguhnya pendidikan juga menjadi bagian dari  politik, tambahnya. (hisyam)

FOTO MAULID NABI SMK YPM 12 TUBAN 2014


FOTO NUsa PEDULI

FOTO NUsa PEDULI EDISI 01


SDI : Akhmad Zaini, Pimred Tabloid NUsa  (dua dari kiri) berpose bersama enam siswa SDI yang mendapatkan santunan NUsa peduli. 

Rabu, 23 April 2014

AVANZA UNTUK OPERASIONAL MA’ARIF TUBAN

Zaini menerima hadiah mobil dari Bupati Tuban secara simbolis pada acara Rakor kepala sekolah dan pengurus yayaasan se-kabupaten Tuban.

NUsa PEDULI EDISI 23

Tiga siswa berada di naungan LP. Ma’arif menerima santunan yang diberikan langsung oleh Dirjen Pendis (kanan) dan Kapala Kemenag Tuban.

TABLOID NUsa EDISI 23


Anda bisa membaca Tabloid NUsa EDISI 23 di Layar Komputer, Laptop, HP/I-Pad File PDF Anda.
Syaratnya antara lain:
1. Anda harus punya akun 4shared (www.4shared.com) 
2. Silahkan anda login atau masuk jika sudah punya akun 4shared, namun jika belum punya silahkan anda buat akun.
Catatan: Apabila ada kesulitan untuk download file kami, anda bisa menghubungi admin: kangaidi HP (0856-3301-799/0857-0628-2861) Fb: kangaidi

Contoh Halaman Tabloid NUsa EDISI 23















Untuk download Tabloid NUsa EDISI 23 Format PDF,  silahkan Anda klik ikon download di bawah ini ...



NUsa PEDULI 23// Dirjen Pendis Serahkan NUsa Peduli

MOMEN ISTIMEWA: Tiga siswa berada di naungan LP. Ma’arif menerima santunan yang diberikan langsung oleh Dirjen Pendis (kanan) dan Kapala Kemenag Tuban.

TUBAN KOTA – Santunan NUsa peduli edisi ke-23 kali ini disalurkan bersamaan dengan diadakanya rapat koordinasi (Rakor) PC  LP Ma’arif Tuban. Penyaluran kali ini tergolong istimewa, sebab diberikan oleh Dirjen Pendidikan Islam RI Prof. Dr. Nur Syam, M.Si. Tim NUsa peduli kali ini menyalurkan uang senilai Rp 750 ribu kepada 3 siswa-siswi dari Kecamatan Kenduruan.
   Ketiga siswa-siswi tersebut adalah Slamet Sutanto (MI Islamiyah Kenduruan), Mita Dia Auliya (MI Thoriqul Huda Sokoagung), dan Aisyatul Lutfiah (MI Nurul Muttaqin Sokogrenjeng). Ketiga siswa-siswi tersebut tercatat sebagai anak-anak dari keluarga yang tidak mampu.
Slamet Sutanto adalah putra Supriyanto dan Warsilah. Pekerjaan  orang tuanya adalah sebagai tukang kayu dan ibu rumah tangga. Mita Dia Auliya adalah putri Karsono dan Suningsih. Kedua orang tuanya sebagai buruh tani. Dalam keseharianya, Mita (sapaan akrabnya) setiap pulang sekolah mengaji di kampungnya. Sedangkan Aisyatul Lutfiyah adalah putri Kajib (alm) dan Jamilah. Walaupun sejak ditinggal bapaknya Aisyatul hidup dalam kekurangan, tapi itu semua tidak menghalanginya untuk terus menuntuk ilmu. “Ingin jadi seorang guru. Karena guru selama ini menjadi cita-cita yang sangat mulia,” ungkapnya.

Bantuan berupa uang tunai yang diberikan kepada siswa-siswi tersebut diharapkan mampu meningkatkan semangat mereka dalam belajar. Ketika ditemui NUsa ketiganya mengaku termotifasi dan senang dengan diberikanya santunan NUsa peduli ini. “Saya akan terus belajar. Semoga besok semester akhir dapat rangking satu,” tutur Slamet Sutanto. (amin)

TOKOH INSPIRATIF NUsa EDISI 23//H. NOOR FAEKO SUMARNO

SELAMANYA NU: Nur Faeko, Sekretaris PCNU Tuban
Nama Diganti Saat Mau Haji

Di lingkungan PCNU Tuban, namanya sudah tidak asing lagi. Dia terkenal tegas, blak-blakan dan disiplin. Sosok ini menjabat  Sekretaris PCNU Tuban sejak 1988

Sejak lahir, namanya adalah Eko Sumarno. Dia terlahir di Dusun Bagor, Desa Kaliapang, Kecamatan Miri, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah pada 07 Maret 1959. Buah pernikahan dari Darmo Wiyoto dan Sukanti. Terlahir sebagai anak ke-2 dari 3 bersausara, dia memiliki kakak bernama Sulastri dan adik bernama Jasmo. Nama Eko berubah menjadi Noor Faeko Sumarno, sejak 2003. Saat itu dia mendapat jatah berangkat haji gratis dari PWNU Jawa Timur. Dia menjadi salah satu petugas dari rombongan. Saat akan diberi piagam, namanya ditanya dan dia menjawab Eko Sumarno. Ternyata nama itu perlu diganti. Mengetahui hal itu, dia ijin berkonsultasi dulu dengan Kiai Cholilurrohman lewat telpon. Akhirnya, Kiai Cholil merubahnya sedikit, menjadi “Noor Faeko Sumarno”. Eko beristri Sri Subekti dan beranak 2: Lilik Handayani dan Dwi Lili Suryani. Dari kedua anak itu, dia memiliki 2 cucu.
Pengembaraan hidupnya sangatlah berat dan berliku. Sampai dia menemukan ketentraman berkhidmah di dalam NU. Di masa sekolah, dia hanya sebentar belajar di SDN Bagor. Selesai kelas 1 dan naik kelas 2, dia kemudian dibawa Pakdenya yang bernama Supardi ke Kunthi, Sampung, Ponorogo. Supardi adalah seorang pegawai perhutani yang beristri Sumarmi. Dalam ceritanya, ibu kandungnya Sukanti menikah lagi dengan Sudarno dan kemudian tinggal di Desa Magersari, Plumpang, Tuban.
Bersama keluarga Supardi, Eko kecil bersekolah lagi di SDN Kunti. “Saya masih ingat SPP-nya dulu itu 12 repes (rupiah, red),” katanya. Malang nasibnya, Pakde Supardi meninggal pada 1971, sehingga dia kemudian hidup bersama Bude Sumarmi. Setamat SD (1972), Eko melanjutkan studinya di SMP Srandil. Dia mengaku selalu rangking atas dalam mata pelajaran Al-jabar, Ukur dan Bahasa Inggris. Namun, keunggulan itu belum memuaskan hatinya. Dalam benaknya selalu terpikir cita-citanya sejak kelas 6 SD, yakni ingin menjadi guru agama. “Karena saya mempunyai guru agama yang sangat ganteng dan pinter saat itu. Imam Tholhah namanya,” kenang Eko. Ditambah dengan tarikan biaya sekolah yang tidak mampu dia bayar, dia akhirnya kebingungan menyelesaikan masalahnya. Hidup dengan orang lain membuatnya tidak ingin memberatkan lagi bebannya kepada orang lain.
Dia bersyukur memiliki guru Agama SMP bernama Zaeni, BA yang juga menjadi Kepala PGA Al-Mukarom Sumoroto. Di samping itu, dia juga beruntung memiliki guru Ilmu Pasti di SMP itu yang juga mengajar di PGA yang dipimpin Zaeni. Dia adalah Harno. Kepada Harno, Eko menjelaskan permasalahannya. Dia ingin pindah ke PGA. Mendengar itu, seketika, Harno membolehkan dan secepatnya Eko mengurus proses perpindahan dan bertemu Zaeni. Mudah saja, Eko diterima di PGA Al-Mukarom Sumoroto.
PGA barunya itu, jelas Eko benar-benar milik NU karena di papan namanya terpajang logo NU yang besar. Mendapat tempat belajar baru yang biayanya murah dan ber-basic NU, Eko mengaku sangat senang. Bahkan saking cintanya dengan PGA NU-nya itu, dia pernah membeli stiker besar berlogo NU. Logo itu dia lubangi mengikuti alur gambar dan dilekatkannya dikaos putihnya. Selanjutnya dia mencari dedaunan untuk digosok-gosokkan di daerah yang lubang. Begitulah caranya saat itu untuk memiliki kaos berlogo NU.
Belajar di PGA Al-Mukarom Sumoroto, dia gunakan sebagian waktunya untuk bertani dan berdagang “blantik” sapi. Di usianya yang masih muda itu dia sudah terbiasa dengan dunia sekeras itu. Lagi-lagi Eko harus berhadapan dengan permasalahan biaya. Pada masa-masa akhir belajarnya di PGA (1978) dia tidak mampu membayar biaya Ujian Negara.
Dia mencoba ke Tuban untuk menemui ibu kandungnya yang tinggal di Magersari. Bukan uang yang didapat, tapi sama-sama cerita susah yang dia lihat. Akhirnya dia bertemu dengan Pakdenya bernama Samsi Parto Yitno yang tinggal di Sambong, Doromukti, Tuban. Dengannya, Eko diminta mengurusi surat pindah dari PGA Al-Mukarom Sumoroto ke PGA 6 tahun yang lokasinya di kantor NU Tuban Jl. Diponegoro. Hidup bersama Pakde Samsi, Eko belajar sambil membantu jualan nasi pecel. Biaya ujian Eko ditanggung oleh Pakde Samsi. Dengan kondisi seperti itu, akhirnya Eko berhasil menamatkan studinya di PGA 6 tahun Tuban pada 1979-1980.
Lulus dari PGA, Unsuri Tuban cabang dari Surabaya dan SMA Mualimin berdiri di kompleks kantor NU Tuban. KH. Moertadji saat itu yang menjadi dekan. Saat berdiri itu dia mendaftar sebagai angkatan pertama Unsuri Tuban (1980). Sambil kuliah, dia diterima sebagai tenaga jaga malam dan penarik donatur SMA Mualimin. Dia akhirnya diwisuda pada 1986 dengan menyandang gelar sarjana muda (BA). Dia melanjutkan belajarnya di Unisma Tuban cabang dari Malang dan diwisuda pada 1990. Dengan demikian dia menyandang gelar S-1 jurusan Hukum Perdata. Memiliki gelar akademik, dia mengabdikan diri untuk mengajar dan menjadi kepala madrasah-sekolah diberbagai lembaga.
“Kalau mengingat kehidupan saya yang seperti itu dan melihat anak sekarang yang sekolah saja sudah digratiskan kok tidak sungguh-sungguh, hati saya sedih,” keluhnya. (hisyam)

Sampai Mati Saya di NU
Dalam bidang organisasi, Eko Sumarno tidak bisa diragukan lagi komitmenya terhadap NU. “Sampai mati saya akan di NU,” ungkapnya dalam beberapa acara. Sejarah bergelut di NU, Eko memulainya dengan menjadi Sekretaris PC LP Ma’arif NU Tuban saat dipimpin oleh H. Asnawi Amir (1983). Namun, sebelum itu (1982), dia telah menjadi full timer di MUI Tuban.
Dia pertama kali diangkat menjadi Sekretaris PCNU Tuban pada Konferensi Fusi di Jenu (1988). Saat itu Rois Syuriah dan Ketua Tanfidziyah dipegang oleh KH. A. Syifa’ dan Drs. Abdul Matin. Pada Konferensi Tanggir (1998), di mana saat itu yang menjadi Syuriah dan Tanfidziyah adalah KH. Cholilurrohman dan H. Noor Nahar Hussein, Eko ditempatkan sebagai wakil sekretaris. KH. Achmad Mundzir saat itu yang menjadi sekretaris.

Pada konferensi Langitan (1997) Eko dipilih lagi sebagai Sekretaris NU sampai sekarang (1013), meski telah berganti-ganti kepemimpinan PCNU Tuban. Dengan pengalaman menjadi sekretaris organisasi yang sedemikian lamanya, sudah tidak bisa dibantah lagi komitmenya terhadap organisasi.
Sri Subekti, istri Eko Sumarno, mengatakan bahwa sejak dulu berkecimpung di NU dan mengabdi di berbagai lembaga pendidikan, Eko jarang sekali di rumah. Dia selalu mementingkan kepentingan masyarakat dari pada kepentingan keluarga. “Karena di luar itu, ratusan masyarakat menunggu. Jadi, yang di rumah ngalah,” tutur Eko. Sri Subekti pun tetap setia dan memahami Eko sepenuhnya. Meski jarang di rumah, dia tetap mendukung suaminya untuk berkecimpung di NU. “Saya dari dulu tidak mengharapkan apa-apa dari Bapak. Asal tahu kalau keluar untuk urusan NU, saya tidak bisa melarang,” ungkapnya.
Ditanya, karakteristik Eko, Sri mengaku disiplin. “Berangkat mengajar itu, sebelum jam 7 sudah berada di sekolah. Jadi, pagi sebelum sarapan itu sudah berangkat,” ungkapnya. Sementara Eko mengaku, tanpa dukungan istri, dia tidak bisa berbuat secara total di NU.

Kini dia merasakan barokah NU. Kehidupannya yang berliku, usahanya untuk memikirkan umat telah membuatnya tenang. Kedua putrinya kini telah mengabdikan diri di instansi elit milik NU ataupun milik tokoh NU, yakni di Rumah Sakit NU (RSNU) Tuban dan di SD BAS. (hisyam)