Senin, 01 Desember 2014

TOKOH INSPIRATIF NUsa EDISI 31//KH. Kafrawi, Penghulu Tuban Masa Penjajahan Belanda

KH. R. Kafrawi.
KH. R. Kafrawi merupakan seorang ulama dari lingkungan Nahdlatul Ulama yang menjadi Ketua Pengadilan Agama atau Penghulu Tuban pada masa penjajahan Belanda. Beliau adalah ayah KH Fathurrahman (Menteri Agama Kedua RI). Penghulu pada masa itu merupakan jabatan administrasi di bidang keagamaan yang diangkat sebagai pegawai Belanda. Dengan demikian Kiai Kafrawi adalah seorang ulama sekaligus priyayi. Sebelum Kiai Kafrawi menjabat sebagai Ketua Pengadilan Agama (Penghulu), beliau adalah seorang yang alim yang diberi kepercayaan dalam segala bidang ilmu agama. KH. Kafrawi sendiri berasal dari Klopo Telu Merakurak dan masih keturunan dari Kiai Arifin bin Abdul Kodir (Mbah Diro).
 Kiai Kafrawi menikah dengan Siti Aisyah, dan dikaruniai empat orang anak. Mereka adalah: Munjiyat/Kaspiyatoen, Roesdiyah, Moesyarofah, dan KH. Fathurrahman. Menurut penuturan H. Masduqi, cucu keponakan dari KH Fathurrahman Kafrawi, sebenarnya Kiai Fathurrahman masih mempunyai kakak laki-laki tetapi meninggal ketika masih kecil. Konon, saudaranya itu pernah mengolok-olok ayahnya yang menjadi penghulu di Tuban dengan mengatakan jabatan penghulu dengan kata-kata “pang-pang diulu”. Anehnya, tak lama kemudian kakaknya itu meninggal dunia.
Kiai Kafrawi menjabat sebagai Ketua Pengadilan Agama pada masa kepemimpinan Raden Adipati Ario Koesoemodigdo (Bupati Tuban ke-35) yang memerintah mulai tahun 1892-1911. Raden Adipati Ario Koesoemodigdo telah berjasa membangun kembali Mesjid Agung Tuban pada tahun 1894. Mesjid Agung Tuban telah dibangun kembali oleh sang Bupati dengan gaya Eropa campur tradisional. Arsitek mesjid tersebut berkebangsaan Belanda bernama H.M.Toxopeus. Sang Bupati wafat pada tahun 1911, setelah memerintah Kabupaten Tuban selama 16 tahun dan dimakamkan di Astana Makam Pati Kebonsari, Tuban.
KH Kafrawi wafat tahun 1910 dan dimakamkan di pemakaman Desa Bejagung Lor Kecamatan Semanding, Tuban. Makam KH Kafrawi terletak di sebelah utara makam Syekh Abdullah Asy’ari (Sunan Bejagung). Lokasi makamnya sekarang sudah dipindahkan dan dijadikan satu dengan makam keluarga di pemakaman Desa Bejagung Lor. Sedangkan istrinya, Hj. Siti Aisyah, meninggal pada 1949 dan dimakamkan di kompleks Makam Sunan Bonang di Kelurahan Kutorejo, Tuban.

Guru Kiai Umar bin Harun Sarang
Menurut cerita yang lebih mashyur lagi, sumber ilmu yang menjadi cikal bakal berdirinya Pondok Pesantren Sarang (Rembang) konon berasal dari Kiai Klopo Telu. Karena banyak sekali para santri yang menimba ilmu di Kiai Klopo Telu pada saat itu berasal dari daerah Sarang, Jawa Tengah. Tampaknya hal itu bisa dibenarkan, terbukti KH. Umar bin Harun pernah berguru pada KH Kafrawi. KH. Imam Kholil, pendiri Pondok Pesantren MIS Sarang, dulu juga pernah berguru pada Kiai Badlowi di Santren, Merakurak. Sehingga ada anekdot kalau ada santri dari Merakurak yang ingin mondok di Sarang, maka oleh kiainya dikatakan bahwa ia bukan mau mondok melainkan mau mengambil ilmu leluhurnya yang telah ‘diambil’ oleh para Kiai Sarang.
Salah satu murid kinasih Kiai Kafrawi adalah Kiai Umar bin Harun dari Sarang (Rembang). Kiai Umar bin Harun (1855-1910) merupakan ulama yang terkenal sebagai salah seorang ulama Nahwu pada saat itu. Kiai Umar bin Harun lahir di Sarang pada tahun 1855 M /1270 H. Tumbuh dan belajar dalam bimbingan Kiai Ghozali (Sarang), lalu juga belajar kepada kiai-kiai lain seperti Kiai Syarbini (Sedan, Rembang), Kiai Kafrawi (Merakurak, Tuban) dan Kiai Sholeh (Langitan, Tuban). Beliau juga belajar agama di Mekkah, seperti Syekh Nawawi bin Umar al-Banteni (w. 1813 H/1897 M), dan Syeikh Abu Bakar asy-Syatho al-Makki, salah satu ulama Mekkah yang amat terkenal pada zamannya.
Setelah pulang ke tanah air pada tahun 1319 H dan mengabdikan hidupnya kepada pengajaran keagamaan, maka beliau berjuang dengan sangat gigih dan bekerja keras untuk mengangkat citra pondok pesantren menuju puncak kejayaannya sehingga bisa terkenal ke segala penjuru. Pesantren Sarang pun semakin bersinar, maju dan berkembang pesat dan menjadi tujuan para santri dari berbagai penjuru. Kiai Umar bin Harun merupakan pengasuh Ponpes Sarang pada periode kedua setelah penyerahan mandat dari guru beliau, Syekh Ghozali, yang tak lain adalah mertua Kiai Umar sendiri. Kiai Umar bin Harun wafat pada tahun 1328 H/1910 M, pada usia 55 tahun dan dimakamkan di kompleks pemakaman ulama Sarang. Beliau pernah menikah dua kali, namun dari keduanya tidak dikaruniai keturunan.(cholis)


2 komentar:

  1. Ijin Copy Artikelnya YTH Admin
    bagi kliknya ya http://kaktowo.blogspot.co.id/2017/01/sang-tokoh-yang-diabadikan-jadi-nama.html

    BalasHapus
  2. Saya punya buyut yg dimakamkan di Komplek makam sunan bonang yang bernama mbah Marfuah, apakah ada kaitan keluarga?

    BalasHapus