Nama KH. Nur Hasyim bin Muhammad Rowi sudah tak asing di telinga
warga Tuban, khususnya warga nahdliyin
Bumi Wali ini. Tokoh termashur dengan julukan ‘macan dari Tuban’ ini adalah
seorang orator ulung, pejuang umat dan pahlawan serta pelopor pendidikan.
Kiai Nur Hasyim juga mempunyai jiwa enterpreneur (penguasaha)yang tinggi. Masa hidupnya dia berprinsip
‘’hidup matiku untuk umat’’. Prinsip itu ternukil dalam buku catatan pribadinya
yang masih ada. Motto perjuangannya yang terkenal adalah ‘Samatni samatni alkhoidah’ artinya jadilah generasi-generasi macan.
Kiai Nur Hasyim begitu bersemangat untuk menjaga kemurnian agama, pendidikan
yang mencerdaskan dan keutuhan bumi pertiwi. Dia memperjuangankan umat dan
mempertahankan panji-panji pendidikan ma`arif di Tuban sejak tahun 1924-1994
Kiai
Nur Hasyim adalah sang pelopor pendidikan sekaligus guru bangsa pada masa orde
lama dan pra-orde baru. Menumpas kebatilan, membasmi penjajah yang merongrong dan
perusak kedaulatan serta keutuhan negara adalah tujuan hidupnya. Kiai Nur
Hasyim adalah salah satu pelaku sejarah dalam perjalanan Nahdlatul Ulama di
Tuban. Kiai Nur Hasyim fokus menggeluti
pengembangan pendidikan Ma`arif NU Tuban, khususnya di Kecamatan Soko. Saat
itu, tahun 1965 NU Tuban di bawah pimpinan Rois Syuri’ah tahun 1965 KH. Abdul
Fatah, Plumpang yang merupakan ayah dari A.S. Hikam mantan menristek ketika
presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjabat.
Wakil
Syuri’ah kala itu KH. Murtadji, dan pucuk pimpinan ma`arif untuk kali pertama
kala itu KH Ali Tamam. Dengan keyakinan bahwa pendidikan adalah modal
memperbaiki umat dari segala lini dan sendi kehidupan itulah yang membuat Kiai
Nur Hasyim gigih memperjuangkan pendidikan.
Selain
memperjuangkan pendidikan umat, perjuangan yang dia lakukan sekaligus untuk
menyelamatkan aset-aset NU dan ideologinya dari faham komunis yang waktu itu
dibawa oleh kaum atheisme (PKI). NU saat itu juga menjadi partai politik hasil pemisahan
diri dari partai Masyumi pada 1952. Sehingga NU berhak menjadi peserta pemilu
pertama kali tahun 1955 dengan menempatkan diri menjadi partai tiga besar
nasional di bawah Masyumi dan PNI.
Hal
itu tak berbeda dengan suasana di Tuban. NU saat itu bertengger nomor dua dalam pemilu.
Namun setelah itu, tahun 1973 saat orde baru memerintah, pemerintah melakukan
penyederhanaan dan penggabungan partai politik (defuse), hingga hanya ada tiga partai
yaitu PPP (Partai Persatuan Pembangunan), Golkar (Golongan karya) dan PDI
(Partai Demokrasi Indonesia). Sejak itu, Mbah Nur Hasyim terjun menjadi kader PPP
dan mengantarkannya menjadi anggota DPRD sampai tiga periode, hingga wafatnya.
Mbah
Nur Hasyim adalah salah satu tokoh muda NU yang berani menentang kebijakan
pemerintahan Belanda. Juga sangat gentol memperjuangkan kaum tertindas, fakir
miskin, serta menjadi sosok yang disegani di kalangan pejabat negara,
masyarakat, sekaligus menjadi tokoh yang ditakuti kaum komunis. Pada 1968 dialah
yang menjadi penggerak untuk membasmi PKI dan antek-anteknya. Kala itu di
Rengel dan Soko adalah tempat gembong PKI bersembunyi.
Garis nasab
Kiai
Nur Hasyim, menurut catatan silsilah yang dibuat di Soko pada September 1990, merupakan
anak bungsu dari sepuluh bersaudara yang lahir di Desa Mojoagung, Kecamatan Soko,
tanggal 24 April 1924 Masehi atau 20 Ramadan 1342 Hijriyah. Merupakan anak hasil
pernikahan Mohammad Rowi Mojoagung, Soko dengan Siti Habibah asal Lamongan yang memiliki garis
keturunan sampai ke pangeran Hadi Widjaya atau Sultan Pajang yang dikenal
dengan sebutan Joko Tingkir.
Ayahnya
termasuk sosok yang teguh pendirian dan berwibawa. Dengan sikap yang tegas dan santun.
Saat itu ayah Kiai Nur Hasyim menjadi seorang pengusaha di pasar Soko, dan masyarakat mempercayainya menjadi kiai desa. Dalam
manuskrip, menurut salah satu putra tertuanya, Kiai M. Ali Mufthi Soko, bahwa garis
keturunan dari ayahnya tidak dibukukan, tapi silsilah dari ibunya masih ada
sampai sekarang. “Semua masih saya simpan,
silsilah ini adalah tulisan abah,’’ terangnya.
Lembaran
silsilah itu ditulis dengan tulisan arab
pegon. Dengan keterangan “niki silsilah
dikutip dene Nur Hasyim Soko Tuban mboten nambahi lan ngurangi artinya (ini
silsilah ditulis oleh Nur Hasyim Soko Tuban tidak mengurangi dan menambahi)”.
Dalam
manuskrip disebutkan, keturunan Kiai Nur Hasyim dari jalur ibunya bermula dari
Pangeran Pajang Hadi Widjaya atau Joko Tingkir berputra Pangeran Sumayudha, dikenal
sebagai Abdul Jabbar yang makamnya di bukit Nglirip, Kecamatan Singgahan.
Diceritakan,
dalam dakwahnya Abdul Jabbar memakai nama samaran Purboyo, yang berputra tiga
orang yakni (Kiai Mursyid, Kiai Anom dan Nyai Dalem. Dari Nyai Dalem berputri Nyai
Jamilah yang berputra Kiai Yahya, Kiai Abdurrohman, Nganjar Lasem, Nyai
Baithit, Nyai Lajuk Cepu. Dari Kiai Abdurrohman asal Nganjar, Bonang, Lasem
Jawa Tengah berputra Kiai Juma’in yang berputra Kiai Abdurrohman, Lamongan.
Kiai Abdurrohman Lamongan memiliki empat anak, yakni Kiai Marthowi, Nyai Siti Khotimah, Nyai Siti
Habibah, dan Kiai Nasruddin, Jathos Lamongan. Dari Nyai Siti Habibah berputra
10 anak, Kiai Nur Hasyim Soko adalah yang bungsu.
Pendidikan
Kiai
Nur Hasyim mengenyam pendidikan formalnya di Sekolah Dasar (SD) Tanggungan,
Desa Pandanwangi Soko, karena waktu itu pendidikan agama masih dibatasi. Apalagi
berbasis NU masih dilarang. Tapi,hal itu tidak menyurutkan niat untuk belajar.
Selain itu, dia juga tekun mengaji di abahnya.
Setelah
lulus SD, dia ingin mendalami pendidikan agamanya, sehingga melanjutkan ke
pondok mondok di pondok pesantren Abu pesantren di Dusun Beron, DEsa Punggulre jo Rengel selama 5 tahun dengan
asuhan Kiai Musyafak. Dirasa kurang dalam mendalami ilmu agama, dia melanjutkan
Darin Ngumpakdalem, Kendal Bojonegoro. Berbagai ilmu dia kuasai, di antaranya fiqih
dan tasawuf. Bakat menjadi mubalig sudah terlihat sejak usia 20 tahun.
Dia
tak kenal lelah menuntut ilmu, sehingga kembali mondok. Pondok pesantren Tebu
Ireng Jombang, yang pengasuhnya waktu itu adalah tokoh sekaligus pelopor
berdirinya NU, KH Hasyim Asy’ari menjadi tujuannya. Kala itu jiwa mandirinya
sudah terbentuk. Dia membiayai dirinya sendiri selama mondok dengan
mengumpulkan uang dari menjahit. Hal itulah, yang membuat dia disegani oleh para
kiai dan gurunya. Dari situlah kemandiriannya terlatih sampai akhirnya di tahun
1949 dia pulang kampung untuk berjuang di Soko.
Karena
sejak kecil sudah hidup di keluarga yang kental nilai agama, dengan didikan
sang ayah yang tegas dan keras, menjadikan dia tokoh masyarakat sekaligus
seorang pengusaha dengan manajemen yang bagus.
Di
Soko berdakwah melalui surau-surau yang ada, juga mendirikan pondok pesantren
Nurul Huda yang berada di komplek yayasan Islam Nurul Huda. Ada madrasah
Tarbiyatul Islam yang sekarang diteruskan anak dan cucunya.
Anak
yang ke 7 Asadullah Khoiri, menceritakan tentang salah satu karomah tersembunyi
Kiai Nur Hasyim. Bahwa musala dari Mojo ke Soko dipindah oleh Kiai Nur Hasyim sendiri
dengan bantuan para kodam (pembantunya) berupa macan putih. ‘’Aneh juga paginya
tidak ada musala di situ, kok malamnya bisa ada. Padahal abah waktu itu sedang
istirahat di rumah, ungkap Kepala Sekolah MA Tarbiyatul Islam itu.
Sejak
tahun 1949, sepulangnya dari pondok Tebu Ireng Jombang, memang Kiai Nur Hasyim
langsung membantu mengajar ngaji. ‘’Sejarah mencatat pendidikan islam untuk
pertama kalinya yang didirikan di Soko dipelopori oleh Kiai Nur Hasyim,’’
tambah Kiai Mu’thi, putra Kiai Nur Hasyim lainnya. Dia meniruman
ucapan Kiai Nur Hasyim bahwa mencerdaskan generasi dan kader bangsa harus
melalui pendidikan, khususnya agama.
Sejak berdiri Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Soko. Sampai sekarang MI menyebar
sampai pelosok desa di Soko.
Pada
tahun 1951 berdiri MI Tarbiyatul Islam Sokosari. Berdirinya di pelopori bersama
sahabatnya, hingga dikenal dengan sebutan ‘tiga serangkai’, yakni Kiai Nur
Hasyim sebagai pelopor yang membidangi pendidikan dan politik kebangsaan, Kiai Rozi
membidangi hubungan masyarakat dan diplomatik umat, serta Kiai Kardani membidangi
politik kemasyarakatan sekaligus menjadi mata-mata Golkar sebagai strategi pendekatan
pemerintahanan kala itu.
Sementara
itu, setelah berupaya keras dengan memulai berjuang mendirikan MI, di tahun
yang sama, Kiai Nur HAsyim menikah dengan seorang gadis asal Desa Sawahan,
Kecamatan Rengel bernama Siti Mu’tiah binti Ahmad Musyafak. Pasangan itu dikaruniai delapan anak. Di antaranya Umi
Nasikhah, Luluk Muftiyah, Anisa’i Khoiriyyah, M. Ali Mufthi, Hadi Masruri, Rofih
Kholiliyah, Asadullah Khoiri dan Khoirul Muttaqim.
Meskipun
hidup di jaman penjajahan Belanda sampai Jepang, dengan stabilitas keamanan
terganggu, tidak menyurutkan langkahnya untuk mengembangkan sistem pendidikan
madrasah yang didirikannya. Semula masih menggunakan sistem sorogan (klasikal) ala
pesantren. Hingga seiring perjalanan waktu, akhirnya sukses mengembangkan program
pendidikan ma`arif. Terbukti, tahun 1957 berhasil mendirikan madrasah tsanawiyah
(Mts) Tarbiyatul Islam yang sudah mulai menggunakan kurikulum dinas pendidikan,
hasil perjuangannya yang tak kenal lelah itu bersama temannya tersebut.
Akhirnya
1968, bersama sahabat seperjuangannya, Kiai Nur Hasyim mempunyai inisiatif untuk
menyelamatkan umat dari rongrongan ideologi komunism dan demi mempertahankan
agama dan bangsa, dia memulai menampakkan diri ikut berkiprah dipanggung politik
kala itu menjadi kader PPP. Misinya menyebarkan pendidikan agama dan politiknya
sampai ke pelosok desa se Kecamatan Soko. Kunci perjuangannya menyatukan tiga
pilar yaitu melestarikan ubudiyyah (ibadah-akhlaq), penyebaran pendidikan politik
umat dan sikap komunikatif atau musyawaroh bersama rakyat, mendapat dukungan
penuh oleh rakyat. Satu persatu berdiri MI di Soko, hampir 16 MI yang
berdirinya dipelopori Kiai Nur Hasyim. “Dengan
daya yang tangguh, setiap malam Mbah Nur Hasyim dengan sepeda pancal bersilaturrahmi
ke desa-desa. Pertama untuk mengaji dan konsolidasi bersama rakyat. Kemudian
membuat stategi mendirikan madrasah. Itulah yang istiqomah dilakukan. Pagi
berurusan dengan santri malam berurusan dengan masyarakat, itu yang bikin salut,”
tandas Kiai Fauzan Menilo teman seperjuangnnya.
Pada tahun 1971, selain pendidikan, politik menjadikan salah satu
metode dakwahnya. Degan kendaraan PPP telah menguatkan ruh perjuangannya
sebagai langkah perlawanan pada pemerintahan yang selalu mengibiri kepentingan
umat nadliyin. Harapannya, dengan menjadi wakil rakyat suaranya rakyat akan tersampaikan. Dia terpilih menjadi anggota DPRD Tuban
untuk pertama kalinya saat Bupati Tuban dijabat KH Mustain. Selama menjadi
angota dewan tiga
periode berturut-turut mulai tahun 1971,
1982, dan 1990, Kiai Nur Hasyim mendirikan Madrasah Aliyah (MA) Tarbiyatul Islam pada 1979 dan satu Yayasan Pendidikan Islam Nurul
Huda (YAPISNU).
Kiprah dan Keteladanan
Sikap
yang santun, sederhana dan penuh wibawa tetap menjadi adalah ciri
khas Kiai Nur Hasyim. KH Fauzan Umar
Menilo mengatakan, bahwa Kiai Nur Hasyim selalu mengajarkan sifat yang tawaduk pada
rakyat. “ Beliau sejak dulu selalu keliling kampung mengunjungi umat sehingga kedekatan
beliau tak diragukan lagi, siapa yang tidak kenal beliau dalam keliling yang
kala itu harus dia tempuh dengan jalan kaki atau pakai onthel,’’ ujarnya.
Asadullah Khoiri, anak ketujuh Kiai Nur Hasyim
menambahkan, bahwa abahnya tipe pekerja keras memperjungakan agama tanpa
pamrih, pantang menyerah. Kesulitan apapun tidak menyurutkan niat untuk berjuang, bahkan akan menjadi kekuatan untuk
menggapai hari esok lebih baik. ‘’Abah itu orangnya kalem tapi serius dalam berprinsip, salah satu
yang pernah dikatakan kalau berjuang jangan setengah-setengah tapi niat hati harus ditata
dan sepenuhnya agar bisa runtut,’’ terangnya.
Hal
senada disampaikan satu murid MTs Tarbiyatul Islam Soko
(1976-1979) M. Sufaat yang menjabat kepala UPTD Disdikpora Soko. Dia
mengatakan, sifat
kesabaran, keberanian dan konsisten selalu
mewarnai sosok Kiai Nur Hasyim. Demi kemaslahatan umat, tak pernah mengeluh, semangat dan keikhlasannya
luar biasa. “Yang masih teringat, ketika Kiai mau mengajar, mendengar suara sandal
kletek (sandal dari kayu) yang dipakai Mbah Yai saja, anak-anak sudah pada
takut, karena wibawa dan karomahnya itu,’’ ungkap Ketua Tanfidziyah MWC NU Soko
itu.
pejabat
yang penting.
Kiai Nur Hasyim telah membuktikan diri, selama hidupnya selalu digunakan untuk pengabdian
dalam urusan pendidikan dan berdakwah. Selain memiliki pendidikan formal dan
pondok pesantren, beliau juga meninggalkan majelis ta’lim Ahad Kliwonon, yang sampai sekarang masih
diteruskan oleh putra-putranya.
Di antaranya mengajarkan kitab Bidayatul Mujtahid karya
Ibnu Rosyid dan Ihya’ Ulumuddin karya Imam Al-Ghozali. Jamaah Ahad Kliwon ini masih eksis sampai sekarang
yang dibina oleh putra ke empat yakni Kiai M Ali Mufti.
Selain aktif di dunia pendidikan, beliau bersama para jamaahnya juga berhasil mendirikan koperasi untuk kemaslahatan ekonomi
umat kala itu. Sambil berniaga barang mebeler, jamu, dan peralatan kantor, hasilnya diberikan sebagai permodalan
koperasi dengan tanpa bunga, sehingga masyarakat dan jamaah merasa terbantu. Bahkan juga membantu fakir miskin dengan membelikan 100 becak
untuk dipinjamkan dengan memberikan setoran setiap hari yang peruntukkan demi kemajaun koperasi dan pendidiknya, tanpa mengambil sepeserpun. ’’Ya begitulah caa abah mengayomi umat. Masyarakat juga
merasa dekat dengannya.
Pada hari
senin 15 Juni 1994, Kiai Nur Hasyim
wafat dan dimakamkam di makam umum Desa Sokosari. Setiap Muharam diadakan haul memperingati perjuangnnya. Terkadang juga
bersamaan dengan akhirrusanah YAPISNU, peninggalannya adalah Lembaga YAPISNU
dan SMP NU Plus 2 yang didirikan oleh putranya Kiai Ali Mufthi. Karya-karya
yang masih ada dan pernah di terbitkan adalah
Pedoman Tashrifan (Ilmu Sharaf), Syarah Ta’lim al-Muta’allim , Hidayatus
Shibyan dan masih banyak yang sebagian besar adalah terjemah dalam arti pegon.
Jasa – jasa
- Pelopor
berdirinya Lembaga pendidikan Ma`arif (MI, MTs, MA) se Kec. Soko
(1951-1990)
- Mengajarkan
Manajemen Keuangan dengan mendirikan Badan Usaha (Koperasi) Niaga
- Mendirikan
Media komunikatif antar Santri dan Kyai serta Masyarakat ((KKM) di Soko
(1989)
- Mendirikan
YAPISNU (Yayasan Pendidikan Islam Nurul Huda) Soko Tuban (1990)
- Perintis
berdirinya MWC NU Kecamatan Soko (1990)
- Pengajian
Rutin Ahad Kliwonan, Pelestarian Kajian Aswaja yang dilestarikan di
seluruh desa di Soko.
- Komandan
Laskar Jihad saat
memerangi PKI di Goa Tluwe Soko
Prinsip
1.
Istiqomah adalah
Hidupku
2.
Hidup dan matiku
untuk Umat
3.
Samatni Samatni
Al Khoidah, (Jadilah Generasi Macan)
4.
Semangat
berjuang tanpa pamrih, akan jadi modal hidup di masa depan
5.
Setiap Kesulitan
tidak menjadi penghalang untuk berkarya dan berjuang
6.
Apabila niat
baik akan berakar baik pula
7.
Amalkanlah
syariah islam apa adanya itu sudah termasuk TASAWUF
8.
Berpeganglah
pada satu pedoman yang betul jangan guna lain pedoman untuk memusuhi
9.
Konsisten dalam
prinsip dan siap menjalani resiko
10.
Jangan mengeluh
dalam berjuang, karena bisa merusak iman
0 komentar:
Posting Komentar