RAPAT REDAKSI NUsa

Akhmad Zaini (Pimred Tabloid NUsa) memimpin rapat redaksi di halaman kampus STITMA Tuban.

DIKLAT JURNALISTIK

Peserta diklat jurnalistik dan crew Tabloid NUsa berpose bersama usai kegiatan diklat.

SILLATURRAHMI

Ketua LP. Ma'arif NU Kab. Tuban dan Pimred Tabloid NUsa berkunjung ke Rumah Gus Rozin (Putra KH. Sahal Mahfudz).

NUsa PEDULI SPESIAL

Mustain Syukur (Ketua PCNU Kab.Tuban) dan Fathul Huda (Penasehat LP. Ma'arif NU Tuban) berpose bersama siswa yang mendapatkan santunan NUsa Peduli.

STUDY BANDING LP. MA'ARIF NU KAB. TUBAN

Akhmad Zaini, ketua LP. Ma'arif NU Kabupatn Tuban saat menerima cinderamata dari LP. Ma'arif Kab. Pasuruan.

RAPAT BERSAMA

Pengurus PCNU, Pengurus LP. Ma'arif NU, PC.Muslimat Tuban, PC.Fatayat NU Tuban saat rapat bersama membahas pendidikan di Kabupaten Tuban.

GROUP SHOLAWAT SMK YPM 12 TUBAN

Group Sholawat Al-Banjari SMK YPM 12 Tuban melantunkan tembang sholawat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.

TURBA MAARIF NU TUBAN KE RENGEL

Group Sholawat Al-Banjari SMK YPM 12 Tuban melantunkan tembang sholawat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.

NUsa PEDULI EDISI 23

Tiga siswa berada di naungan LP. Ma’arif menerima santunan yang diberikan langsung oleh Dirjen Pendis (kanan) dan Kapala Kemenag Tuban.

PENGURUS PC. LP MA’ARIF NU

Beberapa Pengurus PC. LP Ma’arif NU Tuban siap bekerjasama demi kemajuan pendidikan di Kabupaten Tuban.

AVANZA UNTUK OPERASIONAL MA’ARIF NU TUBAN

Zaini (Ketua PC. LP. Ma'arif) menerima hadiah mobil dari Bupati Tuban secara simbolis pada acara Rakor kepala sekolah dan pengurus yayaasan se-kabupaten Tuban.

PRESTASI FATAYAT

Fatayat NU Tuban Masuk 10 Besar Lomba Rias Provinsi.

JUARA MTK

Beberapa Crew Tabloid NUsa, mereka semua generasi dari NU berasal dari Tuban, Lamongan dan Bojonegoro.

TIM TABLOID NUsa

Beberapa Crew Tabloid NUsa, mereka semua generasi dari NU berasal dari Tuban, Lamongan dan Bojonegoro.

Sabtu, 22 Maret 2014

TOKOH INSPIRATIF NUsa 22//KH. CHOLILURRAHMAN, Rais Syuriah PC NU Tuban

TOKOH NU TULEN: KH. KHOLILURRAHMAN
Nama lengkapnya adalah KH Cholilurrohman. Di PC NU Tuban, posisinya sebagai rais syuriah. Posisi ini sudah berada di pundangnya selama 4 periode, sejak 1997 hingga periode sekarang (berakhir pada 2018). Mengapa Kiai Cholil begitu lama di posisi itu?

Kiai Cholil memang kader NU tulen. Beliau punya prinsip hidup mati di NU. Sebagai kader NU militan, kiai asal Bangilan ini dimatangkan dalam berbagai kawah  candradimuka. Di antaranya, pada 1960-an, beliau digodok di Pelatihan Kader Misi NU di bawah kendali PBNU yang saat itu di bawah kepemimpinan Ketua Umum Dr. H. Idham Cholid. Selain sebagai kader NU militan, Kiai Cholil juga tumbuh sebagai orator ulung, singa podium dan muballigh terkenal di beberapa kabupaten, seperti: Tuban, Lamongan, Bojonegoro, Blora dan kabupaten lainnya.
Kiai Cholil merupakan menantu KH Moertadji (tokoh NU Tuban) setelah mempersunting salah seorang putrinya, Hj. Isti’anah. Kiai Cholil adalah putra dari Kiai Fatkhurrohman bin Sholeh bin Asyari (Rengel). Sedangkan dari jalur ibu bernama Nyai Dewi Khafsoh Binti Toyib (Bangilan).
Saat ini Kiai Cholil dan istri dikaruniai enam orang putra, yaitu: 1) Shofi Mubarok (kandidat Doktor), 2) Dr. H. Muhammad Lathoif Ghozali, MA, 3) Ahmad Fuadi, MP, 4) Ahmad Lubab M.Si, 5) Ahmad Fikri (kuliah di S2 UB Malang) dan 6) Muhammad Ahalla Tsaura (kuliah di S1, Prodi HI di UNAIR Surabaya). Kini KH. Cholilurrahman bermukim di rumah sederhana di Jl. Sunan Drajat Kelurahan Latsari Tuban.

Pendidikan
Kiai Cholil sejak kecil sudah hidup di lingkungan pesantren yang diasuh oleh sang kakek dari ibunya. Sehingga sejak kecil beliau sudah belajar agama langsung di bawah asuhan kakek yang bernama Kiai Toyib Bangilan. Selain belajar di pesantren, Cholil kecil juga menempuh pendidikan formal di Madrsah Salafiyah selama 6 tahun. Setelah lulus dari Madrasah Salafiyah, melanjutkan belajar di Pondok Pesantren Sarang (Rembang) yang diasuh oleh KH Imam. Di situ Kiai cholil menempuh ilmu agama selama 6 tahun.
Saat mondok di Sarang, atas saran pamannya, Kiai Cholil mengikuti ujian Pendidikan Guru Agama (PGA). Sambil menunggu kelulusan, beliau ikut membantu mengajar madrasah di Pondok Pesantren Tanggir, Kecamatan Singgahan, yang sekaligus ikut belajar mengaji pada KH. Mushlih, kiai yang terkenal penyabar itu. Selain itu, Kiai Cholil juga pernah belajar di Pondok Pesantren Al-Hidayah Lasem (Rembang), yang diasuh oleh Mbah Ma’shum dan Pondok Pesantren Mranggen (Semarang) yang diasuh oleh KH. Muslih Abdurrahman (Ketua Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al Mu’tabarah).
Tidak hanya itu, dalam pendidikan formal yang lebih tinggi, Kiai Cholil juga menempuh sekolah di PGAN 6 Tahun Bojonegoro (1965). Kuliah sampai tingkat lima (doktoral) di Fakultas Tarbiyah IAIN Malang (1972). Akan tetapi karena korban kebijaksanaan Departemen Agama RI (saat itu menteri Agamanya Prof. Dr. H. Mukti Ali, MA) yang mana mewajibkan semua mahasiswa tugas belajar untuk dinas mengajar di Madrasah Negeri, maka terpaksa ia harus meninggalkan bangku kuliahnya, dan melaksanakan tugas mengajar di PGAN Tuban (sekarang jadi MTsN Tuban). “Karena dapat tugas itu, sehingga proses penyelesaian kesarjanaan saya menjadi terbengkelai,” tuturnya.

Pengabdian di NU
Kiai Cholil adalah salah satu tokoh Tuban yang sempat mengikuti model pengkaderan NU secara intensif di dalam masa kejayaan NU sebelum rezim Orde Baru. Saat itu Kiai berdomisili di Malang sebagai mahasiswa. Dari pengkaderan itu, Kiai Cholil mendapatkan gemblengan langsung dari tokoh NU Malang maupun tokoh NU nasional yang sedang menggembleng kader muda NU, seperti KH. Idham Chalid, KH. A. Sjaichu, KH. Oesman Manshur, Subhan ZE.
Bahkan, karena Kiai Cholil saat menjadi mahasiswa sudah mahir berceramah, maka beliau menjadi da’i di Markas TNI AU Pangkalan Udara Abdurrahman Saleh Malang (dulu AURI) selama dua setengah tahun. Karena prestasinya beliau terpilih sebagai kader yang dilatih sebagai da’i pejuang dalam pelatihan, yaitu “Lembaga Missi Islam” di Jakarta.
Lembaga Missi Islam adalah sebuah lembaga yang dibentuk PBNU sebagai salah satu sayap perjuangannya. Didirikan pada 1961 dengan KH Idham Chalid sebagai ketua. Berdirinya Missi Islam ini berkaitan dengan dibubarkannya Pandu Ansor yang banyak aktif di lapangan. Lembaga ini bertugas mempersiapkan kader-kader muda NU untuk dikirimkan ke daerah-daerah transmigrasi atau daerah-daerah minus Islam. Pembekalan biasanya dilakukan dengan memberikan kursus sentral selama empat puluh hari. Latihan terdiri dari out door dan in door untuk melatih  para calon da’i agar mereka siap di segala medan. Bila mereka sudah siap, lalu dilakukan kontak dengan Pengurus Cabang NU setempat. Selanjutnya mereka dikirim ke tempat tugas, menetap di sana, dengan seluruh biaya hidup ditanggung oleh PCNU setempat.
Angkatan pertama Misi Islam dikirim ke Irian Jaya, menjelang Pepera (1961), sebanyak 8 orang. Angkatan selanjutnya menyebar ke Sorong, Merauke, Kalsel, Kalteng, Kalbar, Gorontalo, NTT, Nias, dsb, dengan jumlah yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan. Banyak jasa yang berhasil ditorehkan lembaga ini. Di antara tokoh-tokoh NU yang pernah aktif di Lembaga Missi Islam adalah KH Idham Chalid, KH Syaifuddin Zuhri, Anshary Syams, H. Danial Tanjung, Mr. Suparman, Djawahir, Hisyam Zaini, dr Fahmi D. Syaifuddin, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH Nuril Huda, Slamet Efendy Yusuf, Abdullah Syarwani, dsb.
Dalam perjalanannya, lembaga ini tidak pernah dibubarkan, tapi sejak tahun 1982 vakum dari kegiatan. Hal itu disebabkan para pengurusnya sibuk dalam urusan politik masing-masing. Semasa Muktamar Cipasung (1994) pernah dihidupkan kembali, namun akhirnya mati kembali.
Di saat menjadi kader Missi Islam, Cholil muda (tahun 1970-an) pernah ditugaskan sebagai da’i missionaris oleh PBNU di Indonesia bagian timur, tepatnya di Timor dan Nusa Tenggara Timur (NTT) selama 3 bulan (1973). Sebagai seorang aktifis, Kiai Cholil banyak aktif dalam berbagai organisasi di lingkungan NU, di antaranya: Pembina IPNU Cabang Malang semasa awal kuliah di IAIN Malang, Divisi Penerangan dan Da’wah GP. Ansor Cabang Malang, Departemen Dakwah Pimpinan Pusat PMII, Ketua LP Ma’arif Cabang Tuban tahun 70-an, Ketua LDNU Cabang Tuban tahun 80-an, Sekretaris I Yayasan Mabarrot Sunan Bonang Tuban (1979-1998), Ketua Yayasan Mabarrot Sunan Bonang Tuban (1998-2005, 2006-2011), Pembina Yayasan Mabarrot Sunan Bonang Tuban (2012-2015). Wakil Rais Syuriah PCNU Tuban (1992-1997), dan Rais Syuriah PCNU Tuban 4 periode (periode : 1997-2002, 2002-2007, 2008-2013, dan 2013-2018).
Sepanjang perjalanan hidupnya diabdikan untuk perjuangan Nahdlatul Ulama, melalui kegiatan organisisasi, dakwah dengan banyak menghadiri undangan-undangan pengajian, baik yang diselenggarakan oleh organisasi NU maupun oleh warga NU di kota maupun di desa-desa. Bisa dikatakan, bahwa Kiai Cholil, tiada hari tanpa ngaji. Bahkan, pernah mengalami jadwal penuh selama sebulan diundang sebagai da’i pada Kedutaan Besar RI di Hongkong pada 1984.
Tidak hanya itu, Kiai juga pernah mengajar di SMP Mu’allimin, SMA Mu’allimin Tuban, juga pengasuh tetap pengajian Ihya’ Ulumuddin setiap Ahad pagi di kediaman KH. Moertadji sejak 1989, menggantikan pengajian mingguan mertuanya yang wafat. Dan juga pengasuh pengajian rutin putri setiap Rabu Sore di kediaman pribadinya sejak tahun 1988 hingga sekarang. “Sekarang sudah sedikit saya kurangi, sebab kesehatan saya terganggu. Jadi mau gerak ke mana-mana ya terbatas,” tuturnya dengan terbata-bata. (wandi)


Kata Masyarakat Tentang Kiai Cholil
Arif Hidayat
Sosok Kiai Cholil d imata masyarakat khususnya di Tuban sudah tidak asing lagi. Beliau kerap dimintai untuk memberikan dakwah di setiap acara. Baik di lingkungan masyarakat NU maupun umum.
Seperti yang disampaikan oleh Abdul Rozak, pengasuh Pondok Pesantren Kalijogo Semanding. Kepada NUsa, dia mengatakan kalau Kiai Cholil merupakan sosok yang kharismatik, hidupnya selalu diwakafkan dalam agama Islam, khususnya pada jam’iyah NU. Selain itu, beliau juga sudah termasuk ulama besar Indonesia, akan tetapi Kiai Cholil tidak mau dipublikasikan.
“Sosok hidupnya itu ramah dan  bijaksana. Beliau juga kiai yang sederhana. Selain itu, ilmu agama maupun formalnya juga bagus,” tuturnya

Hal yang sama juga disampaikan oleh Ketua PC IPNU Tuban, Arif Hidayat. Dia menganggap Kiai Cholil merupakan sosok ulama yang luwes, baik pemikiran maupun semangatnya. Selain itu, bentuk perjuangamnya patut dijadikan referensi bagi kaum muda. “Ya mudah-mudahan kita bisa mengikuti jejak ilmu dan pengetahuan Kiai Cholil,” katanya. (wandi)

TURBA MAARIF NU TUBAN KE RENGEL

PIMPIN TURBA: K. Ahmad Damanhur, ketua MWC Ma’arif NU Rengel memimpin Turba Ma’arif di Rengel beberapa waktu yang lalu.

TABLOID NUsa EDISI 22

Anda bisa membaca Tabloid NUsa EDISI 22 di Layar Komputer, Laptop, HP/I-Pad Anda dengan mudah.
Syaratnya antara lain:
1. Anda harus punya akun 4shared (www.4shared.com) 
2. Silahkan anda login atau masuk jika sudah punya akun 4shared, namun jika belum punya silahkan anda buat akun.
Catatan: Apabila ada kesulitan untuk download file kami, anda bisa menghubungi admin: kangaidi HP (0856-3301-799/0857-0628-2861) Fb: kangaidi

Contoh Halaman Tabloid NUsa EDISI 22




Untuk download Tabloid NUsa Format PDF,  silahkan Anda klik ikon download di bawah ini ...


NUsa PEDULI 22//Spesial, Diserahkan Bupati dan Ketua PC NU

SPESIAL: Fathul Huda dan Mustain Syukur berpose bersama dengan siswa yang men­erima NUsa peduli spesial pada acara raker LP. Ma’arif di STITMA bulan yang lalu.

TUBAN KOTA – Bersamaan dengan diadakannya Rapat Kerja (Raker) L.P. Ma’arif NU Tuban awal Februari lalu, santunan NUsa Peduli disalurkan. Penyaluran kali ini tergolong istimewa, sebab diberikan oleh Bupati Tuban H. Fatkhul Huda dan Ketua PC NU Tuban H. Mustain Syukur. Selain itu, penyalurannya dilakukan di arena raker, bukan di antar ke lembaga seperti yang dilakukan selama ini.
            Dari jumlah bantuan yang disalurkan juga spesial. Kali ini, NUsa Peduli Spesial menyalurkan Rp 2 Juta kepada dua anak. Penerima pertama adalah Mei Retno Wati, siswi kelas 9 MTs Darul Fallah Menilo, Soko dan Ahmad Zaenuri, siswa kelas 2 MI Miftahul Ulum Banjararum, Rengel. Keduanya dari keluarga kurang mampu tetapi mempunyai prestasi yang luar biasa yang mengharumkan lembaganya masing-masing.
Mei Retno Wati adalah juara 1 (cabang tenis meja putri) bagi Jawa Timur dalam ajang Kompetisi Seni dan Olah Raga Madrasah (AKSIOMA) Nasional di Malang. Dia adalah putri dari pasangan Sugianto dan Askah yang sehari-harinya sebagai buruh di salah satu gudang tembakau di Bojonegoro. Mei (sapaan akrabnya) banyak terinspirasi dari sosok bapaknya yang juga sebagai pemain bola volly yang sangat handal, dan sering dikontrak untuk berbagai kompetisi lomba bola volly.

 Sedang Akhmad Zaenuri adalah juara 1 lomba menggambar tingkat kabupaten Tuban. Yang istimewa, Zaenuri bukanlah anak yang memiliki anggota tubuh normal. Dia tidak memiliki dua belah tangan. Selain itu, Zaenuri juga hidup dalam keterbatasan. Dia menghasilkan lukisan dengan menggunakan jari-jari kakinya. Zaenuri adalah putra dari Su’udi (alm.) dan Kastini. Zen (sapaan akrabnya) saat ini tinggal bersama ibu, adik, dan kakeknya. Ibunya yang hanya sebagai ibu rumah tangga dan kakeknya sebagai buruh tani. “Alhamdulillah kemarin dapat bantuan dari Yatim Mandiri sehingga dapat memperbarui rumahnya,” ceritanya kepada NUsa. (amin)

PC Fatayat Tuban Launching Ngaji Rutin

TUBAN KOTA- PC Fatayat NU Tuban melaunching program barunya untuk membantengi warga Fatayat NU dari pengaruh paham-paham sempalan. Program itu berupa pengajian rutin Jum’at Pon-an. Sembari menyosialisasikan program baru tersebut, Hj. Umi Kulsum, ketua PC Fatayat NU Tuban, mengatakan bahwa acara tersebut juga diagendakan untuk memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. Aula kantor PC NU Tuban menjadi saksi launching program baru itu pada Minggu (16/02) yang lalu.
“Kini semakin merebak paham-paham sempalan. Untuk itu, kegiatan pengajian rutin Jum’at Pon ini nanti diharapkan mampu membantengi warga Fatayat dari pengaruhnya,” ungkap Umi.
Selain tujuan tersebut, Umi juga menjelaskan bahwa karena pesertanya diutamakan dari para da’i Fatayat yang memegang majelis ta’lim di berbagai daerah, maka pengajian rutin itu nanti juga diagendakan sebagai usaha untuk menghidupkan Forum Da’iyah Fatayat NU Tuban.
“Acara ini juga kami jadikan sebagai alat koordinasi pengurus Fatayat NU,” pungkasnya. (wakhid)

Sosialisasi Bahaya NAPZA di SMK YPM 12 Tuban

FOKUS: Peserta didik mendengarkan sosialiasasi NAPZA yang diadakan oleh Dinkes Kab. Tuban.
TUBAN KOTA- Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Tuban pertengahan Februari lalu mengadakan sosialisasi tentang bahaya NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif) keliling ke beberapa sekolah. Seperti yang terjadi pada Senin (17/02) yang lalu, pegawai Dinkes datang ke SMK YPM 12 Tuban untuk menjelaskan bahaya NAPZA itu. Purwandono (seksi kesehatan sekolah dan ponpok pesantren-Dinkes Tuban) menjelaskan bahwa mengonsumsi narkoba sangat berbahaya. “Bahkan bisa menyebabkan kematian,” tandasnya.
Sementara Lestari (ketua OSIS SMK YPM) merasa senang dengan adanya kegiatan sosialisasi itu. “Pastinya  bisa tambah wawasan akan bahaya NAPZA. Bagi anak-anak yang belum maupun yang sudah memakai, kegiatan ini bisa menjelaskan dan menyadarkan para siswa itu akan bahaya NAPZA,” ungkapnya.
Selama mengikuti kegiatan itu, siswa SMK YPM mendapat penjelasan akan definisi, bahaya, cara mencegah dan merawat pemakai NAPZA.

“Harapannya, adik-adik tidak coba-coba narkoba, karena bisa membuat masa depan adik-adik itu suram sendiri,” kata Purwandono. (wakhid)

LAPORAN UTAMA TABLOID NUsa EDISI 22-HAL 04

Memotret Geliat Kebangkitan Kembali L.P. Ma’arif NU Tuban
Menjahit Kembali Kain Robek

Suasana Rapat Kerja Di STITMA Tuban
Semangat untuk bangkit dari ‘’mati suri” sangat terasa pada Rapat Kerja (Raker) L.P. Ma’arif NU Tuban pada awal Februari lalu. Berbagai program diagendakan untuk menghidupkan kembali lembaga yang mengurusi pendidikan ini. Apa saja keputusan-keputusan raker yang diharapkan bisa menggairahkan Ma’arif Tuban?

PC LP Ma’arif NU Tuban dalam 3 periode kepemimpinannya selalu dipimpin oleh pegawai negeri. Sebenarnya, sah-sah saja Ma’arif dipimpin oleh siapa pun dan dengan latar belakang apa pun. Pengusaha, pedagang, PNS, pegawai bank, bahkan politisi sekalipun. Secara aturan, tidak ada yang melarang. Asal dia beragama Islam yang berhaluan ahlussunnah wal jama’ah, berkelakuan baik dan sehat jasmani dan rohaninya, orang itu bisa memimpin Ma’arif.
Namun, saat diduduki PNS-lah Ma’arif terbengkelai. Banyak lembaga-lembaga yang ada di berbagai kecamatan “mutung” dengan Ma’arif. Bentuk kemutungannya itu bermacam-macam. Ada yang tetap meminta SK kepala, tenaga pendidik dan kependidikan lembaga, tapi selalu mengeluhkan kepasifan Ma’arif. Rata-rata yang seperti ini beralasan masih tetap masih ingin “ngurip-urip Ma’arif”. Di lain pihak, ada yang secara frontal tidak mau menginduk ke Ma’arif dan tidak pernah mengikuti kegiatan Ma’arif dengan alasan tidak-adanya kemaslahatan menginduk ke Ma’arif. Kondisi yang demikian mengakibatkan beberapa MWC Ma’arif NU tidak hidup. Di Merakurak Ma’arif tidak jalan, di Kerek Ma’arif hanya memunculkan nama, di Plumpang Ma’arif dikelola KKM yang secara fitrahnya merupakan tangan panjang Kemenag Tuban.
Tidak hanya lembaga yang ada di daerah, para pemangku jabatan tinggi di PCNU Tuban pun mencium dan menilai hal yang serupa. Di Konferensi PCNU Tuban (pertengahan 2013), Ma’arif mendapat kritikan bertubi-tubi dari pengurus daerah. Ketika PCNU Tuban Turba ke seluruh kecamatan pun Ma’arif selalu mendapat sorotan tajam. Nama Ma’arif, dalam kondisi itu, seolah tidak memiliki celah untuk menjelaskan semua usaha yang telah dijalankannya. Drs. Mahfud, M.Pd (ketua PC LP Ma’arif NU Tuban periode sebelumnya) dalam beberapa kesempatan menjelaskan berbagai usaha yang telah dilakukannya. Bahwa adanya kekurangan dalam pengelolaan Ma’arif tetap diakuinya, tapi usaha untuk menata manajerial perkantoran pun telah dilakukannya juga. Tidak hanya itu, pelayanan yang diberikannya untuk mengurusi nasib guru sertifikasi pun telah dilakukannya. Namun, usaha yang dilakukannya itu, menurut sebagian besar orang masih terlalu kecil. Sesuai dengan apa yang diungkapkan KH. Cholilurrohman (rois syuriah PCNU Tuban) bahwa Ma’arif itu besar dan memiliki kekuatan yang sangat besar, asal diurus dengan serius.
Ketua L.P. Ma’arif yang baru, Akhmad Zaini mengaku paham dengan persoalan yang ada di Ma’arif. Dia melihat memang ada seabrek masalah yang melilit-lilit Ma’arif dan membutuhkan penanganan serius. Karena itu, dia menyadari, tidak mudah mengurusi Ma’arif sambil menjadi guru PNS. Untuk itu, dia sangat menghargai usaha yang telah dilakukan para pendahulunya.
“Memang tidak mudah mengurusi Ma’arif sambil menjadi guru PNS. Kalau menjadi Kepala Sekolah negeri, agak mending. Tidak dikejar banyak waktu untuk mengajar. Tapi, coba bayangkan ketika menjadi guru PNS. Setiap hari diabsen kehadirannya. Kalau sekali ijin untuk Turba tidak apa-apa. Masak mau absen terus setiap pekan untuk Turba. Karena itu saya melihat Pak Mahfud sudah melakukan usaha keras untuk tetap menghidupkan Ma’arif, sembari menjadi guru PNS,” terang Zaini dalam perjalanan ke Kajen-Pati untuk takziah ke rumah Rais Aam PB NU KH M.A. Sahal Mahfudz.
Seolah tidak ingin berlarut dalam zona kelam yang berisi ungkapan-ungkapan saling menyalahkan, kepasifan ide dan tindakan, serta kemuraman masa depan; Zaini bertekat merekonstruksi bentuk PC LP Ma’arif NU Tuban dengan wajah yang baru. Dalam sambutan yang disampaikannya ketika acara pembukaan Raker PC LP Ma’arif NU Tuban (Sabtu, 01 Februari 2014) dia menyatakan aka nada 3 katagori program yang akan dia lakukan untuk kembali mengangkat harkat derajat Ma’arif dari keterpurukan.
“Secara umum, dalam periode ini saya akan membuat program yang mengandung 3 unsur. Yakni, pertama, program yang bermakna konsolidatif, idiologis dan ketiga program yang bernuansa motivatif,” ungkap Zaini.
Pertama, dengan program konsolidatif, dia ingin merekatkan kembali ketercerai-beraian antar-lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola oleh warga nahdliyin dan LP Ma’arif, baik PC maupun MWC. “Saya ingin menjahit kembali kain yang sudah sobek,” harapnya.
Kedua, dengan program ideologis. Dia meyakini bahwa ikatan ukhuwah antara PC LP Ma’arif NU Tuban dengan seluruh MWC LP Ma’arif se-Kabupaten Tuban, antara PC LP Ma’arif NU Tuban dengan seluruh lembaga yang bernaung di payung LP Ma’arif NU Tuban dan antara MWC LP Ma’arif NU dan lembaga pendidikan di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Tuban bukanlah direkatkan oleh “dana”.
“Kalau dana yang dipakai untuk merekatkan kembali ukhuwah seluruh elemen di dalam LP Ma’arif, saya kira Ma’arif tidak mampu, karena Ma’arif tidak memiliki apa-apa. Tapi ukhuwah ini akan menjadi besar dan kuat ketika ikatan yang merekatkan adalah ikatan idiologis, yakni ahlussunah wal jamaah. Kita bersatu karena ingin menjaga dan membesarkan jam’iyah Nahdlatul Ulama. Saya kira dengan cara itu Ma’arif akan kembali besar,” tegas Zaini. Dia bertekat ingin kembali membangkitkat ghirah ahlussunnah wal jama’ah di dalam lembaga yang bernaung di bawah payung PC LP Ma’arif NU Tuban.

Ketiga, dengan program motivatif. Yakni dengan akan mengadakan Ma’arif Awards. Dengan program ini, Zaini ingin menumbuhkan semangat berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik di antara lembaga yang menginduk kepada PC LP Ma’arif NU Tuban. Bagi Zaini, program ini adalah program strategis untuk menciptakan suasana kompetitif di anatara lembaga untuk menjadi yang terbaik, sehingga ketika integrasi sosial antar-lembaga terjadi, maka itu akan berjalan bersamaan dengan persaingan sehat yang mengarah kepada kemajuan PC LP Ma’arif NU Tuban. (wakhid)

Kamis, 20 Maret 2014

NUsa PEDULI 20// Salurkan ke 4 MI di Jatirogo


JATIROGO-Pada edisi XX yang bertepatan dengan akhir tahun ini, Tim NUsa Peduli menyalurkan bingkisan senilai Rp. 400 ribu ke 4 siswa-siswi yang ada di Jatirogo. Yakni, kepada Muhammad Mu’minin kelas II dari MI Mambaul Ulum Dingil, Susi Nainatun Nafis kelas III dari MI Al Futuh Blimbing, Muhlisatun Nisa’ kelas IV dari MI Ulumiyah Kebonharjo dan yang terakhir Dewi Winarti kelas I dari MI Al Hidayah  Besowo.
Keempat siswa-siswi tersebut merupakan anak yatim dan anak kurang mampu yang mempunyai kemauan belajar yang tinggi. Kepada NUsa, mereka menuturkan kalau mereka sudah tidak tinggal lagi dengan orang tuanya melainnkan tinggal bersama neneknya. Orang tua yang masih hidup kebanyakan merantau dan neneknya menjadi buruh tani. Hanya Nisa’ yang tetap tinggal dengan ibunya. Karena ayahnya sudah meninggal, dia harus ikut membantu ibunya mencari rizki. ‘’Pulang dari sekolah langsung membantu jualan di toko. Sore sampai malam ngaji di mushola,’’ tuturnya.
Suasana pada penyaluran edisi ini beda dengan edisi-edisi sebelumya, karena edisi XX ini penyaluran dilakukan langsung oleh Pemimpin Cabang LP Ma’arif NU Tuban Akhmad Zaini yang juga menjabat sebagai Pemimpin Redaksi NUsa. Turut hadir dalam kesempatan itu, Wakil Ketua Ma’arif Tuban, H. Qomarudin, Moh. Gangsar (ketua MWC LP. Ma’arif Jatirogo), Kepala MI se-Kec. Jatirogo dan Perwakilan Kepala RA dan Pengurus IGRA Kec. Jatirogo.

Moch. Syarif Hidayatullah, kepala MI Ulumiyah Kebonharjo mengaku bangga dengan kegiatan Tabloid NUsa yang setiap bulan rutin menyalurkan bantuan ke anak yatim. “Kegiatan ini semoga dapat memberikan motifasi belajar siswa, khususnya siswi kami,” unngkap Syarif. (habib)

Sabtu, 01 Maret 2014

Mengapa Ikut Ma’arif? (1)//RUBRIK JEDA TABLOID NUsa EDISI 22

Akhmad Zaini
La ikraaha fiddin. Dalam memilih agama saja tidak ada paksaan, apalagi dalam memilih organisasi keagamaan. Orang bisa ikut Nahdlatul Ulama atau yang lainnya. Madrasah atau sekolah bisa ikut Ma’arif atau tidak. Tafadhol…! Monggo kerso…!
Namun, yang patut diperhatikan, sebelum pilihan itu dijatuhkan, berbagai pertimbangan harus dilakukan. Harus ada pemikiran mendalam berdasarkan data-data yang ada. Setelah itu baru keputusan atau pilihan diambil dengan segala konsekuensi dan resikonya. ‘’Hidup ini pilihan,’’ kata orang bijak.
Lalu mengapa njenengan pilih NU? Dan mengapa pula madrasah atau sekolah yang njenengan kelola ikut L.P. Ma’arif? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab demi memantapkan ke-NU-an dan ke- Ma’arif-an kita.
Dulu, tokoh NU sekelas KH Wahid Hasyim, sebelum menjatuhkan pilihan untuk aktif di NU juga melakukan hal seperti itu. Meski beliau adalah putra tertua Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari yang nota bene adalah pendiri dan sekaligus pemimpin tertinggi NU, namun pertimbangan mendalam tetap dilakukan. Tidak langsung otomatis NU.
Soal pergulatan batin Kiai Wahid ini kita bisa menyimaknya dengan jelas dalam buku, KH. A Wahid Hasyim, Mengapa Memilih NU?’’  Di halaman 101-104, ayah kandung Gus Dur tersebut menceritakan,’’ pada April 1934 ketika baru saja pulang dari menuntut ilmu di luar negeri, ada beberapa permintaan agar beliau ikut bergabung di sejumlah organisasi. Di antara organisasi itu adalah NU.
Di mata Wahid Hasyim muda, organisasi-organisasi yang menawarinya bergabung itu memiliki sejumlah kelemahan. Tidak ada yang seratus persen memuaskan dirinya. ‘’Ibaratnya seperti ‘jodoh’, yang memuaskan sungguh-sungguh kecantikannya, kecerdasannya, rumahnya, saudara-saudaranya, kemenakannya dan lain-lain lagi, pasti tidak terdapat dunia ini,’’ tutur Kiai Wahid.
Khusus untuk NU, Kiai Wahid mencatat sejumlah kelemahan. Pertama,  NU adalah organisasinya orang tua, lambat, tidak terasa dan tidak revolusioner. Namun, setelah beliau analisa secara mendalam, ditemukan fakta bahwa meski dianggap lambat, NU memiliki jaringan sangat luas. Dari jaringan luas itu, tingkat keberhasilan NU dalam melakukan gerakan akan lebih berhasil. Kiai Wahid lalu mengatakan, untuk apa organisasi kelihatanannya cepat, revolusioner, namun jaringannya sangat kecil? 
Kedua, NU sangat minim orang terpelajar. Kala itu, Kiai Wahid mengumpamakan, mencari akademisi di dalam NU adalah ibaratnya seperti mencari orang berjualan es pada waktu jam satu malam. Namun, kemudian beliau menemukan kenyataan, perhimpunan, organisasi atau partai politik yang banyak orang terpelajarnya, tidak menjamin perkumpulan, organisasi atau partai itu berhasil. Karena menurut beliau, yang menentukan berhasil tidaknya, bukan pintar atau pandainya anggota organisasi, tapi lebih ditentukan oleh karakter atau kepribadian (menurut bahasa Kiai Wahid, mentalitet) dari orang-orang yang ada di dalamnya. 
Dalam kaitannya dengan minimnya kalangan terpelajar di NU, Kiai Wahid mengambil contoh di Partai Komunis Indonesia (PKI). Meski orgaisasi ini minim orang terpelajar, namun karena organisasinya rapi, maka bisa kukuh dan programnya berjalan lancar. ‘’Jadi, kekurangan dan kekosongannya NU dari kaum terpelajar itu tidaklah menjadi ukuran bahwa kemungkinannya maju atau berkembang,’’ kesimpulan KIai Wahid.
Lalu, beliau mengatakan, ada dua hal lagi yang sekilas menjadi kelemahan NU sehingga menjadikan orang-orang muda enggan masuk NU. Pertama, karena NU begitu ketat (bahasa beliau begitu streng) dalam mengontrol kehidupan pribadi anggotanya dalam hal menjalan syariat Islam. Di Anggaran Dasar NU disebutkan kemungkinan pemecatan seorang anggota berdasarkan atas perbuatan-perbuatannya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut ajaran Islam.
 Menurut beliau, hal itu tidak akan menjadi hambatan bagi perkembangan organisasi. Bahkan, di kemudian hari diyakini akan menjadi salah satu faktor yang akan menjadi perekat atau soliditas anggota. Hal itu, menurut Kiai Wahid, tidak akan terjadi di perhimpunan-perhimpunan yang murahan, yang begitu mudah menerima anggota.
Kedua, soal ulama yang seolah-olah monopoli perhimpunan. Namun setelah beliau analisa mendalam, anggapan itu dinilainya tidak benar. Para ulama, kata beliau, tidak menopoli organisasi. Mereka hanyalah anggota biasa. ‘’Mereka itu, hanyalah sebagai penjaga pelajaran-pelajaran Islam, jangan sampai dilanggar anggota-anggotanya,’’ tandas Kiai Wahid.  
Jawaban-jawaban di atas, tidak dengan mudah beliau dapatnya. Baru pada 1938, beliau menemukan jawaban dan mengungkapkannya dengan kalimat sebagai berikut,’’ Nahdlatul Ulama malah memberi kemungkinan banyak bagi kebangkitannya ummat Islam di Indonesia. Faktor-faktor di dalamnya yang dulu saya anggap sebagai ‘rintangan’ bagi kemajuan, malah sebaliknya ternyata sebagai faktor-faktor yang mempercepat kemajuan’’.
Pernyataan itu, beliau tutup dengan kalimat penguat,’’ Sejak 1938, saya menjadi anggota NU setelah berpikir hampir 4 tahun lamanya, lepas dari pada pengaruh perasaan, sentiment dan keturunan.’’
Konteks zaman sekarang tentu sangat jauh berbeda. Ada beberapa yang masih relevan dan ada yang tidak. Soal minimnya warga NU yang terpelajar, jelas tidak pas dengan kondisi NU saat ini. Kini, di NU tidak lagi kekurangan kaum terpelajar. Master, doktor dan professor tidak terhitung jumlahnya. Bukankah jam berapa pun kita sekarang juga bisa membeli es di toko-toko yang buka 24 jam seperti Indomaret?
Menurut saya, yang terpenting dari apa yang dilakukan almaqfurllah Kiai Wahid ini adalah soal langkah beliau yang menjatuhkan pilihan berdasarkan pertimbangan yang sangat matang. Selain itu, yang bisa dilihat dari pergulatan batin beliau itu adalah tidak adanya unsur materi yang dijadikan rujukan untuk memilih. Beliau menjadikan kepentingan Islam dan umat Islam sebagai pijakan utama dalam menjatuhkan pilihan.
Jika pilihan diambil dengan proses seperti itu, maka dalam perjalanannya kemudian akan menjadi kukuh. Tidak mudah goyah ketika ada goncangan-goncangan, baik kecil atau besar. Mengapa? Sebab, itu sudah masuk ke wilayah keyakinan. Keyakinan yang ditopang rasionalitas yang matang akan melahirkan militansi yang bigitu kukuh dan kuat.
Jadi, mari kita kembali mencari jawaban mengapa kita harus jadi warga NU? Dan mengapa pula madrasah atau sekolah yang njenengan kelola harus ikut L.P. Ma’arif? (bersambung)
Akhmad Zaini, Ketua L.P. Ma’arif NU Tuban dan Pimred Tabloid NUsa

DARI KAMI TABLOID NUsa EDISI 22//Raker Ma’arif dan Laporan Lazisnu

DUKUNGAN: Pengurus NU Tuban turut hadir dalam pembukaan raker Ma'arif 2014 di Kampus STITMA Tuban.
Pembaca yang budiman, pada edisi 22 ini, secara khusus kami hendak mengucapkan selamat atas pelaksanaan Rapat Kerja L.P. Ma’arif NU Cabang Tuban pada 1 Februari lalu yang telah terselenggara dengan sukses.  Sebagai anak kandung L.P. Ma’arif Tuban, Tabloid NUsa ikut berbangga, sekaligus bersyukur atas kesuksesan tersebut.
Tentu, ucapan selamat tersebut tidak semata-mata kami tujukan kepada jajaran pengurus Ma’arif baru yang menjadi tuan rumah atas raker tersebut. Namun, juga kepada semua pihak yang terlibat dalam raker tersebut. Khususnya kepada para delegasi dari kecamatan yang telah dengan ikhlas datang dan mengikuti acara tersebut dengan penuh antusias.
Antusiasme mereka untuk hadir di Raker Ma’arif sungguh memiliki makna yang luar biasa. Ini menunjukkan kalau kecintaan mereka pada NU (khususnya Ma’arif) sanggat tinggi. Mereka masih ingin terhimpun dalam rumah besar yang bernama Nahdlatul Ulama. Dalam konteks Ma’arif Tuban, kesuksesan pelaksanaan raker, sungguh memiliki makna yang sangat penting. Mengingat, beberapa tahun belakangan, suasana seperti itu jarang terjadi. Itu pertanda kalau kekompakan dan soliditas keluarga besar Ma’arif Tuban masih terpelihara dengan baik.
Kami menilai Raker Ma’arif Tuban adalah momentum yang sangat penting. Karena itu, kami mengabadikannya secara khusus dalam bentuk laporan utama. Di laporan itu, kami potret suasana dan keputusan-keputusan penting yang dihasilkan dari raker. Dengan laporan itu, kami berharap para guru, kepala sekolah, pengurus sekolah dan warga NU pada umumnya yang tidak mengikuti raker, bisa ikut merasakan suasana raker yang penuh semangat itu.
Selain laporan tentang raker, kami juga melaporkan berbagai kegiatan yang dilaksanakan pengurus Ma’arif baru, yakni diskusi terbatas dengan Dirjen Pendidikan Agama Islama Kemenag Pusat Prof Dr Nur Syam dan turba pengurus Ma’arif ke beberapa kecamatan. Di luar laporan tentang Ma’arif, mulai edisi ini, kami juga memuat laporan keuangan Lazisnu (lembaga amil zakat, infaq, shodaqoh Nahdlatul Ulama). Dengan dimuatnya laporan keuangan tersebut, kami berharap masyarakat, khususnya warga NU bisa terdorong untuk menyalurkan zakat, infaq dan shodaqohnya ke Lazisnu Tuban.
Sebagai bagian dari keluarga besar NU, kami sangat berharap Lazisnu bisa menjadi tempat penyaluran dana zakat, infaq dan shodaqoh masyarakat. Karena dengan dana yang terkumpul itu, ke depan NU bisa berbuat lebih banyak. Khususnya di lingkungan pendidikan (Ma’arif), masih terlalu banyak madrasah/sekolah tidak memadai, guru yang hidupnya masih jauh dari layak, serta siswa-siswi yatim atau berasal dari keluarga fakir miskin yang butuh sokongan dana. Mereka adalah aset penting NU di masa mendatang. (*)   

Melihat dari Dekat Pondok Hafidz di Perut Montong

Ponpes Al-Ishlah Lebak-Sumurgung-Montong, ini merupakan pondok hafidz

Bersinar Meski Lokasinya Terpencil
Wakhid Qomari

Pondok pesantren Al-Ishlah (Lebak-Sumurgung-Montong) berdiri pada 1977. Pendirinya adalah KH. Qosam (alumnus pondok hufadz Jenu asuhan KH. Husein), serta menurut keluarganya, beliau pernah nyantri pada KH. Arwani Amin Kudus.
Sepulang mondok (1977), Kiai Qosam membangun mushola di kampung halaman tempat tinggalnya. Di mushola itulah dia mulai merintis pondok hafidz, yang dia beri nama Pondok Pesantren Al-Ishlah. Tentu saja, usahanya mendirikan pondok, tidak semata-mata hasil usahanya sendiri. Tokoh terkemuka Montong saat itu, KH. Chusnan Ali beserta adiknya KH. Bahrun Ali, turut mendorong berdirinya pondok hafidz itu. Sehingga dalam perkembangannya, pondok Al-Ishlah mampu berjalan dan mengalumnikan banyak hafidz-hafidzoh, yang tersebar di dalam dan di luar kota, bahkan kini banyak yang telah menjadi kiai di tempat tinggal mereka masing-masing. Diketahui KH. Mansur, pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda Bojonegoro dan KH. Mashudi Kastam Jenu adalah alumnus Al-Ishlah.
Gus Nur Afif, S.Pd.I, salah putra KH. Qosam, kini meneruskan perjuangan abahnya untuk terus menetaskan para hafidz-hafidzoh baru. Berada di sebuah desa pedalaman, Pondok Al-Ishlah tidak sepi santri dari luar kota. Kini, terdapat 34 santri mukim yang mengambil program hafidz. Dari 34 itu, sejumlah 22 orang adalah santri putra dan 12 yang lainnya adalah santri putri. Mereka rata-rata berasal dari luar kota Tuban. “Ada yang dari Jateng, Malang, Blitar,” ungkap Afif.
Kedatangan santri-santri itu tidak disebabkan tersebarnya informasi tentang Al-Ishlah melalui media masa, namun hanya melewati mulut ke mulut, “gethok tular”. Hal itu menunjukkan bahwa Kiai Qosam merupakan Kiai yang diakui keulamaannya. Sampai kini pun wajah Pondok Al-Ishlah masih terlihat sederhana dan tradisional, tapi santri-santri yang bermukim di sana berasal dari luar kota Montong.
Namun, ada juga santri pondok yang berasal dari desa sekitar Sumurgung. Santri yang tinggal di Sumurgung dan desa sekitar serta mengikuti program hafidz, jumlahnya hanya 9 orang, tapi yang tidak mengikuti program hafidz jumlahnya ratusan. Mereka yang tidak mengikuti program hafidz kebanyakan belajar di Madrasah Diniyah Al-IShlah.

Aktifitas Harian
Kegiatan Al-Ishlah setiap hari adalah pagi sebelum Subuh, ada kegiatan sema’an (menyimak) Al-Qur’an bagi santri mukim. Setelah Subuh juga ada kegiatan sema’an tapi untuk warga kampung. Setiap pagi, santri yang bersekolah di sekolah umum dipersilahkan berangkat sekolah. Namun, santri yang tidak bersekolah diberi kegiatan beternak dan bertani (sistem hortikultura).
Siang setelah Dzuhur, santri yang tidak bersekolah melakukan kegiatan sema’an. Setelah Ashar, seluruh santri belajar di madrasah diniyah sampai Maghrib dan dilanjutkan dengan kegiatan sema’an di malam hari. Setelah Isa’, Tafsir Jalalain dikaji oleh Gus Afif. Seluruh kegiatan Ponpes Al-Ishlah itu berlaku kecuali hari Selasa dan Jum’at. Pada hari Selasa sebelum berangkat sekolah, diadakan kegiatan Muroja’ah. Seluruh santri diajari kitab Fatkhul Qorib pada hari itu.

Kurikulum  
Gus Nur Afif, Pengasuh Ponpes
Kurikulum yang diterapkan di Al-Ishlah tidak dibakukan layaknya pendidikan formal. Target yang terlalu muluk-muluk dan membuat santri kalang kabut tidak diterapkan. Yang utama bagi Gus Afif adalah keberhasilan para santri mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an 30 juz, karena memang aspek itulah yang menjadi inti dari Ponpes Al-Ishlah dan dipegang sejak didirikan oleh KH. Qosam. Lama atau singkatnya rentang waktu menghafal adalah bergantung dari usaha santri sendiri.
Untuk masalah ilmu-ilmu yang lain, baik agama maupun umum, Gus Afif yang menamatkan pendidikannya di LP3IA Nunukan-Kragan-Jawa Tengah itu membebaskannya kepada para santri sendiri. “Kalau yang menginginkan ijazah dan ilmu-ilmu umum ya bersekolah di sekolah umum, kalau yang ingin hafal Al-Qur’an ya ikut program hafidz dan kalau ada yang ingin bisa baca kitab ya belajar di Madin,” jelas murid KH. Nur Salim Kragan itu. Namun, Gus Afif sendiri mewajibkan kalau alumni Al-Ishlah wajib hukumnya hafal Al-Qur’an dan bisa membaca kitab kuning. “Walaupun di sini santri diutamakan hafal Al-Qur’an, tapi santri juga diwajibkan bisa membaca kitab kuning,” tegasnya. (wakhid)

Ajari Santri Dengan Tani dan Ternak
Untuk mendidik para santrinya, utamanya yang bermukim, agar bisa mandiri, Gus Afif membekali mereka dengan hewan piaraan dan lahan pertanian. Dari 17 kambing miliknya yang dititipkan ke tetangga-tetangganya (sistem paron), sekitar 6 darinya dipelihara sendiri oleh para santri.
Kandang kambing yang dikelola oleh para santri
Sementara itu, para santri mukim itu juga dibekali tanah hasil kerja sama dengan perhutani. Di tanah perhutani itulah para santri bertani cabai dan tomat. “Tujuannya ya agar santri mandiri. Tidak memberatkan orang tua mereka saat nyantri di sini,” jelas Kiai alumnus STITMA Tuban ini.
Di samping tujuan kemandirian di pondok, Gus Afif juga mengharapkan santri-santrinya bisa hidup mandiri ketika telah terjun di masyarakat. Bekal ilmu peternakan dan pertanian yang telah mereka biasakan di pondok itulah yang dia harapkan mampu memandirikan para santri untuk mengais rejeki dari Allah SWT.
Sementara tentang biaya mondok, Gus Afif mengatakan bahwa para santri hanya dikenakan biaya Rp 5 ribu per bulan. “Untuk makan, sebagian santri ada yang kost di masyarakat,” katanya. Untuk menutupi biaya makan dan mondok itulah para santri mukim yang tidak bersekolah diajari mandiri oleh Gus Afif. (wakhid)