Akhmad Zaini |
La ikraaha fiddin. Dalam memilih agama
saja tidak ada paksaan, apalagi dalam memilih organisasi keagamaan. Orang bisa
ikut Nahdlatul Ulama atau yang lainnya. Madrasah atau sekolah bisa ikut Ma’arif
atau tidak. Tafadhol…! Monggo kerso…!
Namun,
yang patut diperhatikan, sebelum pilihan itu dijatuhkan, berbagai pertimbangan
harus dilakukan. Harus ada pemikiran mendalam berdasarkan data-data yang ada.
Setelah itu baru keputusan atau pilihan diambil dengan segala konsekuensi dan
resikonya. ‘’Hidup ini pilihan,’’ kata orang bijak.
Lalu
mengapa njenengan pilih NU? Dan
mengapa pula madrasah atau sekolah yang njenengan
kelola ikut L.P. Ma’arif? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab
demi memantapkan ke-NU-an dan ke- Ma’arif-an kita.
Dulu,
tokoh NU sekelas KH Wahid Hasyim, sebelum menjatuhkan pilihan untuk aktif di NU
juga melakukan hal seperti itu. Meski beliau adalah putra tertua Hadratus Syekh
Hasyim Asy’ari yang nota bene adalah pendiri dan sekaligus pemimpin tertinggi
NU, namun pertimbangan mendalam tetap dilakukan. Tidak langsung otomatis NU.
Soal
pergulatan batin Kiai Wahid ini kita bisa menyimaknya dengan jelas dalam buku, KH. A Wahid Hasyim, Mengapa Memilih NU?’’ Di halaman 101-104, ayah kandung Gus Dur
tersebut menceritakan,’’ pada April 1934 ketika baru saja pulang dari menuntut
ilmu di luar negeri, ada beberapa permintaan agar beliau ikut bergabung di
sejumlah organisasi. Di antara organisasi itu adalah NU.
Di mata
Wahid Hasyim muda, organisasi-organisasi yang menawarinya bergabung itu
memiliki sejumlah kelemahan. Tidak ada yang seratus persen memuaskan dirinya.
‘’Ibaratnya seperti ‘jodoh’, yang memuaskan sungguh-sungguh kecantikannya,
kecerdasannya, rumahnya, saudara-saudaranya, kemenakannya dan lain-lain lagi,
pasti tidak terdapat dunia ini,’’ tutur Kiai Wahid.
Khusus
untuk NU, Kiai Wahid mencatat sejumlah kelemahan. Pertama, NU adalah organisasinya
orang tua, lambat, tidak terasa dan tidak revolusioner. Namun, setelah beliau
analisa secara mendalam, ditemukan fakta bahwa meski dianggap lambat, NU
memiliki jaringan sangat luas. Dari jaringan luas itu, tingkat keberhasilan NU
dalam melakukan gerakan akan lebih berhasil. Kiai Wahid lalu mengatakan, untuk
apa organisasi kelihatanannya cepat, revolusioner, namun jaringannya sangat
kecil?
Kedua, NU sangat minim orang
terpelajar. Kala itu, Kiai Wahid mengumpamakan, mencari akademisi di dalam NU
adalah ibaratnya seperti mencari orang berjualan es pada waktu jam satu malam.
Namun, kemudian beliau menemukan kenyataan, perhimpunan, organisasi atau partai
politik yang banyak orang terpelajarnya, tidak menjamin perkumpulan, organisasi
atau partai itu berhasil. Karena menurut beliau, yang menentukan berhasil
tidaknya, bukan pintar atau pandainya anggota organisasi, tapi lebih ditentukan
oleh karakter atau kepribadian (menurut bahasa Kiai Wahid, mentalitet) dari
orang-orang yang ada di dalamnya.
Dalam
kaitannya dengan minimnya kalangan terpelajar di NU, Kiai Wahid mengambil
contoh di Partai Komunis Indonesia (PKI). Meski orgaisasi ini minim orang
terpelajar, namun karena organisasinya rapi, maka bisa kukuh dan programnya
berjalan lancar. ‘’Jadi, kekurangan dan kekosongannya NU dari kaum terpelajar
itu tidaklah menjadi ukuran bahwa kemungkinannya maju atau berkembang,’’
kesimpulan KIai Wahid.
Lalu,
beliau mengatakan, ada dua hal lagi yang sekilas menjadi kelemahan NU sehingga menjadikan
orang-orang muda enggan masuk NU. Pertama,
karena NU begitu ketat (bahasa beliau begitu streng) dalam mengontrol kehidupan
pribadi anggotanya dalam hal menjalan syariat Islam. Di Anggaran Dasar NU
disebutkan kemungkinan pemecatan seorang anggota berdasarkan atas perbuatan-perbuatannya
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut ajaran Islam.
Menurut beliau, hal itu tidak akan menjadi
hambatan bagi perkembangan organisasi. Bahkan, di kemudian hari diyakini akan
menjadi salah satu faktor yang akan menjadi perekat atau soliditas anggota. Hal
itu, menurut Kiai Wahid, tidak akan terjadi di perhimpunan-perhimpunan yang
murahan, yang begitu mudah menerima anggota.
Kedua, soal ulama yang
seolah-olah monopoli perhimpunan. Namun setelah beliau analisa mendalam,
anggapan itu dinilainya tidak benar. Para ulama, kata beliau, tidak menopoli
organisasi. Mereka hanyalah anggota biasa. ‘’Mereka itu, hanyalah sebagai
penjaga pelajaran-pelajaran Islam, jangan sampai dilanggar
anggota-anggotanya,’’ tandas Kiai Wahid.
Jawaban-jawaban
di atas, tidak dengan mudah beliau dapatnya. Baru pada 1938, beliau menemukan
jawaban dan mengungkapkannya dengan kalimat sebagai berikut,’’ Nahdlatul Ulama
malah memberi kemungkinan banyak bagi kebangkitannya ummat Islam di Indonesia.
Faktor-faktor di dalamnya yang dulu saya anggap sebagai ‘rintangan’ bagi
kemajuan, malah sebaliknya ternyata sebagai faktor-faktor yang mempercepat
kemajuan’’.
Pernyataan
itu, beliau tutup dengan kalimat penguat,’’ Sejak 1938, saya menjadi anggota NU
setelah berpikir hampir 4 tahun lamanya, lepas dari pada pengaruh perasaan,
sentiment dan keturunan.’’
Konteks
zaman sekarang tentu sangat jauh berbeda.
Ada beberapa yang masih relevan dan ada yang tidak. Soal minimnya warga NU yang
terpelajar, jelas tidak pas dengan kondisi NU saat ini. Kini, di NU tidak lagi
kekurangan kaum terpelajar. Master, doktor dan professor tidak terhitung
jumlahnya. Bukankah jam berapa pun kita sekarang juga bisa membeli es di
toko-toko yang buka 24 jam seperti Indomaret?
Menurut
saya, yang terpenting dari apa yang dilakukan almaqfurllah Kiai Wahid ini adalah soal langkah beliau yang
menjatuhkan pilihan berdasarkan pertimbangan yang sangat matang. Selain itu,
yang bisa dilihat dari pergulatan batin beliau itu adalah tidak adanya unsur
materi yang dijadikan rujukan untuk memilih. Beliau menjadikan kepentingan
Islam dan umat Islam sebagai pijakan utama dalam menjatuhkan pilihan.
Jika
pilihan diambil dengan proses seperti itu, maka dalam perjalanannya kemudian akan
menjadi kukuh. Tidak mudah goyah ketika ada goncangan-goncangan, baik kecil
atau besar. Mengapa? Sebab, itu sudah masuk ke wilayah keyakinan. Keyakinan
yang ditopang rasionalitas yang matang akan melahirkan militansi yang bigitu
kukuh dan kuat.
Jadi,
mari kita kembali mencari jawaban mengapa kita harus jadi warga NU? Dan mengapa
pula madrasah atau sekolah yang njenengan
kelola harus ikut L.P. Ma’arif? (bersambung)
Akhmad Zaini, Ketua L.P. Ma’arif NU Tuban dan Pimred Tabloid NUsa
0 komentar:
Posting Komentar