Sabtu, 01 Maret 2014

Mengapa Ikut Ma’arif? (1)//RUBRIK JEDA TABLOID NUsa EDISI 22

Akhmad Zaini
La ikraaha fiddin. Dalam memilih agama saja tidak ada paksaan, apalagi dalam memilih organisasi keagamaan. Orang bisa ikut Nahdlatul Ulama atau yang lainnya. Madrasah atau sekolah bisa ikut Ma’arif atau tidak. Tafadhol…! Monggo kerso…!
Namun, yang patut diperhatikan, sebelum pilihan itu dijatuhkan, berbagai pertimbangan harus dilakukan. Harus ada pemikiran mendalam berdasarkan data-data yang ada. Setelah itu baru keputusan atau pilihan diambil dengan segala konsekuensi dan resikonya. ‘’Hidup ini pilihan,’’ kata orang bijak.
Lalu mengapa njenengan pilih NU? Dan mengapa pula madrasah atau sekolah yang njenengan kelola ikut L.P. Ma’arif? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab demi memantapkan ke-NU-an dan ke- Ma’arif-an kita.
Dulu, tokoh NU sekelas KH Wahid Hasyim, sebelum menjatuhkan pilihan untuk aktif di NU juga melakukan hal seperti itu. Meski beliau adalah putra tertua Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari yang nota bene adalah pendiri dan sekaligus pemimpin tertinggi NU, namun pertimbangan mendalam tetap dilakukan. Tidak langsung otomatis NU.
Soal pergulatan batin Kiai Wahid ini kita bisa menyimaknya dengan jelas dalam buku, KH. A Wahid Hasyim, Mengapa Memilih NU?’’  Di halaman 101-104, ayah kandung Gus Dur tersebut menceritakan,’’ pada April 1934 ketika baru saja pulang dari menuntut ilmu di luar negeri, ada beberapa permintaan agar beliau ikut bergabung di sejumlah organisasi. Di antara organisasi itu adalah NU.
Di mata Wahid Hasyim muda, organisasi-organisasi yang menawarinya bergabung itu memiliki sejumlah kelemahan. Tidak ada yang seratus persen memuaskan dirinya. ‘’Ibaratnya seperti ‘jodoh’, yang memuaskan sungguh-sungguh kecantikannya, kecerdasannya, rumahnya, saudara-saudaranya, kemenakannya dan lain-lain lagi, pasti tidak terdapat dunia ini,’’ tutur Kiai Wahid.
Khusus untuk NU, Kiai Wahid mencatat sejumlah kelemahan. Pertama,  NU adalah organisasinya orang tua, lambat, tidak terasa dan tidak revolusioner. Namun, setelah beliau analisa secara mendalam, ditemukan fakta bahwa meski dianggap lambat, NU memiliki jaringan sangat luas. Dari jaringan luas itu, tingkat keberhasilan NU dalam melakukan gerakan akan lebih berhasil. Kiai Wahid lalu mengatakan, untuk apa organisasi kelihatanannya cepat, revolusioner, namun jaringannya sangat kecil? 
Kedua, NU sangat minim orang terpelajar. Kala itu, Kiai Wahid mengumpamakan, mencari akademisi di dalam NU adalah ibaratnya seperti mencari orang berjualan es pada waktu jam satu malam. Namun, kemudian beliau menemukan kenyataan, perhimpunan, organisasi atau partai politik yang banyak orang terpelajarnya, tidak menjamin perkumpulan, organisasi atau partai itu berhasil. Karena menurut beliau, yang menentukan berhasil tidaknya, bukan pintar atau pandainya anggota organisasi, tapi lebih ditentukan oleh karakter atau kepribadian (menurut bahasa Kiai Wahid, mentalitet) dari orang-orang yang ada di dalamnya. 
Dalam kaitannya dengan minimnya kalangan terpelajar di NU, Kiai Wahid mengambil contoh di Partai Komunis Indonesia (PKI). Meski orgaisasi ini minim orang terpelajar, namun karena organisasinya rapi, maka bisa kukuh dan programnya berjalan lancar. ‘’Jadi, kekurangan dan kekosongannya NU dari kaum terpelajar itu tidaklah menjadi ukuran bahwa kemungkinannya maju atau berkembang,’’ kesimpulan KIai Wahid.
Lalu, beliau mengatakan, ada dua hal lagi yang sekilas menjadi kelemahan NU sehingga menjadikan orang-orang muda enggan masuk NU. Pertama, karena NU begitu ketat (bahasa beliau begitu streng) dalam mengontrol kehidupan pribadi anggotanya dalam hal menjalan syariat Islam. Di Anggaran Dasar NU disebutkan kemungkinan pemecatan seorang anggota berdasarkan atas perbuatan-perbuatannya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut ajaran Islam.
 Menurut beliau, hal itu tidak akan menjadi hambatan bagi perkembangan organisasi. Bahkan, di kemudian hari diyakini akan menjadi salah satu faktor yang akan menjadi perekat atau soliditas anggota. Hal itu, menurut Kiai Wahid, tidak akan terjadi di perhimpunan-perhimpunan yang murahan, yang begitu mudah menerima anggota.
Kedua, soal ulama yang seolah-olah monopoli perhimpunan. Namun setelah beliau analisa mendalam, anggapan itu dinilainya tidak benar. Para ulama, kata beliau, tidak menopoli organisasi. Mereka hanyalah anggota biasa. ‘’Mereka itu, hanyalah sebagai penjaga pelajaran-pelajaran Islam, jangan sampai dilanggar anggota-anggotanya,’’ tandas Kiai Wahid.  
Jawaban-jawaban di atas, tidak dengan mudah beliau dapatnya. Baru pada 1938, beliau menemukan jawaban dan mengungkapkannya dengan kalimat sebagai berikut,’’ Nahdlatul Ulama malah memberi kemungkinan banyak bagi kebangkitannya ummat Islam di Indonesia. Faktor-faktor di dalamnya yang dulu saya anggap sebagai ‘rintangan’ bagi kemajuan, malah sebaliknya ternyata sebagai faktor-faktor yang mempercepat kemajuan’’.
Pernyataan itu, beliau tutup dengan kalimat penguat,’’ Sejak 1938, saya menjadi anggota NU setelah berpikir hampir 4 tahun lamanya, lepas dari pada pengaruh perasaan, sentiment dan keturunan.’’
Konteks zaman sekarang tentu sangat jauh berbeda. Ada beberapa yang masih relevan dan ada yang tidak. Soal minimnya warga NU yang terpelajar, jelas tidak pas dengan kondisi NU saat ini. Kini, di NU tidak lagi kekurangan kaum terpelajar. Master, doktor dan professor tidak terhitung jumlahnya. Bukankah jam berapa pun kita sekarang juga bisa membeli es di toko-toko yang buka 24 jam seperti Indomaret?
Menurut saya, yang terpenting dari apa yang dilakukan almaqfurllah Kiai Wahid ini adalah soal langkah beliau yang menjatuhkan pilihan berdasarkan pertimbangan yang sangat matang. Selain itu, yang bisa dilihat dari pergulatan batin beliau itu adalah tidak adanya unsur materi yang dijadikan rujukan untuk memilih. Beliau menjadikan kepentingan Islam dan umat Islam sebagai pijakan utama dalam menjatuhkan pilihan.
Jika pilihan diambil dengan proses seperti itu, maka dalam perjalanannya kemudian akan menjadi kukuh. Tidak mudah goyah ketika ada goncangan-goncangan, baik kecil atau besar. Mengapa? Sebab, itu sudah masuk ke wilayah keyakinan. Keyakinan yang ditopang rasionalitas yang matang akan melahirkan militansi yang bigitu kukuh dan kuat.
Jadi, mari kita kembali mencari jawaban mengapa kita harus jadi warga NU? Dan mengapa pula madrasah atau sekolah yang njenengan kelola harus ikut L.P. Ma’arif? (bersambung)
Akhmad Zaini, Ketua L.P. Ma’arif NU Tuban dan Pimred Tabloid NUsa

0 komentar:

Posting Komentar