Ada Nampan Hingga Gentong di Masjid Karomah
BELUM DIPUGAR: | Masjid Karomah Winong peninggalan Kiai Ahmad Mutakim. |
KH Ahmad
Mutamakin, Kajen Pati Jawa Tengah, diketahui memiliki hubungan kekerabatan
dengan Sunan Bejagung, Semanding Tuban. Di Masjid Karomah, Winong, Sugiharto,
Tuban, ada petilasan yang menunjukkan kalau Kiai Mutamakin juga pernah
menyebarkan Islam di daerah ini.
Di antara
petilasan yang ada di Tuban adalah Masjid Karomah Winong. Masjid ini terletak
di Dukuh Winong, Sugiharjo, Kecamatan Tuban Kota. Situs masjid yang berjarak
sekitar 7 km dari pusat perkotaan kota itu, merupakan salah satu tempat semacam
padepokan milik Kiai Mutamakin saat menyebarkan agama islam. Sebelum dipugar
oleh warga menjadi masjid yang lumayan besar pada tahun 1977, dulu tempat itu hanyalah
tempat kecil yang digunakan oleh Kiai Mutamaqin untuk berriyadhoh dan
bermunajat kepada Allah SWT.
Di sekitar masjid
juga terdapat satu pohon sawo kecik yang sangat besar, diperkirakan berumur
ratusan tahun. Pohon itu diyakini oleh masyarakat sekitar, sudah ada sejak
zamannya Kiai Mutamakin. Tidak hanya itu, sebuah gentong dan benda persegi
terbuat dari kayu seperti nampan juga termasuk peninggalannya.
Konon, gentong
tersebut merupakan tempat menyimpan air untuk kebutuhan Kiai Mutamakin
sehari-hari. Selain gentong, juga terdapat sebuah benda seperti nampan. Benda
tersebut diyakini masyarakat sebagai alat yang digunakan di saat menyuguhi para
tamunya Kiai Mutamakin. Masuk lagi ke dalam masjid, di situ tersimpan kayu berbentuk
lonjong agak bulat konon digunakan Kiai Mutamakin dalam menaruh peci atau
baldu.
Selain itu juga terdapat sebuah batu kecil dan
tumpul yang perkiraan digunakan untuk menumbuk. Di sebelah barat masjid
terdapat sebuah sungai. Menurut cerita masyarakat sekitar, sungai tersebut
merupakan tempat berwudhunya Kiai Mutamakin.
Sebelum masuk
kawasan masjid Karomah Winong, di situ akan melewati sebuah gapura. Di mana
gapura tersebut merupakan pintu masuk ke arah kawasan tempat pasujudan Kiai
Mutamakin. Menurut cerita masyarakata sekitar, dulu saat orang masuk tanpa niat
yang baik dan tidak sopan, maka orang tersebut tiba-tiba tidak bisa melihat
orang lain.
Ta’mir Masjid
Karomah Winong, H.Warsilan saat ditemui mengatakan, Kiai Mutamakin ini
merupakan asli penduduk Winong, Desa Sugiharjo. Masyarakat biasa memanggilnya
dengan sebutan Mbah Mutamakin. Kata sebagian ulama yang pernah datang ke Masjid
Karomah Winong, Mbah Mutamakin masih keturunan bangsawan Jawa yang masih punya garis
keturunan dengan Raden Patah (Kesultanan Demak) yang berasal dari Kesultanan
Trenggono.
Sultan Trenggono
mengawinkan salah satu putrinya dengan Jaka Tingkir (Sultan Hadiningkrat) yang
mempunyai putra bernama pangeran Sambo (Raden Sumohadinegoro) yang menurunkan
putra Kiai Mutamakin. Sedangkan dari jalur ibu, Kiai Mutamakin masih keturunan dari
Syaid Ali Akbar dari Desa Bejagung, Kecamatan Semanding, Tuban. Syaid Ali Akbar
mempunyai seorang putra bernama Raden Tanu. Selanjutnya Raden Tanu mempunyai
seorang putri. Putri tersebutlah yang menjadi ibunya Kiai Mutamakin.
Dijelaskannya
oleh Ta’mir masjid Karomah Winong, bahwa semasa hidupnya Kiai Mutamakin
sepenuhnya hanya mengabdikan diri untuk menyebarkan agama islam di daerahnya. Konon
Kiai Mutamakin saat mudanya dulu pernah nyantri di di Sayyid Assyari sekarang
Sunan Bejagung Lor. Hingga sampai dipinang menjadi menantunya. Selama
menyebarkan agama Islam, Kiai Mutamakin selalu berpindah tempat. Kalau tempat
tersebut dalam penyebarannya dianggap sudah berhasil, maka akan berpindah
tempat. Seperti halnya sumur tua di Kuthi Desa Sumurgung, Tuban banyak yang
meyakini bahwa sumur itu juga peninggalan Kiai Mutamakin.
”Kiai Mutamakin katanya mbah buyut saya dulu,
orangnya itu suka mengembara. Ke mana-mana selalu menyebarkan agama Islam. Dan
selalu berpindah-pindah tempat yang bertujuan menyebarkan agama Islam,’’ kata
Warsilan.
Menurut sebagian
ulama, Kiai Mutamakin juga selalu berpegang teguh pada prinsip dan kepribadian
tentang aqidah Islam. Sosoknya juga alim, terbuka dan berani. Tidak hanya itu,
Kiai Mutamakin juga termasuk orang yang luwes dan kuat menahan hawa nafsu.
Selama perjalanan
pengembaraannya dalam menyebarkan agama Islam, akhirnya Kiai Mutamakin menetap
di Desa Cebolek, lalu di Kajen, Pati Jawa Tengah. Diceritakannya, saat berada
di Kajen, Kiai Mutamakin bertemu dengan ulama lokal bernama Mbah Syamsudin.
Dalam pertemuan tersebut terdapat dialog yang pada akhirnya berisi penyerahan
wilayah Kajen dari Mbah Syamsudin untuk Kiai Mutamakin untuk merawat dan selalu
mensyiarkan agama Islam dengan baik.
”Makam Kiai Mutamaqin
tidak di Winong, namun berada di Kajen, Pati. Setiap tahunnya selalu diadakan
acara haul untuk Kiai Mutamaqin. Tepatnya pada bulan suro, mulai tanggal 7
diadakan tahtimul Qur’an dan tanggal 10 acara puncaknya haul. Di sana makamnya
Kiai Mutamakin juga bersandingan dengan Makam Mbah Syamsuddin,” tutur Warsilan,
yang asli kelahiran Dukuh Winong ini.
Di Kajen tersebut
kini bertebaran puluhan pondok pesantren yang pengasuhnya rata-rata keturunan
Kiai Mutamakin. Di antara ulama yang mengasuh salah satu pondok di Kajen adalah
KH M.A. Salah Mahfudz, mantan rais aam PB NU yang wafat pada 24 Januari 2014
lalu. (wandi)
GENTONG: gentong ini merupakan tempat menyimpan air untuk kebutuhan Kiai Mutamakin. |
BATU TUMBUK: Batu kecil dan tumpul yang perkiraan digunakan untuk menumbuk |
TARUH: Kayu ini konon digunakan Kiai Mutamakin dalam menaruh peci atau baldu. |
MASIH HIDUP: Pohon sawo kini masih hidup sejak Kiai Mutamakin masih hidup. |
permisi ambil gambarnya ya gan... http://www.akarasa.com
BalasHapus