Yakin Produk Lokal yang Terbaik
SENIMAN UKIR: Bapak Wait salah seorang yang menekuni ketrampilan ukir khas Tuban. |
Tuban
memang tidak memiliki predikat sebagai kota ukir seperti halnya Jepara atau
Kudus. Namun, itu bukan berarti di Bumi Wali ini tidak memiliki pengrajin ukir.
Sebut saja, Wait. Warga Widengan, Gedongombo, Semanding ini sejak lama menekuni
ketrampilan ukir khas Tuban.
Seni
pahat atau seni ukir memang kurang begitu dikenal di Kabupaten Tuban. Namun hal
itu tak lantas membuat Wait berkecil hati. Dia nekat mempelajari teknik ukir
secara autodidak dengan mengasah kemampuan seni ukirnya. Upayanya kini berbuah
hasil manis. Lelaki yang hanya bermodalkan lulusan kelas 5 SD ini memulai
usahanya sejak tahun 1972.
“Saya
pernah membaca, kalau ke depannya produk lokal itu jadi best (terbaik) di
Indonesia. Makanya saya hadirkan produk asli dari Tuban (Jawa Timur),” ujar Pak
Wait.
Semula,
Wait hanya iseng mengukir sembarang pohon kayu. Lambat laun, kayu jati menjadi
sasarannya.“Kayu jati merupakan kayu kelas satu karena kekuatan, keawetan dan
keindahannya. Kayu ini sangat tahan terhadap serangan rayap, meskipun keras dan
kuat, kayu jati mudah dipotong dan dikerjakan sehingga disukai para pengrajin
ukiran,” ujarnya
Seni-seni
yang diciptakannya sendiri yang direalisasikan menjadi sebuah karya seni ukir
kayu adalah keunggulannya. Tak diduga, hasil karyanya mendapat perhatian warga
sekitar. Beberapa orang langsung memesannya. Uang hasil penjualan karya seni
ukirnya itu kemudian digunakan membeli tambahan modal kayu jati bahan ukiran.
Sebab dia tak memiliki cukup modal sekedar membeli peralatan pahat maupun kayu
bahan ukiran.
Pria paruh baya ini mulai menggeluti usaha
pembuatan kerajinan kayu ukir dengan bahan dasar kayu jati lokal asli Tuban
dengan kreasi seni ukiran khas Tuban dengan modal awal Rp 1 juta. Kerajinan
rumahan yang diberi nama Jati Seni ini,
memberinya penghasilan Rp 17 juta satu shet (meja dan 2 kursi) atau satu
kali pesanan. Dia mengaku usaha kayu ukir yang dibuatnya memiliki variasi corak
batik yang beragam seperti bunga, burung, macan, kaligrafi dan lain-lain. Dia
juga menerima blubud kayu dan segala hal tentang kayu. Proses pembuatan kayu
ukir ini memerlukan 15 hari untuk satu meja atau satu kursi.
Dalam
alat kerjanya, Wait menggunakan 40 macam alat pahat yang dibelinya dari Jepara.
‘’Cara pembuatan kayu ukir dimulai dari mengukur kayu, menggambar dan mengukir
kayu, menggosok dengan rempelas, menggunakan viler atau tiner, menggosok sampai
halus setelah itu di finis atau di gilapkan,’’’ujarnya. Hanya saja, bagi
masyarakat yang ingin memesannya harus sedikit bersabar karena proses
pengerjaannya yang membutuhkan waktu agak lama. Apalagi dengan proses pembuatan
yang masih mengandalkan keterampilan tangan (handmade), waktu pengerjaan
ditentukan oleh ukuran dan tingkat kerumitannya.
“Namun tidak perlu khawatir. Meski waktunya
lama, dari sisi kualitas sangat terjaga. Kami sangat menjaga kualitas produk
karena kami tidak ingin konsumen kecewa. Kerajinan ini butuh ketekunan dan
ketelitian sehingga produk yang dihasilkan sempurna dan memuaskan konsumen,”
jelasnya.
Soal
keuntungan, Wait dengan rendah hati mengatakan, hasil yang didapat cukup untuk
makan sehari-hari, menggaji karyawan yang sekaligus putra pertamanya, dan
berbelanja bahan baku lagi. Namun dilihat dari harga per karyanya yang tidak
murah, setidaknya Wait mengantongi keuntungan jutaan rupiah.”Memang harganya
tidak murah karena sebanding dengan tingkat kesulitan dan daya
kreativitasnya,”ujarnya
Layaknya
pebisnis pada umumnya, Wait juga menemui sejumlah kendala dalam usahanya.
”Kendala yang dihadapi adalah dalam proses pesanan yang terlalu banyak
keterbasan pegawai dan alat produksi,” ungkapnya.
Untuk
menjalankan usaha yang didirikan selama dua puluh lima tahun ini, Wait tidak
mengambil pegawai. Usaha ini hanya dijalankan oleh dua orang saja, yang
dipekerjakan sebagai pengelolah kayu adalah Ruhanto putra pertamanya dan
sebagai pengukir adalah bapak wait sendiri. Meskipun demikian ia tetap
mengedepankan kemampuannya dalam bidang seni ukir demi melanjutkan usahanya.
Wait menuturkan, meski usahanya mengalami kondisi pasang surut, dengan
keyakinan yang kuat, dia mampu bertahan di tengah gelombang pengusaha furnitur
yang berskala lebih besar. ‘’Asalkan kita punya niat besar, kemampuan kita bisa
dikembangkan untuk tetap menghasilkan keuntungan,” tandasnya.
Wait
yang membuka usaha di desanya, Widegan, Gedongombo, Semanding ini mengaku
selama ini kapasitas produksinya terbatas karena dikerjakan secara manual. Dia
berharap pemerintah dapat memperhatikan nasib para seniman kecil, seperti
dirinya, agar lebih berkembang dan maju. Terutama berkaitan dengan modal
usahanya. “Kalau karya seni kita terkenal, toh nama Tuban juga akan menjadi
harum,” pungkasnya (hafydz)
0 komentar:
Posting Komentar