Rabu, 23 April 2014

TOKOH INSPIRATIF NUsa EDISI 23//H. NOOR FAEKO SUMARNO

SELAMANYA NU: Nur Faeko, Sekretaris PCNU Tuban
Nama Diganti Saat Mau Haji

Di lingkungan PCNU Tuban, namanya sudah tidak asing lagi. Dia terkenal tegas, blak-blakan dan disiplin. Sosok ini menjabat  Sekretaris PCNU Tuban sejak 1988

Sejak lahir, namanya adalah Eko Sumarno. Dia terlahir di Dusun Bagor, Desa Kaliapang, Kecamatan Miri, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah pada 07 Maret 1959. Buah pernikahan dari Darmo Wiyoto dan Sukanti. Terlahir sebagai anak ke-2 dari 3 bersausara, dia memiliki kakak bernama Sulastri dan adik bernama Jasmo. Nama Eko berubah menjadi Noor Faeko Sumarno, sejak 2003. Saat itu dia mendapat jatah berangkat haji gratis dari PWNU Jawa Timur. Dia menjadi salah satu petugas dari rombongan. Saat akan diberi piagam, namanya ditanya dan dia menjawab Eko Sumarno. Ternyata nama itu perlu diganti. Mengetahui hal itu, dia ijin berkonsultasi dulu dengan Kiai Cholilurrohman lewat telpon. Akhirnya, Kiai Cholil merubahnya sedikit, menjadi “Noor Faeko Sumarno”. Eko beristri Sri Subekti dan beranak 2: Lilik Handayani dan Dwi Lili Suryani. Dari kedua anak itu, dia memiliki 2 cucu.
Pengembaraan hidupnya sangatlah berat dan berliku. Sampai dia menemukan ketentraman berkhidmah di dalam NU. Di masa sekolah, dia hanya sebentar belajar di SDN Bagor. Selesai kelas 1 dan naik kelas 2, dia kemudian dibawa Pakdenya yang bernama Supardi ke Kunthi, Sampung, Ponorogo. Supardi adalah seorang pegawai perhutani yang beristri Sumarmi. Dalam ceritanya, ibu kandungnya Sukanti menikah lagi dengan Sudarno dan kemudian tinggal di Desa Magersari, Plumpang, Tuban.
Bersama keluarga Supardi, Eko kecil bersekolah lagi di SDN Kunti. “Saya masih ingat SPP-nya dulu itu 12 repes (rupiah, red),” katanya. Malang nasibnya, Pakde Supardi meninggal pada 1971, sehingga dia kemudian hidup bersama Bude Sumarmi. Setamat SD (1972), Eko melanjutkan studinya di SMP Srandil. Dia mengaku selalu rangking atas dalam mata pelajaran Al-jabar, Ukur dan Bahasa Inggris. Namun, keunggulan itu belum memuaskan hatinya. Dalam benaknya selalu terpikir cita-citanya sejak kelas 6 SD, yakni ingin menjadi guru agama. “Karena saya mempunyai guru agama yang sangat ganteng dan pinter saat itu. Imam Tholhah namanya,” kenang Eko. Ditambah dengan tarikan biaya sekolah yang tidak mampu dia bayar, dia akhirnya kebingungan menyelesaikan masalahnya. Hidup dengan orang lain membuatnya tidak ingin memberatkan lagi bebannya kepada orang lain.
Dia bersyukur memiliki guru Agama SMP bernama Zaeni, BA yang juga menjadi Kepala PGA Al-Mukarom Sumoroto. Di samping itu, dia juga beruntung memiliki guru Ilmu Pasti di SMP itu yang juga mengajar di PGA yang dipimpin Zaeni. Dia adalah Harno. Kepada Harno, Eko menjelaskan permasalahannya. Dia ingin pindah ke PGA. Mendengar itu, seketika, Harno membolehkan dan secepatnya Eko mengurus proses perpindahan dan bertemu Zaeni. Mudah saja, Eko diterima di PGA Al-Mukarom Sumoroto.
PGA barunya itu, jelas Eko benar-benar milik NU karena di papan namanya terpajang logo NU yang besar. Mendapat tempat belajar baru yang biayanya murah dan ber-basic NU, Eko mengaku sangat senang. Bahkan saking cintanya dengan PGA NU-nya itu, dia pernah membeli stiker besar berlogo NU. Logo itu dia lubangi mengikuti alur gambar dan dilekatkannya dikaos putihnya. Selanjutnya dia mencari dedaunan untuk digosok-gosokkan di daerah yang lubang. Begitulah caranya saat itu untuk memiliki kaos berlogo NU.
Belajar di PGA Al-Mukarom Sumoroto, dia gunakan sebagian waktunya untuk bertani dan berdagang “blantik” sapi. Di usianya yang masih muda itu dia sudah terbiasa dengan dunia sekeras itu. Lagi-lagi Eko harus berhadapan dengan permasalahan biaya. Pada masa-masa akhir belajarnya di PGA (1978) dia tidak mampu membayar biaya Ujian Negara.
Dia mencoba ke Tuban untuk menemui ibu kandungnya yang tinggal di Magersari. Bukan uang yang didapat, tapi sama-sama cerita susah yang dia lihat. Akhirnya dia bertemu dengan Pakdenya bernama Samsi Parto Yitno yang tinggal di Sambong, Doromukti, Tuban. Dengannya, Eko diminta mengurusi surat pindah dari PGA Al-Mukarom Sumoroto ke PGA 6 tahun yang lokasinya di kantor NU Tuban Jl. Diponegoro. Hidup bersama Pakde Samsi, Eko belajar sambil membantu jualan nasi pecel. Biaya ujian Eko ditanggung oleh Pakde Samsi. Dengan kondisi seperti itu, akhirnya Eko berhasil menamatkan studinya di PGA 6 tahun Tuban pada 1979-1980.
Lulus dari PGA, Unsuri Tuban cabang dari Surabaya dan SMA Mualimin berdiri di kompleks kantor NU Tuban. KH. Moertadji saat itu yang menjadi dekan. Saat berdiri itu dia mendaftar sebagai angkatan pertama Unsuri Tuban (1980). Sambil kuliah, dia diterima sebagai tenaga jaga malam dan penarik donatur SMA Mualimin. Dia akhirnya diwisuda pada 1986 dengan menyandang gelar sarjana muda (BA). Dia melanjutkan belajarnya di Unisma Tuban cabang dari Malang dan diwisuda pada 1990. Dengan demikian dia menyandang gelar S-1 jurusan Hukum Perdata. Memiliki gelar akademik, dia mengabdikan diri untuk mengajar dan menjadi kepala madrasah-sekolah diberbagai lembaga.
“Kalau mengingat kehidupan saya yang seperti itu dan melihat anak sekarang yang sekolah saja sudah digratiskan kok tidak sungguh-sungguh, hati saya sedih,” keluhnya. (hisyam)

Sampai Mati Saya di NU
Dalam bidang organisasi, Eko Sumarno tidak bisa diragukan lagi komitmenya terhadap NU. “Sampai mati saya akan di NU,” ungkapnya dalam beberapa acara. Sejarah bergelut di NU, Eko memulainya dengan menjadi Sekretaris PC LP Ma’arif NU Tuban saat dipimpin oleh H. Asnawi Amir (1983). Namun, sebelum itu (1982), dia telah menjadi full timer di MUI Tuban.
Dia pertama kali diangkat menjadi Sekretaris PCNU Tuban pada Konferensi Fusi di Jenu (1988). Saat itu Rois Syuriah dan Ketua Tanfidziyah dipegang oleh KH. A. Syifa’ dan Drs. Abdul Matin. Pada Konferensi Tanggir (1998), di mana saat itu yang menjadi Syuriah dan Tanfidziyah adalah KH. Cholilurrohman dan H. Noor Nahar Hussein, Eko ditempatkan sebagai wakil sekretaris. KH. Achmad Mundzir saat itu yang menjadi sekretaris.

Pada konferensi Langitan (1997) Eko dipilih lagi sebagai Sekretaris NU sampai sekarang (1013), meski telah berganti-ganti kepemimpinan PCNU Tuban. Dengan pengalaman menjadi sekretaris organisasi yang sedemikian lamanya, sudah tidak bisa dibantah lagi komitmenya terhadap organisasi.
Sri Subekti, istri Eko Sumarno, mengatakan bahwa sejak dulu berkecimpung di NU dan mengabdi di berbagai lembaga pendidikan, Eko jarang sekali di rumah. Dia selalu mementingkan kepentingan masyarakat dari pada kepentingan keluarga. “Karena di luar itu, ratusan masyarakat menunggu. Jadi, yang di rumah ngalah,” tutur Eko. Sri Subekti pun tetap setia dan memahami Eko sepenuhnya. Meski jarang di rumah, dia tetap mendukung suaminya untuk berkecimpung di NU. “Saya dari dulu tidak mengharapkan apa-apa dari Bapak. Asal tahu kalau keluar untuk urusan NU, saya tidak bisa melarang,” ungkapnya.
Ditanya, karakteristik Eko, Sri mengaku disiplin. “Berangkat mengajar itu, sebelum jam 7 sudah berada di sekolah. Jadi, pagi sebelum sarapan itu sudah berangkat,” ungkapnya. Sementara Eko mengaku, tanpa dukungan istri, dia tidak bisa berbuat secara total di NU.

Kini dia merasakan barokah NU. Kehidupannya yang berliku, usahanya untuk memikirkan umat telah membuatnya tenang. Kedua putrinya kini telah mengabdikan diri di instansi elit milik NU ataupun milik tokoh NU, yakni di Rumah Sakit NU (RSNU) Tuban dan di SD BAS. (hisyam)

0 komentar:

Posting Komentar