SELAMANYA NU: Nur Faeko, Sekretaris PCNU Tuban |
Di lingkungan PCNU Tuban, namanya sudah
tidak asing lagi. Dia terkenal tegas, blak-blakan dan disiplin. Sosok ini
menjabat Sekretaris PCNU Tuban sejak
1988
Sejak lahir,
namanya adalah Eko Sumarno. Dia terlahir di Dusun Bagor, Desa Kaliapang,
Kecamatan Miri, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah pada 07 Maret 1959. Buah
pernikahan dari Darmo Wiyoto dan Sukanti. Terlahir sebagai anak ke-2 dari 3
bersausara, dia memiliki kakak bernama Sulastri dan adik bernama Jasmo. Nama Eko
berubah menjadi Noor Faeko Sumarno, sejak 2003. Saat itu dia mendapat jatah
berangkat haji gratis dari PWNU Jawa Timur. Dia menjadi salah satu petugas dari
rombongan. Saat akan diberi piagam, namanya ditanya dan dia menjawab Eko
Sumarno. Ternyata nama itu perlu diganti. Mengetahui hal itu, dia ijin
berkonsultasi dulu dengan Kiai Cholilurrohman lewat telpon. Akhirnya, Kiai
Cholil merubahnya sedikit, menjadi “Noor Faeko Sumarno”. Eko beristri Sri
Subekti dan beranak 2: Lilik Handayani dan Dwi Lili Suryani. Dari kedua anak
itu, dia memiliki 2 cucu.
Pengembaraan
hidupnya sangatlah berat dan berliku. Sampai dia menemukan ketentraman
berkhidmah di dalam NU. Di masa sekolah, dia hanya sebentar belajar di SDN
Bagor. Selesai kelas 1 dan naik kelas 2, dia kemudian dibawa Pakdenya yang
bernama Supardi ke Kunthi, Sampung, Ponorogo. Supardi adalah seorang pegawai
perhutani yang beristri Sumarmi. Dalam ceritanya, ibu kandungnya Sukanti
menikah lagi dengan Sudarno dan kemudian tinggal di Desa Magersari, Plumpang,
Tuban.
Bersama keluarga
Supardi, Eko kecil bersekolah lagi di SDN Kunti. “Saya masih ingat SPP-nya dulu
itu 12 repes (rupiah, red),” katanya. Malang nasibnya, Pakde Supardi meninggal
pada 1971, sehingga dia kemudian hidup bersama Bude Sumarmi. Setamat SD (1972),
Eko melanjutkan studinya di SMP Srandil. Dia mengaku selalu rangking atas dalam
mata pelajaran Al-jabar, Ukur dan Bahasa Inggris. Namun, keunggulan itu belum
memuaskan hatinya. Dalam benaknya selalu terpikir cita-citanya sejak kelas 6
SD, yakni ingin menjadi guru agama. “Karena saya mempunyai guru agama yang
sangat ganteng dan pinter saat itu. Imam Tholhah namanya,” kenang Eko. Ditambah
dengan tarikan biaya sekolah yang tidak mampu dia bayar, dia akhirnya
kebingungan menyelesaikan masalahnya. Hidup dengan orang lain membuatnya tidak
ingin memberatkan lagi bebannya kepada orang lain.
Dia bersyukur
memiliki guru Agama SMP bernama Zaeni, BA yang juga menjadi Kepala PGA
Al-Mukarom Sumoroto. Di samping itu, dia juga beruntung memiliki guru Ilmu
Pasti di SMP itu yang juga mengajar di PGA yang dipimpin Zaeni. Dia adalah
Harno. Kepada Harno, Eko menjelaskan permasalahannya. Dia ingin pindah ke PGA. Mendengar
itu, seketika, Harno membolehkan dan secepatnya Eko mengurus proses perpindahan
dan bertemu Zaeni. Mudah saja, Eko diterima di PGA Al-Mukarom Sumoroto.
PGA barunya itu,
jelas Eko benar-benar milik NU karena di papan namanya terpajang logo NU yang
besar. Mendapat tempat belajar baru yang biayanya murah dan ber-basic NU, Eko
mengaku sangat senang. Bahkan saking cintanya dengan PGA NU-nya itu, dia pernah
membeli stiker besar berlogo NU. Logo itu dia lubangi mengikuti alur gambar dan
dilekatkannya dikaos putihnya. Selanjutnya dia mencari dedaunan untuk
digosok-gosokkan di daerah yang lubang. Begitulah caranya saat itu untuk memiliki
kaos berlogo NU.
Belajar di PGA
Al-Mukarom Sumoroto, dia gunakan sebagian waktunya untuk bertani dan berdagang
“blantik” sapi. Di usianya yang masih muda itu dia sudah terbiasa dengan dunia
sekeras itu. Lagi-lagi Eko harus berhadapan dengan permasalahan biaya. Pada
masa-masa akhir belajarnya di PGA (1978) dia tidak mampu membayar biaya Ujian
Negara.
Dia mencoba ke
Tuban untuk menemui ibu kandungnya yang tinggal di Magersari. Bukan uang yang
didapat, tapi sama-sama cerita susah yang dia lihat. Akhirnya dia bertemu
dengan Pakdenya bernama Samsi Parto Yitno yang tinggal di Sambong, Doromukti,
Tuban. Dengannya, Eko diminta mengurusi surat pindah dari PGA Al-Mukarom
Sumoroto ke PGA 6 tahun yang lokasinya di kantor NU Tuban Jl. Diponegoro. Hidup
bersama Pakde Samsi, Eko belajar sambil membantu jualan nasi pecel. Biaya ujian
Eko ditanggung oleh Pakde Samsi. Dengan kondisi seperti itu, akhirnya Eko
berhasil menamatkan studinya di PGA 6 tahun Tuban pada 1979-1980.
Lulus dari PGA,
Unsuri Tuban cabang dari Surabaya dan SMA Mualimin berdiri di kompleks kantor
NU Tuban. KH. Moertadji saat itu yang menjadi dekan. Saat berdiri itu dia
mendaftar sebagai angkatan pertama Unsuri Tuban (1980). Sambil kuliah, dia
diterima sebagai tenaga jaga malam dan penarik donatur SMA Mualimin. Dia
akhirnya diwisuda pada 1986 dengan menyandang gelar sarjana muda (BA). Dia
melanjutkan belajarnya di Unisma Tuban cabang dari Malang dan diwisuda pada
1990. Dengan demikian dia menyandang gelar S-1 jurusan Hukum Perdata. Memiliki
gelar akademik, dia mengabdikan diri untuk mengajar dan menjadi kepala
madrasah-sekolah diberbagai lembaga.
“Kalau mengingat
kehidupan saya yang seperti itu dan melihat anak sekarang yang sekolah saja
sudah digratiskan kok tidak sungguh-sungguh, hati saya sedih,” keluhnya. (hisyam)
Sampai Mati Saya di NU
Dalam bidang
organisasi, Eko Sumarno tidak bisa diragukan lagi komitmenya terhadap NU.
“Sampai mati saya akan di NU,” ungkapnya dalam beberapa acara. Sejarah bergelut
di NU, Eko memulainya dengan menjadi Sekretaris PC LP Ma’arif NU Tuban saat
dipimpin oleh H. Asnawi Amir (1983). Namun, sebelum itu (1982), dia telah
menjadi full timer di MUI Tuban.
Dia pertama kali
diangkat menjadi Sekretaris PCNU Tuban pada Konferensi Fusi di Jenu (1988).
Saat itu Rois Syuriah dan Ketua Tanfidziyah dipegang oleh KH. A. Syifa’ dan Drs.
Abdul Matin. Pada Konferensi Tanggir (1998), di mana saat itu yang menjadi
Syuriah dan Tanfidziyah adalah KH. Cholilurrohman dan H. Noor Nahar Hussein,
Eko ditempatkan sebagai wakil sekretaris. KH. Achmad Mundzir saat itu yang
menjadi sekretaris.
Pada konferensi
Langitan (1997) Eko dipilih lagi sebagai Sekretaris NU sampai sekarang (1013),
meski telah berganti-ganti kepemimpinan PCNU Tuban. Dengan pengalaman menjadi
sekretaris organisasi yang sedemikian lamanya, sudah tidak bisa dibantah lagi
komitmenya terhadap organisasi.
Sri Subekti,
istri Eko Sumarno, mengatakan bahwa sejak dulu berkecimpung di NU dan mengabdi
di berbagai lembaga pendidikan, Eko jarang sekali di rumah. Dia selalu
mementingkan kepentingan masyarakat dari pada kepentingan keluarga. “Karena di
luar itu, ratusan masyarakat menunggu. Jadi, yang di rumah ngalah,” tutur Eko.
Sri Subekti pun tetap setia dan memahami Eko sepenuhnya. Meski jarang di rumah,
dia tetap mendukung suaminya untuk berkecimpung di NU. “Saya dari dulu tidak
mengharapkan apa-apa dari Bapak. Asal tahu kalau keluar untuk urusan NU, saya
tidak bisa melarang,” ungkapnya.
Ditanya,
karakteristik Eko, Sri mengaku disiplin. “Berangkat mengajar itu, sebelum jam 7
sudah berada di sekolah. Jadi, pagi sebelum sarapan itu sudah berangkat,”
ungkapnya. Sementara Eko mengaku, tanpa dukungan istri, dia tidak bisa berbuat
secara total di NU.
Kini dia
merasakan barokah NU. Kehidupannya yang berliku, usahanya untuk memikirkan umat
telah membuatnya tenang. Kedua putrinya kini telah mengabdikan diri di instansi
elit milik NU ataupun milik tokoh NU, yakni di Rumah Sakit NU (RSNU) Tuban dan
di SD BAS. (hisyam)
0 komentar:
Posting Komentar