Kasih Nestapa
Oleh: Aghfiel Asroert
Cakrawala menampakkan wajahnya. Langit
bercengkrama memaknai tetesan hujan dari tubuhnya. Berdesir air menghujat
kehidupan di tanah gersang. Terlihat sepasang mata menatap gumpalan awan hitam,
memaknai dirinya dalam kepilauan yang sangat. Sedangkan langit masih tetap saja
mengguyur kegersangan yang tiada surut permukaanya. Matanya memandang begitu
jauh menerawang hingga tak terbayang apa yang sebenarnya ada di benaknya. Kegelisahan
memaknai deretan wajah dari pancaran dilema suraunya. Nestapa namanya.
Di ruangan yang tak begitu besar dengan
sebuah meja yang terlihat sedikit usang dengan tatanan buku di atasnya, Nestapa
tetap bersandar menatap rintihan hujan yang menghilangkan keceriaan pagi.
Gundah gulana hatinya begitu mengikat, memikul bebas asa yang begitu berat.
Sementara di belakangnya, terlihat sesosok wanita setengah baya melangkahkan
kakinya setapak demi setapak mendekati Nestapa.
“Nestapa?”
katanya seraya memegang pundak kiri Nestapa. Sedangkan Nestapa hanya diam
seribu bahasa dengan pandangan kosong.
“Nestapa..
dunia ini masih luas nak.. bunga mawar masih banyak yang bermekaran. Butiran
bibit tak akan berhenti ketika manusia terpaku hanya karena cinta. Jika kau
mau, ibu masih bisa mencarikan yang lebih baik dari Surya!” ungkap wanita
setengah baya itu yang tak lain adalah ibu Nestapa.
Sedangkan
Nestapa hanya tetap diam dalam kebisuanya. Bola matanya menatap kedinginan pagi
bercampur rintihan air langit. Perlahan matanya mengeluarkan butiran mutiara
yang begitu bening. Ibu Nestapa begitu memerhatikan kegundahan hati anaknya
itu. Perlahan Ibu Nestapa sudah mencoba membongkar kegundahan yang penuh dengan
asa dalam diri Nestapa. Dengan hembusan nafas kecil, Ibu Nestapa mencoba untuk
bersabar.
“Nestapa..
!” suaranya tersentak oleh bibir kecil Nestapa.
“Sudahlah
ibu. Biarlah Nestapa menatap jiwa Nestapa. Nestapa masih tak bisa percaya
dengan semua ini. Nestapa sebelumnya tak pernah jatuh cinta. Baru sekali ini Nestapa
membuka bunga hati Nestapa. Surya cinta pertama Nestapa ibu. Tapi kenapa, Surya
menyayat-nyayat hati Nestapa ibu?” ratapan Nestapa disertai kucuran air kecil
dari kelopak mata Nestapa.
“Nestapa
anakku. Mungkin Surya pergi karena semuanya telah menjadi senja. Ayahnya,
Ibunya, mereka telah tertimbun miliaran tanah Nestapa. Sekarang Surya harus
membanting tulang demi adiknya”.
“Tapi
haruskah dengan meninggalkan Nestapa bu..” desak Nespata.
“Ya,,
mungkin itu yang terbaik Nestapa. Perlu kamu ketahui Nestapa, bahwa cinta
sesungguhnya bukanlah dari manusia. Tapi nanti Nestapa akan mengerti dengan
sendirinya!” tutur Ibu Nestapa memutar pikiran yang berkata-kata. Sedangkan Nestapa
hanya mengangguk kecil disertai senyum kecil dari bibirnya bersama deraian air
langit yang kian surut menghilangkan jejaknya.
***
Mentari pagi begitu riuh dengan
cicauan burung di angkasa. Bola warna matanya memikat setiap insan yang bangun
dari samudra gelapnya. Terlihat burung-burung memberikan sayup merdu kicauanya.
Berbeda dengan Nestapa yang dari hari ke hari hanya diam menatap kenangan indah
bersama Surya. Sesekali kelopak matanya mengeluarkan seribu deraian kecil air
mata.
Entah
sampai kapan Nestapa seperti itu, menggeluti kesuramanya dalam mencari petak
demi petak ladang diotaknya, mencari tahu apa sebenarnya maksud Surya.
Tiba-tiba dalam lamunanya menatap
seribu dilema yang tak kunjung usai, kelopak matanya menangkap satu buah kertas
menempati kesantainya di atas tatanan kursi yang sedikit usang dengan tatanan
buku diatasnya. Perlahan dalam diri Nestapa, Nestapa merasa ingin tahu apa
sebenarnya isi dari kertas itu. Perlahan Nestapa mendekati tempat bersandarnya
kertas itu. Kemudian dibukanya perlahan-lahan. Terlihat isinya seperti sepucuk
surat. Nestapa kemudian membacanya.
Kasihku Nestapa...
Kutulis lukisan kata ini dengan sebilah
pena
Hanya ingin memberimu sedikit cucuran
kasih dariku
Jika Nestapa merasa memikul berat
jawaban yang tak kunjung usai?
Cucurkan air dengan tuntunan agama yang Nestapa
ketahui
Kemudian ambil sebuah kitab suci agama Nestapa
Buka dan bacalah
Maka segenap kegundahan akan sirna
menjadi relung kegembiraan
Memaknai ayat perkata didalamnya
Kasihmu Surya....
Perlahan Nestapa teringat akan kertas
bertuliskan mantra itu. Surya memberikanya di saat sebelum pergi jauh
meninggalkanya. Nestapa teringat akan semua kata-kata itu. Mungkin karena
begitu dalamnya relung jiwa kasih Nestapa kepada Surya, hingga sekejap mata Nestapa
melakukan apa yang tertera di surat itu. Setapak demi setapak kaki Nestapa
berayun mendekati kamar mandi yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Kesuraman
wajahnya sirna digantikan rayana embun pagi memecah kegundahan malam yang
memikat. Diputarnya penutup jalanya air hingga tsunami datang dari palaron. Nestapa
mengambil pancaran air yang keluar itu. Diusapkanya ke mukanya dengan beberapa doa
tuntunan agama hingga sampai batas mata kaki dikerjakanya. Kemudian sebuah
kecerahan warna membayanginya dalam kelopak matanya. Setapak demi setapak
kakinya menghantarkanya pada kecerahan sebuah warna. Diambilnya kecerahan warna
itu yang tak lain adalah kitab suci Nestapa. Al qur an namanya. Kemudian
sekelumit kata terucap dari bibir Nestapa.
Entah ada
kekuatan dari mana. Hati Nestapa terasa ringan, sayup kesejukan, dan kejernihan
jiwa terasa di kalbu Nestapa. Hingga lama Nestapa menatap ma’na dari ayat suci
itu, mengantarkanya pada kesucian cinta dalam dirinya.
***
Senja menancap erat di pelupuk langit
biru. Meghantarkan segalanya menjadi membisu.
Kicauan burung hilang seketika tergantikan suara mamalia yang
bersenandung dalam olah katanya. Berbeda dengen Nestapa yang bersuka ria di kala
senja. Wajahnya penuh dengan senyuman kecil, menghiasi pancaranya yang
mempesona seperti tak memikul beban penderitaan sedikit pun.
Malam itu Nestapa dari sangkarnya
merenungi keburamanya. Langkah kakinya mendekati meja tempat mengisi relung
perut yang kosong. Ibunya merasa terkaget melihat kelincahan Nestapa malam itu.
Senyum di bibirnya menunjukkan kegembiraan yang luar biasa.
“Ada apa nak kok
senyum-senyum?” tanya ibu Nestapa.
“Tidak ada
apa-apa kok buk, cuman Nestapa gembira aja karena kegelisahan pikiran Nestapa
telah terobati!”jawab Nestapa.
“Dengan apa Nestapa?”
“Dengan
menemukan cinta yang sesungguhya yang pertama dalam hidup Nestapa, memberikan
ketenangan palung jiwa Nestapa ibu!”.
“Siapa nak.
Kenalkan dong sama ibu,” kata ibu Nestapa dengan senyum ria seperti rayana
pagi.
“Bukan orang kok
buk!”
“Lalu apa Nestapa?”.
“Ketika rayana
pagi menghampiri kesendirianku, sepucuk kertas putih datang menghampiri. Kubaca
dan kulakukan apa yang tertera di dalamnya,” jelas Nestapa mengulang sejarah
cakrawalanya.
“Lalu apa isinya,
ibu ingin tahu!”.
“Isinya; Kutulis
lukisan kata ini dengan sebilah pena
Hanya ingin
memberimu sedikit cucuran kasih dariku
Jika Nestapa
merasa memikul berat jawaban yang tak kunjung usai?
Cucurkan air
dengan tuntunan agama yang Nestapa ketahui
Kemudian ambil
sebuah kitab suci agama Nestapa
Buka dan bacalah
Maka segenap
kegundahan akan sirna menjadi relung kegembiraan
Memaknai ayat
perkata di dalamnya. Kata-kata ini dari surya ibu”.
Ibu Nestapa
hanya tersenyum kecil sembari berdiri dari tempatnya bersinggah memaknai kata
syair yang keluar dari bibir kecil Nestapa. Kelopak matanya berkilau-kilau
menatap lampu neon yang menerangi kegelapan malam Nestapa dan ibunya. Dan
terucap kata indah dari wanita separuh baya itu.
“Alhamdulillah, kamu telah mendapatkan apa yang namanya
cinta abadi yang terlindungi dari ancaman tuhan. Semoga hatimu sesuci alimat
ayat penuh dengan kebersihan jiwa itu!”
“Amin…, “ ungkap
Nestapa dan ibunya memaknai malam yang sayup akan kegembiraan yang menerjang
gelapnya malam di rumah Nestapa. (*)
0 komentar:
Posting Komentar