Rabu, 30 Juli 2014

OPINI TABLOID NUsa EDISI 2


Minimnya Budaya Munulis Warga NU


Oleh: M. WAKHID QOMARI *)

Sebagai bagian dari warga NU, saya masih kurang puas, kalau tidak boleh berkata prihatin, dengan kemampuan menulis warga NU yang tersebar di desa-desa maupun kota, baik pelajar, mahasiswa sampai pegawai berkerah putih sekalipun. Saat diminta berargument dalam suatu musyawarah, banyak sekali warga nahdliyin itu yang mampu berbicara secara panjang lebar, baik yang runtut maupun yang glambyar
M. Wakhid Qomari, S.Pd
ke mana-mana sekalipun. Namun saat diminta untuk menulis secara runtut, sistematis dan panjang, sangat sedikit sekali yang mampu. Bisa dibilang mereka yang mampu menulis bisa dihitung dengan jari dari keseluruhan warga nahdliyin Indonesia dari Sabang sampai Merauke, yang jumlahnya sangat banyak. Sungguh sangat memprihatinkan, mengingat nahdliyin adalah masyarakat mayoritas di negeri ini.
Memang, cukup rumit mendapatkan kemampuan menulis. Oleh karena itu, kemampuan menulis menempati tempat yang paling prestisius dalam ilmu bahasa.
Di dalam ilmu bahasa, ada empat tingkatan kemampuan bahasa yang harus dilewati oleh orang yang berbahasa dan tingkatan itu telah tersusun secara runtut, yakni mendengar, berbicara, membaca dan menulis. Dari runtutan ini nampak sekali kemampuan menulis terletak pada bagian paling belakang. Hal ini terjadi karena memang kemampuan menulis adalah kemampuan yang paling rumit di antara kemampuan bahasa yang lain dan memang kegiatan menulis juga melibatkan beberapa tingkat tahapan kemampuan bahasa itu. Pada awalnya manusia terlahir di dunia, mereka akan mendengar. Setelah mendengar dan paham, mereka akan berucap-ucap kata, kemudian membaca-baca dan akhirnya menulis tulisan. Menulis tulisan terjadi saat manusia telah mampu mendengar, berbicara dan membaca.
Menurut Suhariyadi seorang dosen prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Unirow Tuban, apa yang orang bicarakan, betapa penting ide yang diucapkan itu, akan segera hilang ditelan keadaan apabila tidak dituliskan. Dan ide yang penting itu tidak bisa kita pelajari lagi di masa mendatang. Akan tetapi, beda halnya dengan tulisan. Tulisan tidak akan lekas hilang, bahkan akan ada terus selama tulisan itu masih ada dan bisa dibaca serta dipelajari. Ini adalah kekekalan ilmu di atas bumi ini.
Coba bayangkan ketika masa kepemimpinan kholifah Abu Bakar As-Shiddiq, di mana banyak hafidz yang dibunuh saat itu, sehingga tinggal sedikit sekali para hafidz di kalangan muslimin, ilmu yang terkandung dalam Al-Qur’an mungkin telah diobrak-abrik oleh pihak-pihak yang berkepentingan, karena sudah jarang yang menjaganya. Namun, berkat ayat-ayat yang telah tertulis dan ingatan para hafidz yang tersisa, yang kemudian berujung pada pengumpulan dan penataan ayat-ayat itu sehingga menjadi mushaf, apa yang kita lihat, sampai sekarangpun Al-Qur’an masih tetap utuh dan bisa dipelajari oleh siapapun. Oleh karenanya, kemampuan menulis adalah kemampuan yang sangat penting. Sangat penting!
Sebenarnya, kegiatan menulis sangat berkaitan dengan daya nalar (imagination), kreatifitas serta struktur fikir seseorang, yang dituangkan dalam bentuk tulisan sebagai akibat dari input yang masuk ke otak, yang kemudian berujung pada penilaian tingkat intelektualitas orang tersebut. Dan hal ini, di tubuh NU, telah ditunjukkan oleh sosok seorang KH. Abdurrahman Wahid “Gus Dur” (alm).
Gus Dur, betapa pun orang mengaguminya dari berbagai aspeknya: baik sebagai seorang kiai, budayawan, seniman, aktifis, ataupun politikus, adalah cermin bagi kita warga nahdliyin dalam dunia tulis menulis. Tulisan-tulisan beliau di berbagai media massa, selama beliau hidup, yang kini telah banyak dibukukan, menunjukkan keluasan dan keruntutan pemikiran beliau. Saat kita membaca tulisan beliau yang panjang dan padat itu, kita akan merasa berenang dalam lautan ide yang disuguhkan. Dan itu tidak terbatas pada satu aspek dari disiplin ilmu. Beliau berhasil memadukan ilmu agama dengan realitas sosial, humor, seni dan politik. Semua itu diramunya dengan apik dan menarik, dengan sentuhan religious akan tetapi tidak meng-abuse. Sehingga, saat kita membaca tulisan beliau, kita akan merasa ingin dan ingin membaca.
Namun, nampaknya, apa yang ditunjukkan Gus Dur belum mendapat respon yang menggairahkan dari kita sebagai warga NU secara umum. Kita lebih mangagumi Gus Dur sebagai sosok, sam’an wa tho’atan dalam cara berpikir, tetapi tidak mengikuti jejak beliau sebagai seorang penulis handal.
Tentu saja, kalau diminta untuk menyamai kapasitas beliau yang terlampau tinggi itu, kita jelas tidak mampu menandingi hasanah pemikiran beliau. Akan tetapi, budaya menulis yang beliau tunjukkan semestinya mampu menjadi motor penggerak semangat kita untuk menulis, betapapun jeleknya tulisan kita, apa lagi kalau kita tertakdirkan sebagai mahasiswa atau pegawai berkerah putih. Budaya menulis harus menjadi concern kita di era sekarang.
Setelah sekian lama saya bergelut dalam lingkungan nahdliyin, mulai sejak dulu masih bersekolah di SDNU Al-Falah Gajah-Baureno-Bojonegoro sampai sekarang bergelut dan berinteraksi dengan para nahdliyin di berbagai organisasi, nampaknya saya melihat ketidak mampuan warga nahdliyin untuk menulis itu karena ada keengganan sikap terhadap dunia tulis menulis. ‘Tidak mampu mengembangkan tulisan’ menjadi alasan utama kala ditanya mengapa. Alasan ini memang logis untuk menjelaskan masalah ini. Memang, mengembangkan tulisan itu sulit, kalau tidak mengerti caranya. Namun, apabila kita sudah tahu cara mengembangkan tulisan, maka dengan sendirinya masalah mandegnya ber’ide’ yang berakibat stagnannya tulisan tidak akan pernah terjadi lagi.
Tidak dapat mengembangkan tulisan terjadi, menurut saya, karena ketidak-tahuan kita akan teknik menulis yang sistimatis, kurang membaca (baik buku maupun keadaan alam dan lingkungan di sekitar kita) dan kurangnya latihan menulis.

Ketidak-tahuan Teknik Menulis Secara Sistimatis
Coba bayangkan bagaimana seseorang bisa menulis dengan baik dan runtut kalau belum memahami tekniknya. Anak yang baru belajar membaca tidak akan pernah bisa membaca kalau belum tahu teknik membaca. Huruf ‘o’ tidak mungkin dia ucapkan kalau dia belum tahu cara membacanya. Dan dia tidak akan pernah bisa membacanya kalau dia tidak berusaha belajar mengucapkannya. Tentu saja harus ada yang mengajarinya, kalau dia mau mempelajarinya. Dunia tulis menulis pun sama. Bahwa ada teknik yang harus dipelajari untuk bisa menulis dengan baik dan runtut.
Setiap jenis tulisan mempunyai karakteristiknya masing-masing, namun keruntutan tulisan tetaplah harus dijaga. Alur tulisan dengan loncatan-loncatan perubahan ide harus disampaikan secara enak dan menarik, tidak sekedar menyampaikan ide tanpa ada pengembangan yang tuntas.
Ide, bagaimanapun bentuknya, adalah pilihan yang telah dipilih oleh seorang penulis. Ide yang dipilih ini kemudian menjadi ide pokok, ide yang mendasari tulisan. Ide pokok itu akan menjadi ide utama tulisan manakala ide pokok itu telah dipecah menjadi ide-ide pokok yang lebih rinci yang kemudian dipersiapkan untuk ide-ide pokok di setiap paragraf.
Ide utama tetaplah ide utama yang akan menjadi inti tulisan, namun ide-ide pokok dalam setiap paragraf tadi harus menjadi ide-ide yang bisa dikembangkan menjadi paragraf-paragraf. Tentu saja yang harus dipahami di sini adalah pengembangan ide pokok dalam setiap paragraf itu bisa dengan penjelasan, contoh, ataupun penguatan/pendalaman. Di samping itu, dalam pengembangan paragraf itu harus tetap diperhatikan ketepatan pemilihan ide-ide pendukung. Baik penjelasan, contoh ataupun pendalaman ide pokok harus berupa ide-ide yang mampu mengembangkan dan memperjelas ide utama paragraf itu.

Kurang Membaca
Kesalahan yang kedua sebagai faktor yang menyebabkan ketidak mampuan menulis secara sitematis adalah kurangnya membaca. Padahal jelas sebagai orang Islam, lebih-lebih kita sebagai nahdliyin yang mengaku ahlussunnah, kita diminta untuk membaca. Dengan kata “Iqro’”  di dalam Al-Qur’an yang berarti bacalah, maka kita sudah dengan sendirinya diminta Allah SWT. untuk membaca.
Suharyadi bahkan mengatakan bahwa menulis dan membaca umpama dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Orang membaca tetapi tidak menulis maka ilmu yang diserapnya tidak akan tersampaikan kepada orang lain dan dengan itu maka berakibat tidak berumur lamanya ilmu yang telah susah payah didapat itu. Sebaliknya, orang menulis tetapi tidak membaca jelas tidak mungkin, karena orang bisa menulis sebagai akibat dari input yang masuk ke dalam otak melalui membaca, baik buku maupun keadaan.
Oleh karena itu, di sini, yang perlu dipahami adalah apa yang menjadi pusat adanya kegiatan menulis dan membaca adalah otak. Otak manusia umpama perut yang diisi makanan, kemudian makanan itu akan dikeluarkan manusia sesuai dengan apa yang dimakan setelah berproses. Otak pun demikian. Otak akan mengeluarkan pikiran tentang meja yang ditutupi taplak warna hijau kalau sumber informasi dari mata (dalam proses membaca lingkungan) yang masuk ke otak adalah meja yang ditutupi taplak warna hijau. Begitulah. Apa yang masuk ke otak dari proses membaca akan keluar, setelah berproses, sesuai dengan apa yang masuk tadi.
Oleh karenanya, Suhariyadi mengatakan, “Menulis tanpa membaca tidak mungkin.” Coba pikirkan bagaimana mungkin orang menulis dengan lancar kalau tidak mau membaca. Membaca di sini adalah kegiatan membaca dalam arti yang luas, yakni membaca bukan sekedar membaca buku, tetapi bisa juga berupa membaca keadaan lingkungan sekitar. Jadi intinya adalah kalau mau menulis, maka harus sering membaca. Membaca!

Kurang Latihan
Kesalahan selanjutnya adalah kurangnya latihan menulis. Menulis sebagai sesuatu yang membutuhkan proses yang begitu rumit juga harus membutuhkan latihan. Seperti yang saya ceritakan di atas, bagaimana seorang anak mampu membaca huruh ‘o’ kalau tidak pernah latihan. Sehingga latihan menjadi tangga yang sangat penting untuk menghubungkan kemampuan penguasaan teknik menulis dan wawasan sebagai akibat membaca dengan hasil tulisan. Betapapun bentuk tulisan yang tercipta, akan mengalami perbaikan terus menerus apabila terus diasah setiap waktu.

Tentu latihan menulis itu butuh niat yang tulus untuk menjadi seorang penulis. Apabila seorang hanya mengatakan kegiatan menulis hanya sebagai kegemaran saja, maka tidak lama kegiatan menulis itu akan segera berhenti dan selesai. Tidak akan berlanjut kegiatan menulis itu dengan hanya dasar kegemaran. Akan tetapi akan berbeda kalau kegiatan menulis itu dilandasi niat yang tulus untuk menjadi seorang penulis. Hal ini juga sesuai dengan apa yang diungkapkan Suhariyadi bahwa kalau kita menulis seyogyanya kita bercita-cita menjadi seorang penulis, karena hanya dengan itu kita akan mendapat kekuatan menulis. (*)

0 komentar:

Posting Komentar