Pekikkan Takbir di Depan Soekarno
Diam
mendengarkan bukan berarti tidak mengerti, tapi untuk memahami dan selanjutnya
mencari solusi masalahnya. Dengan karakter seperti itu, Ichwan Azhari (05
Oktober 1924 – 29 Juli 1989) mampu memangku bebagai jabatan pada zamannya.
Generasi NU Tuban zaman
sekarang mungkin jarang yang mengenal namanya. Padahal, sejarah mencatat bahwa
dia adalah salah satu tokoh penting dalam dinamika perjalanan PC NU Tuban.
Sebagai alumnus Pondok
Pesantren Tebu Ireng Jombang yang semasa pendidikannya di sana dia mendapat ajaran
langsung dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim As’ari, Nahdlatul Ulama seolah telah
menancap kuat dalam hatinya. Hal ini setidaknya ditunjukkan dengan berbagai
kiprahnya dalam memperjuangkan dan menjalankan roda kepengurusan PC NU Tuban, selepas
tamat dari pondok. Kendati rekam jejak pendidikannya, serta prestasi-prestasi
yang diraihnya semasa itu, kurang bisa tergali, namun, beberapa kiprahnya
semasa aktif di Jam’iyah Nahdlatul Ulama sekitar awal 1950-an hingga 1980-an
masih bisa kita rekam.
KH. Achmad Mundzir,
mantan ketua PC NU Tuban (2011-2013) yang mengulas kiprah Ichwan Azhari dalam
buku Perjalanan
NU Tuban dari Masa ke Masa, mengatakan bahwa banyak sekali kiprah
Ichwan di era 1950-an itu.
Sejak Muktamar NU
Palembang (1952) memutuskan bahwa NU keluar dari Masyumi dan berdiri sendiri
menjadi partai politik, PCNU Tuban pun langsung mengikuti keputusan tersebut.
Ada 11 tokoh NU saat itu yang mendatangi kediaman tokoh Masyumi guna
menyampaikan maksudnya, dan Ichwan Azhari adalah salah satu dari 11 tokoh NU itu.
Para tokoh NU itu adalah KH. Fatkhurrohman Kafrawi (menteri Agama RI ke-2), KH.
Raden Mustain (Bupati Tuban saat itu), KH. Ahmad Muchit Ma’sum (Kepala Depag),
KH. Murtadji (pegawai Depag), Sayid Muhammad Mahdali (kepala Kantor Pendidikan
Agama), H. Fatchurrohman Mu’thi (pedagang besar), KH. Taslim (anggota DPRD GR
Tuban), Ichwan Azhari (ketua PC NU Tuban), Azis Nur Chasan, K. Abdul Hadi dan
K. Abdul Muchit Muzadi.
Ketika keluar dari
Masyumi, menurut Mundzir, 11 orang itulah yang kemudian menjadi tim pendiri
Partai NU Tuban (1952). Semenjak berdiri sendiri, Partai NU mampu membuktikan
sebagai salah satu partai besar. Tercatat, NU Tuban pernah mendapat 9 kursi di
gedung DPRD GR Tuban (1955-1960). Jumlah itu tertinggi ke-2 setelah PKI yang
mampu memperoleh 13 kursi. Sedangkan Masyumi menempati posisi ke-4 setelah PNI
dengan 5 kursi, sementara PNI memperoleh 7 kursi. PRI saat itu hanya memperoleh
1 kursi. Dengan kebesaran NU saat itu, sampai-sampai jabatan setingkat Sekda
dijabat oleh orang NU, yakni KH. Muchit Muzadi, yang saat itu masih muda. Dari
9 kursi DPRD GR yang didapatkan Partai NU, 1 kursi diduduki oleh Ichwan Azhari.
Selain menjabat sebagai
Ketua Partai NU dan DPRD GR Tuban, Ichwan juga menjabat sebagai Ketua Persatu
(Persatuan Sepak Bola Tuban) di era 1950-an itu. “Pak Ichwan itu orang yang
tidak bisa bermain bola, tapi suka dengan sepak bola. Sampai-sampai saat itu
dia ditunjuk sebagai Ketua Persatu,” ungkap Mundzir. Bahkan, menurut Mundzir,
nama Persatu saat itu sangat disegani “Di era itu, hampir setiap desa mempunyai
lapangan sepak bola,” ungkap penulis yang menamatkan studi S-2 Komunikasi-nya
di Unitomo itu.
Ditambahkannya, ketika
Presiden Soekarno berkunjung ke Tuban (1952), dialah yang menyampaikan kata
sambutan kepada Presiden. Saat menyampaikan sambutannya, dia memekikkan takbir
sehingga membangkitkan semangat warga Tuban saat itu. Bersamaan dengan itu, dia
menerima piagam penghargaan dari Presiden Soekarno sebagai perwakilan Orsospol
Islam. (wakhid)
BalasHapusAlhamdulillah, luar biasa, smg kita, dzuriyyat kita dan dzurriyyat beliau bisa melanjutkan dakwahnya, Aamin
BalasHapusAlhamdulillah, luar biasa, smg kita, dzuriyyat kita dan dzurriyyat beliau bisa melanjutkan dakwahnya, Aamin
Alhamdulillah, ada tulisan bagus seperti ini, maturnuwun
BalasHapus