Strategi Sunan
Kalijogo Alihkan Tradisi Hindu-Budha
Allahumma Barik lana fi Rojaba wa Sy’bana wa
Ballighna Ramadhana……Kedatangan Ramadhan selalu disambut suka cita oleh umat
Islam. Berbagai kegiatan dilaksanakan untuk menyambut kedatangan bulan suci
ini. Megengan adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa, khususnya Jawa Timur,
dalam menyambut kedatangan Ramadhan. Apa makna
di balik tradisi megengan tersebut?
Megengan biasanya dilakukan menjelang minggu
terakhir di bulan Sya’ban. Di Tuban, yang memiliki ikon Bumi Wali, Megengan
dimaknai dan dilaksanakan dengan arti yang berbeda-beda. Seperti yang telah
dijelaskan oleh H. Mujami’, tokoh masyarakat Desa Sendang, Senori. “Megengan
berasal dari kata Megeng berarti menahan (ngempet) dan yang berarti sebenarnya,
mengingat bahwa sebentar lagi bulan puasa akan tiba,” tuturnya.
Dalam tradisi, Megengan juga dimanfaatkan untuk
mendoakan sesepuh ahli kubur yang telah mendahului. Megengan juga diwarnai
dengan tradisi ungkapan rasa syukur (syukuran) dengan membagi-bagi makanan.
Baik di Senori atau daerah lainya di Tuban, Megengan biasanya dilaksanakan
denga cara kondangan (mengundang orang-orang sekitar ke rumah). Berbeda istilah
dengan di kotanya (Tuban Kota), Megengan biasanya disebut dengan Mapak, yaitu
menyambut kedatangan bulan yang penuh rahmat dan ampunan ini.
Dibawa oleh
Sunan Jaga
Sebelum kedatangan Wali Songo di Jawa, tradisi Megengan
sudah ada pada pemerintahan Majapahit yakni Ruwahan, yang berasal dari kata “Ruwah”
yakni bulan urutan ketujuh yang bersamaan dengan bulan Sya’ban tahun Hijriyah.
Kata ruwah memiliki makna kata “arwah” yang berarti roh para luluhur dan nenek
moyang. Setelah kedatangan Wali Songo ke pulau Jawa, tradisi tersebut
pelan-pelan diubah dengan pelaksanaan dan nama yang berbeda.
Diyakini bahwa Sunan Kalijogo-lah salah satu Wali
Songo yang memperkenalkan tradisi Megengan ini kepada masyarakat Jawa. Tradisi
ini diperkenalkan pada saat penyebaran Islam di Jawa (Jawa Timur dan Jawa
Tengan bagian selatan). Kanjeng Sunan berdakwah pada masyarakat Jawa pedalaman
dengan menggunakan metode akulturasi budaya (proses sosial budaya). Di mana
saat itu, Megengan sebenarnya adalah pembelokan dari adat lokal. Yang mana
dahulu masih adanya tradisi sesajen dalam ruwahan yang dipersiapkan khusus
untuk arwah dan tidak boleh dimakan. Namun, adat demikian tersebut perlahan
dirubah oleh Kanjeng Sunan dengan adat Megengan yaitu sesajen dirubah dengan
shodaqah makanan, dan makanan tersebut diperuntukkan untuk dibagikan dan dimakan
bersama.
Dengan
metode tersebut Sunan Kalijogo dapat berbaur dengan masyarakat dan
memperkenalkan Megengan sebagai ganti dari ruwahan. Seperti yang telah kita
kenal selama ini, masyarakat Jawa pedalaman memiliki ikatan tradisi yang sangat
kuat dan ungguh-ungguh mereka sangat dijaga terhadap orang yang lebih tua dan
terutama pemuka agama. Namun akan sangat sulit apabila diharuskan meninggalkan
tradisi Ruwahan dan diganti dengan traidisi Islam yang berbau Arab meski Megengan
adalah syukur dan doa. Dalam hal ini pembelokan adat tersebut dianggap
masih bisa dan masih sesuai dengan syariat Islam.
“Kalau misalkan adatnya menyembah berhala,
secepatnya itu harus diberantas. Tapi, dahulu ulama menganggap adat sesajen
tersebut masih bisa dibelokkan, yaitu menjadi shodaqoh makanan kepada sesama,
tentunya dengan memberikan pemahaman aqidah kepada masyarakat terlebih dahulu,”
jelas K. Damanhuri, pengasuh PP Mambaul Huda, Rengel.
Bulan Ramadhan adalah bulan puncak, di mana sebelum
adanya bulan Ramadhan kita akan melewati beberapa tahapan di bulan sebelumnya
dan kita akan kembali fitri setelah sebulan berpuasa Ramadhan. Dan hadirnya Megengan
salah satunya ialah momentum untuk mengingat bahwa kita akan menjalani puasa selama satu
bulan. Di mana satu bulan puasa tersebut adalah menjadi bulan yang diagungkan.
Dalam tataran agama, megengan dipakai sebagai tanda
kesiapan mental menyambut Ramadhan. Salah satunya yakni latihan suka sedekah.
Karena banyak sekali keutamaan Ramadhan dibandingkan dengan bulan-bulan yang
lain. Di antaranya yaitu Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-qur’an,adanya
malam lailatul qodar, dll. Dan karena keistimewaan bulan tersebut sehingga
dijadikannya momentum yang tepat untuk memperoleh keberkahan dari Allah SWT.
Ada beberapa golongan yang berpendapat bahwa Megengan
adalah termasuk tradisi sesat. Karena megengan bukanlah sesuatu yang diajarkan
di jaman Rasulullah dan Megengan adalah perkara baru dalam agama sehingga
dikatakannya bid’ah. Namun, menurut Damanhuri para ulama ahlussunnah Wal
Jama’ah berpandangan bahwa hadits “semua bid’ah itu sesat”, adalah kata-kata
umum yang harus dibatasi jangkauannya (a’m makhsush). Oleh karena itu, maka para ulama membagi bid’ah menjadi
dua, bid’ah hassanah (baik), dan bid’ah sayyi’ah (buruk)”.
“Tidak berarti semua yang tidak diajarkan Rasulullah
adalah sesat, bahkan dapat menjadi bid’ah hassanah apabila sesuai dengan
tuntunan syara, “ tambahnya.
Seperti
halnya salah satu contoh bid’ah hassanah yaitu, pada masa Rasulullah, Abu Bakar
dan Umar adzan Jum’at dikumandangkan apabila imam telah duduk di atas mimbar.
Pada masa Ustman, kota Madinah semakin luas, populasi penduduk semakin
meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jumat sebelum imam
hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama, yang dilakukan di Zaura’,
tempat di pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan shalat
Jum’at, sebelum imam hadir ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada pada waktu
itu menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid’ah, tetapi bid’ah
hassanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum muslimin. Bisa pula
menamainnya dengan sunnah, karena Ustman termasuk Khulafaur Rasyidin yang
sunnahnya harus diikuti.
Karena itu, Damanhuri menegaskan kalau Megengan
bukanlah sesuatu yang sesat. Karena implementasi dari Megengan sendiri merujuk
kepada hikmah yang banyak. ‘’Di antaranya selain kita harus menyiapkan mental
sebelum menempuh puasa Ramadhan, kita juga diajarkan untuk saling bersodaqoh,’’
tegas K. Damanhuri. (hisyam/amin)
alhamdulillah sedikit lebih faham, dari sebelumnya saya masih awam dengan adanyanya megengan
BalasHapusTerimakasih pencerahan nya karena di daerah kami banyak sekali aliran yang membuat pemahaman menjadi bimbang tengah-tengahmasyarakat
BalasHapusSiiiip trims
BalasHapus