Jumat, 12 September 2014

Menyelamatkan Aset-Aset NU

Penulis: Syihab-Tulisan 2012

SELAMAT DAN LEPAS: Akbid NU Tuban di Jalan Diponogoro

Gedung MI ini dulu berada di bawah naungan ma'arif.


Sejumlah aset NU beralih tangan ke pihak lain. Mengapa hal itu bisa terjadi? Apa yang musti dilakukan warga NU untuk mencegahnya? Apa dampak yang bakal terjadi bila pengambilalihan itu masih terus berlanjut?

Pernahkah Anda berjalan di jalur pantura, tepatnya di Desa Panyuran, Kecamatan Palang? Jika belum pernah coba sekali-kali Anda lakukan dan tengoklah ke sebelah utara jalan. Di jantung Desa Panyuran itu berdiri dengan kokoh sebuah lembaga pendidikan, mulai dari TK Aisyiyah Bustanul Athfal, Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah dan juga Balai Kesehatannya. Namun siapa sangkah kalau itu dulunya merupakan salah satu lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU.
Dan di kota, telusurilah Jalan Sunan Kalijaga dan coba cari Yayasan Al-Fajri. Dulu itu merupakan sebuah yayasan yang dikelolah oleh warga NU. Pengurus NU Kota dan Banomnya; Muslimat, Fatayat, dan Ansor pada saat peletakkan batu pertama hadir turut merayakannya. Beberapa kegiatan besar tahunan selalu melibatkan peran serta Muslimat dan Fatayat. Tapi sekarang siapakah yang mengelolah dan memegang semua lembaga yang ada di bawah yayasan tersebut? Mereka bukanlah bagian dari warga NU, dan jelas-jelas berbeda ideologi.
Setelah itu, sedikit lebih jauh, pergilah ke Kecamatan Widang, tepatnya di Desa Kedungharjo. Di sana ada lembaga pendidikan Pondok Pesantren Salafiyah yang menaungi PAUD, TK Muslimat, MI Salafiyah, MTs Salafiyah, dan SMKN 2 Tuban kelas jauh. Awalnya semua lembaga itu dikelolah oleh warga NU dan juga MWC NU Widang. Namun sekarang terjadi konflik perebutan dengan pihak lain. Terjadilah konflik berkepanjangan yang sampai hari ini belum terselesaikan. Masing-masing pihak bersikeras untuk memiliki dan mengelola lembaga-lembaga tersebut.
Itulah contoh nyata bagaimana rawannya aset-aset yang dimiliki oleh warga NU sewaktu-waktu bisa hilang ditelan arus merebaknya golongan lain mencari kelengahan warga NU. “Tidak sedikit yang sudah beralih nama dan bersertifikat atas nama mereka, dan bukan lagi miliki warga NU,” kata Nur Chamid, ketua LWPNU PCNU Tuban resah.
Mereka tidak segan-segan masuk menyusup secara ke dalam lembaga milik warga NU. Lalu kemudian berpura-pura mengabdi secara ikhlas dan penuh tanggung jawab. Namun ketika masanya sudah tiba, ia diberi wewenang penuh untuk mengelola lembaga tersebut, maka kesempatan itu pun dimanfaatkan sebaik-baiknya. Berlahan namun pasti legalitas kepemilikan tanah atau bangunan diubah nama, atau jika belum disertifikatkan akan diatasnamakan dirinya tanpa mengadakan diskusi dengan pihak terkait. Jika sudah dalam posisi tersebut mereka pun siap “perang gerilya” dengan bantuan dari rekan-rekannya di daerah lain, bahkan dari pusat. Dan ketika sudah dalam posisi berhadap-hadapan face to face kebanyakan warga NU kalah, gigit jari penuh penyesalan meratapi sebuah kekalahan yang tragis.
“Kebanyakan kasus-kasus yang ada di Tuban seperti itu, dan itu juga berlaku di semua tingkatan dan lapisan masyarakat,” kata Ketua PCNU Tuban KH Ahmad Mundzir, saat sharring tentang aset-aset NU di PW NU Jawa Timur beberapa waktu lalu.
Contoh pertempuran sengit memperebutkan aset-aset NU dengan pihak garis keras yang paling spektakuler dan aktual adalah kasus Widang. Sampai hari ini “pertempuran” belum usai. Kedua pihak masih siaga satu untuk melanjutkan pertempuran yang lebih sengit. “Kami pun berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan bahwa warga NU siap untuk menang, tidak boleh kalah,” tegas Suwandi, salah satu staf edukatif Salafiyah Widang yang juga anggota PAC Ansor Widang.
Yang menjadi kekhawatiran Suwandi bukan karena aset itu sendiri yang harus diselamatkan, yang bangunannya sudah berdiri kokoh dan memiliki banyak anak didik, namun lebih pada harga diri dan martabat warga NU secara umum dan pengurus NU secara khusus. Jika dalam kasus tersebut pihak garis keras memenangkan perebutan maka hancurlah kekuatan NU dan hancur pula harga dirinya. Sehingga  akan menjadi bukti bahwa warga NU adalah warga yang kurang cerdas dan selalu ketinggalan zaman. “Padahal mereka hanya bertiga, dan warga NU banyak. Bahkan semua warga desa Kedungharjo berharap kepemilikan aset tersebut tetap menjadi milik NU,” tambah Suwandi.
Namun, setelah ditelusuri ternyata aset-aset tersebut belum memiliki legalitas resmi atas nama NU dan itu dimanfaatkan oleh mereka. 
Hal yang sama juga terjadi pada kasus Kerek, ada perebutan aset tanah antara nadhir (penerima wakaf) dan ahli waris. Awalnya tidak terjadi apa-apa dengan aset tersebut, semua berjalan dengan lancar dan seolah tidak akan pernah mencuat ke permukaan. Tanah dan bangunan tersebut diwakafkan atas nama NU. Tapi lagi-lagi tanpa legalitas yang jelas. Namun saat sang wakif sakit keras ahli waris menuntut balik dan minta semua aset tersebut dikembalikan kepada mereka. Seperti puncak gunung es yang mencair secara berlahan permasalah tersebut menjadi rumit. Perang pun terjadi, antara Nadhir dengan ahli waris.
Pengurus NU pun tidak tinggal diam, mereka siaga menghadapi para “perebut” itu secara jantan. Melibatkan berbagai pihak, dari kepolisian sampai ke pengacara. “Dan setelah menghabiskan dana sekitar tujuh juta kemenangan pun ada di pihak NU,” kata Nur Chamid.
Begitulah warga NU. Tidak akan tersentak untuk memperbaiki apa yang perlu ditata secara profesional sebelum terjadi benturan yang sangat keras menusuk harga diri organisasi dan masyarakat nahdliyin. Dikatannya, harus diakui bahwa secara administratif warga NU kalah dengan yang lainnya, yang notabenenya bertujuan menghabisi peran-peran penganut aliran ahlussunnah wal jamaah untuk mengajarkan faham tersebut. Dan sasarannya adalah tanah dan bangunan.
Sebagai pengurus NU yang bertugas untuk mengamankan tanah-tanah dan perwakafan di lingkungan warga NU LWPNU sudah melakukan kegiatan yang bertujuan untuk menyelamatakan aset-aset tersebut. Selama dua periode kepemimpinan PCNU Tuban LWPNU melakukan sosialisasi ke seluruh kecamatan. Mengimbau semua MWC NU agar membentuk nadhir, pihak yang menerima wakaf dari wakif (orang yang mewakafkan tanah atau bangunan).
“Sosialisasi kami tentang pentingnya legalitas kepemilikan tanah maupun bangunan atas nama lembaga agar tidak terjadi cekcok dikemudian hari, seperti kasus-kasus yang sudah terjadi,” tambah Nur Chamid.
Namun selama dua periode itu mayoritas warga NU belum tersetak untuk memperbaiki aset-aset tersebut menjadi miliki NU, dalam arti memiliki legalitas secara formal atas nama Nahdlatul Ulama. Hanya sedikit saja mereka yang sadar akan pentingnya legalitas tanah dan bangunan. Misalnya MWC NU Tuban kota yang sudah mewakafkan atas nama NU kurang lebih 25 bangunan berupa masjid dan musholla. Disusul dengan Grabagan sekitar ada 5 bangunan dan tanah.
Kami salut dengan Grabagan, sebagai MWC NU yang paling muda mereka sudah memahami pentingnya penyelamatan aset-aset NU sejak dini,” puji Nur Chamid.
Dari semua kasus yang terjadi, di mana berdampak pada hilangnya aset-aset NU dan beralih tangan ke “orang lain”, siapakah yang patut disalahkan? Tentu tidak perlu ada yang disalahkan. Namun harus ada tindakan nyata dari warga NU yang bersinergi dengan pengurus NU di semua tingkatan. Jangan sampai ada lagi kasus “pencurian” aset warga NU di kabupaten Tuban.

Hari ini mungkin warga NU masih bisa bangga dengan jumlah musholla dan masjid-masjid desa yang sebagian besar menyatakan dirinya milik NU (tentu saja tanpa legalitas). Akan tetapi di 20 tahun yang akan datang, jika mental, kinerja dan cara berpikir warga NU masih seperti ini jangan berharap ke depan NU masih bisa mengklaim sebagai warga terbesar di Indonesia. (syihab)

0 komentar:

Posting Komentar