Penulis: Syihab-Tulisan 2012
SELAMAT DAN LEPAS: Akbid NU Tuban di Jalan Diponogoro
Gedung MI ini dulu berada di bawah naungan ma'arif. |
Sejumlah
aset NU beralih tangan ke pihak lain. Mengapa hal itu bisa terjadi? Apa yang
musti dilakukan warga NU untuk mencegahnya? Apa dampak yang bakal terjadi bila
pengambilalihan itu masih terus berlanjut?
Pernahkah
Anda
berjalan di jalur pantura, tepatnya di Desa
Panyuran, Kecamatan Palang? Jika belum pernah coba
sekali-kali Anda
lakukan dan tengoklah ke sebelah utara jalan. Di jantung Desa Panyuran itu berdiri dengan kokoh
sebuah lembaga pendidikan, mulai dari TK Aisyiyah Bustanul Athfal, Madrasah
Ibtidaiyah Muhammadiyah dan juga Balai Kesehatannya. Namun siapa sangkah kalau
itu dulunya merupakan salah satu lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU.
Dan di kota,
telusurilah Jalan
Sunan
Kalijaga
dan coba cari Yayasan
Al-Fajri. Dulu itu merupakan sebuah yayasan
yang dikelolah oleh warga NU. Pengurus NU Kota dan Banomnya; Muslimat, Fatayat,
dan Ansor pada saat peletakkan batu pertama hadir turut merayakannya. Beberapa
kegiatan besar tahunan selalu melibatkan peran serta Muslimat dan Fatayat. Tapi
sekarang siapakah yang mengelolah dan memegang semua lembaga yang ada di bawah yayasan tersebut?
Mereka bukanlah bagian dari warga NU, dan jelas-jelas berbeda ideologi.
Setelah itu, sedikit lebih jauh, pergilah ke Kecamatan Widang, tepatnya di Desa Kedungharjo. Di sana ada lembaga
pendidikan Pondok
Pesantren
Salafiyah yang menaungi PAUD, TK Muslimat, MI Salafiyah, MTs Salafiyah, dan
SMKN 2 Tuban kelas jauh. Awalnya
semua lembaga itu dikelolah oleh warga NU dan juga MWC NU Widang. Namun sekarang
terjadi konflik perebutan dengan pihak lain.
Terjadilah konflik berkepanjangan yang sampai hari ini belum terselesaikan.
Masing-masing pihak bersikeras untuk memiliki dan mengelola lembaga-lembaga
tersebut.
Itulah
contoh nyata bagaimana rawannya aset-aset yang dimiliki oleh warga NU
sewaktu-waktu bisa hilang ditelan arus merebaknya golongan lain mencari
kelengahan warga NU. “Tidak sedikit yang sudah beralih nama dan bersertifikat
atas nama mereka, dan bukan lagi miliki warga NU,” kata Nur Chamid, ketua LWPNU
PCNU Tuban resah.
Mereka
tidak segan-segan masuk menyusup secara ke dalam lembaga milik warga NU. Lalu
kemudian berpura-pura mengabdi secara ikhlas dan penuh tanggung jawab. Namun
ketika masanya sudah tiba, ia diberi wewenang penuh untuk mengelola lembaga
tersebut, maka kesempatan itu pun dimanfaatkan sebaik-baiknya. Berlahan namun
pasti legalitas kepemilikan tanah atau bangunan diubah nama, atau jika belum
disertifikatkan akan diatasnamakan dirinya tanpa mengadakan diskusi dengan
pihak terkait. Jika sudah dalam posisi tersebut mereka pun siap “perang
gerilya” dengan bantuan dari rekan-rekannya di daerah lain, bahkan dari pusat.
Dan ketika sudah dalam posisi berhadap-hadapan face to face kebanyakan warga NU kalah, gigit jari penuh penyesalan
meratapi sebuah kekalahan yang tragis.
“Kebanyakan
kasus-kasus yang ada di Tuban seperti itu, dan itu juga berlaku di semua
tingkatan dan lapisan masyarakat,” kata
Ketua
PCNU Tuban KH Ahmad
Mundzir, saat sharring tentang
aset-aset NU di PW NU
Jawa Timur beberapa
waktu lalu.
Contoh
pertempuran sengit memperebutkan aset-aset NU dengan pihak garis keras yang
paling spektakuler dan aktual adalah kasus Widang. Sampai hari ini
“pertempuran” belum usai. Kedua pihak masih siaga satu untuk melanjutkan
pertempuran yang lebih sengit. “Kami pun berjuang sekuat tenaga untuk
mempertahankan bahwa warga NU siap untuk menang, tidak boleh kalah,” tegas
Suwandi, salah satu staf edukatif Salafiyah Widang yang juga anggota PAC Ansor
Widang.
Yang
menjadi kekhawatiran Suwandi bukan karena aset itu sendiri yang harus
diselamatkan, yang bangunannya sudah berdiri kokoh dan memiliki banyak anak
didik, namun lebih pada harga diri dan martabat warga NU secara umum dan
pengurus NU secara khusus. Jika dalam kasus tersebut pihak garis keras
memenangkan perebutan maka hancurlah kekuatan NU dan hancur pula harga dirinya.
Sehingga akan menjadi bukti bahwa warga
NU adalah warga yang kurang cerdas dan selalu ketinggalan zaman. “Padahal
mereka hanya bertiga, dan warga NU banyak. Bahkan semua warga desa Kedungharjo
berharap kepemilikan aset tersebut tetap menjadi
milik NU,” tambah Suwandi.
Namun, setelah
ditelusuri ternyata aset-aset tersebut belum memiliki legalitas resmi atas nama
NU dan itu dimanfaatkan oleh mereka.
Hal
yang sama juga terjadi pada kasus Kerek, ada perebutan aset tanah antara nadhir (penerima
wakaf) dan
ahli waris. Awalnya tidak terjadi apa-apa dengan aset tersebut, semua berjalan
dengan lancar dan seolah tidak akan pernah mencuat ke permukaan. Tanah dan
bangunan tersebut diwakafkan atas nama NU. Tapi lagi-lagi tanpa legalitas yang
jelas. Namun saat sang wakif sakit keras ahli waris menuntut balik dan minta
semua aset tersebut dikembalikan kepada mereka. Seperti puncak gunung es yang
mencair secara berlahan permasalah tersebut menjadi rumit. Perang pun terjadi,
antara Nadhir dengan ahli waris.
Pengurus
NU pun tidak tinggal diam, mereka siaga menghadapi para “perebut” itu secara
jantan. Melibatkan berbagai pihak, dari
kepolisian sampai ke pengacara. “Dan setelah menghabiskan dana sekitar tujuh
juta kemenangan pun ada di pihak NU,” kata
Nur Chamid.
Begitulah
warga NU. Tidak
akan tersentak untuk memperbaiki apa yang perlu ditata secara profesional
sebelum terjadi benturan yang sangat keras menusuk harga diri organisasi dan
masyarakat nahdliyin. Dikatannya, harus diakui bahwa secara administratif warga
NU kalah dengan yang lainnya, yang notabenenya bertujuan menghabisi peran-peran
penganut aliran ahlussunnah wal jamaah untuk
mengajarkan faham tersebut. Dan sasarannya adalah tanah dan bangunan.
Sebagai
pengurus NU yang bertugas untuk mengamankan tanah-tanah dan perwakafan di
lingkungan warga NU LWPNU sudah melakukan kegiatan yang bertujuan untuk
menyelamatakan aset-aset tersebut. Selama dua periode kepemimpinan PCNU Tuban
LWPNU melakukan sosialisasi ke seluruh kecamatan. Mengimbau semua MWC NU agar
membentuk nadhir,
pihak yang menerima wakaf dari wakif (orang yang mewakafkan tanah atau
bangunan).
“Sosialisasi
kami tentang pentingnya legalitas kepemilikan tanah maupun bangunan atas nama
lembaga agar tidak terjadi cekcok dikemudian hari, seperti kasus-kasus yang
sudah terjadi,” tambah
Nur Chamid.
Namun
selama dua periode itu mayoritas warga NU belum tersetak untuk memperbaiki
aset-aset tersebut menjadi miliki NU, dalam arti memiliki legalitas secara
formal atas nama Nahdlatul Ulama. Hanya sedikit saja mereka yang sadar akan
pentingnya legalitas tanah dan bangunan. Misalnya MWC NU Tuban kota yang sudah
mewakafkan atas nama NU kurang lebih 25 bangunan berupa masjid dan musholla.
Disusul dengan Grabagan sekitar ada 5 bangunan dan tanah.
“Kami salut dengan
Grabagan, sebagai MWC NU yang paling muda mereka sudah memahami pentingnya
penyelamatan aset-aset NU sejak dini,” puji
Nur Chamid.
Dari
semua kasus yang terjadi, di mana
berdampak pada hilangnya aset-aset NU dan beralih tangan ke “orang lain”, siapakah yang patut
disalahkan? Tentu tidak perlu ada yang disalahkan. Namun harus ada tindakan
nyata dari warga NU yang bersinergi dengan pengurus NU di semua tingkatan. Jangan sampai
ada lagi kasus “pencurian” aset warga NU di kabupaten Tuban.
Hari
ini mungkin warga NU masih bisa bangga dengan jumlah musholla dan masjid-masjid
desa yang sebagian besar menyatakan dirinya milik NU (tentu saja tanpa
legalitas). Akan tetapi di 20 tahun yang akan datang, jika mental, kinerja dan
cara berpikir
warga NU masih seperti ini jangan berharap ke depan NU masih
bisa mengklaim
sebagai warga terbesar di Indonesia. (syihab)
0 komentar:
Posting Komentar