Jumat, 23 Mei 2014

JEDA NUsa EDISI 11//Kurikulum 2013



Ketika Mendiknas M. Nuh diwawancarai Majalah Mingguan Tempo perihal kurikulum 2013, saya sangat tertarik membaca sampai tuntas. Dalam wawancara itu, menteri berlatar belakang nahdliyin ini bicara soal kurikulum baru (20013).
Pak Nuh mengungkapkan kalau pembuatan kurikulum 2013 tidak hanya melibatkan para akademisi. Namun juga budayawan, ulama, praktisi pendidikan dan lain sebagainya. Pemerintah ingin agar kurikulum ini lebih bisa benar-benar mencakup segala aspek kehidupan manusia sehingga bisa membentuk karakter manusia Indonesia unggul.
Dengan sedikit kurang nyaman, Pak Nuh mengungkapkan, semestinya dia ingin menghindari perubahan kurikulum itu. Dia tak ingin semakin memberikan pembenaran: ganti menteri ganti kurikulum. Namun, itu terpaksa dilakukan. Kurikulum sebelumnya dianggap terlalu membebani siswa dengan materi yang lebih condong ke aspek intelektual. Pembentukan karakter siswa, kurang mendapatkan porsi yang memadai.
Jadi, titik tekan dari kurikulum 2013 ini adalah pembentukan karakter. Dari kurikulum ini diharapkan lahir anak-anak Indonesia yang berkarakter baik. Yakni, anak-anak yang bisa memiliki kepedulian kepada sesama, mau berkorban, tidak egois, memiliki rasa cinta pada tanah air, besikap mandiri, kreatif, inovatif, ulet, sabar, memiliki komitmen pada kebenaran, memiliki kematangan emosional, berjiwa disiplin, bertanggung jawab, jujur dan lainnya.
Intinya, kalau saya menggunakan term Islam, kurikulum besutan tim Pak Nuh ini menginginkan lahirnya anak-anak bangsa yang berakhlakul karimah. Sungguh ini tujuan mulia! Bukankah misi terbesar Nabi Muhammad SAW adalah agar umat manusia berakhlak mulia?
Manusia tak ubahnya binatang. Hanya akal budilah yang membadakannya. Binatang tidak akan pernah mencuri makanan untuk ditimbun guna persediaan makanan tujuh turunan. Namun manusia, bisa mencuri harta sesama (harta rakyat) demi kepentingan kemewahan dan kepentingan anak cucunya entah sampai keturunan ke berapa.
Di sinilah peran karakter yang baik atau akhlak mulia menjadi sangat penting. Di tangan-tangan manusia yang beraklak baik, alam ini akan terjaga, negara ini akan terawat dengan baik, kehidupan masyarakat akan tentram, hukum akan tegak. Namun sayang, kini banyak manusia yang telah terbius oleh nafsu duniawiyahnya sehingga berkarater rakus, malas bekerja tapi ingin hidup enak, culas, tidak jujur, tega kepada sesama dan lain sebagainya.    
Demi meminimalisir perilaku buruk yang sekarang semakin jadi tren di negeri inilah, kurikulum 2013 dibuat. Dalam kurikulum itu, penekanan pada pembentukan karakter anak didik yang baik mendapatkan porsi yang cukup besar. Jumlah mata pelajaran semakin dikurangi. Beberapa mata pelajaran diintegrasikan dengan mata pelajaran lain. Untuk tingkat dasar (SD/MI), Bahasa Inggris yang trennya kian hari kian mendapatkan porsi besar dan dianggap semakin melunturkan semangat nasionalisme, ditiadakan.
Namun,  kendati mata pelajarannya berkurang, tapi jam belajar siswa di sekolah tidak berkurang. Sebaliknya malah bertambah. Penambahan jam belajar siswa tersebut, dimaksudkan untuk lebih banyak mengasah karakter siswa. Di sinilah, inti dari spirit kurikulum 2013 tersebut.
Tentu ada yang setuju, ada yang menolak. Saya berusaha untuk tidak masuk pada dua kubu ekstrim ini. Namun, saya memberikan apresiasi atas kesadaran yang muncul di balik gagasan tersebut. Lembaga pendidikan kita memang telah terjebak pada idiologi materialisme. Peran sekolah untuk mengambil bagian dalam pembentukan karakter masyarakat, makin hari makin kehilangan peran.
Akan tapi, benarkah kehadiran kurikulum 2013 bakal menjadi jawaban? Saya berharap, tapi tidak terlalu optimistis. Kurikulum adalah alat. Maksimal tidaknya fungsi sebuah alat sangat bergantung pada manusia-manusia yang berada di balik alat tersebut.
Nabi Muhammad SAW berhasil membentuk karakter bangsa Arab yang jahiliyah menjadi masyarakat yang beradap, karena beliau merupakan suri tauladan yang baik. Nabi adalah orang yang berkarakter luar biasa istimewa. Allah SWT pun mengakui soal keunggulan akhlak atau karakter Nabi tersebut.
Pembentukan karakter masyarakat yang baik, dibutuhkan keteladanan yang luar biasa. Tidak cukup teori. Sekarang yang jadi pertanyaan, sejauh mana akhlak dan karakter guru-guru kita, pejabat-pejabat penyelenggara pendidikan kita? Bisakah mereka menjadi tauladan? Rasanya, kian hari kian sulit mencari sosok guru yang ideal seperti itu. Program sertifikasi yang semula dimaksudkan untuk memperbaiki karakter dan kemampuan guru, pada prakteknya belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Manipulasi banyak dilakukan. Sikap konsumtif dan materialis, seakan semakin dimanjakan oleh uang hasil sertifikasi tersebut.
Kondisi memprihatinkan tersebut  adalah cerminan umum bangsa ini. Di negeri yang merupakan muslim terbesar di dunia ini, sekarang semakin sulit mencari suri tauladan. Para pimpinan –baik formal maupun non formal--yang seharusnya menjadi panutan umat, banyak mempertontonkan perilaku yang tidak sepantasnya. Mencuri harta rakyat (korupsi) seakan bukan aib lagi. Prakek suap menyuap demi memperebutkan sebuah jabatan –khususnya pada musim pemilu--, sudah jamak terlihat.
Jika menengok kondisi seperti itu dan membandingkan dengan karakter nabi ketika membangun sebuah bangsa, maka dengan berat hati saya menjadi pesimistis. Memang melahirkan sosok istimewa seperti nabi adalah sebuah utopia (kemustahilan). Namun, paling tidak, jika kita ingin generasi bangsa ini berkarakter atau berakhlak baik, maka keteladanan dari generasi yang tua harus ada. Keberhasilan membentuk karakter siswa (generasi penerus) tidak hanya tanggung jawab guru di sekolah. Tapi, menjadi tanggung jawab kolektif dari orang tua yang ada di rumah, dan masyarakat di mana anak itu tinggal.
Jadi, yang harus ditumbuhkan sekarang adalah gerakan untuk kembali ke akhlakul karimah. Mari kita dengan kekuatan masing-masing mengambil bagian untuk mengikhtiarkan  agar masyarakat yang berakhlakul karimah tersebut pelan-pelan terwujud. Mulailah dari diri sendiri dan lingkungan terdekat kita. (*)

0 komentar:

Posting Komentar