Ketika Mendiknas M. Nuh
diwawancarai Majalah Mingguan Tempo perihal
kurikulum 2013, saya sangat tertarik membaca sampai tuntas. Dalam wawancara
itu, menteri berlatar belakang nahdliyin ini bicara soal kurikulum baru (20013).
Pak Nuh mengungkapkan kalau
pembuatan kurikulum 2013 tidak hanya melibatkan para akademisi. Namun juga
budayawan, ulama, praktisi pendidikan dan lain sebagainya. Pemerintah ingin
agar kurikulum ini lebih bisa benar-benar mencakup segala aspek kehidupan
manusia sehingga bisa membentuk karakter manusia Indonesia unggul.
Dengan sedikit kurang nyaman, Pak
Nuh mengungkapkan, semestinya dia ingin menghindari perubahan kurikulum itu. Dia
tak ingin semakin memberikan pembenaran: ganti menteri ganti kurikulum. Namun,
itu terpaksa dilakukan. Kurikulum sebelumnya dianggap terlalu membebani siswa
dengan materi yang lebih condong ke aspek intelektual. Pembentukan karakter
siswa, kurang mendapatkan porsi yang memadai.
Jadi, titik tekan dari kurikulum
2013 ini adalah pembentukan karakter. Dari kurikulum ini diharapkan lahir
anak-anak Indonesia yang berkarakter baik. Yakni, anak-anak yang bisa memiliki
kepedulian kepada sesama, mau berkorban, tidak egois, memiliki rasa cinta pada
tanah air, besikap mandiri, kreatif, inovatif, ulet, sabar, memiliki komitmen
pada kebenaran, memiliki kematangan emosional, berjiwa disiplin, bertanggung
jawab, jujur dan lainnya.
Intinya, kalau saya menggunakan
term Islam, kurikulum besutan tim Pak Nuh ini menginginkan lahirnya anak-anak
bangsa yang berakhlakul karimah. Sungguh ini tujuan mulia! Bukankah misi
terbesar Nabi Muhammad SAW adalah agar umat manusia berakhlak mulia?
Manusia tak ubahnya binatang. Hanya
akal budilah yang membadakannya. Binatang tidak akan pernah mencuri makanan
untuk ditimbun guna persediaan makanan tujuh turunan. Namun manusia, bisa
mencuri harta sesama (harta rakyat) demi kepentingan kemewahan dan kepentingan
anak cucunya entah sampai keturunan ke berapa.
Di sinilah peran karakter yang baik
atau akhlak mulia menjadi sangat penting. Di tangan-tangan manusia yang
beraklak baik, alam ini akan terjaga, negara ini akan terawat dengan baik,
kehidupan masyarakat akan tentram, hukum akan tegak. Namun sayang, kini banyak
manusia yang telah terbius oleh nafsu duniawiyahnya sehingga berkarater rakus,
malas bekerja tapi ingin hidup enak, culas, tidak jujur, tega kepada sesama dan
lain sebagainya.
Demi meminimalisir perilaku buruk
yang sekarang semakin jadi tren di negeri inilah, kurikulum 2013 dibuat. Dalam
kurikulum itu, penekanan pada pembentukan karakter anak didik yang baik
mendapatkan porsi yang cukup besar. Jumlah mata pelajaran semakin dikurangi.
Beberapa mata pelajaran diintegrasikan dengan mata pelajaran lain. Untuk
tingkat dasar (SD/MI), Bahasa Inggris yang trennya kian hari kian mendapatkan
porsi besar dan dianggap semakin melunturkan semangat nasionalisme, ditiadakan.
Namun, kendati mata pelajarannya berkurang, tapi jam
belajar siswa di sekolah tidak berkurang. Sebaliknya malah bertambah.
Penambahan jam belajar siswa tersebut, dimaksudkan untuk lebih banyak mengasah karakter
siswa. Di sinilah, inti dari spirit kurikulum 2013 tersebut.
Tentu ada yang setuju, ada yang menolak.
Saya berusaha untuk tidak masuk pada dua kubu ekstrim ini. Namun, saya
memberikan apresiasi atas kesadaran yang muncul di balik gagasan tersebut.
Lembaga pendidikan kita memang telah terjebak pada idiologi materialisme. Peran
sekolah untuk mengambil bagian dalam pembentukan karakter masyarakat, makin
hari makin kehilangan peran.
Akan tapi, benarkah kehadiran
kurikulum 2013 bakal menjadi jawaban? Saya berharap, tapi tidak terlalu
optimistis. Kurikulum adalah alat. Maksimal tidaknya fungsi sebuah alat sangat
bergantung pada manusia-manusia yang berada di balik alat tersebut.
Nabi Muhammad SAW berhasil
membentuk karakter bangsa Arab yang jahiliyah menjadi masyarakat yang beradap,
karena beliau merupakan suri tauladan yang baik. Nabi adalah orang yang
berkarakter luar biasa istimewa. Allah SWT pun mengakui soal keunggulan akhlak
atau karakter Nabi tersebut.
Pembentukan karakter masyarakat
yang baik, dibutuhkan keteladanan yang luar biasa. Tidak cukup teori. Sekarang
yang jadi pertanyaan, sejauh mana akhlak dan karakter guru-guru kita,
pejabat-pejabat penyelenggara pendidikan kita? Bisakah mereka menjadi tauladan?
Rasanya, kian hari kian sulit mencari sosok guru yang ideal seperti itu.
Program sertifikasi yang semula dimaksudkan untuk memperbaiki karakter dan
kemampuan guru, pada prakteknya belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Manipulasi
banyak dilakukan. Sikap konsumtif dan materialis, seakan semakin dimanjakan
oleh uang hasil sertifikasi tersebut.
Kondisi memprihatinkan tersebut adalah cerminan umum bangsa ini. Di negeri
yang merupakan muslim terbesar di dunia ini, sekarang semakin sulit mencari
suri tauladan. Para pimpinan –baik formal maupun non formal--yang seharusnya
menjadi panutan umat, banyak mempertontonkan perilaku yang tidak sepantasnya.
Mencuri harta rakyat (korupsi) seakan bukan aib lagi. Prakek suap menyuap demi
memperebutkan sebuah jabatan –khususnya pada musim pemilu--, sudah jamak
terlihat.
Jika menengok kondisi seperti itu
dan membandingkan dengan karakter nabi ketika membangun sebuah bangsa, maka
dengan berat hati saya menjadi pesimistis. Memang melahirkan sosok istimewa
seperti nabi adalah sebuah utopia (kemustahilan). Namun, paling tidak, jika
kita ingin generasi bangsa ini berkarakter atau berakhlak baik, maka
keteladanan dari generasi yang tua harus ada. Keberhasilan membentuk karakter
siswa (generasi penerus) tidak hanya tanggung jawab guru di sekolah. Tapi,
menjadi tanggung jawab kolektif dari orang tua yang ada di rumah, dan
masyarakat di mana anak itu tinggal.
Jadi, yang harus ditumbuhkan
sekarang adalah gerakan untuk kembali ke akhlakul karimah. Mari kita dengan
kekuatan masing-masing mengambil bagian untuk mengikhtiarkan agar masyarakat yang berakhlakul karimah
tersebut pelan-pelan terwujud. Mulailah dari diri sendiri dan lingkungan
terdekat kita. (*)
0 komentar:
Posting Komentar