Dalam
buku, Mengapa Memilih NU?, KH A. Wahid Hasyim mengungkapkan soal
minimnya akademisi (kaum terpelajar) di lingkungan NU. ‘’Mencari akademisi di
dalam NU adalah ibaratnya seperti mencari orang berjualan es pada waktu jam
satu malam,’’ ungkap ayah kandung Gus Dur ini. Pernyataan itu beliau sampaikan di
awal-awal negeri ini membangun, setelah memperoleh kemerdekaan, tepatnya 1953.
Jadi,
itu dulu. 59 tahun lalu! Sekarang mah…,
jaman telah berubah. Mencari kaum terpelajar di lingkungan NU sangat mudah,
sama mudahnya dengan mencari penjual es saat ini pada pukul satu malam. Banyak
kiai pengasuh pesantren yang bergelar sarjana, master, doktor, bahkan profesor.
Ketika
masih nguri-nguri Komunitas Tabayyun bersama Prof Dr
Nursyam (kini Dirjen Perguruan Tinggi Kakandepag Pusat) di Surabaya, saya
menemukan fakta yang sangat mengagumkan. Ketika kita ‘’iseng-iseng’’
mengumpulkan para akademisi yang berlatar belakang NU di sejumlah perguruan
tinggi di Surabaya, terkumpul sekitar 60-an doktor dan profesor.
Itu
baru Surabaya. Bagaimana bila seluruh Indonesia? Tentu jumlahnya sangat besar.
Itu realitas sosial! NU bukan lagi kaum tradisional. Bila dulu ada yang
mengkatagorikan bahwa ‘’ormas tetangga’’ adalah organisasi Islam modern dan NU
adalah organisasi Islam tradisional, rasanya kini tidak relevan lagi. Itu
kesimpulan jadul (jaman dulu)! Kesimpulan yang sudah harusnya ditinjau ulang.
Lalu,
apa kira-kira yang juga mengalami perubahan seiring dengan perubahan tingkat
pendidikan warga NU tersebut? Tentu banyak. Perubahan budaya, ekonomi, sosial
yang sangat terkait dengan pola hidup, gaya hidup dan orientasi hidup. Dalam
strata sosial, mereka yang bergelar sarjana, master, doktor dan profesor adalah
kalangan kelas menengah. Orientasi hidup, gaya hidup dan kebutuhan hidup kelas menengah
berbeda dengan kelas bawah.
Jadi
yang patut digarisbawahi saat ini, entah disadari atau tidak, entah diinginkan
atau tidak, sekarang telah terjadi perubahan budaya di sebagian warga NU.
Perubahan itu menyangkut segala aspek kehidupan. Dalam hal pendidikan misalnya,
mereka menginginkan agar anak-anak mereka bisa sekolah di lembaga-lembaga
pendidikan yang menjanjikan kualitas baik. Biaya mahal, bagi kelompok ini tidak
ada masalah. Mereka mampu membayar, yang penting anak mereka menikmati proses
belajar mengajar yang berkualitas.
Sekarang,
sekolah-sekolah Islam terpadu (full day
school) yang membutuhkan ongkos mahal,
dibanjiri banyak peminat, termasuk dari anak-anak kelas menengah NU.
Sayang sekolah-sekolah macam itu yang dikelola NU masih sangat minim. Jauh
tertinggal bila dibandingkan dengan yang dimiliki ormas lain. Sementara di
pihak lain, pesantren salaf yang banyak dimiliki NU, kini minim peminat. Bila
toh masih ada, biasanya hanya dari anak-anak orang NU pedesaan atau kalangan
bawah.
Dalam
hal pesantren salaf ini, menurut saya, kita sering tidak jujur. Kita –termasuk
mereka yang menjadi petinggi NU—sering mengatakan bahwa lembaga pendidikan ini merupakan
lembaga pendidikan yang baik. Puja-puji pun selalu diberikan. Namun, ketika
menyekolahkan anak, teramat sedikit yang mengirim ke pesantren. Padahal menurut
saya, sikap dan kebijakan yang diambil atas anak adalah kejujuran yang
sebenarnya.
Dalam
hal pendidikan ini, saya rasa sudah saatnya warga NU jujur pada diri sendiri.
Kalau memang lembaga pesantren dinilai tidak memadai lagi untuk pendidikan
anak-anak kita, maka ayo bersama-sama diperbaiki dan diperbaharui. Kita tidak
perlu terus berpura-pura. Pondok pesantren yang merupakan peninggalan walisongo
adalah lembaga pendidikan yang sangat hebat dan modern di jamannya. Namun,
untuk konteks sekarang, tentu perlu adanya pembaharuan dan pembenahan.
Lalu
bagaimana dalam berorganisasi? Sama halnya dalam pendidikan, kelas menengah NU juga
menuntut adanya perubahan, baik dalam hal ketertiban, akuntabilitas,
kedisiplinan, dan profesionalitas. Tidak bisa lagi, misalnya, rapat yang
tertera di undangan pukul 13.00 WIB, namun kenyataannya baru dimulai pada pukul
15.00 WIB. Kalau tidak telat katanya bukan NU! Begitu juga akuntabilitas, dan
profesionalitas. Harus ada pertanggungjawaban moral dan kerja yang nyata,
terukur dan terencana. Rasanya tidak tepat lagi, seseorang menjabat sekian
banyak jabatan di NU, namun dia hanya hadir pada saat pelantikan dan ‘’hidup’’
lagi saat akan ada pergantian kepengurusan empat atau lima tahun kemudian.
Mungkin,
tuntutan perubahan dari kalangan menengah NU ini, tidak terdengar secara nyata.
Namun bisa kita rasakan. Mereka yang mulai tidak bisa menahan kesabaran,
pelan-pelan bergeser merapat ke kelompok lain. Dan ini, menurut saya, yang
menjadi salah satu prakondisi yang menjadikan pertumbuhan dan perkembangan
‘’kelompok lain’’ cukup subur. Kelompok lain ini, bisa menyajikan lembaga
pendidikan, tata organisasi dan gaya hidup yang ‘’khas rasa’’ kelas menengah.
Hal ini, menjadi fenomena massif di banyak kota besar.
Jadi,
menurut saya, kita harus rela berubah dan secara sadar melakukan perubahan.
Kita harus berupaya menanggalkan brand
tradisional, brand ndeso dan miskin
yang selama ini kita pelihara. Ketika kita hendak mendirikan sekolah misalnya,
coba kita tanggalnya sesaat bayangan bahwa warga NU ini miskin, maka sekolah
yang didirikan adalah sekolah ala kadarnya yang penting biayanya murah.
Sekali-kali kita pasang target maksimal, sekolah berkualitas hebat, kendati
harus agak mahal.
Ini
bukan berarti kita mengabaikan realitas bahwa warga NU juga masih banyak kelas
bawah. Mereka harus kita pikirkan dan dibantu agar meningkat kelasnya. Namun
yang tidak boleh kita abaikan adalah, jangan sampai kelas menengah NU yang juga
menjadi realitas sejarah tersebut tidak nyaman dan tidak tertampung di NU lalu
diwadahi oleh kelompok lain.
Kita
harus menancapkan dalam hati kita bahwa ajaran ahlussunnah wal jamaah annahdliyah, masih perlu dilestarikan dan
dikembangkan di bumi ini. Kita tentu sangat bersalah bila kepada anak cucu
kita, kita mewariskan kondisi sosial keagamaan yang tidak ramah, tidak toleran,
Islam tidak menjadi rahmatan lil alamin
lagi, dan orang mudah saling mengkafirkan serta mudah menumpahkan darah sesama
muslim, gara-gara ajaran ahlussunah wal
jamaah annahdliyah tidak populer lagi.
Mari
kita berbuat yang terbaik untuk anak cucu kita! Wallahu a’lam bissawab!
Akhmad
Zaini, Pemimpin Redaksi NUsa
0 komentar:
Posting Komentar