Jumat, 23 Mei 2014

JEDA NUsa EDISI 06 - Joko Widodo alias Jokowi



Sebagai mantan wartawan yang pernah bertugas di istana kepresidenan, saya pernah bercakap, bersalaman dan foto bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Begitu juga dengan tokoh lain, seperti mantan Presiden (alm) KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur), mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, mantan Wapres Jusuf Kalla, dan sejumlah nama beken lain yang saat ini menjadi menteri, angota dewan, gubernur, wakil gubernur, wali kota hingga bupati.
Namun, dengan Joko Widodo alias Jokowi, mantan wali kota Solo yang saat ini menjadi gubernur DKI Jakarta, saya belum pernah bersalaman, foto bersama, apalagi bercakap. Saya hanya kenal nama dan sepak terjangnya dari buku, internet, majalan dan koran. Saya tidak tahu apakah dia itu benar-benar orang baik apa tidak? Apakah sebagai pemimpin dia benar-benar jujur atau tidak? Tulus apa tidak dalam mengambil kebijakan? Taat apa tidak terhadap ajaran Islam, agama yang dipeluknya?
Kendati tidak mengenal dekat, akan tetapi, saya selalu tertarik membaca, mendengarkan dan menyimak berita yang mengulas dirinya. Saya rela menunggu sebuah acara televisi yang akan menayangkan perihal Jokowi. Hati saya berdecak kagum ketika dia berani ‘’melawan’’ Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, atasannya yang akan menjadikan bangunan tua di Solo yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya untuk sebuah mall.
Saya juga kagum dengan kabar soal kesehariannya yang sangat sederhana; sepatu yang dia pakai, harganya tidak sampai Rp 200 ribu. Sepatu itu dia beli diskonan di Cibaduyut, Bandung dan sekarang sudah dia kenakan selama 6 tahun. Batik yang dia pakai dalam acara-acara resmi, saya amati juga bukan batik mahal. Baju kotak-kotak yang dia pakai sebagai identitas selama Pilkada DKI Jakarta juga baju murahan yang dibeli di Pasar Tanah Abang.
Ya…, penampilannya memang sangat jauh dari menyakinkan. Tubuhnya ceking, wajahnya biasa-biasa saja, bahkan cenderung ndeso. ‘’Saat awal-awal jadi wali kota, yang selalau disalami dan dianggap sebagai wali kota adalah ajudan saya,’’ seloroh Jokowi di berbagai kesempatan.
Untuk ukuran pejabat Indonesia pada umumnya, dia sangat ‘’tidak pantas’’, sangat aneh dan langka. Namun, mungkin karena ‘’ketidakpantasan’’, keanehan dan kelangkaan itulah, saya jadi tertarik pada sosoknya. Dari kaca mata ilmu psikologi, saya diam-diam telah menjadikan dirinya sebagai sosok idola. Jutaan orang, kelihatannya juga seperti saya. Ketika dia dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta pada Senin, 15 Oktober 2012, masyarakat di Solo dan Jakarta dengan dana swadaya menggelar pesta rakyat. 
Dan mungkin, karena faktor-faktor ‘’ganjil’’ itu pulalah warga DKI Jakarta yang relatif lebih terdidik dan lebih melek politik memutuskan untuk memilih dirinya sebagai gubernur di wilayah itu. Gempuran kampanye hitam yang benuansa fitnah tidak mampu membendung keinginan warga Jakarta memilih dirinya. Begitu juga gempuran tokoh-tokoh agama (termasuk tokoh-tokoh NU Jakarta) yang menggunakan dalil Al-quran dan hadist agar Jokowi tidak dipilih karena berpasangan dengan Ahok yang non muslim dan Tionghoa juga tidak mempan.
Warga Jakarta, sepertinya terlanjur menjadikan Jokowi sebagai idola. Pada diri yang sederhana, ndeso, dan sangat tidak menyakinkan itu, warga Jakarta manautkan sejumlah harapan. Harapan tentang pemimpin yang mau bekerja, kreatif, mau berkorban, jujur, punya komitemen, peduli pada rakyat yang dipimpin, tidak bermewahan di tengah rakyatnya yang miskin, serta yang terpenting tidak: KORUP. Harapan-harapan seperti itu, sekarang memang sangat sulit ditautkan kepada sejumlah tokoh beken yang namanya setiap hari menghiasi media.
Jokowi mungkin tidak seideal itu. Dia bukan manusia sempurna! Harapan-harapan berjibun yang disematkan di pundaknya, belum  tentu akan menjadi kenyataan. Namun, kehadirannya yang ‘’tak lazim’’, ‘’aneh’’, dak tidak sama dengan pejabat Indonesia pada umumnya, mampu menjadi obat di tengah keputusasaan massal. Rakyat yang selama ini kehilangan figur ideal, baik dari pejabat atau tokoh masyarakat dan tokoh agama, menjadi menemukan sosok idola pada diri Jokowi. Dia dianggap pantas dijadikan panutan.
Saya bisa memahami ketika tokoh-tokoh agama (termasuk sejumlah kiai NU di Jakarta) tidak mendukung Jokowi. Selain berpasangan dengan Ahok yang non muslim, Jokowi sepertinya kalah ‘’santri’’ bila dibanding dengan Fauzi Bowo (Foke), rivalnya yang pernah menjabat sebagai ketua PW NU DKI Jakarta. Namun, banyak kasus menunjukkan kalau pengetahuan agama tidak selalu selarang dengan akhlak dan perilaku orang tersebut. Santri (baca: tahu hukum agama), tidak otomatis berakhlak terpuji, bebas korupsi, punya kepedulian kepada sesama, jujur, mau kerja keras, mau berkorban, kreatif dan lain sebagainya.
Begitu juga sebaliknya, mereka yang berlatar belakang abangan, bahkan non muslim sekali pun seperti Ahok, secara sosial, tidak otomatis tidak memiliki perilaku yang  baik. Tidak otomatis orang tersebut tidak adil, tidak jujur, tidak memiliki kepedulian kepada sesama, serta korup ketika memegang kekuasaan. Mungkin didasari pemikiran itulah, ketika isu sara mencuat gara-gara ceramah pendangdut tersohor Rhoma Irama, Majalah Mingguan Tempo membikin sindirian dalam bentuk karikatur yang diberi komentar; ‘’Islam atau Islami?’’ Majalan yang terkenal kritis ini sepertinya ingin mengungkapkan, bahwa apa yang dilakukan Jokowi selama ini lebih islami daripada tokoh lain yang lebih santri, ‘’lebih haji’’ (baca: pergi ke tanah suci berkali-kali).  
Saya dan sejumlah orang –khususnya warga Jakarta--yang tanpa sadar terlanjur mengidolakan Jokowi mungkin salah. Namun, fenomena Jokowi adalah pelajaran, peringatan dan momentum untuk melakukan perenungan. Kita sebagai bangsa, sebagai umat beragama, sudah saatnya sadar bahwa rakyat di negeri ini sudah kehilangan figur tauladan. Tokoh-tokoh beken, baik tokoh politik, tokoh masyarakat, dan tokoh agama  yang selama ini berada di lapisan atas, telah kehilangan kharismanya sebagai pemimpin. Mereka telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga: KEPERCAYAAN DARI RAKYAT DAN UMMAT!

0 komentar:

Posting Komentar