Sebagai mantan wartawan yang pernah
bertugas di istana kepresidenan, saya pernah bercakap, bersalaman dan foto
bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Begitu juga dengan tokoh lain,
seperti mantan Presiden (alm) KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur), mantan Presiden
Megawati Soekarnoputri, mantan Wapres Jusuf Kalla, dan sejumlah nama beken lain
yang saat ini menjadi menteri, angota dewan, gubernur, wakil gubernur, wali
kota hingga bupati.
Namun, dengan Joko Widodo alias Jokowi,
mantan wali kota Solo yang saat ini menjadi gubernur DKI Jakarta, saya belum
pernah bersalaman, foto bersama, apalagi bercakap. Saya hanya kenal nama dan
sepak terjangnya dari buku, internet, majalan dan koran. Saya tidak tahu apakah
dia itu benar-benar orang baik apa tidak? Apakah sebagai pemimpin dia benar-benar
jujur atau tidak? Tulus apa tidak dalam mengambil kebijakan? Taat apa tidak
terhadap ajaran Islam, agama yang dipeluknya?
Kendati tidak mengenal dekat, akan
tetapi, saya selalu tertarik membaca, mendengarkan dan menyimak berita yang
mengulas dirinya. Saya rela menunggu sebuah acara televisi yang akan
menayangkan perihal Jokowi. Hati saya berdecak kagum ketika dia berani
‘’melawan’’ Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, atasannya yang akan menjadikan
bangunan tua di Solo yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya untuk sebuah
mall.
Saya juga kagum dengan kabar soal kesehariannya
yang sangat sederhana; sepatu yang dia pakai, harganya tidak sampai Rp 200
ribu. Sepatu itu dia beli diskonan di Cibaduyut, Bandung dan sekarang sudah dia
kenakan selama 6 tahun. Batik yang dia pakai dalam acara-acara resmi, saya
amati juga bukan batik mahal. Baju kotak-kotak yang dia pakai sebagai identitas
selama Pilkada DKI Jakarta juga baju murahan yang dibeli di Pasar Tanah Abang.
Ya…, penampilannya memang sangat
jauh dari menyakinkan. Tubuhnya ceking, wajahnya biasa-biasa saja, bahkan
cenderung ndeso. ‘’Saat awal-awal
jadi wali kota, yang selalau disalami dan dianggap sebagai wali kota adalah
ajudan saya,’’ seloroh Jokowi di berbagai kesempatan.
Untuk ukuran pejabat Indonesia pada
umumnya, dia sangat ‘’tidak pantas’’, sangat aneh dan langka. Namun, mungkin
karena ‘’ketidakpantasan’’, keanehan dan kelangkaan itulah, saya jadi tertarik
pada sosoknya. Dari kaca mata ilmu psikologi, saya diam-diam telah menjadikan
dirinya sebagai sosok idola. Jutaan orang, kelihatannya juga seperti saya.
Ketika dia dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta pada Senin, 15 Oktober 2012,
masyarakat di Solo dan Jakarta dengan dana swadaya menggelar pesta rakyat.
Dan mungkin, karena faktor-faktor
‘’ganjil’’ itu pulalah warga DKI Jakarta yang relatif lebih terdidik dan lebih melek politik memutuskan untuk memilih
dirinya sebagai gubernur di wilayah itu. Gempuran kampanye hitam yang benuansa
fitnah tidak mampu membendung keinginan warga Jakarta memilih dirinya. Begitu
juga gempuran tokoh-tokoh agama (termasuk tokoh-tokoh NU Jakarta) yang menggunakan
dalil Al-quran dan hadist agar Jokowi tidak dipilih karena berpasangan dengan
Ahok yang non muslim dan Tionghoa juga tidak mempan.
Warga Jakarta, sepertinya terlanjur
menjadikan Jokowi sebagai idola. Pada diri yang sederhana, ndeso, dan sangat tidak menyakinkan itu, warga Jakarta manautkan
sejumlah harapan. Harapan tentang pemimpin yang mau bekerja, kreatif, mau
berkorban, jujur, punya komitemen, peduli pada rakyat yang dipimpin, tidak
bermewahan di tengah rakyatnya yang miskin, serta yang terpenting tidak: KORUP.
Harapan-harapan seperti itu, sekarang memang sangat sulit ditautkan kepada
sejumlah tokoh beken yang namanya setiap hari menghiasi media.
Jokowi mungkin tidak seideal itu. Dia
bukan manusia sempurna! Harapan-harapan berjibun yang disematkan di pundaknya,
belum tentu akan menjadi kenyataan.
Namun, kehadirannya yang ‘’tak lazim’’, ‘’aneh’’, dak tidak sama dengan pejabat
Indonesia pada umumnya, mampu menjadi obat di tengah keputusasaan massal.
Rakyat yang selama ini kehilangan figur ideal, baik dari pejabat atau tokoh
masyarakat dan tokoh agama, menjadi menemukan sosok idola pada diri Jokowi. Dia
dianggap pantas dijadikan panutan.
Saya bisa memahami ketika
tokoh-tokoh agama (termasuk sejumlah kiai NU di Jakarta) tidak mendukung
Jokowi. Selain berpasangan dengan Ahok yang non muslim, Jokowi sepertinya kalah
‘’santri’’ bila dibanding dengan Fauzi Bowo (Foke), rivalnya yang pernah
menjabat sebagai ketua PW NU DKI Jakarta. Namun, banyak kasus menunjukkan kalau
pengetahuan agama tidak selalu selarang dengan akhlak dan perilaku orang
tersebut. Santri (baca: tahu hukum agama), tidak otomatis berakhlak terpuji,
bebas korupsi, punya kepedulian kepada sesama, jujur, mau kerja keras, mau
berkorban, kreatif dan lain sebagainya.
Begitu juga sebaliknya, mereka yang
berlatar belakang abangan, bahkan non muslim sekali pun seperti Ahok, secara
sosial, tidak otomatis tidak memiliki perilaku yang baik. Tidak otomatis orang tersebut tidak
adil, tidak jujur, tidak memiliki kepedulian kepada sesama, serta korup ketika
memegang kekuasaan. Mungkin didasari pemikiran itulah, ketika isu sara mencuat
gara-gara ceramah pendangdut tersohor Rhoma Irama, Majalah Mingguan Tempo membikin sindirian dalam bentuk karikatur
yang diberi komentar; ‘’Islam atau Islami?’’ Majalan yang terkenal kritis ini
sepertinya ingin mengungkapkan, bahwa apa yang dilakukan Jokowi selama ini
lebih islami daripada tokoh lain yang lebih santri, ‘’lebih haji’’ (baca: pergi
ke tanah suci berkali-kali).
Saya dan sejumlah orang –khususnya
warga Jakarta--yang tanpa sadar terlanjur mengidolakan Jokowi mungkin salah.
Namun, fenomena Jokowi adalah pelajaran, peringatan dan momentum untuk
melakukan perenungan. Kita sebagai bangsa, sebagai umat beragama, sudah saatnya
sadar bahwa rakyat di negeri ini sudah kehilangan figur tauladan. Tokoh-tokoh
beken, baik tokoh politik, tokoh masyarakat, dan tokoh agama yang selama ini berada di lapisan atas, telah
kehilangan kharismanya sebagai pemimpin. Mereka telah kehilangan sesuatu yang
sangat berharga: KEPERCAYAAN DARI RAKYAT
DAN UMMAT!
0 komentar:
Posting Komentar