Karena tidak mahir membaca
kitab kuning, mungkin saya tidak bisa dikatagorikan sebagi santri sukses.
Namun, saya sangat bersyukur pernah menjadi santri. Saya pernah tinggal di
sebuah pesantren dan sekolah di Mathali’ul Falah asuhan Mbah Sahal (rais aam PB
NU KH M.A. Sahal Mahfudz) Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah.
Yang paling saya syukuri, selain
mendapat wawasan dari Mbah Sahal, saya menemukan spirit pesantren yang ternyata
tidak mudah dijumpai setelah saya ke luar dari pesantren. Yakni spirit
beribadah kepada Allah SWT. Saya merasa sedang berada di jalur illahiyah (fi
sabilillah) karena sedang menuntut ilmu.
Spirit ini tidak semata-mata memunculkan
rasa bahagia dan harapan dapat pahala, namun juga memunculkan energi yang luar
biasa dasyat. Dari energi itu, pekerjaan berat bisa dilakukan dengan ringan.
Saya benar-benar merasakan besarnya energi itu ketika kelas II Tsanawiyah, saat
harus menghafalkan bait-bait Alfiyah Ibnu Malik sebanyak seribu bait dan Ilmu
Faraid seratus bait sebagai syarat naik ke kelas III.
Saya yang ketika masih di
rumah (Kendal, Jawa Tengah) tidak pernah bertahan lama ketika sekolah diniyah, menghafal
Alfiyah merupakan kemustahilan. Namun kali ini saya ’’nekat’’. Saya merasa ada
energi besar yang mendorong saya untuk terus maju pantang mundur.
Bait demi baik mulai saya
hafalkan. Setiap hari, selepas pulang sekolah dan makan siang sekitar pukul 14.00
WIB, saya pergi ke kompleks makam KH Mutamakin di Kajen untuk menghafal. Saya
sengaja pergi ke kompleks pemakaman, karena di tempat itu suasananya tenang.
Santri yang sedang menghafal Al-Qur’an juga menambah dan menjaga hafalannya di
sana.
Alhamdulillah, dengan spirit
itu, saya dengan cepat (sekitar 6 bulan) bisa menghatamkan Alfiyah dan Faraid.
Bahkan, saya tercatat sebagai santri yang setor hafalan sangat awal (urutan
kedua).
Bagi saya, pemahaman bahwa segala
aktivitas di pesantren adalah ibadah, benar-benar telah menjelma menjadi spirit
luar biasa. Saya bisa malampui ’’ujian berat’’, menumbangkan kemustahilan dan
mengikis ketidakpercayaan. Itu adalah pembentukkan karakter ala pesantren yang
hebat. Sungguh mengagumkan!
Entah bagaimana prosesnya,
mengapa hal itu bisa tertancap kuat di lingkungan pesantren. Sementera di
lembaga pendidikan lain di luar pesantren yang sama-sama thalabul ilmi,
tidak merasa sedang beribadah. Padahal dengan spirit itu, seorang siswa bisa
mendapatkan energi luar biasa besar.
Tidak munculnya spirit ibadah
bagi siswa yang mencari ilmu di luar pesantren –termasuk madrasah non
pesantren—agaknya karena mereka terlalu berorientasi pada materi. Mereka
terjangkiti virus negara-negara non muslim (khususnya barat) yang terlalu materialistik.
Mereka sekolah tidak dengan niat menghilangkan kebodohan. Namun dengan niat
memenuhi kebutuhan industri. Mereka yang sekolah adalah calon-calon buruh
pabrik yang diperuntukkan untuk menunjang kemajuan industrialisasi.
Jadi, mereka sekolah atau kuliah
karena ingin mendapat ijazah. Dari ijazah itu mereka berharap bisa mendapatkan
pekerjaan. Sekolah hanya untuk memenuhi kebutuhan formalitas belaka. Akibatnya,
selama belajar di bangku sekolah, aktivitas sekolah banyak yang dilakukan
sebatas memenuhi standar formalitas belaka. Esensi memanusiakan manusia sering
terabaikan.
Saat ini banyak orang yang
titelnya berderet-deret, namun ilmu yang dimiliki sangat tidak sebanding dengan
titel tersebut. Mereka tidak berkarakter. Mereka memanfaatkan titel dan ilmu
yang dimiliki semata-mata untuk mencari materi. Bukan untuk menciptakan
kemaslahatan, baik untuk dirinya, keluarga dan masyarakat.
Munculnya orientasi materi
dalam dunia pendidikan, tidak semata-mata menghancurkan energi siswa untuk
menekuni ilmu, namun juga menghancurkan karakter guru dalam mengajar. Guru
mengajar tanpa ruh, tanpa hati. Siswa tidak dianggap sebagai anak yang harus
diasuh dan dicerdaskan. Sebaliknya, siswa dipandang sebagai potensi ekonomi
yang bisa dieksploitasi. Mereka pun akhirnya tidak mudah memberikan ilmu. Ilmu
dipandang sebagai barang dagangan yang akan diberikan ketika proses jual beli
telah berlangsung.
Ilmu akhirnya menjadi barang
mahal. Guru hanya memberikan ilmu sesuai ’’argo’’. Bila siswa ingin mendapatkan
lebih, maka harus ada tambahan argo. Siswa harus les tambahan di rumah guru.
Dan untuk memberikan penekanan bahwa les itu penting, maka biasanya soal-soal
yang diberikan dalam ujian adalah soal-soal yang telah diulas dalam les. Maka,
anak yang ikut les, pada umumnya akan mendapatkan hasil ujian lebih baik
daripada siswa yang ’’mbandel’’ tidak
ikut les.
Sungguh saya tidak bisa
membayangkan bila praktik jual-beli ilmu itu terus berlangsung di dunia
pendidikan. Hanya orang yang berduit yang bisa menikmatinya. Padahal
seharusnya, ilmu harus bisa dinikmati oleh siapa pun. Mereka yang memiliki
ilmu, tidak boleh menyembunyikannya. Di sinilah ilmu akan bisa berkembang
secara luas.
Karena itu, pesantren harus
menjadi lembaga yang percaya diri. Tidak perlu terlalu risau dengan model
pendidikan barat yang materialistis dan mengarah pada proses kapitalisasi.
Pesantren harus memelihara tradisi yang ada selama ini.
Pembaharuan untuk menyesuaikan
dengan perkembangan zaman (khususnya teknologi) tentu harus ada. Namun, sebatas
pada pengembangan menejemen, alat ajar dan metodologi pengajaran semata.
Tradisi pesantren harus dipelihara. Khususnya dalam hal tata nilai yang terkait
dengan ilmu dan proses mendapatkannya.
Ilmu tidak boleh dipandang
sebagai materi dan dikapitalisasi (diperdagangkan). Karena dari situlah kita
akan terjebak pada kondisi di mana sirklus ilmu akan mengalami kebuntuan dan akhirnya
melahirkan kekeruhan. Bila ini terjadi, --dalam bahasa pesantren--, keberkahan tidak
ada lagi. Ilmu tidak mendatangkan kebaikan, baik bagi si pemiliknya maupun
masyarakat sekitarnya. Wallahu al’alam.(*)
0 komentar:
Posting Komentar