Mantan Presiden
Abdurrahman Wahid, salah satu tokoh pemikir Nahdlatul Ulama yang paling
fenomenal di tahun 1980-an pernah melontarkan suatu penyataan yang menimbulkan
polemik di kalangan santri di tanah air. Yakni, pribumisasi Islam. Namun, melalui ide itu pula Gus Dur, sapaan akrabnya juga semakin
populer, terutama di kalangan
ilmuwan kampus dan LSM.
Pribumisasi Islam adalah penghargaan terhadap keragaman
budaya dan adat istiadat yang berada di masyarakat untuk diserap menjadi bagian
dari ajaran Islam. Dengan
kata lain, pemahaman
nash (al-Qur’an dan al-Hadits) dikaitkan dengan permasalahan di negeri ini. Menurutnya,
semua kelompok masyarakat bertanggung jawab atas proses pribumisasi Islam
dengan cara mengukuhkan kembali akar budaya lokal, dengan tetap berusaha
menciptakan (baca: menjadi) masyarakat yang taat beragama.
Jika kita (baca: umat Islam) menolak pribumisasi Islam, maka
kita lebih mundur dari prestasi walisanga. Hal ini menyebabkan Islam tidak bisa
melayani dunia di luar pesantren. Dicontohkan penggunaan kata “santri” dan
“kiai” adalah merupakan produk dari pribumisasi Islam. Kedua kata tersebut
menggantikan penggunaan kata “syech”
untuk seorang ilmuwan muslim
tua (ulama) dan menggantikan penggunaan kata “thalib” untuk seorang pelajar
Islam.
Demikian juga dengan pakaian. Jika ada sarung dan kopyah yang lebih
praktis maka tidak perlu memakai serban dan jubah yang lebih dekat dengan
budaya Arab. Secara substansial penggunaan kata-kata tersebut tidak mengurangi
nilai-nilai agama (Islam) yang disampaikan di dalam nash. Justru dengan
demikian agama lebih dekat dengan masyarakat dan mudah di pahami sebagai bagian
yang merakyat dan mempribumi.
Pribumisasi Islam adalah solusi bagi Arabisasi atau proses
mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah. Arabisasi berpotensi membuat
masyarakat tercerabut dari akar budayanya sendiri dan kehilangan identitasnya
sebagai suku-bangsa, padahal Islam sangat menghargai keragaman dan pluralisme.
Penerapan Arabisasi akan mengakibatkan Islam kehilangan kesempatan yang baik
untuk didakwahkan kepada masyarakat yang senantiasa melestarikan budaya.
Keberhasilan Walisanga, yang merupakan penyebar Islam ahlussunnah waljama’ah di nusantara adalah melalui proses pribumisasi Islam. Mengakomodir
semua budaya lokal yang sudah ada sebagai bagian yang tidak bertentangan dengan
ajaran Islam. Sehingga Islam bisa diterima oleh masyarakat dengan mudah dan
terbuka. Masjid Menara Kudus yang berada di komplek masjid al-Aqso Kudus
merupakan contoh akulturasi budaya, hasil pribumisasi Islam yang menggabungkan
arsitektur Hindu-Budha menjadi bagian dari arsitektur Islam.
Bagimana duduk permasalahannya, apakah pribumisasi Islam
sesuai dengan ajaran Islam dan sesuai dengan yang dikatakan Gus Dur, menjadi
tanggung jawab masyarakat secara umum? Lalu apakah hal itu sejalan dengan ajaran ahlussunnah waljama’ah an-Nahdliyah?
Menurut Aminoto, salah satu ketua PC. GP. Ansor Tuban bidang
keilmuan pesantren, pribumisasi Islam merupakan upaya menarik nilai-nilai
keislaman ke wilayah pribumi. Dengan demikian spirit Islam yang terkandung
dalam nash al-Qur’an dan hadits
dibawa masuk ke dalam spirit lokalitas dan budaya masyarakat—di mana Islam itu telah ada dan
berkembang. “Jika dalam konteks ke-Indonesiaan, maka Islam harus membumi dan
menyatu dengan budaya Indonesia, khususnya Jawa. Karena dengan membumi dan
menyatu dengan budaya lokal, Islam akan mudah diterima dan menjadi bagian yang
tidak asing bagi masyarakat,” kata pria yang berdimisili di Senori ini.
Hal inilah yang kemudian menjadikan Islam sesuai dengan
konsep sholihu li kulli zaman wa makan (baik pada setiap waktu dan tempat). Ajaran-ajaran Islam akan
menjadi mudah diterima dan mudah meresap menjadi budaya masyarakat setempat.
Islam tidak kaku, garang, radikal, dan intoleran yang mengakibatkan
disintegrasi terhadap nilai-nilai lokal dan kebudayaan yang sudah ada. Pria kelahiran Februari 1972 ini mengatakan, praktek ide pribumisasi Islam oleh
Gus Dur dalam kehidupan sehari-hari, misalnya ucapan “assalamu’alaikum” bisa
diganti dengan “selamat pagi-selamat siang-selamat malam” untuk mendoakan
kepada setiap orang yang ditemui. “Pergantian kata tersebut bukan berarti
merubah esensi salam yang pada hakekatnya berharap keselamatan pada orang yang
kita temui, namun tetap sama dan tetap mengandung substansi utama dari salam
itu sendiri,” katanya.
Pada hakekatnya pribumisasi Islam merupakan pendekatan
bahasa dalam penyampaian agama yang lebih lunak, lebih toleran, dan lebih bisa
diterima secara terbuka. Karena persoalan bahasa ini merupakan persoalan yang
signifikan dan sensitif di dalam setiap lapisan masyarakat, apalagi jika
digunakan sebagai media untuk penyampaian pesan-nilai suatu agama. Tidak jarang
terjadi benturan dalam suatu pesan agama jika menggunakan bahasa yang salah dan
kurang bisa diterima. Masyarakat akan menolak bahwa agama tersebut merupakan
sesuatu yang asing dan sulit untuk diterima.
Dengan menggunakan ide pribumisasi Islam, maka penggunaan
bahasa masyarakat sebagai media menyampaikan pesan-nilai agama yang bisa
diterima merupakan solusi cerdas. “D isinilah
Islam sebagai agama bisa sesuai dan memang harus sesuai dalam setiap konteks
yang dihadapinya,” tambah alumnus Pesantren Al-Anwar Sarang 1998 ini.
Dikatakannya, dalam dakwah ada dua disiplin pendekatan yang bisa digunakan, disiplin murni
dan disiplin masyarakat. Disiplin murni artinya pendekatan yang menggunakan
intelektual murni terhadap pesan yang akan disampaikan. Sesuai dengan
kaidah-kaidah keilmuan dan tekstualitas nash-nash syari’ah. Cara ini merupakan
cara yang terbaik, namun sayangnya tidak semua lapisan masyarakat bisa
menerimanya. Hanya beberapa kalangan intelektual dan ilmuwan-terpelajar
tertentu yang bisa menerimanya, misalnya komunitas pesantren dan kampus.
Sedangkan disiplin masyarakat adalah pendekatan yang
menggunakan bahasa masyarakat yang ada, yang sudah berjalan dan menjadi tradisi
dalam kehidupan sehari-hari serta menghargai nilai-nilai lokal sebagai bagian
dari upaya untuk menyampaikan pesan-pesan. Pendekatan ini memang terkadang
dangkal dan sangat tidak ilmiah, akan tetapi masyarakat secara umum bisa
menerima dengan baik dan terbuka (lebih obyektif).
Pendekatan dengan disiplin masyarakat inilah yang kemudian
diwujudkan dengan munculnya ide pribumisasi Islam untuk menjadikan strategi
dakwah Islam ahlussunnah waljama’ah. Sebagaimana
walisanga yang mengadopsi kesenian wayang, gendingan, dan sastra jawa sebagai
media untuk menyampaikan Islam kepada masyarakat Jawa. Hal ini sekarang telah
diteruskan oleh ulama-ulama Nahdlatul Ulama dengan gagasan ahlussunnah waljama’ah an-Nahdliyah-nya.
Jika ditelaah secara historis, konsep ahlussunnah waljama’ah an-Nahdliyah merupakan gagasan yang
muncul belakangan, setelah ada benturan antara pemikiran ekstrim kanan dengan
ekstrim kiri, pemikiran radikalisme-fundamentalis dengan liberalisme-sosialis, pemikiran
rasionalisme-empirisme dengan totalitarianisme-nihilis, dan ekstrim wahabisme
dengan ekstrim syi’ah. Konsep
Ahlussunnah waljama’ah an-Nahdliyah
memposisikan diri berada di tengah-tengah,
tidak condong ke kanan dan tidak condong ke kiri, tidak berat sebelah dalam
memberikan wacana dan diskursus, serta proporsional dalam menyikapi setiap
fenomena.
Dari berbagai literatur pemikiran ulama (baca; kitab-kitab
kuning), yang memberikan wacana proporsional tersebut—yang mendukung adanya
pemikiran untuk berada di posisi tengah, diakumulasi dan diserap menjadi sebuah
konsep ahlussunnah waljama’ah
an-Nahdliyah, di mana pada
akhirnya Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari menetapkan; dalam bidang aqidah
mengikuti pendapat Asy’ariyah dan Maturidziyah, dalam bidang fiqih mengikuti
pemikiran imam al-madzhabul ar-ba’ah, dan dalam bidang akhlak-tasawuf mengikuti
pemikiran imam Abu Hamid al-Ghazali dan imam Junaidi al-Baghdadi.
Akan tetapi konsep tersebut sebenarnya tidak kolot dan beku,
menurut Syariful Wafa, syuriyah PCNU Tuban, masih tetap terbuka
pemikiran-pemikiran yang lain asalkan sesuai dengan konsep yang berwawasan
Nahdliyin. “Tidak menutup kemungkinan pendapat Ibnu Hazm al-Andalusi dan Ibnu
Ruysd (yang asing bagi kalangan Nahdliyin) bisa diserap dan dijadikan sebagai
bagian dari pendapat yang bisa dijadikan rujukan, sepanjang masih ada
nilai-nilai yang bisa diterapkan secara syar’i dan tidak bertentangan dengan
aqidah islamiyah,” kata pria yang pernah nyantri di Pesantern Al-Anwar Sarang ini.
Ketidakkolotan dan kelunakan konsep ahlussunnah waljama’ah an-Nahdliyah itulah yang kemudian membuka
ruang yang sangat lebar untuk melakukan diskusi, dialog, dan sharing pemikiran agar bisa diterima di
masyarakat. Dengan demikian ide mengenahi pribumisasi Islam merupakan strategi
yang relevan dan cocok dengan ahlussunnah waljama’ah sebagai ajaran yang harus
diterima oleh masyarakat di semua belahan dunia, termasuk Indonesia.
Menurut Aminoto, ide pribumisasi Islam yang diterapkan untuk
menyampaikan ajaran Islam ahlussunnah
waljama’ah agar tetap sesuai dengan nilai-nilai lokalitas sejalan dengan pemikiran
Juergen Habermas, pemikir Jerman, di mana
dalam mendialogkan antara narasi besar (budaya Islam) dengan narasi kecil
(budaya lokal) harus tetap terbuka ruang untuk dialog dan berdiskusi, mencari
titik kebenaran yang bisa diambil manfaatnya dan membuang serpihan-serpihan
kesalahan yang tidak sesuai dengan kemaslahatan. “Islam sebagai high culture dan nilai lokalitas sebagai
low culture harus mampu berdialog, sehingga
keduanya bisa menghasilkan kemaslahatan terhadap eksistensi masyarakat
beragama, dalam arti antara satu dengan yang lainnya tidak ada yang dirugikan
dengan masing-masing eksistensinya,” katanya.
Sependapat dengan pemikiran di atas, Jamal Ghofir, ketua Lajnah ta’lif wan Nasr PCNU Tuban
mengatakan bahwa pribumisasi Islam merupakan strategi dakwah Islam ahlussunnah waljama’ah untuk mengejawantahkan nilai-nilai
Islam agar mengakar, meresap, dan menyatu bersama tradisi lokal masyarakat. Islam
difahamkan sebagai ajaran yang sejalan dan bisa bersinergi dengan tradisi
lokalitas masyarakat. “Dalam konteks Islam Indonesia, nilai-nilai Islam meresap
dan menyatu dengan budaya Jawa,” kata Dosen keagamaan AKBID NU Tuban ini.
Menurutnya, ide pribumisasi Islam tidak lain merupakan wujud
dari Islam rahmata lil’alamin, di mana Islam bisa diterima sebagai rahmat
(kebaikan) bagi semua komponen masyarakat. Islam yang membumi bukan Islam yang
memiliki agenda ekspansi politik untuk merengkuh kekuasaan dan kejayaan,
seperti yang dilakukan kelompok Islam politik (Hizbut Tahrir, Majeli Mujahidin Indonesia, Ikhwanul
Muslimin, dan lain-lain), namun lebih pada menjadikan Islam sebagai nilai-nilai
yang menyatu dan berintegrasi bersama budaya lokal.
“Ide pribumisasi Islam tidak mudah terbawa arus kepentingan
sementara yang mengorbankan kepentingan jangka panjang, yakni tegaknya Islam
sebagai agama masyarakat dan bukan Islam sebagai sarana legitimasi kekuasaan untuk
melanggengkan kepentingan politik,” tambah dosen pengantar studi Islam STITMA
Tuban ini.
Mengenahi polemik dan resistensi yang timbul ketika ide
pribumisasi Islam (Gus Dur) muncul dari kalangan santri (khususnya warga nahdliyin), menurut Mujamil
Qomar, penulis buku “NU Liberal” mengatakan bahwa waktu itu memang ada dua
kemungkinan. Pertama, ide pribumisasi
Islam ditulis oleh wartawan secara radikal dan tidak ada tabayun dengan Gus Dur, sehingga terkesan memposisikan Islam
sebagai disintegratif dalam percaturan wacana keislaman.
Dan kedua, waktu
itu Islam oleh kebanyakan santri (pesantren) masih difahami sebagai arabisasi. Apapun yang berbau Arab adalah Islam,
dan Islam adalah Arab. Selain itu ide-ide yang muncul baru masih dianggap sebagai hal yang tabu dan destruktif,
yang sangat jauh dari nilai-nilai Islam. Padahal sejatinya tidak demikian.
Sebagaimana diketahui, seperti yang dikatakan oleh Sa’id
Aqiel Siradj bahwa
epistimologi Islam dibangun atas tiga dasar, bayani
(tekstualis) yang lahir dari tradisi Arab, bayani (rasionalis-empiris)
yang muncul dari interaksi pemikiran Islam dengan tradisi pemikiran Greko-Romawi,
dan irfani (Gnotisisme) yang sudah lama dijalankan oleh tradisi
Persia dan menyatu dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian Islam bukanlah
Arab, Islam adalah sebuah identitas yang bisa terbentuk oleh tradisi masyarakat
di mana Islam itu berkembang. Ada Islam Indonesia, Islam India, Islam China, Islam Eropa, Islam Amerika,
dan Islam Timur Tengah (tergantung bagaimana tradisi itu membentuk dan
membangun identitasnya).
“Di sinilah
pribumisasi Islam menjadi penting sebagai strategi dakwah Islam ahlussunnah waljama’ah, agar Islam bisa
menyatu bersama tradisi masyarakat dan menjadi agama yang memberikan rahmat
bagi semua alam,” tegas Jamal.(syihab)
0 komentar:
Posting Komentar