Kamis, 22 Mei 2014

Pribumisasi Islam sebagai Strategi Dakwah

     Mantan Presiden Abdurrahman Wahid, salah satu tokoh pemikir Nahdlatul Ulama yang paling fenomenal di tahun 1980-an pernah melontarkan suatu penyataan yang menimbulkan polemik di kalangan santri di tanah air. Yakni, pribumisasi Islam. Namun, melalui ide itu pula Gus Dur, sapaan akrabnya juga semakin populer, terutama di kalangan ilmuwan kampus dan LSM.
Pribumisasi Islam adalah penghargaan terhadap keragaman budaya dan adat istiadat yang berada di masyarakat untuk diserap menjadi bagian dari ajaran Islam. Dengan kata lain, pemahaman nash (al-Qur’an dan al-Hadits) dikaitkan dengan permasalahan di negeri ini. Menurutnya, semua kelompok masyarakat bertanggung jawab atas proses pribumisasi Islam dengan cara mengukuhkan kembali akar budaya lokal, dengan tetap berusaha menciptakan (baca: menjadi) masyarakat yang taat beragama.
     Jika kita (baca: umat Islam) menolak pribumisasi Islam, maka kita lebih mundur dari prestasi walisanga. Hal ini menyebabkan Islam tidak bisa melayani dunia di luar pesantren. Dicontohkan penggunaan kata “santri” dan “kiai” adalah merupakan produk dari pribumisasi Islam. Kedua kata tersebut menggantikan penggunaan kata “syech” untuk seorang ilmuwan muslim tua (ulama) dan menggantikan penggunaan kata “thalib” untuk seorang pelajar Islam.
Demikian juga dengan pakaian. Jika ada sarung dan kopyah yang lebih praktis maka tidak perlu memakai serban dan jubah yang lebih dekat dengan budaya Arab. Secara substansial penggunaan kata-kata tersebut tidak mengurangi nilai-nilai agama (Islam) yang disampaikan di dalam nash. Justru dengan demikian agama lebih dekat dengan masyarakat dan mudah di pahami sebagai bagian yang merakyat dan mempribumi.
      Pribumisasi Islam adalah solusi bagi Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah. Arabisasi berpotensi membuat masyarakat tercerabut dari akar budayanya sendiri dan kehilangan identitasnya sebagai suku-bangsa, padahal Islam sangat menghargai keragaman dan pluralisme. Penerapan Arabisasi akan mengakibatkan Islam kehilangan kesempatan yang baik untuk didakwahkan kepada masyarakat yang senantiasa melestarikan budaya.
Keberhasilan Walisanga, yang merupakan penyebar Islam ahlussunnah waljama’ah di nusantara adalah melalui proses pribumisasi Islam. Mengakomodir semua budaya lokal yang sudah ada sebagai bagian yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sehingga Islam bisa diterima oleh masyarakat dengan mudah dan terbuka. Masjid Menara Kudus yang berada di komplek masjid al-Aqso Kudus merupakan contoh akulturasi budaya, hasil pribumisasi Islam yang menggabungkan arsitektur Hindu-Budha menjadi bagian dari arsitektur Islam.
     Bagimana duduk permasalahannya, apakah pribumisasi Islam sesuai dengan ajaran Islam dan sesuai dengan yang dikatakan Gus Dur, menjadi tanggung jawab masyarakat secara umum? Lalu apakah hal itu sejalan dengan ajaran ahlussunnah waljama’ah an-Nahdliyah?
Menurut Aminoto, salah satu ketua PC. GP. Ansor Tuban bidang keilmuan pesantren, pribumisasi Islam merupakan upaya menarik nilai-nilai keislaman ke wilayah pribumi. Dengan demikian spirit Islam yang terkandung dalam nash al-Qur’an dan hadits dibawa masuk ke dalam spirit lokalitas dan budaya masyarakat—di mana Islam itu telah ada dan berkembang. “Jika dalam konteks ke-Indonesiaan, maka Islam harus membumi dan menyatu dengan budaya Indonesia, khususnya Jawa. Karena dengan membumi dan menyatu dengan budaya lokal, Islam akan mudah diterima dan menjadi bagian yang tidak asing bagi masyarakat,” kata pria yang berdimisili di Senori ini.
     Hal inilah yang kemudian menjadikan Islam sesuai dengan konsep sholihu li kulli zaman wa makan (baik pada setiap waktu dan tempat). Ajaran-ajaran Islam akan menjadi mudah diterima dan mudah meresap menjadi budaya masyarakat setempat. Islam tidak kaku, garang, radikal, dan intoleran yang mengakibatkan disintegrasi terhadap nilai-nilai lokal dan kebudayaan yang sudah ada.       Pria kelahiran Februari 1972 ini mengatakan, praktek ide pribumisasi Islam oleh Gus Dur dalam kehidupan sehari-hari, misalnya ucapan “assalamu’alaikum” bisa diganti dengan “selamat pagi-selamat siang-selamat malam” untuk mendoakan kepada setiap orang yang ditemui. “Pergantian kata tersebut bukan berarti merubah esensi salam yang pada hakekatnya berharap keselamatan pada orang yang kita temui, namun tetap sama dan tetap mengandung substansi utama dari salam itu sendiri,” katanya.
      Pada hakekatnya pribumisasi Islam merupakan pendekatan bahasa dalam penyampaian agama yang lebih lunak, lebih toleran, dan lebih bisa diterima secara terbuka. Karena persoalan bahasa ini merupakan persoalan yang signifikan dan sensitif di dalam setiap lapisan masyarakat, apalagi jika digunakan sebagai media untuk penyampaian pesan-nilai suatu agama. Tidak jarang terjadi benturan dalam suatu pesan agama jika menggunakan bahasa yang salah dan kurang bisa diterima. Masyarakat akan menolak bahwa agama tersebut merupakan sesuatu yang asing dan sulit untuk diterima.
Dengan menggunakan ide pribumisasi Islam, maka penggunaan bahasa masyarakat sebagai media menyampaikan pesan-nilai agama yang bisa diterima merupakan solusi cerdas. “D isinilah Islam sebagai agama bisa sesuai dan memang harus sesuai dalam setiap konteks yang dihadapinya,” tambah alumnus Pesantren Al-Anwar Sarang 1998 ini. 
      Dikatakannya, dalam dakwah ada dua disiplin pendekatan yang bisa digunakan, disiplin murni dan disiplin masyarakat. Disiplin murni artinya pendekatan yang menggunakan intelektual murni terhadap pesan yang akan disampaikan. Sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan dan tekstualitas nash-nash syari’ah. Cara ini merupakan cara yang terbaik, namun sayangnya tidak semua lapisan masyarakat bisa menerimanya. Hanya beberapa kalangan intelektual dan ilmuwan-terpelajar tertentu yang bisa menerimanya, misalnya komunitas pesantren dan kampus.
      Sedangkan disiplin masyarakat adalah pendekatan yang menggunakan bahasa masyarakat yang ada, yang sudah berjalan dan menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari serta menghargai nilai-nilai lokal sebagai bagian dari upaya untuk menyampaikan pesan-pesan. Pendekatan ini memang terkadang dangkal dan sangat tidak ilmiah, akan tetapi masyarakat secara umum bisa menerima dengan baik dan terbuka (lebih obyektif).
       Pendekatan dengan disiplin masyarakat inilah yang kemudian diwujudkan dengan munculnya ide pribumisasi Islam untuk menjadikan strategi dakwah Islam ahlussunnah waljama’ah. Sebagaimana walisanga yang mengadopsi kesenian wayang, gendingan, dan sastra jawa sebagai media untuk menyampaikan Islam kepada masyarakat Jawa. Hal ini sekarang telah diteruskan oleh ulama-ulama Nahdlatul Ulama dengan gagasan ahlussunnah waljama’ah an-Nahdliyah-nya.
     Jika ditelaah secara historis, konsep ahlussunnah waljama’ah an-Nahdliyah merupakan gagasan yang muncul belakangan, setelah ada benturan antara pemikiran ekstrim kanan dengan ekstrim kiri, pemikiran radikalisme-fundamentalis dengan liberalisme-sosialis, pemikiran rasionalisme-empirisme dengan totalitarianisme-nihilis, dan ekstrim wahabisme dengan ekstrim syi’ah. Konsep Ahlussunnah waljama’ah an-Nahdliyah memposisikan diri berada di tengah-tengah, tidak condong ke kanan dan tidak condong ke kiri, tidak berat sebelah dalam memberikan wacana dan diskursus, serta proporsional dalam menyikapi setiap fenomena.
    Dari berbagai literatur pemikiran ulama (baca; kitab-kitab kuning), yang memberikan wacana proporsional tersebut—yang mendukung adanya pemikiran untuk berada di posisi tengah, diakumulasi dan diserap menjadi sebuah konsep ahlussunnah waljama’ah an-Nahdliyah, di mana pada akhirnya Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari menetapkan; dalam bidang aqidah mengikuti pendapat Asy’ariyah dan Maturidziyah, dalam bidang fiqih mengikuti pemikiran imam al-madzhabul ar-ba’ah, dan dalam bidang akhlak-tasawuf mengikuti pemikiran imam Abu Hamid al-Ghazali dan imam Junaidi al-Baghdadi.
     Akan tetapi konsep tersebut sebenarnya tidak kolot dan beku, menurut Syariful Wafa, syuriyah PCNU Tuban, masih tetap terbuka pemikiran-pemikiran yang lain asalkan sesuai dengan konsep yang berwawasan Nahdliyin. “Tidak menutup kemungkinan pendapat Ibnu Hazm al-Andalusi dan Ibnu Ruysd (yang asing bagi kalangan Nahdliyin) bisa diserap dan dijadikan sebagai bagian dari pendapat yang bisa dijadikan rujukan, sepanjang masih ada nilai-nilai yang bisa diterapkan secara syar’i dan tidak bertentangan dengan aqidah islamiyah,” kata pria yang pernah nyantri di Pesantern Al-Anwar Sarang ini.
    Ketidakkolotan dan kelunakan konsep ahlussunnah waljama’ah an-Nahdliyah itulah yang kemudian membuka ruang yang sangat lebar untuk melakukan diskusi, dialog, dan sharing pemikiran agar bisa diterima di masyarakat. Dengan demikian ide mengenahi pribumisasi Islam merupakan strategi yang relevan dan cocok dengan ahlussunnah waljama’ah sebagai ajaran yang harus diterima oleh masyarakat di semua belahan dunia, termasuk Indonesia.
     Menurut Aminoto, ide pribumisasi Islam yang diterapkan untuk menyampaikan ajaran Islam ahlussunnah waljama’ah agar tetap sesuai dengan nilai-nilai lokalitas sejalan dengan pemikiran Juergen Habermas, pemikir Jerman, di mana dalam mendialogkan antara narasi besar (budaya Islam) dengan narasi kecil (budaya lokal) harus tetap terbuka ruang untuk dialog dan berdiskusi, mencari titik kebenaran yang bisa diambil manfaatnya dan membuang serpihan-serpihan kesalahan yang tidak sesuai dengan kemaslahatan. “Islam sebagai high culture dan nilai lokalitas sebagai low culture harus mampu berdialog, sehingga keduanya bisa menghasilkan kemaslahatan terhadap eksistensi masyarakat beragama, dalam arti antara satu dengan yang lainnya tidak ada yang dirugikan dengan masing-masing eksistensinya,” katanya.
      Sependapat dengan pemikiran di atas, Jamal Ghofir, ketua Lajnah ta’lif wan Nasr PCNU Tuban mengatakan bahwa pribumisasi Islam merupakan strategi dakwah Islam ahlussunnah waljama’ah untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam agar mengakar, meresap, dan menyatu bersama tradisi lokal masyarakat. Islam difahamkan sebagai ajaran yang sejalan dan bisa bersinergi dengan tradisi lokalitas masyarakat. “Dalam konteks Islam Indonesia, nilai-nilai Islam meresap dan menyatu dengan budaya Jawa,” kata Dosen keagamaan AKBID NU Tuban ini.
       Menurutnya, ide pribumisasi Islam tidak lain merupakan wujud dari Islam rahmata lil’alamin, di mana Islam bisa diterima sebagai rahmat (kebaikan) bagi semua komponen masyarakat. Islam yang membumi bukan Islam yang memiliki agenda ekspansi politik untuk merengkuh kekuasaan dan kejayaan, seperti yang dilakukan kelompok Islam politik (Hizbut Tahrir, Majeli Mujahidin Indonesia, Ikhwanul Muslimin, dan lain-lain), namun lebih pada menjadikan Islam sebagai nilai-nilai yang menyatu dan berintegrasi bersama budaya lokal.
     “Ide pribumisasi Islam tidak mudah terbawa arus kepentingan sementara yang mengorbankan kepentingan jangka panjang, yakni tegaknya Islam sebagai agama masyarakat dan bukan Islam sebagai sarana legitimasi kekuasaan untuk melanggengkan kepentingan politik,” tambah dosen pengantar studi Islam STITMA Tuban ini.
       Mengenahi polemik dan resistensi yang timbul ketika ide pribumisasi Islam (Gus Dur) muncul dari kalangan santri (khususnya warga nahdliyin), menurut Mujamil Qomar, penulis buku “NU Liberal” mengatakan bahwa waktu itu memang ada dua kemungkinan. Pertama, ide pribumisasi Islam ditulis oleh wartawan secara radikal dan tidak ada tabayun dengan Gus Dur, sehingga terkesan memposisikan Islam sebagai disintegratif dalam percaturan wacana keislaman.   
Dan kedua, waktu itu Islam oleh kebanyakan santri (pesantren) masih difahami sebagai arabisasi. Apapun yang berbau Arab adalah Islam, dan Islam adalah Arab. Selain itu ide-ide yang muncul baru masih dianggap sebagai hal yang tabu dan destruktif, yang sangat jauh dari nilai-nilai Islam. Padahal sejatinya tidak demikian.
Sebagaimana diketahui, seperti yang dikatakan oleh Sa’id Aqiel Siradj bahwa epistimologi Islam dibangun atas tiga dasar, bayani (tekstualis) yang lahir dari tradisi Arab, bayani (rasionalis-empiris) yang muncul dari interaksi pemikiran Islam dengan tradisi pemikiran Greko-Romawi, dan irfani (Gnotisisme) yang sudah lama dijalankan oleh tradisi Persia dan menyatu dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian Islam bukanlah Arab, Islam adalah sebuah identitas yang bisa terbentuk oleh tradisi masyarakat di mana Islam itu berkembang. Ada Islam Indonesia, Islam India, Islam China, Islam Eropa, Islam Amerika, dan Islam Timur Tengah (tergantung bagaimana tradisi itu membentuk dan membangun identitasnya).
“Di sinilah pribumisasi Islam menjadi penting sebagai strategi dakwah Islam ahlussunnah waljama’ah, agar Islam bisa menyatu bersama tradisi masyarakat dan menjadi agama yang memberikan rahmat bagi semua alam,” tegas Jamal.(syihab)

0 komentar:

Posting Komentar