Jumat, 23 Mei 2014

Membongkar Tradisi Syuroan

  Bulam Muharram, atau orang Jawa sering menyebutnya Syuro, dinyakini sebagai bulan yang mulia dan keramat. Karena keyakinan itulah berbagai budaya atau tradisi bermunculan untuk menyambut datangnya bulan itu. NUsa mencoba menelusi berbagai tradisi tersebut.  
Dalam tradisi masyarakat Jawa ada sebuah mitos bahwa di bulan ini orang tidak diperkenankan untuk mengadakan acara keluarga (gawe), seperti; nikahan, khitanan, mendirikan rumah, atau yang sejenisnya. Bahkan dalam kasus tertentu ada yang mengatakan bahwa di bulan Muharram/Suro inilah waktu yang tepat untuk mencuci senjata (keris) agar bertambah kekuatan yang ada di dalamnya, terutama pada malam tahun baru 1 Suro/Muharram.
Di bagian lain, karena mulianya bulan tersebut beberapa kalangan santri tertentu merayakan kedatangan tahun baru Hijriyah (1 Muharram) ini dengan berbagai kegiatan religius. Mulai dari menghatamkan al-qur’an 30 juz secara bergantian, membaca dziba’iyah, membaca barzanji, mengirim doa untuk ahli kubur, hingga mengadakan istighotsah dan pengajian akbar. Lebih semarak lagi, ada yang mengadakan kegiatan festival dengan tema Muharram, pawai ta’ruf Muharram, dan juga aksi damai untuk umat Islam.
Menurut Muhammad Najib, Lc., wakil ketua Bidang Kajian keilmuan pesantren PW GP. Ansor Jawa Timur tradisi merayakan bulan Suro/Muharram ini juga marak di beberapa tempat. Misalnya di Keraton Solo, tiap malam bulan Suro mengadakan ritual tertentu yang dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan atas kedatangannya. Kemudian di Semarang, tepatnya di Tugu Soeharto beberapa orang melakukan ritual mandi, mencuci keris, dan ontokusumo pada malam 1 Muharram/Suro.
Dikatakannya, jauh sebelum kedatangan Islam di tanah Arab sudah ada tradisi penghormatan terhadap bulan Muharram. Pada masa jahiliyah, bangsa Arab adalah bangsa pengembara yang tangguh dan memiliki fanatisme yang kuat terhadap kelompok, suku, atau kabilahnya. Mereka sering kali bentrok dan berperang satu sama lain untuk memperebutkan wilayah kekuasaan, jalur perdagangan, dan harta rampasan. Namun, mereka akan berhenti berperang jika pada bulan Muharram. Mereka sepakat, bahwa pada bulan itu mereka akan berhenti bermusuhan dan melakukan aktivitas sehari-hari yang lain. Bahkan di Ukaz, sebuah bazar besar di kota Mekkah di zaman Jahiliyah diadakan festival membaca sya’ir dari masing-masing kabilah di seluruh jazirah Arabia. “Sehingga sebelum kedatangan Agama Islam, kegiatan memuliakan bulan Muharram ini sudah ada dan berjalan dengan dinamis,” kata ustadz Madrasah Ghazaliyah Syafi’iyah Sarang yang berdomisili di Tambakboyo ini.
Setelah Islam datang, tradisi memuliakan bulan Muharram ini terus dilakukan dan dilestarikan, terutama untuk tidak melakukan peperangan pada bulan ini. Bentuk memuliakan bulan Muharram ini merupakan sikap taqrir (menetapkan) Islam terhadap tradisi yang baik di masyarakat, sehingga harus dilestarikan.
Penetapan Islam terhadap tradisi jahiliyah bukan tanpa alasan, hal itu didasarkan pada sebuah hadits Nabi SAW. yang berisi tentang diskusi dengan orang Yahudi. Rasulullah saw. bertanya kepada orang Yahudi ketika puasa pada hari asyura’ (10 Muharram), dan orang yang Yahudi menjawab bahwa hal itu dilakukan untuk merayakan kemenangan Nabi Musa terhadap kerajaan Fir’aun. Lalu Rasulullah SAW. pun menegaskan bahwa beliau dan umatnya lebih berhak untuk melakukannya.
Memang dalam sejarah peradaban Islam, pada hari asyura’ telah terjadi peristiwa-peristiwa besar yang menjadi eksistensi Islam itu sendiri. Mulai dari dikeluarkannya Nabi Yunus AS. dari perut ikan paus, bertemunya Nabi Adam AS. dengan Siti Hawa, terselamatkannya umat Nabi Nuh AS. dari banjir besar, dan lain sebagainya.      
Adapun jika dikaitkan dengan konteks tradisi Jawa yang mempunyai hitungan kalender yang sama dengan Islam, namun dengan nama yang berbeda hal itu memiliki nilai historis tersendiri. Terlepas dari asal usulnya, apakah bulan Suro itu sudah ada sebelum adanya agama Islam di Jawa atau muncul baru setelah adanya Islam, Gus Najib, panggilan akrab alumnus Al-Azhar University Cairo ini mengatakan bahwa hal itu dinyakini sebagai bentuk menyatukan atau mengadopsi simbol-simbol Islam agar meresap bersama kebudayaan Jawa (akulturasi, sinkretisme, pribumisasi).    
Pada kenyataannya tradisi memuliakan bulan Muharam yang dilakukan oleh umat Islam juga terjadi pada masyarakat Jawa yang memuliakan bulan Suro, yang mana hitungan jumlah hari dan hitungan tiap tahunnya sama. “Sedikitpun tidak ada perbedaan antara bulan syuro dan bulan Muharram, dan ini bisa dipastikan merupakan bentuk sinkretisme atau akulturasi antara tradisi Islam dan tradisi Jawa yang diwujudkan dalam bentuk kalender,” tambah ustadz muda yang juga sekretaris LBM PCNU Tuban ini. 

Mitos Bulan Syuro
Dalam kehidupan sehari-hari berkembang pula sebuah mitos yang terbangun dari hasil pengalaman masyarakat Jawa terhadap fenomena alam. Salah satunya adalah memuliakan dan mensucikan bulan Muharram atau Suro. Bentuk penghormatan tersebut dilakukan dalam berbagai ritual dan adat istiadat tradisi, termasuk pula menghindari mengadakan kegiatan-kegiatan besar sebagai rasa penghormatan. Pada gilirannya hal itu dikultuskan dan menjadi semacam mitos.
Akan tetapi sebenarnya hal itu bukanlah mitos atau dikultuskan dan menjadi fetis, dalam arti mengandung unsur pemberhalaan terhadap sesuatu benda karena ada anggapan mengandung kekuatan yang tersimpan, seperti yang dituduhkan oleh kelompok-kelompok anti SIPILI (Salafi-Wahabi). Justru merupakan pengalaman ilmiah yang dilakukan oleh orang jawa selama bertahun-tahun. Pengalaman tersebut terbentuk dari sebuah kebiasaan yang berjalan selama ribuan ratusan tahun. Misalnya, larangan untuk mengadakan kegiatan besar (acara keluarga) pada bulan Muharram/Syuro adalah karena kebiasaan orang tua Jawa yang sudah mengamati bahwa pada bulan tersebut sering kali terjadi kecelakaan jika melakukan kegiatan besar.
Sama halnya dengan kebiasaan rasional terhadap api yang membakar benda-benda tertentu dan akan padam jika diguyur air. Karena kebiasaanya yang selalu membakar benda kering, maka orang pun tahu kalau api itu bisa membakar dan juga merusak. Begitu juga orang tahu kalau api itu akan padam jika diguyur dengan air. “Kebiasaan memuliakan dan menghindari kegiatan menikah pada bulan Muharram atau Syuro bagi orang Jawa sama halnya dengan pengalaman air dan api tersebut. Bukan karena mengkultuskan atau menganggap ada kekuatan yang tersimpan pada bulan tersebut,” tegas bapak beranak tiga ini.
Terkait dengan memuliakan bulan Muharram, Islam sendiri menganjurkan kepada umatnya agar berpuasa pada tanggal 1 Muharram, membaca surat Yasin tiga kali pada malam harinya, dan memperbanyak dzikir pada tengah malam. Beberapa santri dari kalangan pesantren juga merayakan jauh lebih semarak, misalnya mengadakan khotmil qur’an, istighotsah, membaca kitab nurul burhan, dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya.
Ada pula yang merayakan tahun baru Muharram seperti halnya tahun baru masehi, yakni dengan cara melakukan konvoi motor berkeliling kota, mengibarkan bendera ormas yang diikutinya, dan meneriakan kalimat takbir dan shalawat. Bagi Gus Najib hal itu sah-sah saja, dan memang harus dilakukan sebagai langkah syi’ar terhadap simbol dan tradisi Islam. Simbol-simbol Islam harus diperkenalkan kepada masyarakat. Dan salah satu caranya adalah dengan merayakan tahun baru Muharram itu,” kata pria kelahiran Semarang ini.(syihab)

0 komentar:

Posting Komentar