Bulam
Muharram, atau orang Jawa sering menyebutnya Syuro, dinyakini sebagai bulan yang
mulia dan keramat. Karena keyakinan itulah berbagai budaya atau tradisi
bermunculan untuk menyambut datangnya bulan itu. NUsa mencoba menelusi berbagai
tradisi tersebut.
Dalam
tradisi masyarakat Jawa ada sebuah mitos bahwa di bulan ini orang tidak
diperkenankan untuk mengadakan acara keluarga (gawe), seperti; nikahan, khitanan, mendirikan rumah, atau yang
sejenisnya. Bahkan dalam kasus tertentu ada yang mengatakan bahwa di bulan
Muharram/Suro inilah waktu yang tepat untuk mencuci senjata (keris) agar
bertambah kekuatan yang ada di dalamnya, terutama pada malam tahun baru 1
Suro/Muharram.
Di bagian lain, karena mulianya bulan tersebut beberapa kalangan santri
tertentu merayakan kedatangan tahun baru Hijriyah (1 Muharram) ini dengan
berbagai kegiatan religius. Mulai dari menghatamkan al-qur’an 30 juz secara
bergantian, membaca dziba’iyah,
membaca barzanji, mengirim doa untuk ahli
kubur, hingga mengadakan istighotsah dan pengajian akbar. Lebih
semarak lagi, ada yang mengadakan kegiatan festival dengan tema Muharram, pawai
ta’ruf Muharram, dan juga aksi damai untuk umat Islam.
Menurut
Muhammad Najib, Lc., wakil
ketua Bidang Kajian keilmuan pesantren PW GP. Ansor Jawa Timur tradisi
merayakan bulan Suro/Muharram ini juga marak di beberapa tempat. Misalnya di Keraton Solo, tiap malam bulan
Suro mengadakan ritual tertentu yang dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan
atas kedatangannya. Kemudian di Semarang, tepatnya di Tugu Soeharto beberapa
orang melakukan ritual mandi, mencuci keris, dan ontokusumo pada malam 1
Muharram/Suro.
Dikatakannya,
jauh sebelum kedatangan Islam di tanah Arab sudah ada tradisi penghormatan
terhadap bulan Muharram. Pada masa jahiliyah, bangsa Arab adalah bangsa
pengembara yang tangguh dan memiliki fanatisme yang kuat terhadap kelompok,
suku, atau kabilahnya. Mereka sering kali bentrok dan berperang satu sama lain untuk
memperebutkan wilayah kekuasaan, jalur perdagangan, dan harta rampasan. Namun,
mereka akan berhenti berperang jika pada bulan Muharram. Mereka sepakat, bahwa
pada bulan itu mereka akan berhenti bermusuhan dan melakukan aktivitas
sehari-hari yang lain. Bahkan di Ukaz, sebuah bazar besar di kota Mekkah di
zaman Jahiliyah diadakan festival membaca sya’ir dari masing-masing kabilah di
seluruh jazirah Arabia. “Sehingga sebelum kedatangan Agama Islam, kegiatan
memuliakan bulan Muharram ini sudah ada dan berjalan dengan dinamis,” kata
ustadz Madrasah Ghazaliyah Syafi’iyah Sarang yang berdomisili di Tambakboyo
ini.
Setelah
Islam datang, tradisi memuliakan bulan Muharram ini terus dilakukan dan
dilestarikan, terutama untuk tidak melakukan peperangan pada bulan ini. Bentuk
memuliakan bulan Muharram ini merupakan sikap taqrir (menetapkan) Islam terhadap
tradisi yang baik di masyarakat, sehingga harus dilestarikan.
Penetapan
Islam terhadap tradisi jahiliyah bukan tanpa alasan, hal itu didasarkan pada
sebuah hadits Nabi SAW.
yang berisi tentang diskusi
dengan orang Yahudi. Rasulullah saw. bertanya kepada orang Yahudi ketika puasa
pada hari asyura’ (10 Muharram), dan orang yang Yahudi menjawab bahwa hal itu
dilakukan untuk merayakan kemenangan Nabi Musa terhadap kerajaan
Fir’aun. Lalu Rasulullah SAW.
pun menegaskan bahwa
beliau dan umatnya lebih berhak untuk melakukannya.
Memang
dalam sejarah peradaban Islam, pada hari asyura’ telah terjadi
peristiwa-peristiwa besar yang menjadi eksistensi Islam itu sendiri. Mulai dari
dikeluarkannya Nabi Yunus AS.
dari perut ikan paus, bertemunya Nabi Adam AS. dengan Siti Hawa,
terselamatkannya umat Nabi Nuh AS.
dari banjir besar, dan lain sebagainya.
Adapun
jika dikaitkan dengan konteks tradisi Jawa yang mempunyai hitungan kalender
yang sama dengan Islam, namun dengan nama yang berbeda hal itu memiliki nilai
historis
tersendiri. Terlepas dari asal usulnya, apakah bulan Suro itu sudah ada sebelum
adanya agama Islam di Jawa atau muncul baru setelah adanya Islam, Gus Najib, panggilan
akrab alumnus Al-Azhar University Cairo ini mengatakan bahwa hal itu dinyakini
sebagai bentuk menyatukan atau mengadopsi simbol-simbol Islam agar meresap
bersama kebudayaan Jawa (akulturasi, sinkretisme, pribumisasi).
Pada
kenyataannya tradisi memuliakan bulan Muharam yang dilakukan oleh umat Islam
juga terjadi pada masyarakat Jawa yang memuliakan bulan Suro, yang mana
hitungan jumlah hari dan hitungan tiap tahunnya sama. “Sedikitpun tidak ada
perbedaan antara bulan syuro dan bulan Muharram, dan ini bisa dipastikan
merupakan bentuk sinkretisme atau akulturasi antara tradisi Islam dan tradisi
Jawa yang diwujudkan dalam bentuk kalender,” tambah ustadz muda yang juga
sekretaris LBM PCNU Tuban ini.
Mitos
Bulan Syuro
Dalam
kehidupan sehari-hari berkembang pula sebuah mitos yang terbangun dari hasil pengalaman
masyarakat Jawa terhadap fenomena alam. Salah
satunya adalah memuliakan dan mensucikan bulan Muharram atau Suro. Bentuk penghormatan tersebut
dilakukan dalam berbagai ritual dan adat istiadat tradisi, termasuk pula
menghindari mengadakan kegiatan-kegiatan besar sebagai rasa penghormatan. Pada
gilirannya hal itu dikultuskan dan menjadi semacam mitos.
Akan
tetapi sebenarnya hal itu bukanlah mitos atau dikultuskan dan menjadi fetis, dalam arti mengandung unsur
pemberhalaan terhadap sesuatu benda karena ada anggapan mengandung kekuatan
yang tersimpan, seperti yang dituduhkan oleh kelompok-kelompok anti SIPILI
(Salafi-Wahabi). Justru merupakan pengalaman ilmiah yang dilakukan oleh orang
jawa selama bertahun-tahun. Pengalaman tersebut terbentuk dari sebuah kebiasaan
yang berjalan selama ribuan ratusan tahun. Misalnya, larangan untuk mengadakan
kegiatan besar (acara keluarga) pada bulan Muharram/Syuro adalah karena kebiasaan
orang tua Jawa yang sudah mengamati bahwa pada bulan tersebut sering kali
terjadi kecelakaan jika melakukan kegiatan besar.
Sama
halnya dengan kebiasaan rasional terhadap api yang membakar benda-benda
tertentu dan akan padam jika diguyur air. Karena kebiasaanya yang selalu
membakar benda kering, maka orang pun tahu kalau api itu bisa membakar dan juga
merusak. Begitu juga orang tahu kalau api itu akan padam jika diguyur dengan
air. “Kebiasaan memuliakan dan menghindari kegiatan menikah pada bulan Muharram
atau Syuro
bagi orang Jawa sama halnya dengan pengalaman air dan api tersebut. Bukan
karena mengkultuskan atau menganggap ada kekuatan yang tersimpan pada bulan
tersebut,” tegas bapak beranak tiga ini.
Terkait
dengan memuliakan bulan Muharram, Islam sendiri menganjurkan kepada umatnya
agar berpuasa pada tanggal 1 Muharram,
membaca surat Yasin tiga kali pada malam harinya, dan memperbanyak dzikir pada
tengah malam. Beberapa santri dari kalangan pesantren juga merayakan jauh lebih
semarak, misalnya mengadakan khotmil qur’an, istighotsah, membaca kitab nurul burhan, dan kegiatan-kegiatan keagamaan
lainnya.
Ada pula yang merayakan tahun baru Muharram seperti halnya tahun baru masehi, yakni dengan cara melakukan konvoi motor berkeliling kota,
mengibarkan bendera ormas yang diikutinya, dan meneriakan kalimat takbir dan shalawat. Bagi Gus Najib hal itu sah-sah saja,
dan memang harus dilakukan sebagai langkah syi’ar terhadap simbol dan tradisi Islam. Simbol-simbol Islam harus diperkenalkan kepada masyarakat. Dan
salah satu caranya adalah dengan merayakan tahun baru Muharram itu,” kata pria
kelahiran Semarang ini.(syihab)
0 komentar:
Posting Komentar