Ambon adalah noktah hitam besar dalam
peta kerukunan antarumat yang berbeda keyakinan. Daerah lain semestinya juga
memberikan noktah yang sama hitamnya –yang terbaru adalah serangan terhadap
pengikut Syiah di Desa Karang, Kecamatan Omben, Sampang--, hanya skalanya lebih
kecil.
Sebagai jurnalis, saya sempat
merekam, mencatat, merasakan betapa kerusuhan di Ambon menimbulkan kerusakan,
kepahitan dan kegerian luar biasa. Beberapa orang menyimpan pengalaman pahit
tentang ibu, adik atau kakak perempuannya yang diperkosa atau dibantai
segerombolan orang bertopeng dengan sangat sadis.
Ketika saya ke sana akhir 1999
untuk peliputan beberapa hari, Ambon bagai kota mati. Semua orang dihinggapi
rasa takut dan was-was. Mereka tidak berani masuk ke zona yang dianggap masuk
zona lawan. Beberapa fasilitas sosial terpaksa harus berdiaspora menjadi dua:
satu untuk kelompok Acang (Hasan/muslim) dan Obet (Robet/Kristen). Di Ambon
terpaksa harus ada pasar khusus kaum Acang, di pihak lain juga ada pasar kaum
Obet. Begitu juga terminal, angkot, dermaga, perahu penyeberangan, bank, hotel,
sekolah dll., semua harus ada dua. Koran pun di sana harus ada dua: Ambon
Ekspres (muslim) dan Suara Maluku (Kristen).
Aparat keamanan bersenjata
lengkap–yang juga terkelompokkan menjadi Acang dan Obet—berjaga-jaga sepanjang
hari di seluruh sudut kota. Letusan suara senapan yang menimbulkan kepanikan
warga juga sering terdengar setiap malam.
Sungguh menggerikan! Saya yakin,
orang beragama atau beraliran (bermadzhab) apa pun tidak ingin merasakan
kehidupan yang seperti itu. Semua orang tentu ingin merasakan hidup yang damai,
aman dan tidak mencekam. Karena itu, benar dan seharusnyalah kita mengupayakan
dan mempopulerkan slogan ‘’Damai itu Indah’’.
Ya…damai itu ‘’Indah’’ dan
‘’Perlu’’. Itu hajat kita semua. Anak cucu kita juga butuh diwarisi kondisi
yang seperti itu. Semua umat manusia memerlukan kedamaian. Beberapa tokoh agama
yang memiliki kesadaran akan perlunya kedamaian umat manusia merasa perlu
beberapa kali menggelar dialog antar-iman (keyakinan), baik di level regional,
nasional atau internasional. Tokoh-tokoh terkemuka Indonesia seperti almarhum
Gus Dur (NU), Buya Syafi’i Ma’arif (Muhammadiyah), almarhum Nurcholish Madjid, dan
tokoh dari beberapa agama tercatat sebagai penggiat dialog tersebut.
Para tokoh itu berkumpul untuk mengikhtiarkan
sebuah kedamaian yang indah. Saya yang sempat mengikuti pertemuan para tokoh
agama pencinta perdamaian di Perth, Australia Barat pada November 2009
menyaksikan betapa mereka bekerja keras untuk merukunkan umat manusia yang
secara sunatullah tidak mungkin
berkeyakinan atau beraliran (bermadzhab) sama. Mereka mencari sejumlah titik
temu yang bisa menjadikan umat manusia yang berbebeda-beda keyakinan dan aliran
bisa hidup berdampingan secara damai dan saling menghormati.
Dari dialog yang intensif diperoleh
kesimpulan bahwa konflik yang berlatar belakang beda keyakinan atau aliran
harus dihindarkan. Sebab, di antara konflik umat manusia, konflik yang berlatar
belakang keyakinan atau aliranlah yang paling sadis, kejam dan sangat sulit
diselesaikan. Ini tidak lain, keyakinan menyangkut hal yang sangat prinsip
dalam kehidupan manusia. Itu urusan hati!
Menyatukan umat dalam satu
keyakinan adalah kemustahilan yang sangat besar. Padahal, di era globalisasi
saat ini, interaksi global yang tak lagi mengenal keyakinan, warna kulit dan
bahasa, dll. tak bisa dihindarkan. Artinya, secara sosial, ummat manusia di
bumi ini akan berinteraksi satu dan lainnya, meski beda keyakinan. Di sinilah,
ayat; ‘’Bagimu agamamu, bagiku agamaku’’ mendapat konteksnya. Ayat itu
mengajari ummat Islam bagaimana hidup dalam era globalisasi saat ini.
Sayang, di tengah upaya membangun
perdamaian tersebut, masih banyak orang yang bermain api. Mereka mencoba
mengingkari kenyataan bahwa keyakinan adalah soal hati yang tak bisa dipaksakan.
Mereka mencoba memaksakan keyakinan yang dimiliki kepada pihak lain. Mereka
rela mencaci, mengeluarkan kalimat-kalimat tidak elok kepada pihak lain yang berkeyakinan
beda. Dan itu, masih mudah dijumpai, termasuk di Tuban ini.
Pada akhir Agustus lalu, saya begitu
merinding mendengarkan cacian, hinaan kepada pihak lain yang saya dengar dari
sebuah masjid di Kota Tuban. Tentu saya sangat menyayangkan si penceramah yang
terkesan paling benar dan paling terjamin masuk surga sendiri. Namun yang lebih
saya sayangkan, panita lokal di Tuban yang menyediakan forum bagi seseorang
yang ingin manabur kebencian kepada sesama muslim.
Berpegang teguh pada keyakinan yang
diyakini benar adalah keharusan. Namun, tidak selayaknya bersamaan dengan itu,
merendahkan dan menghinakan keyakinan yang juga diyakini kebenarannya oleh
pihak lain. Apalagi masalah yang dipersoalakan hanyalah masalah furu’iyah. Kita harus belajar dari
sejarah, betapa banyak nyawa umat Islam melayang dan darah berceceran sia-sia
karena perbedaan keyakinan atau aliran (madzhab). Sementara hingga kini, aliran
atau madzhab dalam Islam tetap saja tidak bisa disatukan.
Kasus Ambon dan Sampang yang saya sebut di awal
tulisan harus dijadikan pelajaran untuk dijadikan rem agar kita tidak mudah
menghina, melecehkan dan menaburkan bibit kebencian kepada pihak yang kebetulan
tidak seiman dan sekeyakinan. Sungguh, damai itu indah dan perlu. Mari kita
ikhtiarkan bersama! Wallahu’alam bissawab. (*)
0 komentar:
Posting Komentar