Dua Tahun memikul amanah sebagai ketua
Pengurus Cabang Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Kabupaten Tuban, saya benar-benar
merasakan betapa beratnya mengurusi umat. Pernah suatu malam saya benar-benar
merasa suntuk, jenuh dan lelah. Dan, tidak ada jalan lain kecuali saat itu saya
menangis dan mengadu kepada Sang Khaliq. Saya minta diberi kesabaran,dikuatkan,
dimudahkan dan diberi pertolongan.
Kendati demikian, insya Allah saya
tidak menyesali taqdir ini. Sebaliknya, saya bersyukur. Beban berat ini saya
maknai sebagai pelajaran mahal yang sedang saya jalani. Itu adalah bentuk kasih
sayang Allah kepada diri saya. Itu adalah cara Allah menyelamatkan saya dari
kekhilafan. Saya yakin Allah mempunyai skenario baik di balik semua itu.
Selama menekuni dunia kewartawanan
selama 18 tahun lebih (4 tahun menjadi aktivis pers kampus di IAIN Walisongo
Semarang dan 14 tahun lebih menjadi wartawan di Jawa Pos), tanpa terasa saya telah terjebak pada ‘’kesombongan’’.
Lewat tulisan-tulisan yang saya buat, saya mudah sekali mengeluarkan kritik
kepada siapa saja. Bahkan, tidak jarang pula saya mengkritik ulama-ulama NU.
Saya mengkritik berbagai langkah atau kebijakan yang saya nilai tidak ‘’pas’’.
Karena kritik-kritik tajam itu,
tidak jarang saya ‘’kena batunya’’. Saya pernah ditelpon dan ‘’didukani’’ Gus
Mus (KH Mustofa Bisri) hampir satu jam. Gara-garanya, saya membuat tulisan
dengan judul ‘’Netral yang Tidak Netral’’. Tulisan itu, mengkritik pertemuan
para kiai NU (termasuk Gus Mus) di Kediri yang kecewa dengan pemerintahan Gus
Dur.
Tapi, itu masa lalu. Tahun 2000. Alhamdulillah,
mungkin karena tindakan itu tidak saya dasari kebencian dan niat jelek, kini
Allah SWT menyelamatkan saya. Sekarang, saya diberi pelajaran hidup yang luar
biasa. Allah menunjukkan betapa beratnya ngurusi
umat. Butuh kesabaran ekstra. Mungkin kita memiliki niat baik, pemikiran baik,
namun belum tentu niat baik itu diterima dengan baik. Salah paham, prasangka
buruk, fitnah masih bisa muncul.
Dalam benak saya sering terlintas,
jika sampai sekarang saya masih jadi wartawan, mungkin pelajaran hidup itu
tidak saya terima. Kesalahan demi kesalahan masih saya lakukan. Bisa jadi, saya
masih menjadi ‘’Tukang Kritik’’ yang angkuh. Banyak orang, banyak tokoh, banyak
kiai saya komentari. Padahal, belum tentu semuanya benar.
Jadi, di situlah saya merasa
bersyukur. Di situlah saya melihat rahasia besar mengapa Allah menakdirkan saya
mencicipi amanah sebagai ketua Ma’arif di Tuban. Rupanya, inilah cara Allah
mengingatkan, cara Allah memberi pelajaran, cara Allah menyelamatkan saya dari
tumpukan kesalahan. Semoga pelajaran itu tidak harus lama-lama saya jalani. Semoga
Allah segera memberikan ‘’predikat lulus’’ kepada saya.
***
Di luar pelajaran hidup yang saya
terima secara pribadi, ada pelajaran mahal yang lain yang juga saya tangkap
selama dua tahun ini. Yakni, soal tali jagat NU yang kendor. Satu sisi, tali
kendor itu tentu potensial menimbulkan banyak masalah. Sebab, tersedia ruang
gerak yang sangat longgar dan cair. Namun, di sini lain, tali kendor itu
memberikan efek fleksebilitas dan elastisitas.
Saat Muktamar NU di Jombang Agustus
lalu, KH Maemun Zuber menuturkan, dengan tali tampar yang kendor, NU harus
mewadahi banyak orang. NU tidak hanya mewadani orang alim, orang-orang santri
dan orang-orang yang ‘’bersih’’ dari dosa. Namun, orang-orang yang tidak masuk
katagori baik, tidak masuk katagori alim, tidak masuk katagori santri pun,
harus diopeni. Mereka yang tidak baik-baik ini, harus dididik dengan penuh
hikmah agar akhirnya menjadi orang baik.
Mungkin, itulah salah satu rahasia
mengapa nama organisasi ini Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama), bukan
Nahdlatul Ummah (kebangkitan umat). Saat itu, para ulama bangkit untuk
menyelamatkan umat. Beliau-beliau terpanggil untuk berbuat sesuatu agar umatnya
selamat dari kebodohan, kesesatan, kekhufuran, kenistaan, kemiskinan, penindasan
dan lain sebagainya. Jadi, ulama itu bangkit untuk menolong. Bukan bangkit
untuk mengapai kejayaan-kejayaan pribadi.
Maka, wajar kalau berat. Wajar
kalau melelahkan. Orang yang tidak memiliki maqom ulama seperti saya, tentu
beban itu masuk dalam katagori over capacity
alias kelebihan muatan. Kalau lewat jembatan timbang Dinas Perhubungan, bisa
jadi kena tilang dan tidak boleh melanjutkan perjalanan. Dan jika tetap diperbolehkan jalan, maka
jalannya akan menyek-menyek
(tertatih-tatih). Jadi, tidak ada kata lain, kuncinya hanya tawakkal. Terus
berikhtiar semampunya. Tanpa target. Dan selebihnya, selalu meminta pertolongan
Allah. Minta dimudahkan. Dan juga minta diberi kesabaran.
Soal fleksebilitas dan elastisitas yang
dilambangkan dengan tali kendor telah terbukti keampuhannya. NU bisa tetap
hidup di era penjajahan Belanda dan era Orde Baru yang secara sistematis hendak
melenyapkan NU. Ketika para tokoh NU dikekang, warganya tetap bisa leluasa
bergerak leluasa melakukan konsolidasi. Melalui media-media kultural, seperti
tahlilan, yasinan, manaqiban dan lain sebagainya warga NU tetap berada pada
ikatan hati yang sama. Mereka tetap bergerak menjaga keutuhan NU, tanpa harus
menunggu komando pengurus jam’iyah NU yang ada di atasnya.
Namun harus diakui, di sini lain
fleksebilitas dan elastisitas ini, juga menimbulkan persoalan yang pelik. Di
saat kondisi aman dan dibutuhkan konsolidasi yang konkret, dibutuhkan satu
langkah yang sama, maka tidak mudah warga NU disatukan. Mereka tetap ingin
bergerak sendiri-sendiri. Mereka tidak ingin diikat oleh aturan-aturan
organisasi yang baku.
Nah, di sinilah pengurus organisasi
NU harus memiliki kemampuan ekstra. Mereka dituntut untuk tetap memberikan
ruang gerak yang longgar kepada warganya, namun di sisi lain, harus tetap bisa
mengikatnya dalam wadah keluarga besar Nahdlatul Ulama. Maka, para ulama
terdahulu seperti Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri
Syamsuri dan kiai-kiai penerus beliau yang sudah terbukti bisa ngopeni dan bisa membesarkan jam’iyah
Nahdlatul Ulama, menurut saya adalah orang-orang hebat. Orang-orang luar biasa.
Orang-orang yang maqomnya di atas rata-rata.
Saya pun akhirnya merasa sangat
kecil. Sangat lemah. Dan, tidak sepantasnya lagi dengan mudah mengeluarkan
kritik. Wallahu a’lam bisshowab. (*)
0 komentar:
Posting Komentar