Kamis, 01 Januari 2015

JEDA NUsa EDISI 32//Revolusi Mental (2)

Pada awal Desember 2014 lalu, saya bersama tim Jaringan Penelitian (Jarlit) Pendidikan Pemkab Tuban berkeliling ke sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah di 6 Kecamatan. Kunjungan ini dimaksudkan untuk menampung aspirasi yang kemudian akan dijadikan dasar untuk merumuskan kebijakan pendidikan di Tuban.
Dari sekitar 12 sekolah dan madrasah yang dikunjungi, 10 di antaranya lembaga pendidikan yang bernaung di bawah L.P. Ma’arif. Sisanya, 2 lembaga berada di bawah naungan Muhammadiyah. Meski latar belakang idiologisnya berbeda, namun hampir persoalan yang dikeluhkan sama; sarana prasarana minim dan butuh uluran tangan pemerintah.    
Saya sangat memahami keluhan itu. Mayoritas (untuk tidak mengatakan semua karena satu dua juga ada yang lumayan), kondisi sarpras mereka memang sangat memprihatinkan. Mengingat sekolah-sekolah/madrasah-madrasah tersebut juga ikut mencerdaskan anak bangsa, maka pemerintah atau negara seyogiyanya tak tutup mata.
Rasanya tidaklah tepat bila masih ada pemikiran kalau pemerintah/negara hanya bertanggung jawab atas lembaga pendidikan negeri, khususnya yang bernama ‘’sekolah’’.  Aparatur negara yang masih berpikir seperti itu, harus secara mental direvolusi. Mereka harus diajak untuk berpikir lebih luas, bijak dan adil. Mereka harus ‘’dipaksa’’ untuk memahami bahwa dana yang digunakan pemerintah atau negara dalam membiayai pendidikan adalah dana pajak dan hasil bumi Indonesia. Karena itu, semua anak bangsa, baik yang menempuh pendidikan di ‘’sekolah’’ maupun di ‘’madrasah’’ berhak mendapatkan bantuan yang sama dan berkeadilan.
Tentu, saya tidak menutup mata kalau upaya itu saat ini sudah ada. Semisal, bantuan BOS dan BSM yang sudah memandang sama antara sekolah atau madrasah. Namun, masih terlalu banyak kebijakan pemerintah yang masih perlu direvisi. Di Tuban saja, BOSDA belum bisa disamakan. Apalagi, bantuan sarana dan prasarana lainnya.
Dalam kaitannya Pemda Tuban, saya memahami memang masih ada kendala-kendala regulasi nasional yang menghambat ‘’niat baik’’ pemerintah. Dan bila bicara regulasi nasional, memang tidak ada kata lain kecuali saya mendorong agar mereka yang berada di pusat (eksekutif dan legislatif) mau berpikir untuk menghilangkan (minimal mengurangi) pola pikir dikotomis tadi. Pemikiran yang memisahkan antara ‘’sekolah’’ dan ‘’madrasah’’ tidak relevan lagi.
Harus dipahami kalau pemikiran dikotomis yang memisahkan ‘’madrasah’’ dan ‘’sekolah’’ adalah pemikiran lama yang diwariskan Belanda. Semangat dari pemikiran ini adalah melemahkan Islam, memecah belah bangsa Indonesia, dan melestarikan penjajahan. Jadi, pejabat pemerintah/negara yang getol mempertahankan pemikiran ini, harus direvolusi mentalnya. Pejabat model ini—terutama yang beragama Islam—perlu diajak lagi mempelajari sejarah. Mereka harus bisa membaca sejarah dari sisi sosiologis di balik sebuah kebijakan warisan masa lalu.
Berkelindan dengan menunggu perubahan kebijakan tingkat nasional, pejabat yang ada di level provinsi dan kabupaten/kota madya harus berikhtiar mencari terobosan guna meminimalisir pemikiran dikhotomis tadi. Mereka harus berikhtiar untuk mencari celah sekecil apa pun untuk dimanfaatkan. Bila ini dilakukan, insya Allah akan menjadi amal kebaikan yang luar biasa maslahatnya. Saya rasa, otonomi daerah yang menjadi salah satu ‘’ikon’’ era reformasi saat ini adalah salah satu celah besar yang bisa dimanfaatkan.
Sungguh saya sangat memberikan apresiasi kepada pemprov Jatim yang telah menggulirkan dana pendidikan untuk beasiswa sarjana bagi guru madrsah diniyah (madin), tunjangan untuk guru madrasah dan taman pendidikan al-qur’an (TPQ), serta tunjangan untuk hafidz. Saya rasa, itu semua bisa dilakukan karena menggunakan celah hukum Undang-Undang otonomi daerah. Namun, ihktiar itu masih perlu diperluas. Madrasah formal yang selama ini dianggap ‘’anak kandungnya’’ Kemenag harus ikut dipikirkan dan dicarikan celah.
Harus dipahami bersama kalau yang benar-benar ‘’anak kandugnya’’ Kemenag itu hakekatnya adalah sekolah berstatus negeri (MIN, MTsN dan MAN). Dan ini, jumlahnya sangat kecil. Sedang yang swasta hanyalah anak binaan yang tidak mendapatkan hak-hak memadai. Bila dilihat dari kuantitas, jumlah madrasah yang swasta ini jelas sangat besar. Bila sekolah di bawah diknas komposisinya 90 persen adalah sekolah negeri dan 10 persen adalah sekolah swasta, maka di Kemenag kondisinya berbalik: 10 persen madrasah negeri, 90 madrasah swasta.
Lalu, dari jumlah madrasah swasta yang 90 persen itu kira-kira mayoritas beraviliasi ke mana? Saya rasa, tidak sulit untuk menjawabnya. Mayoritas dari madrasah swasta tersebut beraviliasi ke NU (baca: L.P. Ma’arif). Di level nasional, diperkirakan madrasah/sekolah yang bernaung di bawah Ma’arif adalah 13.500 lembaga. Sedangkan di bawah Muhammadiyah sekitar 6.500. Dari jumlah 13.500 lembaga itu, 90 persen (sekitar 12 ribu) berbentuk madrasah dan 10 persen (1,5 ribu) berbentuk sekolah.
Komposisi seperti itu juga terjadi di Tuban ini. Dari 300 lebih lembaga yang bernaung di bawah LP Ma’arif, 90 persen lebih berbentuk madrasah. Sisanya sekolah. Lembaga tingkat dasar yang bernaung di bawah Ma’arif Tuban adalah 180 lembaga. Sebanyak 178 lembaga berbetuk Madrasah Ibtidaiyah dan hanya dua yang berbentuk sekolah (SDI di Makam Agung dan SD Islam Terpadu di Kerek).
Mengapa mayoritas berbentuk madrasah? Mengapa tidak berbentuk sekolah? Saya mengajak semua pihak bisa memahami realitas tersebut. Itu tidak terjadi begitu saja. Ada ruang dan waktu yang menyertainya. Kita harus kembali membaca sejarah, bagaimana pergulatan politik umat Islam, khususnya warga NU, ketika berhadapan dengan Belanda yang anti Islam dan pemerintah Orde Baru yang fobia terhadap Islam.

Kini yang terbaik, di saat iklim politik lebih terbuka, saya mengajak semua pihak untuk berikhtiar bersama-sama mewujudkan regulasi (undang-undang atau peraturan pemerintah) yang berkeadilan. Saat ini sudah sangat banyak kader-kader NU hasil didikan madrasah yang sudah menjadi pejabat di negeri ini. Selayaknyalah mereka berjuang untuk lembaga yang sudah membesarkannya. Kalau satu dua ada yang tidak mau, berarti orang inilah yang harus di-Reparasi pemikirannya dan di-Revolusi Mentalnya! (bersambung)          

0 komentar:

Posting Komentar