Pada awal
Desember 2014 lalu, saya bersama tim Jaringan Penelitian (Jarlit) Pendidikan
Pemkab Tuban berkeliling ke sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah di 6
Kecamatan. Kunjungan ini dimaksudkan untuk menampung aspirasi yang kemudian
akan dijadikan dasar untuk merumuskan kebijakan pendidikan di Tuban.
Dari sekitar 12
sekolah dan madrasah yang dikunjungi, 10 di antaranya lembaga pendidikan yang
bernaung di bawah L.P. Ma’arif. Sisanya, 2 lembaga berada di bawah naungan
Muhammadiyah. Meski latar belakang idiologisnya berbeda, namun hampir persoalan
yang dikeluhkan sama; sarana prasarana minim dan butuh uluran tangan pemerintah.
Saya sangat
memahami keluhan itu. Mayoritas (untuk tidak mengatakan semua karena satu dua
juga ada yang lumayan), kondisi sarpras mereka memang sangat memprihatinkan.
Mengingat sekolah-sekolah/madrasah-madrasah tersebut juga ikut mencerdaskan
anak bangsa, maka pemerintah atau negara seyogiyanya tak tutup mata.
Rasanya
tidaklah tepat bila masih ada pemikiran kalau pemerintah/negara hanya
bertanggung jawab atas lembaga pendidikan negeri, khususnya yang bernama
‘’sekolah’’. Aparatur negara yang masih
berpikir seperti itu, harus secara mental direvolusi. Mereka harus diajak untuk
berpikir lebih luas, bijak dan adil. Mereka harus ‘’dipaksa’’ untuk memahami
bahwa dana yang digunakan pemerintah atau negara dalam membiayai pendidikan
adalah dana pajak dan hasil bumi Indonesia. Karena itu, semua anak bangsa, baik
yang menempuh pendidikan di ‘’sekolah’’ maupun di ‘’madrasah’’ berhak
mendapatkan bantuan yang sama dan berkeadilan.
Tentu, saya
tidak menutup mata kalau upaya itu saat ini sudah ada. Semisal, bantuan BOS dan
BSM yang sudah memandang sama antara sekolah atau madrasah. Namun, masih
terlalu banyak kebijakan pemerintah yang masih perlu direvisi. Di Tuban saja,
BOSDA belum bisa disamakan. Apalagi, bantuan sarana dan prasarana lainnya.
Dalam kaitannya
Pemda Tuban, saya memahami memang masih ada kendala-kendala regulasi nasional
yang menghambat ‘’niat baik’’ pemerintah. Dan bila bicara regulasi nasional,
memang tidak ada kata lain kecuali saya mendorong agar mereka yang berada di
pusat (eksekutif dan legislatif) mau berpikir untuk menghilangkan (minimal
mengurangi) pola pikir dikotomis tadi. Pemikiran yang memisahkan antara
‘’sekolah’’ dan ‘’madrasah’’ tidak relevan lagi.
Harus dipahami
kalau pemikiran dikotomis yang memisahkan ‘’madrasah’’ dan ‘’sekolah’’ adalah
pemikiran lama yang diwariskan Belanda. Semangat dari pemikiran ini adalah
melemahkan Islam, memecah belah bangsa Indonesia, dan melestarikan penjajahan.
Jadi, pejabat pemerintah/negara yang getol mempertahankan pemikiran ini, harus
direvolusi mentalnya. Pejabat model ini—terutama yang beragama Islam—perlu
diajak lagi mempelajari sejarah. Mereka harus bisa membaca sejarah dari sisi
sosiologis di balik sebuah kebijakan warisan masa lalu.
Berkelindan
dengan menunggu perubahan kebijakan tingkat nasional, pejabat yang ada di level
provinsi dan kabupaten/kota madya harus berikhtiar mencari terobosan guna
meminimalisir pemikiran dikhotomis tadi. Mereka harus berikhtiar untuk mencari
celah sekecil apa pun untuk dimanfaatkan. Bila ini dilakukan, insya Allah akan
menjadi amal kebaikan yang luar biasa maslahatnya. Saya rasa, otonomi daerah
yang menjadi salah satu ‘’ikon’’ era reformasi saat ini adalah salah satu celah
besar yang bisa dimanfaatkan.
Sungguh saya
sangat memberikan apresiasi kepada pemprov Jatim yang telah menggulirkan dana
pendidikan untuk beasiswa sarjana bagi guru madrsah diniyah (madin), tunjangan
untuk guru madrasah dan taman pendidikan al-qur’an (TPQ), serta tunjangan untuk
hafidz. Saya rasa, itu semua bisa dilakukan karena menggunakan celah hukum
Undang-Undang otonomi daerah. Namun, ihktiar itu masih perlu diperluas.
Madrasah formal yang selama ini dianggap ‘’anak kandungnya’’ Kemenag harus ikut
dipikirkan dan dicarikan celah.
Harus dipahami
bersama kalau yang benar-benar ‘’anak kandugnya’’ Kemenag itu hakekatnya adalah
sekolah berstatus negeri (MIN, MTsN dan MAN). Dan ini, jumlahnya sangat kecil.
Sedang yang swasta hanyalah anak binaan yang tidak mendapatkan hak-hak memadai.
Bila dilihat dari kuantitas, jumlah madrasah yang swasta ini jelas sangat
besar. Bila sekolah di bawah diknas komposisinya 90 persen adalah sekolah
negeri dan 10 persen adalah sekolah swasta, maka di Kemenag kondisinya berbalik:
10 persen madrasah negeri, 90 madrasah swasta.
Lalu, dari
jumlah madrasah swasta yang 90 persen itu kira-kira mayoritas beraviliasi ke
mana? Saya rasa, tidak sulit untuk menjawabnya. Mayoritas dari madrasah swasta
tersebut beraviliasi ke NU (baca: L.P. Ma’arif). Di level nasional,
diperkirakan madrasah/sekolah yang bernaung di bawah Ma’arif adalah 13.500
lembaga. Sedangkan di bawah Muhammadiyah sekitar 6.500. Dari jumlah 13.500
lembaga itu, 90 persen (sekitar 12 ribu) berbentuk madrasah dan 10 persen (1,5
ribu) berbentuk sekolah.
Komposisi
seperti itu juga terjadi di Tuban ini. Dari 300 lebih lembaga yang bernaung di
bawah LP Ma’arif, 90 persen lebih berbentuk madrasah. Sisanya sekolah. Lembaga
tingkat dasar yang bernaung di bawah Ma’arif Tuban adalah 180 lembaga. Sebanyak
178 lembaga berbetuk Madrasah Ibtidaiyah dan hanya dua yang berbentuk sekolah
(SDI di Makam Agung dan SD Islam Terpadu di Kerek).
Mengapa
mayoritas berbentuk madrasah? Mengapa tidak berbentuk sekolah? Saya mengajak
semua pihak bisa memahami realitas tersebut. Itu tidak terjadi begitu saja. Ada
ruang dan waktu yang menyertainya. Kita harus kembali membaca sejarah,
bagaimana pergulatan politik umat Islam, khususnya warga NU, ketika berhadapan
dengan Belanda yang anti Islam dan pemerintah Orde Baru yang fobia terhadap
Islam.
Kini yang
terbaik, di saat iklim politik lebih terbuka, saya mengajak semua pihak untuk
berikhtiar bersama-sama mewujudkan regulasi (undang-undang atau peraturan
pemerintah) yang berkeadilan. Saat ini sudah sangat banyak kader-kader NU hasil
didikan madrasah yang sudah menjadi pejabat di negeri ini. Selayaknyalah mereka
berjuang untuk lembaga yang sudah membesarkannya. Kalau satu dua ada yang tidak
mau, berarti orang inilah yang harus di-Reparasi
pemikirannya dan di-Revolusi
Mentalnya! (bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar