Saya sangat
bersyukur istilah ‘’Revolusi Mental’’ sekarang begitu populer di Indonesia. Saya
merasa berkewajiban menyampaikan rasa terima kasih kepada Presiden Jokowi yang
telah mempopulerkannya. Semoga istilah itu tidak hanya sebatas populer, namun
juga menjadi gerakan perubahan di masyarakat.
Revolusi adalah
kebalikan dari evolusi yang mengandung makna perubahan secara pelan. Jadi,
secara sederhana istilah ‘’Revolusi Mental’’ mengandung makna dan keinginan
adanya perubahan mental yang cepat di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Keinginan Presiden Jokowi itulah yang menjadikan saya pada pemilihan presiden
lalu menjatuhkan pilihan kepadanya.
Sejak
masih di Jawa Pos, saya sudah memimpikan adanya perubahan mental yang cepat
di masyakakat. Berbagai tulisan saya di Jawa
Pos mengekspresikan keinginan tersebut. Dan, saya semakin menyadari
perlunya ‘’Revolusi Menta’’ ketika saya menjadi ketua PC Ma’arif NU Tuban saat
ini. Dalam berbagai kesempatan, saya mengungkapkan keinginan itu. Hanya istilah
yang saya pakai, bukan revolusi mental, melainkan perubahan minside atau perubahan pola pikir.
Spirit atau ruh
yang terkandung dalam kalimat ‘’perubahan minside’’
dan ‘’revolusi mental’’ semestinya bak dua sisi mata uang; seide, seirama.
Bukankah perubahan mental harus diawali dengan perubahan pola pikir? Namun saya
akui, bahwa istilah revolusi mental mampu membangun imajinasi yang lebih heroik,
lebih terasa emosinya. Inilah ‘’kehebatan’’ pilihan kata yang dipakai Jokowi.
Lalu, seberapa
pentingkah revolusi mental bagi bangsa ini? Sangat perlu. Sejak masih menjadi
wartawan di Istana Negara dan Gedung DPR/MPR, saya melihat betapa rumitnya
mentalitas para elite kita. Mental mereka benar-benar sudah kacau balau.
Kekuasaan dan kewenangan yang ada di tangan mereka, sepertinya semata-mata
dilihat dari sisi kesempatan untuk mengeruk kekayaan dan kemewahan. Sudut
pandang bahwa kekuasaan dan kewenangan adalah amanah yang harus dijalankan demi
kesejahteraan rakyat, seakan tidak mendapatkan tempat.
Parahnya lagi
(maaf) mentalitas semacam itu juga menjalar ke beberapa tokoh yang berlatar
belakang pesantren (nahdliyin) yang
saya temui di Jakarta. Saya sering merasa patah arang. Seakan, pada waktu itu, sulit
sekali mencari teman yang ‘’seiman’’. Hal inilah, yang pernah saya gambarkan
dalam tulisan saya sebelumnya (Nusa edisi ke-10) di mana ketika di Jakarta saya
bagaikan Tarzan masuk kota. Bingung dan tidak bisa memahami lingkungan sekitar.
Dan faktor itu pulalah yang menjadikan saya bertekat untuk tidak ‘’melanjutkan
karier’’ di Jakarta dan memilih menjadi Wong
Ndeso di Tuban.
Tentu, satu dua
orang yang masih baik mentalitasnya tetap ada. Namun, jumlah mereka sangat
sedikit. Seribu banding satu. Sangat-sangat
sedikit. Sehingga sangat sulit ditemukan dan langka. Keberadaan mereka tertutup
rapat oleh kelompok yang mentalitasnya sudah kacau balau.
Dalam berbagai
kesempatan kuliah, saya sering mengatakan kepada mahasiswa kalau umat Islam di
Indonesia kebanyakan sudah berpaling ke lain hati atau selingkuh. Mereka
mengaku sebagai muslim, namun ternyata dalam praktek kehidupan sehari-hari
mereka tidak menggunakan Islam sebagai falsafat hidup. Tanpa terasa (mungkin
juga tak disadari) faham materialisme dan kapitalisme telah menjadi pegangan
baru. Mereka telah menjadikan dua faham ini sebagai acuan hidup. Mereka
bertindak dan bergerak atas bimbingan kedua faham ini. Sehingga materi dan
modal (kapital) menjadi tujuan utama dari gerak langkahnya.
Di bawah ini
saya mencoba akan memberikan ilustrasi, betapa ‘’perselingkuhan’’ itu telah
mewabah di tengah-tengah umat Islam;
Falsafah Islam
mengajarkan, mengajar adalah ibadah. Seorang yang memiliki ilmu, haram hukumnya
menyembunyikannya. Mereka yang mengajarkan ilmu kepada orang lain dan ilmu itu
dalam perkembangannya memberikan kemanfaatan, maka orang yang mengajarkannya
itu akan terus menerus mendapatkan pahala, meski yang bersangkutan telah
meninggal dunia. Sekarang, pertanyaannya; seberapa banyak guru-guru kita yang
masih berpegangan pada prinsip seperti itu?
Ilustrasi
kedua;
Jabatan adalah
amanah. Tak selayaknya seorang muslim memperebutkan sebuah jabatan. Namun,
apabila amanah itu diembankan ke pundaknya dan dia mampu melaksanakannya, maka
tak sepatutnya dia menolak jabatan itu. Dia harus memikulnya dengan penuh
tanggung jawab, keilkhlasan dan kejujuran. Sekarang, apa fakta yang kita hadapi
sehari-hari? Bukankah sudah sangat umum kita menyaksikan sesama muslim
memperebutkan jabatan? Rasanya, jabatan-jabatan publik di negeri ini, dari
kepala desa hingga presiden, juga anggota dewan harus diperebutkan dan
dipertarungkan. Praktek suap menyuap pun (money
politics) bukan hal yang tabu lagi. Lebih miris lagi, belakangan ini,
beberapa kasus menunjukkan posisi-posisi struktural di NU yang penting pun
sudah diperebutkan dengan menggunakan media uang.
Ini hanya
contoh kecil. Saya rasa, terlalu mudah mencari contoh-contoh lainnya. Jika kita
ingin terhindar dari kehancuran, semua itu harus diubah. Harus dilakukan
perubahan minside. Harus ada revolusi
mental. Nabi Muhammad SAW menyelamatkan umat manusia, khususnya bangsa Arab
dari kehancuran dengan cara melakukan revolusi mental. Mental jahiliyah menuju ke mental ilahiyah (Islam). Saat ini, kapitalisme
dan materialisme telah menuntun manusia ke alam jahiliyah lagi. Hak dan bathil
menjadi kabur. Rambu-rambu kebenaran
terlalu mudah dilanggar demi kepentingan duniawi yang menguasai pemikiran
manusia sekarang.
Revolusi
mental, bukanlah pekerjaan main-main. Butuh keseriusan dan kesungguhan dari
pihak-pihak yang menghendakinya. Kita perlu membaca lagi sejarah, betapa para
nabi yang berhasil melakukan revolusi mental di kalangan umatnya benar-benar
berjuang tanpa lelah. Mereka memberi suri tauladan (uswatun hasanah) yang tidak
henti-hentinya. Dan itu pun, memerlukan waktu yang tidak pendek. Nabi Muhammad
SAW yang dianggap paling sukses melakukan revolusi mental pun paling tidak
butuh waktu 23 tahun untuk menjalankan misinya itu.
Tapi, yakinlah kalau
ada kemauan dan ikhtiar kita bisa! Jalan pasti terbuka. Mari mulailah dari diri
kita masing-masing. Ibdha’ binnafsih! Wassalam…..(bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar