![]() |
BUDAYA BARU: Jamaah Wisata Rohani
Masjid Al-Falah usai mengikuti pengajian akhir September lalu.
|
Penulis: Suantoko dan Wakhid Qomari-Tulisan Oktober 2012
Setiap Minggu pagi, sekitar jam 6 sampai 7,
tengoklah ke Masjid Al-Falah Tuban, maka kalian akan menemukan jama’ah yang
sedang duduk mendengarkan ceramah dari seorang kiyai. Jumlah mereka tidak hanya
ratusan, tapi telah mencapai ribuan. Setiap Minggu mereka seperti itu, ribuan
warga dari berbagai daerah di Tuban Kota dan sekitarnya berduyun-duyun datang.
Dari berbagai macam motor hingga mobil bertebaran di sisi jalan depan masjid
Al-Falah itu. Otomatis dengan jumlah mereka yang sangat banyak itu
mengakibatkan kemcetan panjang. Coba juga menengok ke Masjid Baitur Rohman
Beji-Jenu pada hari Jum’at pagi, pada jam yang sama. Kalian akan menyaksikan
hal yang serupa.
Kegiatan semacam itu kini dikenal dengan
istilah “Wisata Religi”. Entah bagaimana istilah ini muncul, tapi di kalangan
masyarakat Tuban istilah ini sudah tidak asing di telinga mereka. Untuk
menggali sejarah munculnya budaya da’wah rutin terbaru dan muta’khir ini
wartawan Nusa bertemu dengan seorang pelaku sejarah yang mengerti betul
kemunculan budaya baru ini. Dia adalah M. Ismail Sholeh, Wakil Ketua MWC NU
Jenu. Ditemui si rumahnya, desa Jenggolo, dia bercerita banyak tentang sejarah
kemunculan Wisata Religi itu.
Awal kemunculannya ternyata berasal dari
diskusi ringan antara dr. Pratikno, Pak Tomo, Pak Hudi, H. Lasmani, dirinya dan
beberapa orang lainnya saat ada acara makan-makan di tambak Pak Hudi, sekitar
awal 2008. Karena mereka berasal dari latar belakang organisasi berbeda, ada
yang dari NU dan ada yang dari Muhammadiyah, maka pengusul pertama dr. Pratikno
mengusulkan untuk membuat acara pengajian rutin yang akan membicarakan
masalah-masalah keluarga dan menjauhi masalah politik dan masalah-masalah khilafiyah
antara kedua organisasi besar tersebut. “Eh, bagaimana kalau kita membuat
sebuah acara ngaji rutin yang tidak membicarakan masalah politik atau hal-hal
hilafiyah,” usul dr. Pratikno pada forum informal itu. Karena usulannya
dianggap baik untuk kehidupan bersama antara 2 organisasi itu, maka usulan itu
disepakati. Maka, berjalanlah program ngaji keluarga rutin itu di Masjid
Darussalam Tuban.
Setelah berjalan beberapa kali, munculah masalah-masalah.
Ismail mengatakan para da’i yang dia usulkan jarang sekali dipakai, padahal dia
sebagai seksi Penghubung Da’i. di samping itu, para pihak dari Muhammadiyah
menurutnya telah “berhianat” karena dalam pelaksanaan di lapangan, kegiatan
ngaji keluarga itu dimanfaatkan Muhammadiyah untuk kepentingan organisasinya.
Bahasan-bahasan Khilafiyah dimunculkan ketika da’i dari Muhammadiyah
berceramah.
“Karena sudah khianat dan tidak bisa disatukan
lagi, maka kami yang dari NU mengusulkan diri untuk mundur dan membuat sendiri
di Masjid Al-Falah Tuban,” ungkap Ismail.
Ternyata ketika telah berjalan di Masjid
Al-Falah sekitar akhir 2008, perkembangan jama’ah yang hadir dalam acara ngaji
di Masjid Al-Falah jauh mengungguli jama’ah yang hadir di Masjid Darrussalam.
“Jama’ah yang hadir tidak hanya dari Tuban Kota, tapi juga dari berbagai daerah
lain. Sehingga masjidnya kini bisa penuh,” terang Ismail.
Setelah melihat jumlah jama’ah dari Jenu
semakin banyak, maka dia berinisiatif melakukan perluasan geraknya. Dia membuka
ngaji rutin itu di Masjid Baitur Rohman Beji-Jenu. Dengan menggaet Ta’mir
Masjid Baitur Rohman, pengurus MWC NU Jenu, dan para ketua ranting NU di Jenu,
dia menjalankannya. Awal kemunculannya pada 2010, berbagai pihak tidak yakin
akan perkembangannya, namun setelah dia menunjukkan hasil yang ia capai kini,
banyak warga maupun para sponsor yang datang mendukung.
Setelah pengajian rutin di Masjid Baitur Rohim
sukses menarik simpati masyarakat, kini (2011) dia telah melakukan ekspansi
lagi ke Masjid Nurul Islam Tambakboyo. Dia juga mendengar bahwa telah muncul
lagi di salah satu Masjid di Bulu.
Secara umum metode da’wah yang masing-masing
masjid lakukan adalah sama. Para panitia wisata rohani bekerja sama dengan
ta’mir masjid dan pengurus MWC serta Ranting NU setempat. Memang program
mingguan ini tidak secara langsung menampakkan namanya sebagai program NU, tapi
secara substansial seluruh isi kegiatan Wisata Rohani adalah untuk
mempertahankan Ahlussunnah Wal Jama’ah Nahdliniyah. “Memang kami tidak langsung
menamakan kegiatan NU, tapi isinya secara substansial adalah Aswaja,” ungkap M.
Ismail Sholeh.
Ketika ditanya impak lebih jauh apa yang akan
terjadi ketika program Wisata Rohani diadakan, Ismail menjelaskan bahwa untuk
sementara target yang dipatok panitia adalah tersosialisasikannya isi ceramah
yang disampaikan para kiyai kepada stiap keluarga atau warga Jenu dan
sekitarnya. “Semua ceramah telah dishooting dan di-VCD-kan. Dan telah diedarkan
pada para jama’ah. Semoga apa yang disampaikan para penceramah dapat diserap
warga yang mendengarkan para kiyai tersebut,” ungkap Ismail.
Pada bidang keuangan, setiap Wisata Rohani
mempunyai manajemen keuangan tersendiri dan dibedakan dari manajemen keuangan
Ta’mir Masjid. “Sebagian uang yang terkumpul itu dipakai untuk uang transport
penceramah. Sebagian yang lain dipakai untuk biaya pelaksanaan acara dan
sebagian yang lain dimasukkan dalam kas Panitia Wisata Rohani,” ungkap Ismail.
Ada beberapa fasilitas masjid yang telah terkover oleh keuangan kas Wisata
Rohani.
Kini Wisata Rohani telah semakin berkembang.
Telah muncul di mana-mana tempat Wisata Rohani yang ada di Tuban, dan mereka
telah terkoordinasi dengan baik. Apakah akan terbentuk sebuah hubungan
koordinasi yang baik antara Tempat Wisata Rohani yang satu dengan yang lain,
sehingga terbentuk sebuah system da’wah yang kuat di kalangan NU? (wakhid)
Agar
Umat Lebih Akrab dengan Masjid
Wisata Rohani, kini telah menjadi
kebutuhan masyarakat Tuban. Wisata rohani di Masjid Al Falah diselenggarakan
pada hari Ahad, guna menyesuaikan keadaan masyarakat yang libur pada hari itu.
‘’Strategi itu kami gunakan agar Wisata Rohani benar-benar memberikan manfaat
pada hari libur, ‘’ kata H. Rasmani, S.H., ketua panitia Wisata Rohani Masjid
Al Falah Tuban,
Wisata Rohani di Masjid Al Falah
Tuban sudah berlangsung selama 4 tahun. Pertama kali diselenggarakan pada 19
April 2009. Wisata rohani tersebut sudah mencapai edisi 174, terhitung dari 16
September 2012. “Sedangkan strategi yang kami gunakan dalam wisata rohani ini
adalah mengganti penceramah pada tiap edisi. Hal ini kami maksudkan agar jamaah
tidak jenuh dan manfaat yang ingin kami berikan benar-benar tersalurkan di hati
jamaah,’’ tandas Rasmani.
Selain itu, lanjutnya, pada
setiap dua bulan sekali panitia menyelenggarakan pengajian Kitab Hikam. Hal itu
dilakukan, mengingat jamaah yang hadir tidak semuanya pernah belajar di pondok
pesantren. Tidak hanya itu, pada saat Diesnatalis Wisata Rohani, panitia bersama
jamaah mengubah teknik mengajinya. Semula pada minggu-minggu biasa, kiai yang
datang ke masjid Al Falah. Namun, kali ini jamaah yang mendatangi kiai untuk
mengaji di pondok pesantrennya atau di rumahnya. Sekaligus juga mengadakan
ziarah wali yang terdekat dengan pondok atau rumah kiai yang didatangi.
Sebagai media untuk siar agama,
pihak takmir Masjid Al Falah membuat sendiri saluran radio Al Falah secara
autodidak dan membuat dokumentasi berupa video yang bisa dimiliki oleh setiap
jamaah, dengan cara mengganti ongkos cetak. Selain itu, juga menjalin kerja
sama dengan radio Booms FM Tuban dan membuat jaringan radio streaming yang
dapat diakses melalui internet.
Wisata rohani sebagai kebutuhan
masyarakat Tuban, ada beberapa pengembangan yang dilakukan oleh panitia wisata
rohani Masjid Al Falah. Salah satunya
adalah mendirikan wisata rohani di daerah dan kecamatan. Menurut Rasmani,
wisata rohani yang sudah ada adalah di daerah Jenu, Tambak Boyo sudah berjalan
1,5 tahun, Bulu sudah berjalan selama 3 bulan, dan Plumpang. Pengembangan
tersebut dilakukan dengan cara memberikan peluang kepada masjid-masjid di
daerah untuk mengadakan wisata rohani. Sedangkan untuk manajemen, pendanaan,
dan biaya operasional awal akan didanai oleh wisata rohani Masjid Al Falah.
“Tarjet kami dalam pengembangan
wisata rohani di Tuban ini adalah seluruh daerah atau kecamatan di Tuban
memiliki kegiatan mengaji seperti halnya wisata rohani yang ada di Masjid Al
Falah. Dengan harapan, masyarakat bisa akrab dan mengenal masjid. Selain itu
supaya kegiatan-kegiatan keagamaan di masjid-masjid di daerah itu tumbuh subur.
Seperti halnya kegiatan keagamaan di Masjid Al Falah Tuban,” tandas Rasmani. (antok)
Ketika Berdoa, yang Berdoa Harus Yakin
Seperti biasa,
masyarakat mulai berdatangan. Laki-laki dan perempuan berduyun-duyun
datang sekitar pukul 6 pagi pada Jum’at (14/09/2012). Di luar masjid, beberapa
orang duduk di bangku panjang dengan sebuah meja berada di depannya. Di atas
meja itu tertata rapi beberapa keping VCD dari berbagai edisi pengajian umum
yang telah dilaksnakan oleh panitia wisata rohani Masjid Baitur Rohman
Beji-Jenu. VCD itu dijual untuk jama’ah yang ingin mendengarkan ulang isi
ceramah pada edisi-edisi yang terdahulu.
Di dalam masjid jama’ah putra telah duduk
berbanjar menanti ceramah dimulai. Jama’ah putri, yang jumlahnya lebih banyak
dari jama’ah putra, pun sama duduk berbanjar di atas garis shof masjid. Mereka
nampak rapi sekali. Di bagian depan, yang berhadapan dengan jama’ah, sebuah
kursi tertata dan di sebelah kanan kursi itu berbanjar dengan duduk bersila
para tokoh dan masayeh yang ada di kecamatan Jenu. Tidak lama kemudian panitia
membuka acara. Setelah itu, seorang wanita maju dan duduk di atas kursi yang
disediakan. Dialah Nyai Hj. Li’izza Diana Ahmad. Seorang mubalighoh yang datang
dari Mojokerto.
Awalnya dia meminta ijin terlebih dahulu
kepada jama’ah laki-laki, utamanya pada para kiyai untuk menyampaikan materi.
Setelah itu, dia mengatakan bahwa semua yang ada di dunia ini ada tandanya.
“Kalau mau hujan, pasti ada mendung. Kalau mau tidur, pasti menguap. Semuanya
itu ada ttandanya. Itu adalah sunnatullah,” terangnya.
Kemudian dia menjelaskan bahwa alasan dari
kenapa pengajian rutin dalam wisata rohani itu diadakan jam 6 dan berakhir jam
7. Itu disebabkan orang-orang jenu adalah orang-orang yang sibuk. Hanya
orang-orang yang mendapat ridho Allah-lah yang duduk mendengarkan ceramah pagi
itu dalam kondisi yang sibuk seperti itu.
Selanjutnya dia menekankan agar jama’ah
pengajian pagi itu berdoa dengan doa sapu jagat sebab dia memahami bahwa
seluruh manusia ingin selamat dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Di
samping itu, dia menjelaskan bahwa hakikat orang berdoa adalah doa yang
dipahami dan diyakini betul oleh orang yang berdoa. “Ketika berdoa, orang yang
berdoa harus yakin,” ungkapnya. Diakhir ceramahnya dia mengatakan bahwa tidak mungkin
Allah SWT tidak cinta pada para jama’ah yang sedang duduk mendengarkan
ceramahnya di pagi itu. Hal itu karena Allah memiliki sunnatullah. (wakhid)
0 komentar:
Posting Komentar