Jumat, 05 Oktober 2012

Wisata Religi Tuban

BUDAYA BARU: Jamaah Wisata Rohani Masjid Al-Falah usai mengikuti pengajian akhir September lalu.

Penulis: Suantoko dan Wakhid Qomari-Tulisan Oktober 2012


Setiap Minggu pagi, sekitar jam 6 sampai 7, tengoklah ke Masjid Al-Falah Tuban, maka kalian akan menemukan jama’ah yang sedang duduk mendengarkan ceramah dari seorang kiyai. Jumlah mereka tidak hanya ratusan, tapi telah mencapai ribuan. Setiap Minggu mereka seperti itu, ribuan warga dari berbagai daerah di Tuban Kota dan sekitarnya berduyun-duyun datang. Dari berbagai macam motor hingga mobil bertebaran di sisi jalan depan masjid Al-Falah itu. Otomatis dengan jumlah mereka yang sangat banyak itu mengakibatkan kemcetan panjang. Coba juga menengok ke Masjid Baitur Rohman Beji-Jenu pada hari Jum’at pagi, pada jam yang sama. Kalian akan menyaksikan hal yang serupa.
Kegiatan semacam itu kini dikenal dengan istilah “Wisata Religi”. Entah bagaimana istilah ini muncul, tapi di kalangan masyarakat Tuban istilah ini sudah tidak asing di telinga mereka. Untuk menggali sejarah munculnya budaya da’wah rutin terbaru dan muta’khir ini wartawan Nusa bertemu dengan seorang pelaku sejarah yang mengerti betul kemunculan budaya baru ini. Dia adalah M. Ismail Sholeh, Wakil Ketua MWC NU Jenu. Ditemui si rumahnya, desa Jenggolo, dia bercerita banyak tentang sejarah kemunculan Wisata Religi itu.
Awal kemunculannya ternyata berasal dari diskusi ringan antara dr. Pratikno, Pak Tomo, Pak Hudi, H. Lasmani, dirinya dan beberapa orang lainnya saat ada acara makan-makan di tambak Pak Hudi, sekitar awal 2008. Karena mereka berasal dari latar belakang organisasi berbeda, ada yang dari NU dan ada yang dari Muhammadiyah, maka pengusul pertama dr. Pratikno mengusulkan untuk membuat acara pengajian rutin yang akan membicarakan masalah-masalah keluarga dan menjauhi masalah politik dan masalah-masalah khilafiyah antara kedua organisasi besar tersebut. “Eh, bagaimana kalau kita membuat sebuah acara ngaji rutin yang tidak membicarakan masalah politik atau hal-hal hilafiyah,” usul dr. Pratikno pada forum informal itu. Karena usulannya dianggap baik untuk kehidupan bersama antara 2 organisasi itu, maka usulan itu disepakati. Maka, berjalanlah program ngaji keluarga rutin itu di Masjid Darussalam Tuban.
Setelah berjalan beberapa kali, munculah masalah-masalah. Ismail mengatakan para da’i yang dia usulkan jarang sekali dipakai, padahal dia sebagai seksi Penghubung Da’i. di samping itu, para pihak dari Muhammadiyah menurutnya telah “berhianat” karena dalam pelaksanaan di lapangan, kegiatan ngaji keluarga itu dimanfaatkan Muhammadiyah untuk kepentingan organisasinya. Bahasan-bahasan Khilafiyah dimunculkan ketika da’i dari Muhammadiyah berceramah.
“Karena sudah khianat dan tidak bisa disatukan lagi, maka kami yang dari NU mengusulkan diri untuk mundur dan membuat sendiri di Masjid Al-Falah Tuban,” ungkap Ismail.
Ternyata ketika telah berjalan di Masjid Al-Falah sekitar akhir 2008, perkembangan jama’ah yang hadir dalam acara ngaji di Masjid Al-Falah jauh mengungguli jama’ah yang hadir di Masjid Darrussalam. “Jama’ah yang hadir tidak hanya dari Tuban Kota, tapi juga dari berbagai daerah lain. Sehingga masjidnya kini bisa penuh,” terang Ismail.
Setelah melihat jumlah jama’ah dari Jenu semakin banyak, maka dia berinisiatif melakukan perluasan geraknya. Dia membuka ngaji rutin itu di Masjid Baitur Rohman Beji-Jenu. Dengan menggaet Ta’mir Masjid Baitur Rohman, pengurus MWC NU Jenu, dan para ketua ranting NU di Jenu, dia menjalankannya. Awal kemunculannya pada 2010, berbagai pihak tidak yakin akan perkembangannya, namun setelah dia menunjukkan hasil yang ia capai kini, banyak warga maupun para sponsor yang datang mendukung.
Setelah pengajian rutin di Masjid Baitur Rohim sukses menarik simpati masyarakat, kini (2011) dia telah melakukan ekspansi lagi ke Masjid Nurul Islam Tambakboyo. Dia juga mendengar bahwa telah muncul lagi di salah satu Masjid di Bulu.
Secara umum metode da’wah yang masing-masing masjid lakukan adalah sama. Para panitia wisata rohani bekerja sama dengan ta’mir masjid dan pengurus MWC serta Ranting NU setempat. Memang program mingguan ini tidak secara langsung menampakkan namanya sebagai program NU, tapi secara substansial seluruh isi kegiatan Wisata Rohani adalah untuk mempertahankan Ahlussunnah Wal Jama’ah Nahdliniyah. “Memang kami tidak langsung menamakan kegiatan NU, tapi isinya secara substansial adalah Aswaja,” ungkap M. Ismail Sholeh.
Ketika ditanya impak lebih jauh apa yang akan terjadi ketika program Wisata Rohani diadakan, Ismail menjelaskan bahwa untuk sementara target yang dipatok panitia adalah tersosialisasikannya isi ceramah yang disampaikan para kiyai kepada stiap keluarga atau warga Jenu dan sekitarnya. “Semua ceramah telah dishooting dan di-VCD-kan. Dan telah diedarkan pada para jama’ah. Semoga apa yang disampaikan para penceramah dapat diserap warga yang mendengarkan para kiyai tersebut,” ungkap Ismail.
Pada bidang keuangan, setiap Wisata Rohani mempunyai manajemen keuangan tersendiri dan dibedakan dari manajemen keuangan Ta’mir Masjid. “Sebagian uang yang terkumpul itu dipakai untuk uang transport penceramah. Sebagian yang lain dipakai untuk biaya pelaksanaan acara dan sebagian yang lain dimasukkan dalam kas Panitia Wisata Rohani,” ungkap Ismail. Ada beberapa fasilitas masjid yang telah terkover oleh keuangan kas Wisata Rohani.
Kini Wisata Rohani telah semakin berkembang. Telah muncul di mana-mana tempat Wisata Rohani yang ada di Tuban, dan mereka telah terkoordinasi dengan baik. Apakah akan terbentuk sebuah hubungan koordinasi yang baik antara Tempat Wisata Rohani yang satu dengan yang lain, sehingga terbentuk sebuah system da’wah yang kuat di kalangan NU? (wakhid)


Agar Umat Lebih Akrab dengan Masjid
Wisata Rohani, kini telah menjadi kebutuhan masyarakat Tuban. Wisata rohani di Masjid Al Falah diselenggarakan pada hari Ahad, guna menyesuaikan keadaan masyarakat yang libur pada hari itu. ‘’Strategi itu kami gunakan agar Wisata Rohani benar-benar memberikan manfaat pada hari libur, ‘’ kata H. Rasmani, S.H., ketua panitia Wisata Rohani Masjid Al Falah Tuban,
Wisata Rohani di Masjid Al Falah Tuban sudah berlangsung selama 4 tahun. Pertama kali diselenggarakan pada 19 April 2009. Wisata rohani tersebut sudah mencapai edisi 174, terhitung dari 16 September 2012. “Sedangkan strategi yang kami gunakan dalam wisata rohani ini adalah mengganti penceramah pada tiap edisi. Hal ini kami maksudkan agar jamaah tidak jenuh dan manfaat yang ingin kami berikan benar-benar tersalurkan di hati jamaah,’’ tandas Rasmani.
Selain itu, lanjutnya, pada setiap dua bulan sekali panitia menyelenggarakan pengajian Kitab Hikam. Hal itu dilakukan, mengingat jamaah yang hadir tidak semuanya pernah belajar di pondok pesantren. Tidak hanya itu, pada saat Diesnatalis Wisata Rohani, panitia bersama jamaah mengubah teknik mengajinya. Semula pada minggu-minggu biasa, kiai yang datang ke masjid Al Falah. Namun, kali ini jamaah yang mendatangi kiai untuk mengaji di pondok pesantrennya atau di rumahnya. Sekaligus juga mengadakan ziarah wali yang terdekat dengan pondok atau rumah kiai yang didatangi.
Sebagai media untuk siar agama, pihak takmir Masjid Al Falah membuat sendiri saluran radio Al Falah secara autodidak dan membuat dokumentasi berupa video yang bisa dimiliki oleh setiap jamaah, dengan cara mengganti ongkos cetak. Selain itu, juga menjalin kerja sama dengan radio Booms FM Tuban dan membuat jaringan radio streaming yang dapat diakses melalui internet.
Wisata rohani sebagai kebutuhan masyarakat Tuban, ada beberapa pengembangan yang dilakukan oleh panitia wisata rohani Masjid  Al Falah. Salah satunya adalah mendirikan wisata rohani di daerah dan kecamatan. Menurut Rasmani, wisata rohani yang sudah ada adalah di daerah Jenu, Tambak Boyo sudah berjalan 1,5 tahun, Bulu sudah berjalan selama 3 bulan, dan Plumpang. Pengembangan tersebut dilakukan dengan cara memberikan peluang kepada masjid-masjid di daerah untuk mengadakan wisata rohani. Sedangkan untuk manajemen, pendanaan, dan biaya operasional awal akan didanai oleh wisata rohani Masjid Al Falah.
“Tarjet kami dalam pengembangan wisata rohani di Tuban ini adalah seluruh daerah atau kecamatan di Tuban memiliki kegiatan mengaji seperti halnya wisata rohani yang ada di Masjid Al Falah. Dengan harapan, masyarakat bisa akrab dan mengenal masjid. Selain itu supaya kegiatan-kegiatan keagamaan di masjid-masjid di daerah itu tumbuh subur. Seperti halnya kegiatan keagamaan di Masjid Al Falah Tuban,” tandas Rasmani. (antok)


Ketika Berdoa, yang Berdoa Harus Yakin
Seperti biasa,  masyarakat mulai berdatangan. Laki-laki dan perempuan berduyun-duyun datang sekitar pukul 6 pagi pada Jum’at (14/09/2012). Di luar masjid, beberapa orang duduk di bangku panjang dengan sebuah meja berada di depannya. Di atas meja itu tertata rapi beberapa keping VCD dari berbagai edisi pengajian umum yang telah dilaksnakan oleh panitia wisata rohani Masjid Baitur Rohman Beji-Jenu. VCD itu dijual untuk jama’ah yang ingin mendengarkan ulang isi ceramah pada edisi-edisi yang terdahulu.
Di dalam masjid jama’ah putra telah duduk berbanjar menanti ceramah dimulai. Jama’ah putri, yang jumlahnya lebih banyak dari jama’ah putra, pun sama duduk berbanjar di atas garis shof masjid. Mereka nampak rapi sekali. Di bagian depan, yang berhadapan dengan jama’ah, sebuah kursi tertata dan di sebelah kanan kursi itu berbanjar dengan duduk bersila para tokoh dan masayeh yang ada di kecamatan Jenu. Tidak lama kemudian panitia membuka acara. Setelah itu, seorang wanita maju dan duduk di atas kursi yang disediakan. Dialah Nyai Hj. Li’izza Diana Ahmad. Seorang mubalighoh yang datang dari Mojokerto.
Awalnya dia meminta ijin terlebih dahulu kepada jama’ah laki-laki, utamanya pada para kiyai untuk menyampaikan materi. Setelah itu, dia mengatakan bahwa semua yang ada di dunia ini ada tandanya. “Kalau mau hujan, pasti ada mendung. Kalau mau tidur, pasti menguap. Semuanya itu ada ttandanya. Itu adalah sunnatullah,” terangnya.
Kemudian dia menjelaskan bahwa alasan dari kenapa pengajian rutin dalam wisata rohani itu diadakan jam 6 dan berakhir jam 7. Itu disebabkan orang-orang jenu adalah orang-orang yang sibuk. Hanya orang-orang yang mendapat ridho Allah-lah yang duduk mendengarkan ceramah pagi itu dalam kondisi yang sibuk seperti itu.

Selanjutnya dia menekankan agar jama’ah pengajian pagi itu berdoa dengan doa sapu jagat sebab dia memahami bahwa seluruh manusia ingin selamat dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Di samping itu, dia menjelaskan bahwa hakikat orang berdoa adalah doa yang dipahami dan diyakini betul oleh orang yang berdoa. “Ketika berdoa, orang yang berdoa harus yakin,” ungkapnya. Diakhir ceramahnya dia mengatakan bahwa tidak mungkin Allah SWT tidak cinta pada para jama’ah yang sedang duduk mendengarkan ceramahnya di pagi itu. Hal itu karena Allah memiliki sunnatullah. (wakhid)

0 komentar:

Posting Komentar