|
TOKOH NU TULEN: KH. KHOLILURRAHMAN |
Nama lengkapnya adalah KH Cholilurrohman. Di PC NU Tuban, posisinya sebagai rais
syuriah. Posisi ini sudah berada di pundangnya selama 4 periode, sejak 1997
hingga periode sekarang (berakhir pada 2018). Mengapa Kiai Cholil begitu lama
di posisi itu?
Kiai Cholil memang kader NU
tulen. Beliau punya prinsip hidup mati di NU. Sebagai kader NU militan, kiai
asal Bangilan ini dimatangkan
dalam berbagai kawah
candradimuka. Di antaranya, pada
1960-an, beliau digodok di Pelatihan Kader Misi NU di bawah
kendali PBNU yang saat itu di bawah kepemimpinan Ketua Umum Dr. H.
Idham Cholid. Selain sebagai kader NU militan, Kiai Cholil juga tumbuh sebagai
orator ulung, singa podium dan muballigh terkenal di beberapa kabupaten,
seperti: Tuban, Lamongan, Bojonegoro, Blora dan kabupaten lainnya.
Kiai Cholil merupakan
menantu KH Moertadji (tokoh NU Tuban)
setelah mempersunting salah seorang putrinya, Hj. Isti’anah. Kiai Cholil adalah putra dari Kiai Fatkhurrohman bin
Sholeh bin Asyari (Rengel). Sedangkan dari jalur ibu bernama Nyai Dewi Khafsoh
Binti Toyib (Bangilan).
Saat ini Kiai Cholil dan istri dikaruniai enam orang
putra, yaitu: 1) Shofi Mubarok (kandidat Doktor), 2) Dr. H. Muhammad Lathoif Ghozali,
MA, 3) Ahmad Fuadi, MP, 4) Ahmad Lubab M.Si, 5) Ahmad Fikri (kuliah di S2 UB
Malang) dan 6) Muhammad Ahalla Tsaura (kuliah di S1, Prodi HI di UNAIR
Surabaya). Kini KH. Cholilurrahman bermukim di rumah sederhana di Jl. Sunan
Drajat Kelurahan Latsari Tuban.
Pendidikan
Kiai Cholil sejak kecil sudah hidup
di lingkungan pesantren yang diasuh oleh sang kakek dari ibunya. Sehingga sejak kecil beliau sudah belajar agama langsung di bawah asuhan
kakek yang bernama Kiai Toyib Bangilan. Selain belajar di pesantren, Cholil kecil juga
menempuh pendidikan formal di Madrsah Salafiyah selama 6 tahun. Setelah lulus
dari Madrasah Salafiyah, melanjutkan belajar di Pondok Pesantren Sarang (Rembang)
yang diasuh oleh KH Imam. Di situ Kiai
cholil menempuh ilmu agama selama 6 tahun.
Saat mondok di Sarang, atas saran pamannya, Kiai
Cholil mengikuti ujian Pendidikan Guru Agama (PGA). Sambil menunggu kelulusan, beliau
ikut membantu mengajar madrasah di Pondok Pesantren Tanggir, Kecamatan
Singgahan, yang sekaligus ikut belajar mengaji pada KH. Mushlih,
kiai yang terkenal penyabar itu. Selain
itu, Kiai Cholil juga pernah belajar di Pondok Pesantren Al-Hidayah Lasem
(Rembang), yang diasuh oleh Mbah Ma’shum dan Pondok
Pesantren Mranggen (Semarang) yang diasuh oleh KH. Muslih Abdurrahman (Ketua Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al Mu’tabarah).
Tidak hanya itu, dalam pendidikan formal yang lebih
tinggi, Kiai Cholil juga menempuh
sekolah di PGAN 6 Tahun Bojonegoro (1965). Kuliah sampai tingkat lima (doktoral) di Fakultas
Tarbiyah IAIN Malang (1972). Akan tetapi karena
korban kebijaksanaan Departemen Agama RI (saat itu menteri Agamanya Prof. Dr.
H. Mukti Ali, MA) yang mana mewajibkan semua mahasiswa tugas belajar untuk
dinas mengajar di Madrasah Negeri, maka terpaksa ia
harus meninggalkan bangku kuliahnya, dan melaksanakan tugas mengajar di PGAN Tuban (sekarang jadi MTsN Tuban). “Karena dapat tugas itu, sehingga proses penyelesaian kesarjanaan saya menjadi
terbengkelai,” tuturnya.
Pengabdian di NU
Kiai Cholil adalah salah satu tokoh Tuban yang sempat mengikuti
model pengkaderan NU secara intensif di dalam masa kejayaan NU sebelum rezim Orde Baru. Saat
itu Kiai berdomisili di Malang sebagai mahasiswa. Dari pengkaderan itu, Kiai Cholil mendapatkan
gemblengan langsung dari tokoh
NU Malang maupun tokoh NU nasional yang sedang menggembleng
kader muda NU, seperti KH. Idham Chalid, KH. A. Sjaichu, KH. Oesman Manshur,
Subhan ZE.
Bahkan, karena Kiai Cholil
saat menjadi mahasiswa sudah mahir berceramah, maka beliau menjadi da’i di Markas TNI AU Pangkalan
Udara Abdurrahman Saleh Malang (dulu
AURI) selama
dua setengah tahun. Karena prestasinya beliau terpilih sebagai
kader yang dilatih sebagai da’i pejuang dalam pelatihan,
yaitu “Lembaga Missi Islam” di Jakarta.
Lembaga
Missi Islam adalah sebuah lembaga yang dibentuk PBNU sebagai salah satu sayap
perjuangannya. Didirikan pada 1961 dengan KH Idham Chalid sebagai ketua. Berdirinya Missi Islam ini berkaitan dengan
dibubarkannya Pandu Ansor yang banyak aktif di lapangan. Lembaga ini bertugas
mempersiapkan kader-kader muda NU untuk dikirimkan ke daerah-daerah
transmigrasi atau daerah-daerah minus Islam. Pembekalan biasanya dilakukan
dengan memberikan kursus sentral selama empat puluh hari. Latihan terdiri dari out
door dan in door untuk melatih
para calon da’i agar mereka siap di segala medan. Bila mereka sudah
siap, lalu dilakukan kontak dengan Pengurus Cabang NU setempat. Selanjutnya
mereka dikirim ke tempat tugas, menetap di sana, dengan seluruh biaya hidup
ditanggung oleh PCNU setempat.
Angkatan
pertama Misi Islam dikirim ke Irian Jaya, menjelang Pepera (1961), sebanyak 8
orang. Angkatan selanjutnya menyebar ke Sorong, Merauke, Kalsel, Kalteng,
Kalbar, Gorontalo, NTT, Nias, dsb, dengan jumlah yang berbeda-beda sesuai
dengan kebutuhan. Banyak jasa yang berhasil ditorehkan lembaga ini. Di antara
tokoh-tokoh NU yang pernah aktif di Lembaga Missi Islam adalah KH Idham Chalid,
KH Syaifuddin Zuhri, Anshary Syams, H. Danial Tanjung, Mr. Suparman, Djawahir,
Hisyam Zaini, dr Fahmi D. Syaifuddin, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH Nuril
Huda, Slamet Efendy Yusuf, Abdullah Syarwani, dsb.
Dalam
perjalanannya, lembaga ini tidak pernah dibubarkan, tapi sejak tahun 1982 vakum
dari kegiatan. Hal itu disebabkan para pengurusnya sibuk dalam urusan politik
masing-masing. Semasa Muktamar Cipasung (1994) pernah dihidupkan kembali, namun
akhirnya mati kembali.
Di saat menjadi kader Missi Islam, Cholil muda (tahun 1970-an)
pernah ditugaskan sebagai da’i missionaris oleh PBNU di Indonesia bagian timur,
tepatnya di Timor dan Nusa Tenggara Timur (NTT) selama 3 bulan (1973). Sebagai
seorang aktifis, Kiai Cholil banyak aktif dalam berbagai organisasi di
lingkungan NU, di antaranya: Pembina IPNU Cabang Malang semasa awal kuliah di IAIN Malang, Divisi Penerangan dan Da’wah
GP. Ansor Cabang Malang, Departemen Dakwah Pimpinan Pusat PMII, Ketua LP
Ma’arif Cabang Tuban tahun 70-an, Ketua LDNU Cabang Tuban tahun 80-an,
Sekretaris I Yayasan Mabarrot Sunan Bonang Tuban (1979-1998), Ketua Yayasan
Mabarrot Sunan Bonang Tuban (1998-2005, 2006-2011), Pembina Yayasan Mabarrot
Sunan Bonang Tuban (2012-2015). Wakil Rais Syuriah PCNU Tuban (1992-1997), dan
Rais Syuriah PCNU Tuban 4 periode (periode : 1997-2002, 2002-2007, 2008-2013,
dan 2013-2018).
Sepanjang
perjalanan hidupnya diabdikan untuk perjuangan
Nahdlatul Ulama, melalui kegiatan organisisasi, dakwah dengan banyak menghadiri
undangan-undangan pengajian, baik yang diselenggarakan oleh organisasi NU
maupun oleh warga NU di kota maupun di desa-desa. Bisa dikatakan,
bahwa Kiai Cholil, tiada hari tanpa ngaji. Bahkan, pernah mengalami jadwal penuh selama sebulan diundang sebagai
da’i pada Kedutaan Besar RI di Hongkong pada 1984.
Tidak hanya itu, Kiai juga
pernah
mengajar di SMP Mu’allimin, SMA Mu’allimin
Tuban, juga pengasuh tetap pengajian Ihya’ Ulumuddin setiap Ahad pagi di
kediaman KH. Moertadji sejak 1989, menggantikan pengajian mingguan mertuanya
yang wafat. Dan juga pengasuh pengajian rutin putri setiap Rabu Sore di
kediaman pribadinya sejak tahun 1988 hingga sekarang. “Sekarang sudah sedikit saya kurangi, sebab kesehatan saya
terganggu. Jadi mau gerak ke mana-mana ya terbatas,” tuturnya dengan
terbata-bata. (wandi)
Kata Masyarakat Tentang Kiai Cholil
|
Arif Hidayat |
Sosok Kiai Cholil d imata
masyarakat khususnya di Tuban sudah tidak asing lagi. Beliau kerap dimintai
untuk memberikan dakwah di setiap acara. Baik di lingkungan masyarakat NU
maupun umum.
Seperti yang disampaikan
oleh Abdul Rozak, pengasuh Pondok Pesantren Kalijogo Semanding. Kepada NUsa,
dia mengatakan kalau Kiai Cholil merupakan sosok yang kharismatik, hidupnya
selalu diwakafkan dalam agama Islam, khususnya pada jam’iyah NU. Selain itu, beliau
juga sudah termasuk ulama besar Indonesia, akan tetapi Kiai Cholil tidak mau
dipublikasikan.
“Sosok hidupnya itu ramah
dan bijaksana. Beliau juga kiai yang
sederhana. Selain itu, ilmu agama maupun formalnya juga bagus,” tuturnya
Hal yang sama juga
disampaikan oleh Ketua PC IPNU Tuban, Arif Hidayat. Dia menganggap Kiai Cholil
merupakan sosok ulama yang luwes, baik pemikiran maupun semangatnya. Selain
itu, bentuk perjuangamnya patut dijadikan referensi bagi kaum muda. “Ya
mudah-mudahan kita bisa mengikuti jejak ilmu dan pengetahuan Kiai Cholil,”
katanya. (wandi)