Rabu, 11 Juli 2012

Oleh-Oleh Ketua Maarif Tuban Mahfud Sepulang dari Swiss

LAWATAN: Mahfud (dua dari kiri) bersama Wabup Noer Nahar Hussein ketika berada di Geneva, Swiss beberapa waktu yang lalu.
Pada 11 Juli yang lalu Ketua PC LP Ma’arif NU Tuban Drs. Mahfud, M.Pd.I berlibur ke Geneva-Swiss bersama keluarganya. Makhrus, Mansur dan Yasin adalah tiga saudaranya yang berangkat ke Geneva bersamanya. Selain ketiga saudaranya itu, Ismail Amir, seorang konsultan LSM, turut serta dalam perjalanan ke negara teraman di dunia itu.
Sepulang dari Geneva Kamis (19/07) malam di rumahnya, kepada NUsa Mahfud berbagi pengetahuan yang dia bawa dari sana. Dikatakan, setidaknya ada tiga hal yang dia pelajari selama perjalanannya menuju negara markas PBB itu. Yakni tentang pengembangan pertanian, peternakan dan pendidikan lingkungan.
Dia bercerita sekitar  pukul 6 malam dia bersama rombongan terbang dari Surabaya menuju Jakarta. Tepat pukul 7 malam dia sampai di Jakarta dan transit ke penerbangan menuju Abu Dhabi. Berangkat dari Jakarta pukul 7 malam, mereka sampai di Abu Dhabi pukul 00.00 malam, kemudian transit lagi ke penerbangan menuju Geneva-Swiss.
Dari Abu Dhabi jam 00.00 WIB dia tiba di Geneva tepat pukul 07.00 pagi waktu Geneva Swiss. Satu hal yang mengejutkan baginya adalah ternyata dia bersama rombongan tidak sengaja bertemu Wakil Bupati Tuban Noor Nahar Hussein yang sedang dalam perjalanan dinas ke negara tujuan yang sama. Namun, ketika sampai di Geneva mereka harus berpisah karena berbeda tempat tujuan.
Dari Bandara Geneva Mahfud kemudian melakukan perjalanan wisata ke sebuah kota bernama Lausan. Di kota inilah dia melihat keindahan tanaman pertanian. Dia melihat keindahan pertanian gandum, apel dan bunga matahari. Seluruh pertanian itu dikelola dengan sangat modern.
“Semua tahap penggarapan memakai mesin. Tahap pembajakan, penanaman, pengobatan sampai pemanenan telah memakai mesin. Tenaga manusia hanya sedikit sekali terpakai. Jadi, meskipun hanya seorang, petani di sana mampu menggarap lahan pertanian berhektar-hektar dan hasilnya pun cukup bahkan lebih untuk biaya hidup di sana,” ungkap Mahfud.
“Kalau di Indonesia, petani identik dengan kemiskinan, tapi kalau di sana petani bisa dibanggakan. Bahkan pertanian menjadi tulang punggung di beberapa kota di Swiss,” tambahnya.
Apalagi saat dia ada di Lausan, sedang terjadi musim panas, di mana pada musim panas bunga matahari sedang bermekaran. “Bunganya itu kuning dan indah sekali seperti permadani yang digelar,” ungkap Mahfud.
Dia mengatakan, selain sebagai bahan kuwaci, bunga matahari itu juga sebagai bahan pembuatan minyak wangi. Pohon apel di sana tidak terlalu tinggi, tapi buahnya sangat lebat. “Banyak sekali buahnya,” katanya.
Dari Lausan dia menuju Bern. Bern adalah daerah pegunungan yang sangat indah. Namun, dia tidak mempunyai banyak cerita di Bern. Dari Bern dia menuju Leng.
Leng berada di daerah dataran rendah yang diapit oleh pegunungan yang sangat indah. Di Leng banyak berdiri pohon pinus. Ternyata pohon pinus itu menjadi sumber pendapatan keuangan. “Semua rumah di sana terbuat dari kayu pinus. Makanya, bisa memberi penghasilan,” ungkapnya.
Di Leng itu pula tempat pusat peternakan. Di sana banyak terdapat peternakan sapi dan ada beberapa peternakan kambing. Peternakan-peternakan itu sudah dikelola secara moderen. Setiap peternakan mempunyai sebidang tanah yang cukup luas sebagai tempat tumbuhnya rumput. Setiap 2 minggu sekali rumput itu akan dipotong dan dibiarkan mongering. Setelah kering akan digulung dengan mesin dan setelah tergulung rapi, akan dimasukkan dalam gudang penyimpanan. “Rumput-rumput yang telah disimpan dalam gudang itu sebagai makanan ternak pada musim salju,” jelas Mahfud.
Dalam setiap lokasi peternakan itu pula telah didirikan semacam pabrik yang mengelola hasil ternak. “Kalau akan diproduksi sebagai keju ya, setelah susu diperah langsung diproses dalam pabrik dan kalau telah jadi langsung dipasarkan. Jadi waktunya sangat efektif,” ungkap Mahfud.
Menurut Mahfud perbedaan Indonesia dengan Swiss dalam mengelola peternakan adalah kalau di Swiss menyimpan makanan pada musim panas sebagai bahan makanan di musim salju. Namun, kalau di Indonesia seharusnya menyimpan makanan di musim hujan sebagai bahan makanan di musim kemarau. “Sayang orang Indonesia tidak ada yang mengerti ini,” Mahfud menyayangkan.
Setelah menikmati keindahan kawasan Leng, Mahfud beserta rombongan bergegas kembali ke Indonesia.
Dari ketiga kota yang dikunjunginya, Mahfud selalu mengamati masyarakat dan lingkungan dimana mereka hidup. Di sana lingkungannya sangat bersih dan sangat minim tindak kekerasan. Orang-orangnya sangat ramah. Meskipun dihuni oleh berbagai macam bangsa, mereka bisa hidup berdampingan dan rukun.

Ketika ditanya kemungkinan terciptanya pengelolaan pertanian, peternakan dan lingkungan sebagaimana di Swiss, Mahfud menjawab bahwa itu mungkin terjadi. “Indonesia harus memiliki langkah-langkah yang maju dalam bidang pertanian, peternakan dan kelautan. Hal itu bisa tercapai apabila ada sinergi antara masyarakat dan pemerintah setempat. Kebijakan pemerintah harus mendukung. Namun, kesadaran untuk bangkit dari warga sendiri juga sangat penting,” ungkap Mahfud. (Wakhid)

0 komentar:

Posting Komentar