Minimnya
Budaya Munulis Warga NU
Oleh: M. WAKHID QOMARI *)
Sebagai bagian
dari warga NU, saya masih kurang puas, kalau tidak boleh berkata prihatin, dengan
kemampuan menulis warga NU yang tersebar di desa-desa maupun kota, baik
pelajar, mahasiswa sampai pegawai berkerah putih sekalipun. Saat diminta
berargument dalam suatu musyawarah, banyak sekali warga nahdliyin itu yang
mampu berbicara secara panjang lebar, baik yang runtut maupun yang glambyar
|
M. Wakhid Qomari, S.Pd |
ke
mana-mana sekalipun. Namun saat diminta untuk menulis secara runtut, sistematis
dan panjang, sangat sedikit sekali yang mampu. Bisa dibilang mereka yang mampu
menulis bisa dihitung dengan jari dari keseluruhan warga nahdliyin Indonesia
dari Sabang sampai Merauke, yang jumlahnya sangat banyak. Sungguh sangat
memprihatinkan, mengingat nahdliyin adalah masyarakat mayoritas di negeri ini.
Memang, cukup
rumit mendapatkan kemampuan menulis. Oleh karena itu, kemampuan menulis
menempati tempat yang paling prestisius
dalam ilmu bahasa.
Di dalam ilmu bahasa,
ada empat tingkatan kemampuan bahasa yang harus dilewati oleh orang yang
berbahasa dan tingkatan itu telah tersusun secara runtut, yakni mendengar,
berbicara, membaca dan menulis. Dari runtutan ini nampak sekali kemampuan
menulis terletak pada bagian paling belakang. Hal ini terjadi karena memang kemampuan
menulis adalah kemampuan yang paling rumit di antara kemampuan bahasa yang lain
dan memang kegiatan menulis juga melibatkan beberapa tingkat tahapan kemampuan bahasa
itu. Pada awalnya manusia terlahir di dunia, mereka akan mendengar. Setelah
mendengar dan paham, mereka akan berucap-ucap kata, kemudian membaca-baca dan
akhirnya menulis tulisan. Menulis tulisan terjadi saat manusia telah mampu
mendengar, berbicara dan membaca.
Menurut
Suhariyadi seorang dosen prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Unirow Tuban, apa
yang orang bicarakan, betapa penting ide yang diucapkan itu, akan segera hilang
ditelan keadaan apabila tidak dituliskan. Dan ide yang penting itu tidak bisa
kita pelajari lagi di masa mendatang. Akan tetapi, beda halnya dengan tulisan.
Tulisan tidak akan lekas hilang, bahkan akan ada terus selama tulisan itu masih
ada dan bisa dibaca serta dipelajari. Ini adalah kekekalan ilmu di atas bumi
ini.
Coba bayangkan
ketika masa kepemimpinan kholifah Abu Bakar As-Shiddiq, di mana banyak hafidz
yang dibunuh saat itu, sehingga tinggal sedikit sekali para hafidz di kalangan muslimin,
ilmu yang terkandung dalam Al-Qur’an mungkin telah diobrak-abrik oleh
pihak-pihak yang berkepentingan, karena sudah jarang yang menjaganya. Namun, berkat
ayat-ayat yang telah tertulis dan ingatan para hafidz yang tersisa, yang
kemudian berujung pada pengumpulan dan penataan ayat-ayat itu sehingga menjadi
mushaf, apa yang kita lihat, sampai sekarangpun Al-Qur’an masih tetap utuh dan
bisa dipelajari oleh siapapun. Oleh karenanya, kemampuan menulis adalah
kemampuan yang sangat penting. Sangat penting!
Sebenarnya,
kegiatan menulis sangat berkaitan dengan daya nalar (imagination), kreatifitas serta struktur fikir seseorang, yang
dituangkan dalam bentuk tulisan sebagai akibat dari input yang masuk ke
otak, yang kemudian berujung pada penilaian tingkat intelektualitas
orang tersebut. Dan hal ini, di tubuh NU, telah ditunjukkan oleh sosok seorang
KH. Abdurrahman Wahid “Gus Dur” (alm).
Gus Dur,
betapa pun orang mengaguminya dari berbagai aspeknya: baik sebagai seorang kiai,
budayawan, seniman, aktifis, ataupun politikus, adalah cermin bagi kita warga
nahdliyin dalam dunia tulis menulis. Tulisan-tulisan beliau di berbagai media
massa, selama beliau hidup, yang kini telah banyak dibukukan, menunjukkan
keluasan dan keruntutan pemikiran beliau. Saat kita membaca tulisan beliau yang
panjang dan padat itu, kita akan merasa berenang dalam lautan ide yang
disuguhkan. Dan itu tidak terbatas pada satu aspek dari disiplin ilmu. Beliau
berhasil memadukan ilmu agama dengan realitas sosial, humor, seni dan politik.
Semua itu diramunya dengan apik dan menarik, dengan sentuhan religious
akan tetapi tidak meng-abuse. Sehingga, saat kita membaca tulisan
beliau, kita akan merasa ingin dan ingin membaca.
Namun,
nampaknya, apa yang ditunjukkan Gus Dur belum mendapat respon yang
menggairahkan dari kita sebagai warga NU secara umum. Kita lebih mangagumi Gus
Dur sebagai sosok, sam’an wa tho’atan dalam cara berpikir, tetapi tidak
mengikuti jejak beliau sebagai seorang penulis handal.
Tentu saja,
kalau diminta untuk menyamai kapasitas beliau yang terlampau tinggi itu, kita
jelas tidak mampu menandingi hasanah pemikiran beliau. Akan tetapi, budaya
menulis yang beliau tunjukkan semestinya mampu menjadi motor penggerak semangat
kita untuk menulis, betapapun jeleknya tulisan kita, apa lagi kalau kita
tertakdirkan sebagai mahasiswa atau pegawai berkerah putih. Budaya menulis
harus menjadi concern kita di era sekarang.
Setelah sekian
lama saya bergelut dalam lingkungan nahdliyin, mulai sejak dulu masih
bersekolah di SDNU Al-Falah Gajah-Baureno-Bojonegoro sampai sekarang bergelut
dan berinteraksi dengan para nahdliyin di berbagai organisasi, nampaknya saya
melihat ketidak mampuan warga nahdliyin untuk menulis itu karena ada keengganan
sikap terhadap dunia tulis menulis. ‘Tidak mampu mengembangkan tulisan’ menjadi
alasan utama kala ditanya mengapa. Alasan ini memang logis untuk menjelaskan masalah
ini. Memang, mengembangkan tulisan itu sulit, kalau tidak mengerti caranya.
Namun, apabila kita sudah tahu cara mengembangkan tulisan, maka dengan
sendirinya masalah mandegnya ber’ide’ yang berakibat stagnannya tulisan tidak
akan pernah terjadi lagi.
Tidak dapat
mengembangkan tulisan terjadi, menurut saya, karena ketidak-tahuan kita akan teknik
menulis yang sistimatis, kurang membaca (baik buku maupun keadaan alam dan
lingkungan di sekitar kita) dan kurangnya latihan menulis.
Ketidak-tahuan
Teknik Menulis Secara Sistimatis
Coba bayangkan
bagaimana seseorang bisa menulis dengan baik dan runtut kalau belum memahami
tekniknya. Anak yang baru belajar membaca tidak akan pernah bisa membaca kalau
belum tahu teknik membaca. Huruf ‘o’ tidak mungkin dia ucapkan kalau dia belum
tahu cara membacanya. Dan dia tidak akan pernah bisa membacanya kalau dia tidak
berusaha belajar mengucapkannya. Tentu saja harus ada yang mengajarinya, kalau
dia mau mempelajarinya. Dunia tulis menulis pun sama. Bahwa ada teknik yang
harus dipelajari untuk bisa menulis dengan baik dan runtut.
Setiap jenis
tulisan mempunyai karakteristiknya masing-masing, namun keruntutan tulisan
tetaplah harus dijaga. Alur tulisan dengan loncatan-loncatan perubahan ide
harus disampaikan secara enak dan menarik, tidak sekedar menyampaikan ide tanpa
ada pengembangan yang tuntas.
Ide,
bagaimanapun bentuknya, adalah pilihan yang telah dipilih oleh seorang penulis.
Ide yang dipilih ini kemudian menjadi ide pokok, ide yang mendasari tulisan. Ide
pokok itu akan menjadi ide utama tulisan manakala ide pokok itu telah dipecah
menjadi ide-ide pokok yang lebih rinci yang kemudian dipersiapkan untuk ide-ide
pokok di setiap paragraf.
Ide utama
tetaplah ide utama yang akan menjadi inti tulisan, namun ide-ide pokok dalam
setiap paragraf tadi harus menjadi ide-ide yang bisa dikembangkan menjadi
paragraf-paragraf. Tentu saja yang harus dipahami di sini adalah pengembangan
ide pokok dalam setiap paragraf itu bisa dengan penjelasan, contoh, ataupun
penguatan/pendalaman. Di samping itu, dalam pengembangan paragraf itu harus
tetap diperhatikan ketepatan pemilihan ide-ide pendukung. Baik penjelasan,
contoh ataupun pendalaman ide pokok harus berupa ide-ide yang mampu
mengembangkan dan memperjelas ide utama paragraf itu.
Kurang Membaca
Kesalahan yang
kedua sebagai faktor yang menyebabkan ketidak mampuan menulis secara sitematis
adalah kurangnya membaca. Padahal jelas sebagai orang Islam, lebih-lebih kita
sebagai nahdliyin yang mengaku ahlussunnah, kita diminta untuk membaca. Dengan
kata “Iqro’” di dalam Al-Qur’an yang
berarti bacalah, maka kita sudah dengan sendirinya diminta Allah SWT. untuk
membaca.
Suharyadi bahkan
mengatakan bahwa menulis dan membaca umpama dua mata uang yang tidak bisa
dipisahkan. Orang membaca tetapi tidak menulis maka ilmu yang diserapnya tidak
akan tersampaikan kepada orang lain dan dengan itu maka berakibat tidak berumur
lamanya ilmu yang telah susah payah didapat itu. Sebaliknya, orang menulis
tetapi tidak membaca jelas tidak mungkin, karena orang bisa menulis sebagai
akibat dari input yang masuk ke dalam otak melalui membaca, baik buku maupun
keadaan.
Oleh karena
itu, di sini, yang perlu dipahami adalah apa yang menjadi pusat adanya kegiatan
menulis dan membaca adalah otak. Otak manusia umpama perut yang diisi makanan,
kemudian makanan itu akan dikeluarkan manusia sesuai dengan apa yang dimakan
setelah berproses. Otak pun demikian. Otak akan mengeluarkan pikiran tentang
meja yang ditutupi taplak warna hijau kalau sumber informasi dari mata (dalam
proses membaca lingkungan) yang masuk ke otak adalah meja yang ditutupi taplak
warna hijau. Begitulah. Apa yang masuk ke otak dari proses membaca akan keluar,
setelah berproses, sesuai dengan apa yang masuk tadi.
Oleh
karenanya, Suhariyadi mengatakan, “Menulis tanpa membaca tidak mungkin.” Coba
pikirkan bagaimana mungkin orang menulis dengan lancar kalau tidak mau membaca.
Membaca di sini adalah kegiatan membaca dalam arti yang luas, yakni membaca
bukan sekedar membaca buku, tetapi bisa juga berupa membaca keadaan lingkungan
sekitar. Jadi intinya adalah kalau mau menulis, maka harus sering membaca.
Membaca!
Kurang Latihan
Kesalahan
selanjutnya adalah kurangnya latihan menulis. Menulis sebagai sesuatu yang
membutuhkan proses yang begitu rumit juga harus membutuhkan latihan. Seperti
yang saya ceritakan di atas, bagaimana seorang anak mampu membaca huruh ‘o’
kalau tidak pernah latihan. Sehingga latihan menjadi tangga yang sangat penting
untuk menghubungkan kemampuan penguasaan teknik menulis dan wawasan sebagai
akibat membaca dengan hasil tulisan. Betapapun bentuk tulisan yang tercipta,
akan mengalami perbaikan terus menerus apabila terus diasah setiap waktu.
Tentu latihan
menulis itu butuh niat yang tulus untuk menjadi seorang penulis. Apabila
seorang hanya mengatakan kegiatan menulis hanya sebagai kegemaran saja, maka
tidak lama kegiatan menulis itu akan segera berhenti dan selesai. Tidak akan
berlanjut kegiatan menulis itu dengan hanya dasar kegemaran. Akan tetapi akan
berbeda kalau kegiatan menulis itu dilandasi niat yang tulus untuk menjadi
seorang penulis. Hal ini juga sesuai dengan apa yang diungkapkan Suhariyadi
bahwa kalau kita menulis seyogyanya kita bercita-cita menjadi seorang penulis,
karena hanya dengan itu kita akan mendapat kekuatan menulis. (*)