SEPI: Cungkup yang menaungi batu merah petilasan Walisongo (atas) dan suasana dalam cungkup. |
Penulis: Thoni Mukharrom (Tulisan Oktober 2012)
Petilasan
ini sudah diketahui keberadaannya sejak jaman pendudukan Jepang. Mbah Hambali,
sesepuh desa Gadon Kecamatan Tambakboyo yang pertama membukanya—sekitar tahun
50-an. Setelah itu diteruskan oleh Mbah Modin Mahfud, warga Mander bersama Mbah
Gampang. Setelah keduanya wafat, petilasan ini diurus oleh Mbah Tardji dan Mbah
Wawan, keduanya warga desa Pulogede, Tambakboyo. Sejak ditinggal wafat Mbah
Tardji dan Mbah Wawan, sekitar tahun 1990-1995 petilasan ini tidak ada yang
mengurus sehingga kembali singit, akibatnya tak ada orang yang berani
menyambanginya.
Baru
akhir 1995 ada seorang yang begitu peduli dengan peninggalan bersejarah umat
Islam itu. Dia adalah Marzuki warga desa Gadon, Tambakboyo. Dia memperjuangkan
agar petilasan Walisongo ini kembali dikunjungi dan tidak menyeramkan.
Petilasan
ini dulu berbentuk batu merah dengan bekas orang sedang bersila. Sekarang di
atasnya sudah dibangun rumah kecil. Dulu ada keluarga dari Jombang yang
mengusulkan untuk dibangun rumah kecil. Rumah kecil ini baru berdiri 2010 lalu.
Sebab, kalau ada pezirah yang datang, ada saja ulahnya, ada yang mengambil batu
merah petilasan dengan sendok.
Menurut
juru kunci pertama, petilasan ini adalah bekas Sunan Bonang. Tapi kalau ada
orang yang datang, tempat ini berbeda-beda ceritanya. Dulu pernah ada peziarah
bernama Kyai Muksin dari Malang. “Mbah Yai kok sumerap, lah Malang mriki kan
tebih?” tanya Marzuki.
“O,
nggeh, kulo winginane dalu diimpeni Sunan Kalijogo, terose teng mriki enten petilasan,”
jawab Pak Kyai Muksin.
Kebenaran
tentang apakah itu petilasan Sunan Bonang atau Sunan Kalijaga belum dapat
dipastikan. Sebab dari penuturan juru kunci dan pezirah yang datang berbeda
versi. Dulu saat pertama kali ditemukan oleh kakeknya Marzuki, diyakini sebagai
petilasan Sunan Bonang. Setelah banyaknya pengakuan pezirah yang mengatakan
petilasan Sunan Kalijaga, petilasan ini dinamakan petilasan Walisongo.
Pada
1987 ada seorang warga bernama Hambali menyuruh membangun mushola di petilasan
ini. Saat itu Marzuki belum berani mengiyakan karena memang belum mempunyai
kewenangan. Setelah para sesepuh meninggal dunia, baru beberapa tahun lalu,
tepatnya 2010 mushola ini selesai dibangun. Dia berani melaksanakan niat
tersebut. Kebetulan ada ustad dari Pemalang yang menikah dapat orang Gadon,
ustad tersebut setuju dengan pembangunan mushola di komplek petilasan ini.
Sedangkan biaya pembangunan mushola didapat dari swadaya masyarakat
“Kalau
ada yang mengasih sumbangan ya saya belikan material. Saya sendiri malu meminta,” ungkapnya.
Niat Marzuki membangun mushola ini agar bisa
dibuat beribadah. Bukan malah dibuat membakar menyan dan perbuatan menyimpang
dari ajaran Islam.
“Saya juga selalu mengingatkan agar para
peziarah tidak meminta kepada selain Allah. Di sini cuma menghormati saja,”
tandas Marzuki.
Soal
peristiwa aneh aneh yang pernah terjadi, Marzuki menuturkan, dulu pernah ada
kejadian pencurian selambu petilasan oleh empat anak kecil dan dibuat celana
pendek. Setelah dipakai, ada yang lehernya menoleh dan tidak bisa kembali, yang
satu pinggangnya melintir. Dan yang satunya dengkulnya bengkak. ‘’Pokoknya
empat orang itu dapat penyakit semua. Dan sembuh setelah meminta maaf kepada
Allah di tempat ini,” cerita Marzuki.
“Ada
juga yang pernah mau menggusur tempat ini. Oleh masyarakat yang tidak suka.
Karena dianggap menyekutukan Allah. Orang itu akan menggusurnya, malam harinya
ia melihat ada ular besar dan akan menggigitnya. Akhirnya niat itu tidak jadi
dilaksanakan,” imbuh Marzuki.
Terlepas
dari peristiwa tersebut, Marzuki berharap hendaknya kita turut serta menhormati
dan menjaga sejarah berkembangnya Islam
di tanah Jawa.
Ditambahkan,
setiap malam Kamis Legi ada kegiatan ngaji manaqib yang dipimpin oleh kiai
setempat. Ada sekitar 20 orang yang datang setiap bulannya. Setiap malam jumat
ada kegiatan tahlilan. Pengunjung petilasan ini per hari rata-rata hanya empat
orang.
Selain
itu setiap malam Kamis Kliwon ada banyak peziarah dari desa Tanjang. Tapi
datangnya hanya sebelum panen dan sesudah panen. Mereka juga melakukan manaqib.
Kegiatan tersebut masih berlangsung hingga sekarang.(thoni)
Petilasan Walisongo yang berada di pinggir pantai Gadon Tambakboyo Tuban. |
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
BalasHapusKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.