TOKOH KH. ACHMAD MUNDZIR, M.Si
|
MUNDZIR: meski usianya sudah relatif sepuh tetapi tetap menulis sebuah buku |
Hidup
dan Mati Sama Saja!
KH.
Achmad Mundzir, M.Si. Begitulah nama lengkap beserta gelarnya. Di Kabupaten
Tuban, nama itu sudah tidak asing lagi. Dialah sang penulis buku Tuban Bumi
Wali.
Ditemui
NUsa di kediamannya yang berada di Jl. Pramuka V No. 2 Tuban, Mundzir bercerita
tentang beberapa penggal sejarah hidupnya. Siapa yang menyangka, di balik
dandanan kesederhanaannya setiap hari, dia menyimpan dasar pemikiran yang
senantiasa dia pegang dalam hidupnya.
Mundzir
terlahir di Desa Kesambi, Pucuk, Lamongan pada 20 April 1951. Abahnya bernama
KH. Abdul Ghoni, seorang pemimpin thoriqoh Tauhid Rububiyah Kesambi, Pucuk.
Uminya bernama Hj. Masfiyah. Dalam sejarah kehidupannya, Kiai Abdul Ghoni
pernah menimba ilmu di Makkah al-Mukarromah selama 7 tahun. Dan ketika telah
menetap di Kesambi, Kiai Ghoni mengisi ngaji kitab di beberapa majelis ta’lim.
Nyai Hj. Masfiyah pun mempunyai majelis ta’lim sendiri.
Hidup
dalam keluarga demikian, Mundzir mengaku bahwa abahnya telah mengajarkan ajaran
thoriqot Tauhid Rububiyah padanya sejak masih sangat belia. Ajaran yang
mengatakan bahwa hidup dan mati itu sama saja selalu dia pegang. Karena dengan
berpegang pada ajaran itu, dirinya mengaku siap untuk menghadapi hidup ataupun
mati. Begitulah motto hidup yang dia pegang, sehingga jelaslah dengan
dandanannya yang sederhana mampu menampakkan jati dirinya. Bahkan sejak kelas 5
SR, dia telah menghatamkan Al-Qur’an. Itu pun atas bimbingan abahnya.
Dari Sedan hingga
Langitan
Mundzir
mengawali pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat (SR) Pucuk. Tepatnya pada 1956.
Di SR itu, dia hanya bersekolah sampai kelas 5, kemudian berpindah ke Karas,
Sedan, Jawa Tengah (1960). Perpindahannya disebabkan abahnya meninggal dan
tidak ada orang “Kiai” yang mengajarinya lagi. Dia di Sedan tinggal bersama
budenya dan mengaji pada Kiai Sulthon bin Mawardi. Mengaji pada Kiai Mawardi,
Mundzir mendapat pentashihan Al-Fatihah dan ilmu nahwu. Di samping belajar pada
Kiai Mawardi, Mundzir juga belajar di Madrasah Diniyah Roudlotut Tholabah
Sedan.
Hanya
berlangsung sampai 1963, Mundzir kecil berhijrah kembali untuk nyantri di
Pondok Pesantren Pringgoboyo Sekaran, Lamongan. Dia mengaji pada Kiai Masnur
Kusairi. Di sana, dia telah belajar beberapa kitab, salah satunya kitab
Durrotun Nasihin. Hanya berselang 1 tahun, Mundzir berhijrah lagi ke Langitan
Tuban (1964). Di Langitan, Mundzir belajar sampai 7 tahun.
Pada
1971 Mundzir boyong dari Langitan. Saat di langitan itulah, bakat-bakat
kepemimpinan Mundzir mulai tumbuh. Di pondok salaf itu, Mundzir mengaji pada
Kiai Zuhdi, Kiai Faqih, Kiai Marzuqi, Kiai Abdul Hadi dan Gus Hamim (adik Kiai
Faqih).
Setidaknya,
kenangan yang sangat kuat dia ingat selama di Langitan adalah sejak masuk
menjadi santri, Mundzir tidak pernah masuk dalam jajaran santri tukang
bersih-bersih. Karena kemampuannya di bidang bahasa, pada usia itu (13 tahun)
Mundzir langsung duduk di bangku kelas 5. “Umumnya, anak biasanya masuk di
kelas 3 dulu,” katanya heran.
Dia
pun langsung masuk dalam kelompok orang dewasa dan menjadi bagian dari keamanan
pondok. Bahkan ketika telah cukup lama belajar di Langitan, dia menjadi teman
dekat Gus Hamim. “Saat Gus Hamim mengoreksi ujian, saya diajak untuk
mengoreksi,” ungkapnya. Padahal saat itu, Mundzir masih tercatat sebagai santri
Langitan. Saat di pondok Langitan pula Mundzir mulai bersentuhan dengan aliran-aliran
pemikiran. Dia mengaku sering membaca kitab-kitab larangan (dibaca oleh
orang-orang tertentu), seperti kitab Subul Salam karya Muhammad bin Ismail
al-Kakhlani as-Sun’ani. Dulu saat getol membaca, dia tidak mengetahui alasan
larangan membaca kitab-kitab semacam itu. Namun, setelah duduk di bangku
kuliah, baru dia tahu bahwa kitab itu adalah karya orang Syi’ah Zaidi (golongan
Syi’ah moderat).
Ketika
belajar di Langitan, Mundzir tidak lantas meninggalkan masalah ilmu umum. Saat
di pondok itu, dia juga belajar di PGA 6 tahun dan kursus Bahasa Inggris di
Kota Babad.
Melawan Babinsa
Boyong
dari Langitan (1971), Mundzir telah mengantongi ijazah PGA dan sertifikat
kursus, serta wawasan keilmuan agama yang matang. Kembali ke Kesambi, kampung
halamannya, dia aktif di jajaran IPNU Kesambi dan mengajar di MI Salafiyah
Cungkup. Bahkan dia langsung mendirikan MTs Ma’arif Pucuk dan menjadi kepalanya
sekaligus. Dalam pikirannya saat itu, orang Muhammadiyah di lingkungannya
jumlahnya sedikit, tetapi dengan jumlah kecil itu mereka belajar sampai
perguruan tinggi dan akhirnya bisa mengisi tempat-tempat strategis pemerintah.
Semntara warga NU menjadi mayoritas, tapi tidak bisa menduduki posisi-posisi
penting itu, karena terganjal ijazah. Untuk itu, dia mendirikan MTs, dalam
rangka mendorong agar anak-anak warga NU Kesambi mau melanjutkan belajarnya
sampai ke jenjang tinggi. “Alhamdulillah dengan dorongan-dorongan itu, kini
jumlah sarjana yang ada di Pucuk imbang antara NU-Muhammadiyah, malah kini
lebih banyak warga NU,” ungkap Mundzir.
Saat
mengurusi lembaga itu, Mundzir menyempatkan diri belajar di Unsusri Surabaya
pada Fakultas Tarbiyah-PAI (1976-1978). Dia akhirnya mendapatkan gelar sarjana
mudanya (BA). Bahkan saat kuliah itu, Mundzir mendapatkan sebutan sebagai kamus
berjalan karena ilmu Bahasa Arab dan Inggisnya mumpuni. “Kalau ilmu agama, saya
ambil metodologinya,” katanya.
Dalam
bidang organisasi, saat di IPNU, dia pernah melawan seorang pimpinan Babinsa
yang terkenal kejam saat itu. Sebagai kepanjangan tangan Golkar, Pimpinan
Babinsa itu sering meneror pihak-pihak yang menentang Golkar dan bahkan memberikan
hukuman fisik. Saat akan diadakan pengajian umum, Pimpinan Babinsa itu tidak
menghendaki jika acara itu dihadiri banyak jama’ah, sehingga dia meneror
orang-orang yang akan menghadiri pengajian. Tidak kalah arang, Mundzir
mengerahkan pasukan IPNU-IPPNU untuk menghadiri pengajian itu dengan serempak
berpawai. Akhirnya Babinsa itu datang dan menghentikan motornya di tengah jalan
untuk menghadang. Dengan keberanian Mundzir, Babinsa itu disuruhnya
meminggirkan sepedahnya dan membiarkan rombongan berangkat. Entah kenapa
akhirnya rombongan dibiarkan berjalan oleh Babinsa itu. “Padahal sebelum
kejadian itu, Anshor pun takut melawannya,” ungkap Mundzir. “Tapi pada malam sebelumnya
orang itu saya bacakan Yasin 121 kali,” imbuhnya. (wakhid)